• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdasarkan hasil analisis pengumpulan data menggunakan

observasi dan wawancara, diketahui determinan perilaku nyumbang di masyarakat Sekaran, Gunungpati. Determinan perilaku nyumbang

tersebut merujuk pada TRA (theory of reasoned action) yang dikembangkan oleh Fishbein & Ajzen. Menurut Fishbein dan Ajzen

pembentukkan perilaku seseorang tidak dilakukan secara tiba-tiba tetapi

didasari oleh adanya pertimbangan-pertimbangan tertentu.

Merujuk pada TRA yang dikembangkan oleh Fishbein dan Ajzen,

terdapat keyakinan-keyakinan tertentu dalam diri setiap individu.

Keyakinan-keyakinan ini diantara harapan akan hasil dan nilai akan hasil

yang ditunjukan melalui sikap yang mengarah pada perilaku, keyakinan

normatif dan motivasi untuk mengikuti ditunjukan dengan norma-norma

subyektif. Kedua komponen sikap dan norma-norma subyektif ini

berinteraksi menjadi determinan bagi intensi seseorang yang nantinya

akan menentukan apakah perilaku yang bersangkutan akan dilakukan

atau tidak. Dengan demikian, pada dasarnya intensi berkaitan dengan

pengetahuan (belief) seseorang terhadap sesuatu hal, sikapnya pada hal itu, serta perilaku itu sendiri sebagai perwujudan nyata dari intensinya

(Ancok, dalam Dayakisni & Hudaniah, 2009).

Berkaitan dengan penjelasan mengenai keyakinan-keyakinan dalam

diri individu serta dua komponen independen yang berkontribusi dalam

101

dapat diketahui adanya determinan perilaku nyumbang di masyarakat Sekaran. Determinan tersebut diantaranya: harapan akan hasil subyek

pada kegiatan nyumbang (timbalbalik, ibadah, tidak merasa malu dan mengikuti jejak arus di masyarakat). Nilai akan hasil subyek pada

kegiatan nyumbang (keadilan, tidak diremehkan orang lain, gengsi, mendapat banyak teman, mendapatkan balasan rejeki dari Tuhan,

merasa lega, menjaga Jiwa tetap seimbang dan mendapatkan

ketenangan hidup), dan sikap subyek pada kegiatan nyumbang.

Faktor lain yang turut memengaruhi individu nyumbang yaitu adanya keyakinan normatif dan motivasi subyek untuk mengikuti nyumbang.

Keyakinan-keyakinan normatif dan motivasi tersebut diperoleh dari

orang-orang penting di sekitar subyek yang mendukung subyek untuk

nyumbang. Mereka adalah istri, pak kyai, nenek, tetangga, masyarakat dan teman-teman PKK.

Adanya keyakinan normatif dan motivasi untuk mengikuti nyumbang,

menyebabkan subyek memiliki norma subyektif pada kegiatan

nyumbang. Faktor berikutnya yang berkontribusi dalam memengaruhi perilaku nyumbang subyek adalah intensi subyek untuk nyumbang.

Intensi inilah yang menentukan perilaku nyumbang subyek diwujudkan atau tidak.

Adapun penjelasan dari determinan di atas, dapat dijelaskan sebagai

berikut: harapan untuk timbalbalik, harapan tersebut terdapat pada

102

bahwa pada kegiatan nyumbang di masyarakat didasari oleh keinginan untuk timbalbalik. Timbalbalik yang diharapkan dalam nyumbang

memiliki dua ketentuan. Pertama yakni proporsional atau sebanding,

ketentuan ini berlaku untuk sumbangan pertama pada orang yang dulu

pernah menyumbangnya. Bagi individu yang pernah menerima

sumbangan, ketentuan ini wajib dilakukan. Kedua, sesuai kemampuan.

Ketentuan ini berlaku bagi individu yang belum berkeluarga, sudah

berkeluarga namun belum pernah disumbang atau pun untuk

sumbangan berikutnya bagi meraka yang sudah berkeluarga, setelah

memenuhi ketentuan pertama.

Mauss (1966) berpendapat bahwa hadiah tidak akan pernah menjadi

gratis, tanpa ada kewajiban untuk mengembalikannya, inilah yang

dinamakan potlatch atau pertukaran hadiah. Homans (dalam Shaw & Costanzo, 1982) mengemukakan bahwa ketika dua orang dalam

berinteraksi melakukan pertukaran, salah satunya mungkin untuk

memberikan hadiah atau hukuman pada yang lain, hal ini disebabkan

karena mereka merasa puas atau kecewa pada orang lain. Orang Jawa

pada umumnya sangat menyadari akan kegunaan material dari

hubungan baik dan tuntutan atas timbalbalik. Kalau orang tolong

menolong orang-orang lain, ia akan mendapat pertolongan (Mulder,

1996).

Timbalbalik dalam budaya Jawa merupakan bagian dari upaya untuk

103

tenang dan tentram, tanpa perselisihan dan pertentangan, bersatu dalam

maksud untuk saling membantu (Suseno, 1996). Melalui harapan

timbalbalik ini, diharapkan masyarakat untuk bisa gotong royong, saling

tolong menolong, saling memberi dan menerima. Karena pada dasarnya

tradisi nyumbang sebagian besar dipandang sebagai kegiatan membantu satu sama lain di masyarakat desa. Melalui tradisi ini

solidaritas di bangun (Lestari, 2014). Sebagai orang Jawa, orang perlu

saling ingat pada keberadaan yang lain, untuk mengetahui

harapan-harapan mereka satu sama lain, saling memperlakukan dengan

tenggang-menenggang dan rasa hormat, dan mematuhi asas timbalbalik

dalam berhubungan satu sama lain sebagai usaha sadar supaya yang

lain dapat didekati (Mulder, 1996).

Ketiga subyek juga menyadari bahwa hubungan timbalbalik dalam

nyumbang bukan semata-mata didasarkan pada keingin masing-masing individu, melainkan suatu kewajiban. Bagi subyek MTH yang sudah

pernah menerima sumbangan pada waktu menikahkan putrinya,

menganggap bahwa nyumbangnya saat ini merupakan bentuk rasa terimakasih pada orang-orang yang sudah menyumbangnya dulu. Oleh

karena itu, subyek MTH merasa memiliki kewajiban untuk hadir

nyumbang.

Bagi subyek K dan M yang juga memiliki pengalaman

menyelenggarakan hajatan, kegiatan nyumbang yang dilakukannya saat ini sebagai upaya nyaur utang (membayar hutang) pada orang-orang

104

yang sudah menyumbangnya dulu. Nyaur utang yang diyakini kedua subyek tersebut sebagai suatu kewajiban, tidak boleh di wah-wah

(dikurangi) dan tidak bisa ditawar. Mulder (1996) menyebutkan bahwa

hubungan timbalbalik memberi dan menerima pada dasarnya bersifat

horizontal, berdasarkan kontrak, sukarela dan berpasangan.

Dengan demikian, merujuk pada TRA harapan untuk timbalbalik

merupakan salah satu determinan perilaku nyumbang di masyarakat Sekaran.

Harapan untuk ibadah, terdapat pada subyek K. Bagi subyek K

yang memiliki pengalaman nyumbang ataupun di sumbang, kegiatan

nyumbang yang dilakukannya tersebut tidak hanya semata-mata bentuk timbalbalik tetapi juga merupakan bentuk ibadah kepada Tuhan-Nya.

Nyumbang bagi subyek tidak hanya sekedar untuk mencari untung belaka. Tetapi menjadi jalan untuk beribadah kepada TuhanNya.

Merujuk pada TRA yang dikembangkan Fishbein & Ajzen, harapan akan

hasil subyek nyumbang untuk ibadah termasuk menjadi salah satu determinan subyek untuk nyumbang.

Harapan supaya tidak merasa malu (isin), terdapat pada subyek

MTH dan K. Bagi kedua subyek, rasa malu akan muncul jika mereka

tidak bisa nyumbang pada orang lain, khususnya pada orang yang mereka kenal dengan baik, seperti tetangga dekatnya. Sedangkan pada

105

Malu (isin) ialah suatu tanggapan syak wasangka yang ruwet, bukan saja terkandung rasa takut tetapi juga suatu rasa harga diri yang dirasa

rendah, dan hanya berkenaan dengan ketidakpastian sosial dan yang

paling lazim berkenaan dengan jarak sosial termasuk jarak yang

ditimpakan sendiri karena adanya pelanggaran sosial (Geetz, 1983).

Bagi kedua subyek yang sama-sama bekerja sebagai pedagang, hal

tersebut membuat intensitas bertemu banyak orang menjadi tinggi.

Kedua subyek juga termasuk warga yang aktif dalam berbagai kegiatan

di masyarakat, seperti menghadiri slametan, takziyah, menjenguk orang sakit dan sebagainya. Ha itu semakin membuat peluang keduanya

bertemu orang lain semakin tinggi. Itulah sebabnya kegiatan nyumbang

memiliki arti penting bagi kedua subyek yaitu supaya mereka tidak

merasa malu jika berhadapan dengan orang lain.

Mulder (1996) berpendapat sebagai orang Jawa yang baik pada

umumnya dilukiskan sebagai seorang yang mengenal rasa malu dan

kuatir akan pandangan orang-orang lain. Dengan demikian, merujuka

para TRA harapan nyumbang supaya membuat subyek tidak merasa malu ketika bertemu dengan orang lain menjadi determinan perilaku

nyumbang subyek yang berikutnya.

Harapan untuk mengikuti jejak arus di masyarakat, harapan ini

ada pada subyek MTH. Bagi subyek MTH, salah satu cara menjadi warga

yang baik adalah dengan mengikuti jejak arus (umumme) yang ada di masyarakat, tak terkecuali dalam urusan nyumbang. Jejak arus yang

106

dimaksud berkaitan dengan segala macam aturan yang ada di

masyarakat, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, seperti misalnya jika

ada tetangga yang hajatan, tetangga lain harus ikut membantu.

Subyek MTH secara tidak langsung sudah melakukan konformitas

pada aturan-aturan yang disusun oleh masyarakat sekitar. Secara tidak

langsung subyek MTH juga menyetujui adanya kepatuhan pada aturan

tersebut. Mulder (1996) berpendapat dalam budaya Jawa, manusia

tidaklah sendirian melainkan merupakan bagian yang tidak dapat

terpisah dari kelompoknya. Orang Jawa sadar sekali bahwa mereka

merupakan satu masyarakat dan bahwa mereka harus saling menolong.

Selain itu, bagi orang Jawa berkorban bagi keharmonisan sosial akan

mendatangkan imbalan-imbalan yang paling tinggi (Soemardjan dalam

Mulder, 1983).

Banyak penelitian lintas budaya, terutama pada budaya-budaya

Asia, mengindikasikan bahwa orang dari budaya lain tidak hanya

berbeda dalam hal tingkat perilaku konformitas, tunduk dan patuh

mereka, tapi juga dalam hal adanya penghargaan yang lebih tinggi

terhadap konformitas (Matsumoto, 2008).

Berdasarkan penjelasan di atas mengenai harapan akan hasil dari

nyumbang, Fishbein & Ajzen (1975) menjelaskan bahwa orang biasanya cenderung memiliki lebih banyak informasi tentang hal-hal yang penting

bagi mereka, mereka cenderung lebih yakin dan memiliki keyakinan lebih

107

Berikutnya, Nilai akan hasil dari nyumbang: keadilan, tidak

diremehkan orang lain, mendapatkan banyak teman dan gengsi,

nilai akan hasil ini terdapat pada semua subyek. Nilai akan hasil tersebut

merupakan hasil evaluasi terhadap harapan akan hasil timbalbalik di

atas. Timbalbalik menjadi hal yang penting bagi ketiga subyek. Bagi

subyek MTH, dirinya berkeyakinan jika bisa melaksanakan timbalbalik,

maka akan mendapatkan dua keuntungan sekaligus yaitu keadilan dan

tidak diremehkan orang lain. Camerer (dalam Lestari, 2014) berpendapat

bahwa pemberian hadiah dapat menjadi “sinyal ekonomi” dan “simbol

sosial”.

Secara ekonomi, keadilan mengarah pada keinginan terciptanya

kondisi yang sama-sama diuntungkan. Melalui proses timbalbalik dalam

nyumbang, subyek MTH bisa mendapatkan keadilan. Keadilan bagi subyek MTH artinya yaitu jika orang pernah disumbang, maka orang itu

memiliki kewajiban untuk menyumbang kembali. Adanya nilai akan hasil

ini membuat subyek MTH merasa tidak bisa melupakan kebaikan yang

dilakukan orang-orang yang sudah menyumbangnya dulu. Mulder (1996)

berpendapat bahwa orang pada umumnya sangat menyadari akan

kegunaan material dari hubungan baik dan tuntutan atas timbalbalik.

Kalau orang tolong menolong orang-orang lain, ia akan mendapat

pertolongan (Mulder, 1996).

Selain keadilan, nilai akan hasil dari nyumbang yang diyakini subyek MTH yaitu tidak diremehkan orang lain. Secara psikologis nilai ini

108

berkaitan dengan harga diri. Nilai akan hasil ini juga berkaitan dengan

eksistensi subyek MTH di masyarakat yang ingin diakui.

Gagasan Indonesia mengenai harga diri dapat disamakan dengan

praja dalam bahasa Jawa, yakni martabat yang diperoleh dari kedudukan status (pangkat) seseorang. Mulder (1996) mengemukakan bahwa

menjadi seorang terpandang dan menerima kehormatan tergantung

pada usaha pribadi seseorang dan mewajibkan ia untuk berbuat sesuai

dengan harapan-harapan yang dibawa statusnya.

Berbeda dengan subyek MTH, bagi subyek K pentingnya harapan

untuk timbalbalik yaitu dirinya bisa mendapatkan banyak teman. Memiliki

banyak teman dinilai sebagai hal yang penting bagi subyek K. Dirinya

merasa senang jika memiliki banyak teman. Melalui nyumbang, subyek K bisa bertemu dengan orang-orang baru, yang sebelumnya tidak ia

kenal. Di usia subyek K saat ini yang masuk kategori lanjut usia, bisa

mendapatkan banyak teman merupakan hal yang membanggakan.

Sedangkan bagi subyek M, melakukan timbalbalik merupakan hal

yang penting, karena dengan melakukan itu, dirinya akan mendapatkan

gengsi. Bagi subyek M lebih baik menjaga gengsi daripada harus

menanggung malu karena tidak sanggup nyumbang. Secara psikologis, gengsi merupakan ketakutan individu akan jatuhnya harga diri. Demi bisa

mendapatkan gengsinya, subyek M akan melakukan apapun supaya

bisa nyumbang. seperti misal menabung atau meminjam uang pada anak laki-lakinya.

109

Merujuk pada TRA nilai akan hasil dari nyumbang yakni keadilan, tidak diremehkan orang lain, mendapatkan banyak teman dan gengsi

menjadi salah satu determinan subyek untuk nyumbang. Sebagaimana dikemukakan Mauss (1966) dua elemen dalam potlatch (pertukaran hadiah) yaitu kehormatan, gengsi, atau mana (kekayaan yang diberikan) dan kewajiban mutlak untuk mengembalikan.

Nilai akan hasil dari nyumbang: mendapat balasan rejeki dari

Tuhan, nilai akan hasil ini terdapat pada subyek K. Bagi subyek K

harapan melakukan nyumbang untuk ibadah merupakan hal yang penting. Karena dengan begitu subyek K akan mendapatkan balasan

rejeki dari Tuhan.

Rejeki yang dimaksud bisa berupa materi, bisa juga berupa

nonmateri. Subyek K meyakini kalau rejeki itu hanya menjadi rahasia

Tuhan. Tidak ada satu pun manusia yang tahu tentang rejeki yang akan

diberikan Tuhan. Soedjonoredjo (dalam Purwadi, 2005) berpendapat

bahwa berbuat baik itu besar manfaatnya untuk yang menjalankannya.

Dalam pandangan orang Jawa, tatanan alam dan masyarakat sudah

ditentukan dalam segala seginya. Manusia individual masing-masing

dalam struktur keseluruhan itu hanyak memainkan peranan yang kecil

(Suseno, 1996). Selain itu, orang Jawa percaya pada hukum karma (sisa

pengaruh agama Budha) melaui ungkapan sapa gawe ganggo, sapa nandur ngundhuh (siapa membuat akan memakai dan siapan menanam

110

akan memetik hasilnya), maksudnya setiap perbuatan baik tentu akan

menghasilkan kebaikan begitu pula sebaliknya (Herusatoto, 2001).

Dengan demikian, merujuk pada TRA nilai akan hasil dari nyumbang

yakni mendapatkan mendapatkan balasan rejeki dari Tuhan termasuk

salah satu determinan subyek untuk nyumbang.

Nilai akan hasil: Merasa lega, menjaga Jiwa tetap seimbang, nilai

ini terdapat pada subyek MTH dan subyek K. Bagi kedua subyek harapan

dari nyumbang supaya tidak merasa malu dan serba enak pada orang lain merupakan hal yang penting. Karena jika harapan tersebut tercapai,

bagi subyek MTH, itu akan menjaga jiwanya tetap seimbang. Sedangkan

bagi subyek K, dia akan merasa lega. Kondisi jiwa tetap seimbang dan

perasaan lega ini menjadi nilai akan hasil dari nyumbang.

Kondisi jiwa yang seimbang dan perasaan lega mengarah pada

kondisi jiwa yang selaras, serasi dan seimbang berkaitan dengan kondisi

sosial yang ada. Dengan kata lain, kondisi jiwa yang seimbang dan lega

sama artinya keinginan individu untuk bisa hidup rukun di masyarakat.

Rukun berati “berada dalam keadaan selaras”, “tenang dan tentram”, “tanpa perselisihan dan pertentangan”, “bersatu dalam maksud untuk saling membantu” (Suseno, 1996).

Mulder (1996) mengemukakan untuk dapat menikmati hidup rukun,

orang harus belajar menguasai emosi-emosi sambil mengikuti aliran

masyarakat (ngeli), menanamkan ketahanan (sabar), rendah hati (andhap asor), dan kemampuan untuk menerima kemalangan dengan

111

anggun dengan harapan akan mengalami hari esok yang lebih baik

(nrima).

Nilai akan hasil: mendapatkan ketenangan hidup, terdapat pada

subyek MTH. Subyek MTH meyakini bahwa jika dirinya bisa mengikuti

jejak arus di masyarakat, dia akan mendapatkan ketenangan dalam

hidupnya. Ketenangan hidup inilah yang dianggap nilai penting bagi

subyek MTH. Menurut subyek MTH ketenangan hidup ini tidak hanya

didapatkan dari masyarakat tetapi juga dari Tuhan. Sebagaimana

dijelaskan Mulder (1986) bahwa orang-orang yang menaati

peraturan-peraturan itu hidup selaras dalam dan dengan hidup, dengan Allah dan

menjalankan hidup yang benar. Mulder (1983) juga menambahkan

menjadi orang Jawa harus bisa mengendalikan diri dan berkelakuan

baik. Bila ia melakukan itu, ia akan memperoleh rasa aman dalam

kehidupannya bermasyarakat. Merujuk pada TRA yang dikembangkan

Fishbein & Ajzen, nilai akan hasil dari nyumbang yakni mendapatkan ketenangan hidup menjadi salah satu determinan subyek untuk

nyumbang.

Sikap subyek pada kegiatan nyumbang. Adanya harapan akan

hasil dan nilai akan hasil pada masing-masing subyek dalam kegiatan

berpengaruh pada sikap masing-masing subyek terhadap kegiatan

nyumbang tersebut. Secara umum sikap semua subyek pada kegiatan

nyumbang cenderung positif. Dilihat dari segi afeksi, masing-masing subyek memiliki perasaan yang berbeda-beda. Mulai dari perasaan tidak

112

senang, biasa saja sampai merasa senang. Rasa tidak senang muncul

jika subyek tidak memiliki modal untuk nyumbang. sebaliknya perasaan senang akan muncul jika subyek sudah memiliki modal untuk nyumbang.

sedangkan perasaan biasa muncul karena nyumbang sudah menjadi tradisi turun temurun di Sekaran.

Dilihat dari segi kognitif, subyek MTH dan K memiliki pemikiran yang

sama bahwa nyumbang bisa meningkatkan kerukunan dan

menghilangkan rasa malu serta tidak enak pada tetangga. Bagi subyek

M nyumbang bisa mengurangi beban mengembalikan sumbangan yang sebelumnya pernah diterima. Dilihat dari segi konasi, ketiganya memiliki

perasaan senang untuk datang nyumbang.

Menurut TRA yang dikemukakan Fishbein & Ajzen (1975), sikap

seseorang yang mengarah pada objek merupakan fungsi dari belief

tentang atribut dari objek dan evaluasinya pada atribut tersebut.

Orang-orang penting yang berada di sekitar subyek yakni istri

subyek, pak kyai, nenek, tetangga, masyarakat dan teman-teman

PKK. Mereka adalah orang-orang penting yang ada dalam hidup

masing-masing subyek dalam hal nyumbang. Mereka ingin supaya subyek bisa datang nyumbang. Mereka juga sangat mendukung dan menerima keputusan subyek untuk nyumbang. Fishbein & Ajzen (1975) menyebutkan bahwa terdapat satu atau lebih orang penting yang dapat

menjadi norma subyektif bagi individu. Secara umum norma subyektif

113

Dari beberapa orang penting tersebut, masing-masing subyek

memiliki keyakinan normatif yang berbeda-beda tentang nyumbang

sekaligus motivasi untuk mengikuti nyumbang. Keyakinan normatif

sendiri menurut Fishbein & Ajzen (1975, 314-315) merupakan hasil dari

proses penyimpulan. Keyakinan normatif tersebut berkaitan dengan

persepsi pada sikap referens pada perilaku.

Bagi subyek MTH orang-orang penting yang memengaruhinya

nyumbang adalah istrinya dan masyarakat di sekitarnya. Alasan subyek MTH mengganggap istrinya orang yang penting dalam hidupnya adalah

karena menurut subyek istrinya merupakan orang yang rajin nyumbang

dan aktif dalam mengikuti berbagai kegiatan di masyarakat. Sedangkan

berkaitan dengan masyarakat, menurut subyek MTH masyarakat adalah

pihak yang bisa dimintakan bantuan ketika dirinya mengalami masalah

atau pun kondisi yang tidak mengenakan.

Anjuran yang diberikan orang penting pada subyek MTH pun turut

memberikan pengaruh subyek untuk nyumbang. Melalui istrinya, subyek MTH meyakini bahwa nyumbang adalah salah satu cara untuk bisa hidup rukun dengan orang lain. Subyek MTH juga meyakini istrinya sangat

mendukung dan menerima tindakannya, sehingga ia termotivasi untuk

ikut nyumbang. Geertz (1983) mengemukakan bahwa kedudukan wanita dalam masyarakat Jawa pada umumnya sangat kuat. Melalui pekerjaan

rumah tangga, perempuan mampu memperoleh status, walau dalam

alat-114

alat untuk mewujudkan potensi dan kekuasaan mereka (Newberry,

2013). Di pihak lain kaum laki-laki cenderung menjadi agak bergantung

baik emosional maupun dalam kenyataan kepada kaum wanita (Geertz,

1983).

Berkaitan dengan masyarakat, subyek MTH meyakini bahwa

menjadi anggota masyarakat itu harus saling tolong menolong. Kalau

ada tetangga hajatan, harus nyumbang. Subyek juga meyakini bahwa masyarakat sangat mendukung tindakannya untuk nyumbang, sehingga subyek menjadi termotivasi untuk ikut nyumbang

Koentjaraningrat (dalam Suseno, 1996) menyebutkan salah satu

nilai yang disadari orang desa dalam melakukan gotong royong yaitu

orang harus sadar bahwa dalam hidupnya pada hakikatnya ia selalu

tergantung pada sesamanya, maka dari itulah ia harus selalu berusaha

untuk memelihara hubungan baik dengan sesamanya. Lebih lanjut,

Mulder (1983, 47) mengemukakan bahwa individu harus menyerahkan

diri kepada masyarakat seperti halnya ia harus menyerahkan diri kepada

“Tuhan”. Ia harus menjadi bagian tak terpisah yang harus menyesuaikan diri dengan norma-norma dan adat istiadat.

Melalui istri dan masyarakat di sekitarnya subyek memiliki

pandangan bahwa kedua pihak tersebut sangat berharap supaya subyek

MTH nyumbang. Adapun alasan subyek MTH mengikuti pendapat istri dan masyarakat yakni karena keduanya menjadi hal yang penting bagi

115

Bagi subyek K, orang penting yang memengaruhinya untuk

nyumbang adalah pak Kyai dan tetangganya. Pak Kyai menjadi orang yang penting bagi subyek K, karena menurutnya pak Kyai adalah orang

yang pintar dan bersedia untuk mengajarkan padanya mana yang baik

dan mana yang tidak baik.

Melalui pak Kyai, subyek K meyakini bahwa nyumbang bukanlah sekedar urusan untuk mencari materi, melainkan juga sebagai salah satu

cara untuk ibadah. Oleh karena itu, ketika nyumbang sebaiknya dilakukan dengan ikhlas. Subyek K meyakini bahwa pak Kyai turut

mendukung dan menerima tindakan subyek K untuk nyumbang, dengan catatan diniati dengan keikhlasan. Adanya dukungan dan penerimaan

dari pak Kyai tersebut membuat subyek K termotivasi untuk mengikuti

nyumbang.

Geertz (2013) menyebutkan bahwa para kiai, tabib, penasihat, guru

dan cendekiawan adalah orang-orang yang paling tinggi prestisenya

dikalangan umat. Kiai juga sangat dihormati dan menjadi panutan bagi

santri pada masyarakat muslim tradisional pedesaan (Izzah, 2011).

Mereka melakukan hal-hal yang benar dan mengucapkan kata-kata yang

tepat sebab mereka tahu, sebab mereka memiliki wawasan (Mulder,

1996).

Tetangga bagi subyek K juga merupakan orang yang penting dalam

hidupnya. Menurut subyek K, semua tetangga adalah sedulur (saudara). Melalui tetangganya, subyek K meyakini bahwa ketika ada tetangga

116

yang akan memiliki hajat, diusahakan agar semuanya ikut membantu

dan berbagi tugas. Subyek K meyakini bahwa tetangganya sangat

mendukung dan menerima keputusannya untuk nyumbang. Karena alasan itulah subyek K termotivasi untuk mengikuti nyumbang. Sullivan

Dokumen terkait