• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

E. Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan positif antara

adversity intelligence dan kesejahteraan psikologis pada pensiunan. Dari analisis data yang telah dilakukan, menunjukan nilai koefisien korelasi antara

adversity intelligence dan kesejahteraan psikologis pada pensiunan sebesar 0,646 dengan signifikansi 0,000. Nilai tersebut menunjukan bahwa terdapat

75

hubungan yang positif dan signifikan antara adversity intelligence dan kesejahteraan psikologis pada pensiunan. Hal ini menandakan bahwa hipotesis awal penelitian, yaitu ada hubungan positif dan signifikan antara adversity intelligence dan kesejahteraan psikologis pada pensiunan dapat diterima. Dalam penelitian ini adversity intelligence memiliki sumbangan efektif sebesar 41,73% terhadap kesejahteraan psikologis pada para pensiunan, sedangkan 58,27% lainya dipengaruhi oleh variabel lain.

Perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari tentunya menuntut seseorang untuk dapat melakukan penyesuaian agar dapat menjalani kehidupannya dengan lebih sejahtera dan terhindar dari masalah. Akan tetapi hal tersebut sering menjadi hal yang sulit untuk diwujudkan bagi sebagian orang. Kesulitan-kesulitan yang dialami individu tersebut tentunya menjadi masalah dan membuat individu berada dalam tekanan, sehingga individu tersebut akan memberikan respon dalam menghadapi kesulitan atau permasalahan dalam hidupnya. Stoltz (2000) membagi adversity intelligence

individu atas empat dimensi yang terdiri dari Control, Origin Owner, Reach dan Endurance (CO2RE). Empat dimensi yang menjadi indikator tinggi rendahnya adversity intelligence ini mengacu kepada kesulitan yang dihadapi individu dalam hidupnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa indikator-indikator pada adversity intelligence memberikan dampak gejala pada diri individu. Apabila individu tersebut dapat mengendalikan kesulitan-kesulitan yang dialami, maka ia akan cenderung mampu menguasai dan mengolah lingkungannya, serta dapat mengontrol kejadian diluar dirinya. Individu yang

76

memiliki Origin dan Ownership adalah individu yang mampu menempatkan masalah tidak hanya pada diri sendiri namun juga melihat faktor dari luar sebagai asal usul masalah dan bersedia menanggung akibat atas situasi sulit yang dihadapi secara objektif. Individu tersebut cenderung akan bersikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek diri, termasuk kualitas baik dan buruk, serta merasa positif dengan kehidupan masa lalu. Selain itu, individu tersebut juga akan cenderung memperhatikan kesejahteraan orang lain, memiliki hubungan yang hangat, memuaskan, dan saling percaya, serta hubungan yang bersfat timbal balik. Begitu juga dengan individu yang merespon kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik dan terbatas, ia akan cenderung mandiri dan mampu menghadapi tekanan sosial, serta mampu mengatur tingkah lakunya sendiri. Sedangkan individu yang menganggap kesulitan sebagai sesuatu yang sementara, dan kecil kemungkinannya terjadi lagi, ia cenderung memiliki tujuan dan arah hidup yang jelas, merasa hidupnya bermakna di masa lalu dan sekarang, serta berpegang pada keyakinan yang menjadi tujuan hidup. Individu tersebut juga akan melihat dirinya terus bertumbuh dan berkembang, terbuka akan pengalaman baru dan merealisasikan potensi yang dimiliki, serta memperbaiki diri dan perilaku terus menerus.

Subjek penelitian merupakan pensiunan yang sedang menjalani masa pensiun. Dari penelitian ini diketahui bahwa subjek tergolong memiliki

adversity intelligence yang tinggi. Para pensiunan memiliki adversity intelligence yang tinggi mungkin disebabkan sikap optimis yang mereka

77

miliki. Sikap tersebut ditunjukan dengan adanya keyakinan dalam diri mereka untuk menjalani masa pensiun dengan sejahtera dan kemampuan untuk mengatasi masalah yang akan mereka hadapi. Hal ini juga menunjukkan adanya sifat tahan banting dan keuletan. Werner (dalam Stoltz, 2000) menyatakan bahwa orang yang optimis adalah para perencana yang mampu menyelesaikan masalah dan orang yang dapat memanfaatkan masalah sebagai peluang. Hal ini didukung oleh penelitian Seligman (dalam Stoltz, 2000) menyatakan perbedaan individu yang pesimis dan optimis sebagai perbandingan seseorang yang memiliki adversity intelligence yang tinggi atau rendah. Individu pesimis akan memandang kesulitan sebagai situasi yang menetap, pribadi dan berdampak ke semua aspek hidup lain, sedangkan individu optimis akan memandang kesulitan sebagai kondisi sementara, eksternal dan terbatas pada persoalan saat itu saja.

Dari penelitian ini juga diketahui bahwa subjek tergolong memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi. Hal ini mungkin disebabkan karena para pensiunan memiliki penguasaan lingkungan dan otonomi yang baik. Menurut Ryff dan Singer (1996) (dikutip oleh Henry, Zamralita, & Tommy, 2008) kesejahteraan psikologis dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya dipengaruhi oleh usia. Penguasaan lingkungan dan otonomi semakin meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Mereka yang memiliki penguasaan lingkungan yang baik adalah orang yang mampu menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi fisiknya. Kemampuan ini dipengaruhi oleh kedewasaan seseorang khususnya kemampuan seseorang untuk

78

memanipulasi dan mengontrol lingkungan yang kompleks melalui aktivitas mental dan fisik. Dalam dimensi penguasaan lingkungan, skor yang tinggi menunjukkan bahwa individu mempunyai sense of mastery dan mampu mengatur lingkungan, mengontrol berbagai kegiatan eksternal yang kompleks, menggunakan kesempatan-kesempatan yang ada secara efektif, mampu memilih atau menciptakan konteks yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai pribadi. Sedangkan skor yang rendah menyatakan bahwa individu mengalami kesulitan dalam mengatur aktivitas sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan konteks di sekitar, tidak waspada akan kesempatan-kesempatan yang ada di lingkungan, dan kurang mempunyai kontrol terhadap dunia luar (Ryff dalam Haryanto dan Suyasa, 2007). Selain itu, mereka yang memiliki otonomi yang baik adalah mereka yang memiliki kemampuan untuk mengarahkan diri sendiri, kemandirian dan kemampuan mengatur tingkah laku. Orang yang berfungsi penuh digambarkan mampu menilai diri sendiri dengan menggunakan standar pribadi. Dalam dimensi otonomi, orang-orang dengan skor tinggi adalah individu yang mampu mengarahkan diri dan mandiri, mampu menghadapi tekanan sosial, mengatur tingkah laku sendiri dan mengevaluasi diri dengan standar pribadi. Sedangkan skor rendah pada dimensi ini menunjukkan bahwa individu memperhatikan pengharapan dan evaluasi orang lain, bergantung pada penilaian orang lain dalam membuat keputusan, menyesuaikan diri terhadap tekanan sosial dalam berpikir dan bertingkah laku (Ryff dalam Haryanto dan Suyasa, 2007).

79 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait