• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PENELITIAN

5.2. Pembahasan

Lebih tingi dari hasil WHO, jumlah pasien TB di BP4 Medan dari golongan usia produktif (17-59 tahun) lebih banyak yaitu 98,5%, dibandingkan usia nonproduktif ( >60 tahun) yang hanya memiliki persentase 1,5%. Hasil ini lebih tinggi dari hasil WHO yang memperkirakan 95% penderita TB di negara berkembang, dan lebih dari 70% berada pada usia produktif (15-54 tahun) (Depkes RI,2010). Keadaan ini diduga ada hubungannya dengan tingkat aktivitas dan pekerjaan sebagai tenaga kerja produktif yang memungkinkan untuk mudah tetular dengan kuman TB setiap saat dari penderita, khususnya dengan BTA positif. TB primer terjadi pada masa anak-anak namun sebagian besar penderita akan menunjukkan gejala klinis setelah memasuki usia produktif.Sebagai penderita, mereka akan kehilangan masa produktivitasnya sekitar 3-4 bulan kerja atau setara dengan 20% - 30% pendapatan keluarga setahun. Dampaknya adalah tergangunya situasi ekonomi penderita dan keluarga (Triawanti, 2005).

Lebih dari setengah pasien TB di BP4 Medan adalah pria (63,2%). Keadaan ini diduga karena adanya perbedaan aktivitas luar rumah, terutama untuk bekerja, sosialisasi kemasyarakatan antara pria dan wanita. Data ini sejalan dengan penelitian lainnya (Amin, 2006), yaitu angka kejadian TB paru cendrung lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan yaitu berkisar antara 1,5-2 kali.

Mayoritas pasien TB di BP4 Medan adalah Islam (51,5%) dan Kristen (48,5%). Tidak didapati adanya pasien yang beragama Hindu atau Buddha. Hal ini diduga dikarenakan masyarakat di Sumatra Utara khususnya Medan mayoritas menganut agama Islam (65,45%) dan Kristen ( Khatolik dan Protestan, 31,40%) (Diskominfo, 2010). Tidak jelas apa yang menjadi penyebab tidak didapatinya pasien TB yang beragama Hindu ataupun Buddha di BP4 Medan. Mungkin dikarenakan yang beragama Hindu atau Buddha banyak berasal dari etnis India dan China yang lebih banyak memilih pengobatan ke rumah sakit swasta. Hal lain yang dapat menyebabkan hal tersebut mungkin juga berhubungan dengan lokasi BP4 yang berada di pinggir kota Medan, sehingga komunitas Hindu dan Buddha tak mengunjunginya.

Suku Batak lebih banyak mengunjungi BP4 Medan (67,6%). Pasien dengan suku Melayu memiliki persentase terendah (7,4%). Hal ini sejalan dengan laporan yang mengatakan lebih dari setengah masyarakat di daerah Sumatera Utara adalah suku Batak (51,11%), dan suku Melayu (5,86%) sebagai suku asli di Sumatera Utara. Sedangkan suku Jawa (25%) yang merupakan suku pendatang datang memiliki persentase lebih tinggi dibandingkan suku Melayu pada penelitian ini, dan (33,40%) pada laporan sebelumnya (Diskominfo, 2010).

Berat badan pasien TB selama pengobatan DOTS paling banyak berasal dari kelompok >40-55 kg dan >55-70 kg, sedangkan berat badan pasien yang paling sedikit yaitu 25-40 kg. Dengan rata-rata berat badan pada awal pengobatan adalah 46,8 kg, setelah 2 bulan pengobatan 48,5, setelah pengobatan 4 bulan 50,0 kg, dan setelah pengobatan 6 bulan 50,5 kg, maka terdapat peningkatan berat badan pada pasien TB sebelum dan sesudah diberi pengobatan DOTS. Laporan hasil penelitian lain menyatakan berat badan rata-rata penderita TB paru yang menjalani pengobatan pada RS. Ciptomangunkusuma, RS.St.Corolus dan Puskesmas Jatinegara, Jakarta tahun 1989-1993 sebesar 47 kg. Selanjutnya dilaporkan pula kematian penderita TB paru lebih sering pada berat badan dibawah 40 kg (Triawanti, 2005).

Gambaran perubahan berat badan pasien TB selama pengobatan DOTS terlihat lebih banyak mengalami peningkatan berat badan. Peningkatan berat badan lebih banyak terjadi dari bulan ke-2 sampai bulan ke-4 pengobatan DOTS (Evaluasi 2) (75%) dibandingkan pada masa intensif, yaitu dari awal pengobatan sampai bulan ke-2 pengobatan DOTS (Evaluasi 1) (67,6%). Sedangkan pasien yang mengalami penurunan berat badan selama pengobatan DOTS hanya 1 sampai 2 orang saja. Terjadinya peningkatan berat badan ini diduga karena ada pengaruh tidak langsung dari pengobatan OAT pada penderita TB yaitu karena adanya kesempatan tubuh untuk memperbaiki daya tahan tubuh setelah sebagian besar populasi basil TB (90%) terbunuh pada beberapa hari pertama pengobatan (Depkes RI, 2002). Menurut Triawanti (2005), kemampuan efektivitas OAT dibuktikan dengan penderita menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 mingggu dan sebagian besar penderita menjadi negatif pada akhir pengobatan

intensif. Di antara perbaikan klinis adalah peningkatan nafsu makan pada minggu- minggu pertama setelah pengobatan dikarenakan kuman penginfeksi telah banyak yang mati atau lumpuh, sehingga tubuh berkesempatan memeperbaiki sel-sel yang rusak akibat proses peningkatan metabolit dan konsumsi O2. Peningkatan nafsu makan inilah yang berdampak terhadap peningkatan berat badan. Tidak dapat ditentukan penyebab adanya penurunan berat badan pasien TB selama evaluasi pengobatan DOTS, namun salah satu faktor kemiskinan pada pasien TB menyebabkan mereka tidak sanggup meningkatkan daya tahan tubuh, makanan yang tidak mencukupi dan kurang gizi, tidak sanggup membeli obat yang seharusnya dikonsumsi secara rutin dan juga karena kemiskinan mengharuskan mereka bekerja keras (secara fisik), sehingga kondisi ini mempersulit proses penyembuhan penyakit TB Paru yang diderita (Yunus, 1992).

Rentang kenaikan berat badan paling banyak pada pasien TB adalah 1-5 kg. Namun, dari bulan ke-4 sampai bulan ke-6 pengobatan DOTS (Evaluasi 3) didapatkan angka kenaikan berat badan <1 kg atau bahkan tidak didapatkan adanya kenaikan berat badan yang terjadi. Rata-rata kenaikan berat badan yang terjadi pada awal pengobatan sampai bulan ke-2 pengobatan DOTS (Evaluasi 1) adalah 1,7 kg, dari bulan ke-2 sampai bulan ke-4 pengobatan DOTS (Evaluasi 2) adalah 1,5 kg, dan dari bulan ke-4 sampai bulan ke-6 pengobatan DOTS (Evaluasi 3) adalah 0,5 kg. Dengan demikian, kenaikan berat badan terjadi lebih banyak selama pengobatan masa intensif (Evaluasi 1) yaitu pada kelompok kenaikan berat badan >5 kg sebesar 7,4% dibandingkan pada masa lanjutan (Evaluasi 2 dan 3). Sedangkan untuk rata-rata keseluruhan besar kenaikan berat badan pasien TB dai awal pengobatan sampai selesai pengobatan DOTS adalah 3,7 kg dengan rentang kenaikan -1 sampai 16 kg. Hasil ini hampir sama dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan rata-rata kenaikan berat badan pasien sebelum sampai selesai pengobatan DOTS adalah sebesar 3,34 kg dengan rentang kenaikan -4 sampai 20 kg (Vasantha, 2008).

Didapatkankan kenaikan berat badan pasien TB selama pengobatan DOTS lebih banyak ≤ 5% pada setiap evaluasi per 2 bulan, yaitu 73,5% pada evaluasi 1, 80,9% pada evaluasi 2, dan 89,7% pada evaluasi 3. Sedangkan untuk kenaikan

berat badan > 5% paling banyak ditemukan pada evaluasi 1 yaitu 26,5% dari 68 orang pasien TB. Menurut Khan (2008), pasien TB yang memiliki berat badan yang rendah saat diagnosis, kemudian mengalami kenaikan berat badan sebesar ≤ 5%, selama dua bulan pertama pengobatan (terapi masa intensif) memiliki peningkatan risiko kekambuhan penyakit secara signifikan. Namun pada penelitian ini terdapat keterbatasan dimana peneliti tidak dapat menentukan staus gizi dari pasien TB tersebut, hal ini diakibatkan karena tidak lengkapnya informasi mengenai tinggi badan pasien pada instrumen rekam medik. Sedangkan tinggi badan menjadi hal yang penting untuk menentukan indeks masa tubuh seseorang, yang nantinya dapat dijadikan pedoman dalam menentukan status gizi seseorang.

Dokumen terkait