• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Pembahasan

1. Jenis-jenis Gaya Bahasa yang Dominan dalam Puisi Karya Siswa SMA di Yogyakarta

a. Personifikasi atau prosopopoeia

Berdasarkan analisis data yang terkumpul, personifikasi menjadi gaya bahasa paling dominan digunakan dalam puisi karya siswa SMA di Yogyakarta. Berikut merupakan contoh personifikasi dalam puisi karya siswa.

Contoh 1) ...

(a) gunung-gunung menghamburkan baranya (b) lautan menumpahkan cairannya

(c) Bumi menggoyangkan perutnya ...

(Puisi: S3.1.02)

Contoh 1 menggunakan gaya bahasa personifikasi karena menggunakan penggambaran sifat manusia pada benda-benda mati atau tidak bernyawa. Benda yang dikenai sifat manusia pada puisi di atas adalah gunung, lautan, dan bumi. Ketiga benda tersebut tidak memiliki nyawa dan tidak bisa melakukan kegiatan seperti manusia, yakni menghamburkan (menyebarkan; menaburkan; membuang secara merata), menumpahkan (menyebabkan tumpah), dan menggoyangkan perut (menggerakkan perut). Hal tersebut sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Keraf, personifikasi atau gaya bahasa prosopopoeia adalah semacam gaya bahasa kiasan yang mengambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan (Keraf, 2007: 140).

Pada contoh 1 yang menyebabkan benda mati tersebut bergerak adalah pemilik benda-benda mati tersebut, yakni Tuhan. Penyebutan perut pada contoh 1c juga merupakan sebuah konotasi karena pada dasarnya bumi tidak memiliki sebuah perut layaknya manusia dan hewan, hanya karena bentuknya di dalam dan merupakan penampungan cairan (magma) serta menyerupai lambung dalam perut manusia maka muncullah sebuah istilah perut bumi. Berikut merupakan contoh lain dari gaya bahasa personifikasi.

Contoh 2) ...

Sedang goresan takrif yang bergandeng itu hanya bercita-cita untuk dilafalkan

...

(Puisi S1.01)

Contoh 2 memiliki gaya bahasa personifikasi karena goresan takrif merupakan sebuah benda mati (dalam hal ini benda abstrak) yang dikatakan memiliki sifat seperti manusia, yakni bergandengan dan bercita-cita. Kata bergandengan hanya bisa dilakukan oleh makhluk bernyawa dan memiliki tangan, berdasarkan pengertian bergandengan adalah berpegangan (tangan) (lihat KBBI). Selain itu, goresan takrif di atas dikatakan bercita-cita seperti seorang manusia, padahal benda tersebut tidak memiliki hati maupun pikiran sehingga memunculkan angan-angan di masa depan.

Gaya bahasa personifikasi menjadi salah satu gaya bahasa yang digunakan sebagai ‘alat’ yang mewakili perasaan pencipta. Sifat-sifat manusia yang dikenai pada benda mewakili si pencipta puisi untuk menyatakan apa yang sebenarnya sedang ia rasakan atau pikirkan. Selain itu, personifikasi juga merupakan salah

satu bentuk pencipta memahami benda-benda dengan memposisikan diri sebagai benda tersebut (pengandaian). Lewat pengandaian posisi diri maka akan timbul sebuah pemahaman agar pembaca atau manusia lain lebih peka teradap hal-hal di sekitar mereka, bahwa hidup tidak hanya tentang manusia namun juga makhluk dan benda lain. Contoh 1 misalnya, pencipta mencoba mengamati dan memposisikan diri sebagai benda-benda tersebut agar pembaca dan manusia lain memahami benda-benda tersebut (alam di sekitarnya). Lewat gaya bahasa personifikasi pada contoh 1, tersirat sebuah amanat bahwa manusia harus lebih merawat alam karena alam juga dapat marah selayaknya manusia.

b. Erotesis atau Pertanyaan Retoris

Berdasarkan data yang diperoleh, erotesis menjadi gaya bahasa dominan kedua setelah gaya bahasa personifikasi. Berikut merupakan contoh gaya bahasa erotesis yang terdapat dalam puisi karya siswa.

Contoh 3)

Bagaimana tidak? Di bulan biru ini Sukmaku terasa kelabu

Serpihan yang pernah kurangkai Entah mengapa kembali tercecer...

(Puisi S2.02)

Pada contoh 3 di atas disebut gaya bahasa erotesis karena kalimat “Bagaimana tidak?” merupakan suatu pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban. Kalimat itu digunakan untuk memberikan penegasan pada kalimat berikutnya yaitu “Di bulan biru ini sukmaku terasa kelabu” kalimat itu juga masih

berhubungan dengan kalimat berikutnya, sukma kelabu karena serpihan yang pernah kurangkai entah mengapa kembali tercecer. Kalimat erotesis “Bagaimana tidak?” sebenarnya menegaskan bahwa sukmanya benar-benar kelabu dan tidak mungkin tidak.

Hal tersebut sesuai dengan teori Keraf yang menyatakan bahwa erotesis adalah gaya bahasa yang dipergunakan dalam pidato atau tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam, penekanan yang wajar, dan sama sekali tidak menuntut suatu jawaban. Gaya bahasa erotesis ini juga disebut pertanyaan retoris; dan di dalamnya terdapat suatu asumsi bahwa hanya ada satu

jawaban yang mungkin (Keraf, 2007: 134-135). Jawaban atas pertanyaan “Bagaimana tidak?” adalah tidak mungkin tidak (iya).

Kalimat erotesis yang lain misalnya pada kalimat berikut. Contoh 4)

...

Saat kasih sayang lebih langka dari kebencian Saat nyawa nyaris tak berharga

Saat hidup ini merintih perih Akankah akhirnya kita sadari? ....

(Puisi S2.09)

Seperti contoh 3, contoh 4 juga dapat disebut sebagai gaya bahasa erotesis. Kalimat “Akankah akhirnya kita sadari?” ditulis bukan untuk memperoleh jawaban dapat tidaknya kita sadar, namun digunakan untuk membuat pembaca merenungkan kejadian-kejadian pada baris sebelumnya. Penulis ingin mengajak pembaca merenungi kejadian kasih sayang lebih langka dari kebencian, nyawa nyaris tak berharga, dan hidup merintih perih agar muncullah kesadaran akan

kejadian-kejadian itu saat ini. Dengan kata lain, penulis mengajak pembaca bertindak agar kejadian itu tidak benar-benar terjadi. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan bahwa gaya bahasa erotesis ini juga disebut pertanyaan retoris; dan di dalamnya terdapat suatu asumsi bahwa hanya ada satu jawaban yang mungkin (Keraf, 2007: 134). Oleh karena itu, pertanyaan di atas diasumsikan bukan untuk memperoleh jawaban kata-kata namun tindakan.

Gaya bahasa erotesis ini bermaksud mengajak pembaca untuk melakukan suatu jawaban atau tindakan yang nyata atas apa yang pencipta/penulis sampaikan lewat puisinya. Gaya bahasa ini juga meminta ‘secara halus’ kepada pembaca agar memiliki pendapat yang sama dan memahami sama persis apa yang pencipta puisi ungkapkan. Gaya bahasa ini lebih sering digunakan untuk menggugah semangat dan mengajak pembaca atau pendengar berfikir lebih (merenungkan).apa yang disampaikan

c. Anafora

Gaya bahasa ini menjadi gaya bahasa dominan ketiga yang digunakan pada puisi karya siswa. Berikut merupakan contoh gaya bahasa anafora yang ditemukan dalam puisi karya siswa.

Contoh 5) ...

Hilang sudah semua hartaku Hilang sudah semua keluargaku Dan hilang sudah keindahan Desaku

Pada contoh 5 mengandung gaya bahasa anafora karena mengulang kata pertama pada setiap baris berturut-turut, yakni kata “Hilang sudah”. Hal tersebut sesuai dengan pengertian anafora, yakni repetisi yang berwujud perulangan kata pertama pada setiap baris atau kalimat berikutnya (Keraf, 2007: 127). Gaya bahasa anafora biasanya digunakan untuk menyebutkan sesuatu yang sama dengan menambah efek yang indah. Puisi di atas bermaksud menekankan banyaknya si penulis telah kehilangan, yakni harta, keluarga, dan keindahan desa. Berikut contoh lain gaya bahasa anafora pada puisi karya siswa.

Contoh 6) ...

Namamu yang selalu kutunggu

Namamu yang kini beresonansi dalam hati

Namamu yang kini eksis dalam setiap laju neuron Memperbesar energi potensialmu

(Puisi S1.01)

Pada contoh 5 dan contoh 6, gaya bahasa anafora di atas sama-sama digunakan untuk fokus pada kata yang diulang tersebut. Contoh 5 digunakan untuk fokus pada kehilangan dan kata-kata berikutnya menjelaskan apa saja yang hilang, sedangkan Contoh 6 digunakan untuk fokus pada kata namamu dan kalimat berikutnya menjelaskan ‘ada apa dengan namamu’. Pengulangan kata yang diletakkan di depan digunakan agar pembaca langsung mengingat apa yang ditekankan oleh penulis.

d. Simile

Berdasarkan data yang diperoleh, gaya bahasa simile juga mendominasi puisi karya siswa. Berikut merupakan contoh gaya bahasa simile dalam puisi karya siswa.

Contoh 7)

(a) Kau datang tiba tiba bak hantu

Menghujani bumi dengan kerasnya tubuhmu (b) Berapi-api seperti gunung

(c) Bulat seperti duku ....

(Puisi S3.2.01)

Pada contoh 7a, penulis mencoba menyamakan keterangan datang tiba- tiba dengan hantu, yang ditulis dengan kata pembanding bak. Hal ini dilakukan karena penulis memiliki latar belakang pengetahuan bahwa hantu itu datang secara tiba-tiba. Contoh 7b, mencoba menyamakan kata berapi-api dengan gunung menggunakan pembanding seperti, karena gunung juga memiliki magma

yang juga berapi-api di dalam perutnya. Contoh 7c, menyamakan bentuk bulat dengan duku menggunakan pembanding seperti, karena memang bentuk duku adalah bulat, walau tidak bulat sempurna.

Analisis di atas sesuai dengan pengertian gaya bahasa persamaan atau simile yakni perbandingan yang bersifat eksplisit. Perumpamaan adalah perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainan dan yang sengaja kita anggap sama. Perbandingan itu secara eksplisit dijelaskan oleh pemakaian kata seperti, serupa, ibarat, bak, sebagai, umpama, laksana, dan penaka, bagai atau

Berikut merupakan contoh lain dari gaya bahasa simile. Contoh 8)

...

Banyak suara pohon menangis diterjang suara mesinnya seakan menjerit Para pohon jatuh terluka bagaikan tentara hilang nyawanya

(Puisi S3.3.09)

Contoh 8 mencoba menyamakan para pohon jatuh terluka dengan tentara hilang nyawanya. Pada contoh tersebut, penulis menganggap pohon adalah

pahlawan, sehingga pohon yang terluka dan menangis karena ditebang dianggap sebagai pahlawan (manusia) yang hilang nyawanya.

Berdasarkan contoh 7 dan 8, gaya bahasa simile atau persamaan digunakan oleh si pencipta puisi untuk menyamakan suatu gambaran dari kata yang mengapit kata pembanding. Penggunaan gaya bahasa ini juga menunjukkan latar belakang pengetahuan yang dimiliki penulis, karena dari kedua kata yang dibandingkan/disamakan berarti siswa juga memiliki pengetahuan (konsep) yang sama terhadap kedua kata. Selain itu, penulis biasanya sangat mengetahui konsep perumpamaan yang disampaikannya sebelum membandingkan kedua hal tersebut. Inspirasi penulis muncul seketika berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki.

e. Anadiplosis

Berdasarkan data yang diperoleh, gaya bahasa anadiplosis juga banyak ditemukan pada puisi karya siswa. Berikut merupakan contoh gaya bahasa anadiplosis.

Contoh 9) ...

Kita saksikan gunung memompa abu Abu membawa batu

Batu membawa lindu

(Puisi S3.2.17)

Pada contoh 9, kata terakhir abu pada baris pertama menjadi kata pertama di baris kedua, selanjutnya kata terakhir batu pada baris kedua juga menjadi kata pertama baris ketiga. Pada puisi tersebut, penulis bermaksud menjelaskan kata gunung, abu, batu, dan lindu. Kata-kata tersebut memiliki suatu kesatuan yang

berhubungan, pada akhirnya kata pertama gunung akan memiliki hubungan dengan adanya lindu.

Hal tersebut sesuai dengan pengertian gaya bahasa anadiplosis, yaitu kata atau frasa terakhir dari suatu klausa atau kalimat menjadi kata atau frasa pertama dari klausa atau kalimat berikutnya (Keraf, 2007: 128). Gaya bahasa anadiplosis juga memiliki efek keindahan seperti gaya bahasa anafora.

Contoh 10)

Sejukmu yang dulu ku nanti Kini kuharap kau tak hadir hadirmu tuangkan banyak derita derita yang tumbangkan banyak luka

(Puisi S3.1.06)

Contoh 10 hampir sama dengan contoh 9, di sini penulis mencoba menjelaskan harapan, kehadiran, derita, dan luka. Penulis berusaha menjelaskan harapannya dengan menghubungkan makna kehadiran yang pada akhirnya hanya akan menyebabkan banyak luka. Gaya bahasa ini juga membuat isi puisi tak

langsung habis dalam satu kalimat karena banyak penjelasan dan hubungan sebab- akibat dari kalimat yang ingin diutarakan.

Gaya bahasa anadiplosis menunjukkan berapa banyak hal yang ingin disampaikan penulis, bahwa satu hal memiliki hubungan dengan beberapa hal lain. Pada contoh 10, tidak hanya luka yang muncul dari sebuah pengharapan, namun juga derita. Seperti penjelasan sebelumnya, gaya bahasa anadiplosis menunjukkan suatu hubungan dan adanya penjelasan yang panjang ingin diungkapkan penulis.

2. Karakteristik Gaya Bahasa pada Puisi Karya Siswa Berdasarkan Tema Analisis karakteristik gaya bahasa pada puisi karya siswa SMA di Yogyakarta dalam hal ini dikaitkan dengan pemilihan tingkatan tema puisi, masalah yang diangkat, dan isi puisi. Berikut merupakan hasil pembahasan tema, masalah, dan isi (berdasarkan Tabel 3 dan Lampiran 41).

a. Tema Egoik (Psikologis)

Tema ini paling mendominasi puisi siswa karena siswa pada usia SMA mulai melakukan sesuatu pemikiran yang mendalam, dari pemikiran itu pula kadang muncul keinginan untuk bebas mengekspresikan diri atau dengan kata lain mencari jati diri. Beberapa keinginan itu tidak sesuai dengan norma, tidak didukung oleh lingkungan sekitar (guru, orangtua, teman), dan terbatas sarana prasarana (Isi puisi bertema egoik ini dapat dilihat pada Lampiran 41). Berikut merupakan contoh puisi bertema egoik dengan masalah psikologis.

Contoh 11)

Secercah Cahaya

Ranah siluet menjadi saksi Tercetusnya sebuah janji

Mengaharap keajaiban kan kembali Walau tak ada pemikiran yang percaya Hidupku akan ada cahaya

Mereka memandang dari menara

Seolah jati diri yang tak tersaingi (Simile) Hidupku seolah segumpal kabut (Simile) Selalu menusuk di dalam kalbu

Tak berdaya seakan-akan hanya debu

Kapan kau muncul secercah cahaya? (Erotesis) Jika rintik hujan tak kunjung sirna

Apa aku harus tetap menunggu? (Erotesis) Tertunduk sepi di beranda surau

Menangis dengan pikiran kacau Mengharap seseorang kan terpukau

Tak ada yang percaya

Mereka menganggap janji delusi Semacam mimpi tak bersaksi Hanya ekspektasi tak beraksi

Mereka pikir mereka sempurna? (Erotesis) Masa dimana manusia penuh karma (Asonansi) Mereka bukan cahaya kedamaian

Hanya sebatas sinar menyilaukan Membawa luka serta kebutaan

Keputusan terakhir Kujanji kan lahir

Membawa secercah cahaya

Membuktikan diriku sesungguhnya

(Puisi S1.18)

Pada contoh 11 di atas, penulis menyampaikan apa yang sedang ia pikirkan dan rasakan sesungguhnya. Penulis ingin membuktikan kepada orang-

orang yang menganggap remeh dirinya dan membuktikan diri penulis yang sesungguhnya. Hal tersebut sesuai dengan teori Shipley melalui Nurgiyantoro (2012: 81) yang menyatakan bahwa:

Pada tingkatan tema egoik, makhluk individu senantiasa “menuntut” pengakuan atas hak individualitasnya, banyak konflik dan permasalahan yang dihadapi. Masalah tersebut dapat berupa egoisitas, martabat, harga diri, sifat atau sikap tertentu, menunjukkan jati diri, atau sosok kepribadian seseorang.

Tema egoik dengan masalah psikologis juga terkadang merupakan ungkapan batin, hal ini lebih ke perasaan yang ada di dalam batin (jiwa) seseorang. Hal-hal yang muncul dalam batin seseorang dapat berupa emosi yang menggebu-gebu, seperti rasa sesal, marah, kecewa, intropeksi diri, dan pergulatan batin seseorang. Pergulatan batin tersebutlah yang banyak ditemukan pada remaja (siswa SMA) karena merupakan masa-masa pencarian jati diri.

Tema egoik ini paling banyak mendominasi puisi karya siswa SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta selain tema sosial-alam. Berdasarkan hasil analisis puisi tersebut diperoleh pergulatan batin yang sering dirasakan siswa ketika menghadapi suatu peristiwa, khususnya karena domisili Yogyakarta, maka peristiwa yang sering di alami adalah bencana alam. Pergulatan batin yang muncul berupa kesedihan, kekecewaan, dan amarah yang tidak dapat disalurkan kepada oranglain. Perasaan-perasaan tersebutlah yang berkecambuk dalam batin siswa sehingga muncul pula perasaan rendah diri dan intropeksi.

Berdasarkan hasil analisis pada tema egoik-psikologis, gaya bahasa yang sering mendominasi antara lain simile, gaya bahasa repetisi, litotes, erotesis, dan personifikasi. Gaya bahasa personifikasi seperti penjelasan sebelumnya,

bermaksud mewakili si penulis dengan memposisikan diri menjadi benda lain, karena si penulis malu untuk mengungkapkannya secara terus terang ‘dirinya’. Gaya bahasa repetisi menekankan perasaan dalam jiwanya, sedangkan erotesis muncul ketika terjadi ketidakpercayaan atau dorongan batin yang mempertanyakan keadaan, serta litotes muncul pada saat emosi rendah seperti kesedihan, kecewa, dan sesal.

b. Tema Sosial (Cinta Kasih)

Tema sosial juga sering digunakan oleh siswa, karena manusia merupakan makhluk sosial. Siswa SMA merupakan makhluk sosial yang masuk pada usia remaja dan remaja memiliki berbagai macam masalah sosial di masyarakat.

Masalah sosial yang sering muncul berupa masalah ekonomi, politik, pendidikan, kebudayaan, perjuangan, cinta kasih, propaganda, hubungan atasan-bawahan, dan berbagai masalah dan hubungan sosial lainnya yang biasanya muncul dalam karya yang berisi kritik sosial (Shipley melalui Nurgiyantoro, 2012: 81).

Berdasarkan berbagai masalah tersebut, cinta kasih merupakan masalah yang akrab dan paling banyak muncul pada siswa SMA. Siswa paling banyak memilih masalah ini karena pada masa SMA siswa sedang merasakan awal dari jatuh cinta. Siswa akan mulai merasakan suka, berharap, kecewa, bahkan perasaan yang tidak menentu.

Masalah cinta kasih dalam puisi karya siswa digunakan untuk mengutarakan rasa ingin memiliki, berharap, kehilangan, tidak bisa melupakan, tindakan saat jatuh cinta, bahkan kesedihan karena dikecewakan (lihat Lampiran 41). Gaya bahasa yang sering digunakan dalam puisi bertema sosial-cinta kasih

biasanya berupa satire, hiperbola, gaya bahasa repetisi, dan erotesis. Berikut merupakan contoh puisi bertema cinta yang mengandung gaya bahasa tersebut.

Contoh 12)

Salah Siapa?

Tidak.

Aku tidak tahu siapa pelakunya

Aku tidak tahu siapa korbannya (Anafora) Lantas mengapa kita harus berbeda arah?

Bukankah manusia diciptakan berpasangan? (Erotesis) Mungkin ini salahku, yang terlalu berharap

Terlalu dalam hingga tak tahu bagaimana kembali ke atas Terlalu dalam hingga tak sadar (Anafora)

Bahwa apa yang kuharap hanyalah bayangan (Satire) Salahkah aku terbang terlalu tinggi udara? (Erotesis) Udara yang tentu saja, kau yang memberikannya

Membuatku hanyut dalam semilir angin yang menyenangkan Lantas salah siapa? (Erotesis)

Aku yang terlalu hanyut,

Aku yang terlalu tinggi terbang di atas sana? (Anafora dan Erotesis) Ataukah kamu? (Erotesis)

Kamu yang memberiku udara,

Dan membawaku terbang tinggi ke atas sana (Hiperbola) Tanpa menyadari bahwa sesungguhnya

Udara itu menjatuhkanku hingga tenggelam terlalu dalam (Satire) Lantas salah siapa? (Erotesis)

(Puisi S2.15)

Karakteristik gaya bahasa pada puisi bertema sosial dengan masalah cinta kasih di atas menggunakan gaya bahasa yang sesuai dengan isi yang ingin penulis ungkapkan. Cinta bagi remaja (khususnya) penuh dengan penekanan atau jiwa menggebu yang disampaikan lewat gaya bahasa repetisi, penuh tanda tanya (disampaikan dengan erotesis), dianggap berlebihan (menggunakan hiperbola), sehingga kadang menimbulkan perasaan pilu ketika tidak sesuai dengan keinginan (menggunakan satire).

c. Tema Sosial (Alam)

Tema sosial berikutnya yang mendominasi adalah masalah alam. Berikut merupakan contoh tema sosial dengan pemilihan masalah alam.

Contoh 13)

Hutan

Gunung dan bukit menjulang Menyimpan hutan yang lebat Pohon-pohon besar yang hijau Terpelihara dengan kasih sayang

Sekarang ,hijau dan sejukmu mulai terusik Tangan - tangan jahat manusia menebangimu Satu demi satu pohon ditebang

Satu persatu hewan berlarian dari hutan (Anafora)

Air mengalir menjadi banjir

Bencana demi bencana mulai berdatangan

Humus terkikis satwa menangis (Aliterasi) (Personifikasi) Penebang hutan tersenyum lebar

Wahai anak-anak bangsa

Pekalah terhadap alam sekitarmu Dengan memberantas penebang liar Yang perkaya diri dengan merusak alam

(Puisi S3.2.18)

Pada contoh 13, tema sosial menunjukkan adanya interaksi manusia dengan alam sekitarnya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Shipley melalui Nurgiyantoro (2012: 81) bahwa:

Pada tingkatan tema sosial, makhluk sosial memiliki kehidupan bermasyarakat, yang merupakan aksi-interaksinya manusia dengan sesama dan dengan lingkungan alam, mengandung masalah, konflik, dan sebagainya.

Masalah alam yang terjadi yakni adanya perusakan lingkungan oleh manusia. Penulis lewat isi puisinya mengajak pembaca untuk peka terhadap apa yang terjadi dan mengajak memberantas penebang liar yang selalu merusak alam (lihat Lampiran 41). Karakteristik gaya bahasa yang mendominasi adalah personifikasi dan gaya bahasa repetisi.

Gaya bahasa yang paling mendominasi adalah personifikasi, karena penulis lebih banyak menggunakan sudut pandang alam (bukan manusia) yang seolah-olah melakukan interaksi balik seperti manusia untuk menanggapi tingkah laku manusia. Gaya bahasa satire, ironi, sinisme, sarkasme terkadang juga muncul untuk melakukan kritik sosial terhadap tingkah laku manusia kepada alam.

d. Tema Ketuhanan (Keyakinan)

Tema ketuhanan dengan masalah keyakinan juga banyak ditemui pada puisi karya siswa. Pada puisi ini penulis lebih menekankan pada keyakinannya akan kebesaran Tuhan dan keyakinan memeluk suatu agama (lihat isi pada Lampiran 41). Berikut merupakan contoh tema ketuhanan yang menekankan pada keyakinannya akan kebesaran Tuhan.

Contoh 14)

Kuasa Tuhan

Ketika bumi Kau goyahkan Lautan Kau muntahkan Badai angin Kau luapkan

Bukti kekuasaan juga ada kebesaran Wahai Tuhan Semesta alam

Gunung-gunung merontak (Personifikasi)

Menggetarkan, memuntahkan dahak (Personifikasi) Meluluhlantahkan semua ini

Bukti Kau Maha Kuasa, Tuhan Ketika Kau porakporandakan Seisi lautan Kau tumpahkan airnya

Bumi yang menggoyangkan perutnya (Personifikasi) Dan keberadaan tanda kebesaran-Mu

Wahai Tuhan ....

(Puisi S3.3.02)

Pada contoh 14, penulis lebih banyak berinteraksi dengan Tuhan lewat pemilihan diksi Kau dan Wahai Tuhan. Pada puisi tersebut terlihat juga bagaimana penulis meyakini akan keberadaan Tuhan dan mengakui kebesaran Tuhan yang terlihat dari bencana yang penulis alami. Bencana yang disampaikan pada puisi tersebut hanyalah media yang menunjukkan isi hati penulis sebenarnya. Penulis tidak menekankan pada pergulatan batin seperti pembahasan sebelumnya, namun penulis pada puisi ini menunjukkan keyakinannya bahwa ada Tuhan di balik setiap kejadian.

Berikut merupakan contoh tema ketuhanan dengan pembahasan tentang keyakinan terhadap suatu agama.

Contoh 15)

Kontrak Darah dan Sejarah (Parabel)

Menjamurlah legenda

yang tetap renyah ditelan dan enak dicerna Semesta menyuguhkan saga

Tentang Tuhan, tentang utusan, tentang insan (Katabasis) Telah kudapati becercah kisah uzur tentang

sepasang kekasih yang enyah dari surga demi sebuah hukuman, (Epitet)

pria bertongkat yang membelah segara (Epitet)

jabang bayi yang berkutbah tentang kebenaran, (Epitet) dan pesuruh terakhir yang mampu (Epitet)

Telah kudapati tokoh dari kisah serupa, yaitu

api yang membisik batin sepadang insan agar jadi pendosa, (Epitet) raja yang minta disembah dan tewas di telan segara, (Epitet)

perburuan utusan yang dirasa memanipulasi,

dan orang-orang yang berkelit akan sebuah paham (Epitet) “Maka, mana pihak yang benar, Ayah?”

seorang anak mempersoalkannya si Ayah menyahut apa yang ia percayai,

“Sepasang insan, pria bertongkat, jabang bayi, dan pesuruh terakhir,”

Anak itu pun mafhum

Dokumen terkait