• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembahasan

Dalam dokumen TESIS S021308085 TIARA FATMA KUMALA (Halaman 55-62)

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Pembahasan

Pembahasan hasil penelitian yang telah peneliti laksanakan sesuai dengan alur kerangka konsep yang ada dengan menghubungkan teori dan temuan penelitian sebelumnya.

1. Hubungan antara kejadian preeklampsia dan risiko depresi antenatal

Analisis hubungan antara kejadian preeklampsia dan risiko depresi antenatal menunjukkan bahwa ibu hamil dengan preeklampsia memiliki risiko depresi antenatal lebih rendah. Presentasi subjek penelitian ibu hamil dengan preeklampsia dibandingkan ibu hamil dengan kehamilan normal yaitu sebesar 33,3% ibu hamil dengan preeklampsia dan 66,7% ibu hamil dengan kehamilan normal.

Hasil analisis statistik menunjukkan ada hubungan antara kejadian preeklampsia dan risiko depresi antenatal (OR=0,44; CI=95%; 0,11-1,75; p=0,249), dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ibu hamil dengan preeklampsia 0,44 kali lebih rendah memiliki risiko depresi antenatal daripada ibu hamil dengan kehamilan normal. Hubungan antara kejadian preeklampsia dan risiko depresi antenatal memiliki hubungan negatif dan kuat, namun secara statistik tidak signifikan.

Hal ini sesuai dengan Räisänen et al. (2014) dalam studinya tentang faktor risiko terkait dengan depresi antenatal pada ibu hamil di Finlandia sejak 2002-2010 menemukan bahwa 0,8% dari 511938 ibu hamil mengalami depresi. Ibu hamil dengan preeklampsia lebih berisiko terjadi depresi antenatal, akan tetapi hubungan ini secara statistik tidak signifikan (p=0,52). Sebesar 1,2% ibu hamil dengan preeklampsia yang mengalami depresi antenatal.

Hal ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Qiu

et al. (2007) di Peru. Subjek penelitian yang digunakan sejumlah 676 ibu hamil

dengan rincian 339 ibu hamil dengan preeklampsia sebagai kelompok kasus, dan 336 ibu hamil normal sebagai kelompok kontrol. Depresi antenatal pada kelompok kasus sejumlah 159 dan kelompok kontrol sejumlah 123. Hubungan antara kejadian preeklampsia dan depresi antenatal ini mempunyai hubungan yang secara statistik signifikan (OR=1,54; CI=95%; 1,13-2,09).

Kim et al. (2013) dalam temuannya di Amerika pada 254 ibu hamil sebagai

sampel penelitian, dengan rincian 25 ibu hamil dengan preeklampsia dan 229 ibu hamil normal. Desain penelitian yang digunakan adalah kohort retrospektif. Hasil yang didapatkan adalah sebesar 14 ibu hamil dengan preeklampsia mengalami depresi antenatal dan sebesar 72 ibu hamil normal mengalami depresi antenatal. Kesimpulan dari temuan ini adalah preeklampsia mempunyai hubungan dengan depresi antenatal (OR=2,78; CI=95%; 1,20-6,41).

Menurut Kharaghani et al. (2012) dalam studinya di Tehran terkait preeklampsia dan depresi antenatal dengan menggunakan 312 subjek penelitian dengan rincian 156 sebagai kelompok kasus yaitu ibu hamil dengan preeklampsia dan sebesar 156 sebagai kelompok kontrol yaitu ibu hamil normal. Hasil yang diperoleh sebanyak 113 mengalami depresi antenatal pada kelompok kasus dan sebesar 92 pada kelompok kontrol. Hubungan ini menunjukkan secara statistik signifikan (OR=1,79; CI=95%; 1,11-2,87).

Berdasarkan perbedaan hasil temuan oleh beberapa ahli di atas, dapat peneliti simpulkan bahwa perbedaan hasil yang diperoleh terkait hubungan kejadian preeklampsia terhadap risiko depresi antenatal dapat dimungkinkan karena perbedaan ras, genetik, metodologi penelitian, subjek penelitian, uji statistik yang digunakan, instrumen penelitian, dan penyakit tertentu yang diderita, misalnya penyakit jantung, hipertensi, dan diabetes mellitus.

2. Hubungan antara umur dan risiko depresi antenatal

Analisis hubungan antara umur dan risiko depresi antenatal menunjukkan bahwa ibu hamil dengan usia reproduksi memiliki resiko depresi antenatal lebih rendah dibandingkan dengan usia non reproduksi. Presentasi subjek penelitian

ibu hamil dengan usia non reproduksi dibandingkan ibu hamil dengan usia reproduksi yaitu sebesar 21,3% ibu hamil dengan usia non reproduksi dan 78,7% ibu hamil dengan usia reproduksi.

Hasil analisis statistik menunjukkan ada hubungan antara umur dan risiko depresi antenatal (OR=1,55; CI=95%; 0,29-8,10; p=0,599), dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ibu hamil dengan usia reproduksi memiliki risiko depresi antenatal 1,55 kali lebih rendah dibandingkan dengan usia non reproduksi. Hubungan antara umur dan risiko depresi antenatal memiliki pengaruh positif dan kuat, namun secara statistik tidak signifikan.

Hal ini sejalan dengan Qiao et al. (2009) yang mengungkapkan gejala kecemasan dan depresi yang muncul pada ibu hamil di Shanghai sebesar 6,8% dan 4,8%. Faktor risiko yang terkait dengan munculnya gejala kecemasan dan depresi adalah usia muda (<20 tahun) berdasarkan analisis regresi logistik (OR=10,09; CI=95%; 1,41-71,8). Pearson et al. (2013) juga mengungkapkan bahwa ibu hamil yang berusia 18 tahun 1,28 kali lebih cenderung memiliki risiko depresi antenatal (OR=1,28; CI=95%; 1,08-1,51; p=0,003). Räisänen et al. (2014) dalam studinya tentang faktor risiko terkait dengan depresi antenatal pada ibu hamil di Finlandia sejak 2002-2010 menemukan bahwa 0,8% dari 511938 ibu

hamil mengalami depresi. Usia muda (≤19 tahun) mempunyai 1,58 lebih besar

risiko depresi antenatal (adjusted OR=1,58; CI=95%; 1,38-1,81; p=≤0,001).

Berbeda dengan hasil yang diperoleh di atas, Shi et al. (2007) dalam studinya pada 600 ibu hamil di China dengan menggunakan kuesioner The

Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS). Hasil analisis yang diperoleh,

salah satu faktor risiko yang berhubungan erat dengan depresi antenatal adalah usia tua. Patel et al. (2010) mengungkapkan bahwa rentang umur 30-50 tahun pada wanita berhubungan erat dengan kejadian depresi. Koleva et al. (2011) mengemukakan bahwa usia tua yaitu >35 tahun sebagai prediktor yang signifikan untuk terjadinya depresi antenatal.

Peneliti berpendapat bahwa seperti kehamilan dengan usia <20 tahun dan >35 dan tahun termasuk kategori kehamilan risiko tinggi. Maka, ibu hamil

tersebut cenderung mudah terkena dan merasa depresi. Hal ini dimungkinkan karena kondisi organ reproduksi yang belum maksimal dan kesiapan mental yang belum matang pada usia <20 tahun serta pada usia >35 tahun kondisi organ reproduksi yang sudah menurun kinerjanya seiring bertambahnya usia.

3. Hubungan antara paritas dan risiko depresi antenatal

Analisis hubungan antara paritas dan risiko depresi antenatal menunjukkan bahwa ibu hamil multigravida memiliki resiko depresi antenatal lebih rendah dibandingkan dengan ibu hamil primigravida. Presentasi subjek penelitian ibu hamil multigravida dibandingkan ibu hamil primigravida yaitu sebesar 61,3% ibu hamil dengan multigravida dan 38,7% ibu hamil primigravida.

Hasil analisis statistik menunjukkan ada hubungan antara paritas dan risiko depresi antenatal (OR=0,33; CI=95%; 0,09-1,19; p=0,092). dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ibu multigravida memiliki risiko depresi antenatal sepertiga kali lebih rendah daripada primigravida. Hubungan antara paritas dan risiko depresi antenatal memiliki hubungan negatif, sedang, dan secara statistik mendekati signifikan.

Hasil penelitian ini sejalan dengan Ajinkya et al. (2013) dalam studinya di Navi-Mumbai pada 185 ibu hamil. Sebesar 9,18% dari subyek penelitian mengalami depresi antenatal. Paritas erat kaitannya dengan risiko depresi antenatal. Ibu hamil multigravida mempunyai risiko lebih rendah terjadi depresi antenatal dibandingkan dengan ibu primigravida. Hubungan ini secara statistik mendekati signifikan (p=0,0092). Karmaliani et al. (2009) dalam studinya di Pakistan pada 1376 ibu hamil dengan usia kehamilan antara 20-26 minggu. Sebanyak 18% dari jumlah sampel mengalami depresi antenatal. Salah satu faktor risiko yang diteliti dan mempunyai hubungan dengan depresi antenatal adalah paritas. Ibu hamil primigravida mempunyai risiko terjadi depresi antenatal lebih besar dibandingkan ibu hamil multigravida. Hubungan ini secara statistik signifikan (OR=2,31; CI=95%; 1,37-3,92; p=0,002).

Koleva et al. (2011) mengemukakan bahwa jumlah kehamilan sebelumnya atau paritas mempunyai hubungan yang signifikan terjadinya depresi antenatal. Menurut Notoatmodjo (2007), paritas erat kaitannya dengan pengalaman yang diperoleh. Ibu yang baru pertama kali hamil tentu belum mempunyai pengalaman, jika dibandingkan dengan ibu yang sudah pernah hamil berkali-kali. Peneliti berpendapat bahwa ibu hamil multigravida memiliki risiko depresi antenatal lebih rendah dibandingkan ibu hamil primigravida. Hal ini terkait dengan pengalaman yang dialami ibu. Kecenderungan ibu yang sudah mempunyai pengalaman merasa lebih menikmati kehamilan dengan belajar dari pengalaman sebelumnya.

4. Hubungan antara pendidikan dan risiko depresi antenatal

Analisis hubungan antara pendidikan dan risiko depresi antenatal menunjukkan bahwa ibu hamil dengan pendidikan >SMA memiliki resiko depresi antenatal lebih rendah dibandingkan dengan ibu hamil dengan pendidikan <SMA. Presentasi subjek penelitian ibu hamil yang mengalami depresi antenatal dengan pendidikan <SMA sebesar 81,8%, sedangkan pendidikan >SMA sebesar 52,4%.

Hasil analisis statistik menunjukkan ada hubungan antara pendidikan dan risiko depresi antenatal (OR=0,42; CI=95%; 0,10-1,74; p=0,236). dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ibu hamil dengan pendidikan >SMA memiliki risiko depresi antenatal 0,42 lebih rendah daripada pendidikan <SMA. Hubungan pendidikan terhadap risiko depresi antenatal memiliki hubungan negatif dan sedang, namun secara statistik tidak signifikan

Hal ini sejalan dengan penelitian Pearson et al. (2013) terkait faktor risiko depresi antenatal dan postnatal pada ibu hamil usia 18 tahun di Inggris. Subyek penelitian sebanyak 3335 ibu hamil. Separuh lebih yaitu sebesar 1691 ibu hamil dengan pendidikan rendah (hanya wajib belajar sampai usia 16 tahun). Kesimpulan dari temuan ini bahwa pendidikan rendah meningkatkan 1,27 kali risiko terjadinya depresi antenatal (OR=1,27; CI=95%; 1,02-1,57; p=0,030).

Temuan dari da Silva (2010) juga demikian, yaitu tentang depresi antenatal di pelayanan kesehatan di Brazil. Sebanyak 255 ibu hamil (21,1%) mengalami depresi antenatal. Ibu hamil dengan pendidikan <SMA mempunyai hubungan dengan risiko depresi antenatal dan secara statistik signifikan (PR=1,71; CI=95%; 1,22-2,40; p <0,001).

Pendidikan erat kaitannya dengan daya tangkap serta daya tanggap seseorang terhadap suatu informasi. Semakin tinggi tingkat pendidikan diharapkan daya tangkap dan daya tanggap terhadap informasi yang diberikan (Mandriwati, 2008). Menurut Notoatmodjo (2007) bahwa tingkat pendidikan seseorang akan membantu orang tersebut untuk lebih mudah menangkap dan memahami suatu informasi.

Peneliti setuju dengan pendapat para ahli di atas yang menjelaskan kaitan pendidikan dengan risiko depresi antenatal. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin tinggi tingkat pemahamannya sehingga semakin tinggi pula pengetahuannya. Pengetahuan inilah yang dapat digunakan ibu hamil untuk mengatasi masalah yang dihadapi.

5. Hubungan antara pendapatan dan risiko depresi antenatal

Hasil analisis statistik menunjukkan ada hubungan antara pendapatan dan risiko depresi antenatal (OR=0,26; CI=95%; 0,08-0,88; p=0,031). dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa ibu hamil dengan pendapatan ≥UMR Kab.

Kudus memiliki risiko depresi antenatal seperempat kali lebih rendah daripada ibu dengan pendapatan <UMR Kab. Kudus. Hubungan antara pendapatan dan risiko depresi antenatal memiliki hubungan negatif, kuat, dan secara statistik signifikan.

Hal ini sesuai dengan penelitian Leigh dan Milgrom (2008) terkait faktor risiko yang terkait dengan depresi antenatal. Sebanyak 367 ibu hamil dengan usia kehamilan dalam rentang 26-32 minggu. Hasil analisis dengan menggunakan regresi linear berganda, pendapatan yang rendah sebagai faktor risiko terjadinya

depresi antenatal dan secara statistik signifikan (β=-0,05; p<0,05). da Silva

(2010) dalam temuannya terkait depresi antenatal di Brazil pada 1264 ibu hamil. Sebanyak 461 ibu hamil (36,6%) berada dalam status ekonomi yang rendah dan 118 ibu hamil (25,6%) mengalami depresi antenatal. Hubungan antara status ekonomi yang rendah erat kaitannya dengan risiko depresi antenatal dan secara statistik signifikan (OR=1,97; CI-95%; 1,21-3,19; p=0,001).

Peneliti berpendapat bahwa pendapatan erat kaitannya dengan depresi antenatal. Kebutuhan ibu hamil tentu meningkat terlebih untuk persiapan persalinan. Apabila pendapatan tetap tetapi kebutuhan meningkat tentunya menimbulkan masalah dan beban bagi ibu hamil.

6. Hubungan antara dukungan sosial dan risiko depresi antenatal

Hasil analisis statistik menunjukkan ada hubungan antara dukungan sosial dan risiko depresi antenatal (OR=0,06; CI=95%; 0,00-0,63; p=0,019). dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ibu hamil dengan dukungan social baik memiliki risiko depresi antenatal 0,06 kali lebih rendah daripada ibu hamil dengan dukungan sosial rendah. Hubungan antara dukungan sosial dan risiko depresi antenatal memiliki hubungan negatif, sangat kuat, dan secara statistik signifikan.

Hal ini sesuai dengan penelitian dari Dibaba et al. (2013) tentang hubungan antara kehamilan yang tidak diinginkan dan dukungan sosial terhadap depresi antenatal di Ethiopia dengan jumlah sampel 627 ibu hamil. Hasil yang diperoleh adalah dukungan sosial mempunyai hubungan yang terkuat dalam temuan ini. Ibu hamil yang memiliki dukungan sosial tinggi 0,26 lebih rendah berisiko terjadi depresi antenatal dibandingkan dengan ibu hamil yang memiliki dukungan sosial rendah. Sama halnya dengan ibu hamil yang memiliki dukungan sosial sedang 0,27 lebih rendah berisiko terjadi depresi antenatal dibandingkan dengan ibu hamil yang memiliki dukungan sosial rendah. Fall et al. (2013) juga berpendapat sama, kesimpulan temuannya berdasarkan analisis multivariat yang dilakukan bahwa dukungan sosial erat kaitannya dengan depresi antenatal.

Hubungan ini secara statistik signifikan (OR=7,66; CI=95%; 6,30-9,31; p<0,001).

Sarafino (2006) berpendapat bahwa akan ada banyak efek dari dukungan sosial karena dukungan sosial secara positif dapat memulihkan kondisi fisik dan psikis seseorang, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kekuatan dukungan sosial yang berasal dari relasi terdekat (keluarga) merupakan salah satu proses psikologis yang dapat menjaga kesehatan seseorang.

Peneliti berpendapat bahwa dukungan sosial sangat penting diberikan bagi ibu hamil untuk mencegah depresi antenatal dan mengatasi masalahnya. Pemberian dukungan ini dapat berupa informasi, pemberian fasilitas yang dibutuhkan, dan ikut serta memeriksakan di fasilitas kesehatan.

Dalam dokumen TESIS S021308085 TIARA FATMA KUMALA (Halaman 55-62)

Dokumen terkait