• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Penelitian

1.2. Pengetahuan Perawat tentang Perawatan Luka dengan Metode Moist

Wound Healing di RSUP H. Adam Malik Medan

Hasil penelitian ini menunjukkan sebanyak 11 responden (18,3%) memiliki pengetahuan baik, sebanyak setengah dari total responden yaitu 30 responden (50%) memiliki pengetahuan cukup, dan 19 responden (31,7%) memiliki pengetahuan kurang tentang perawatan luka dengan metode moist wound healing di RSUP H. Adam Malik Medan. Hasil tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.2.

Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi dan Persentase Pengetahuan Perawat tentang Perawatan Luka dengan Metode Moist Wound Healing di RSUP H. Adam Malik Medan (N = 60)

Pengetahuan Perawat Frekuensi (n) Persentase (%)

- Baik 11 18,3

- Cukup 30 50

- Kurang 19 31,7

Hasil penelitian pengetahuan perawat tentang perawatan luka dengan metode moist wound healing menunjukkan sebanyak 52 orang responden (86,7%) telah mengetahui prinsip perawatan luka dengan metode moist wound healing. Dan sebanyak 44 orang responden (73,3%) tidak mengetahui tentang tiga prinsip utama manajemen perawatan luka lembab. Hasil tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.3.

Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi dan Persentase Hasil Identifikasi Pengetahuan Perawat tentang Perawatan Luka dengan Metode

Moist Wound Healing di RSUP H. Adam Malik Medan (N = 60)

No. Pernyataan

Benar Salah

F % F %

1. Prinsip moist wound healing 52 86,7 8 13,3

2. Manfaat perawatan luka lembab 35 58,3 25 41,7 3. Tujuan perawatan luka lembab tertutup 42 70 18 30 4. Tiga prinsip utama manajemen perawatan luka

lembab

16 26,7 44 73,3 5. Intervensi pertama untuk menentukan balutan luka 36 60 24 40

6. Teknik pencucian luka 48 80 12 20

7. Tipe cairan pencuci luka 47 78,3 13 21,7

8. Pengkajian luka 29 48,3 31 51,7

9. Defenisi autholisisdebridement 24 40 36 60

10. Pemilihan balutan tepat guna 30 50 30 50

11. Luka dengan eksudat banyak menggunakan balutan 42 70 18 30 12. Tujuan utama perawatan luka dengan warna dasar

merah

33 55 27 45 13. Tujuan utama perawatan luka dengan eksudatif 47 78,3 13 21,7 14. Tujuan utama perawatan luka dengan warna dasar

hitam

30 50 30 50 15. Tujuan utama perawatan luka akut post-operasi 48 80 12 20 16. Topikal terapi ideal untuk luka nekrotik hitam dan

kering

38 63,3 22 36,7 17. Topikal terapi ideal untuk luka dengan tepi luka

tebal, mengeras

25 41,7 35 58,3 18. Balutan ideal untuk luka dengan cairan eksudat 24 40 36 60 19. Indikator balutan luka harus segera diganti 44 73,3 16 26,7 20. Tull grass (supratule) digunakan untuk luka 51 85 9 15

2. Pembahasan

2.1 Pengetahuan perawat tentang perawatan luka dengan metode moist wound healing di RSUP H. Adam Malik Medan

Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 11 responden (18,3%) memiliki pengetahuan baik, setengah dari total responden yaitu 30 responden (50%) memiliki pengetahuan cukup, dan 19 responden (31,7%) memiliki pengetahuan kurang tentang perawatan luka dengan metode moist wound healing di RSUP H. Adam Malik Medan. Hal ini dapat diasumsikan bahwa pengetahuan responden tentang perawatan luka dengan metode lembab tergolong masih rendah karena data menunjukkan mayoritas responden memiliki pengetahuan cukup dan kurang. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian Septiyanti (2014) bahwa lebih dari setengah total perawat (59,3%) yang bekerja di ruangan medical surgical RS Eka Hospital Pekanbaru telah mampu memahami teknik perawatan luka dengan metode moist wound healing dengan baik. Pengetahuan tinggi perawat di Rumah Sakit Eka Hospital ini didukung oleh adanya sosialisasi metode perawatan luka dengan metode moist wound healing pada tahun 2011.

Pengetahuan dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya pendidikan, pengalaman dan sumber informasi (Notoatmodjo, 2010). Lebih dari setengah total responden berpendidikan D3 Keperawatan yaitu sebanyak 41 orang (68,3%) dan Sarjana Keperawatan sebanyak 19 orang (31,7%). Pendidikan merupakan salah satu faktor penting yang dapat menambah pengetahuan seseorang, sehingga tingkat pendidikan mendukung pengetahuan baik yang dimiliki responden pada penelitian ini. Hal ini sesuai dengan pendapat Budiman (2013) bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang diharapkan semakin luas pula pengetahuannya.

Namun bukan berarti seseorang dengan pendidikan rendah mutlak berpengetahuan rendah pula. Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh pada pendidikan formal, akan tetapi juga dapat diperoleh pada pendidikan non-formal dan faktor pendukung lainnya.

Pada penelitian ini hampir setengah dari total responden memiliki pengalaman bekerja dalam pelayanan keperawatan 1-10 tahun yaitu 28 orang (46,7%). Pengalaman merupakan aspek terpenting dalam proses pembelajaran yang dapat berimplikasi positif menambah pengetahuan seseorang terhadap suatu hal (Potter & Perry, 2006). Sesuai penelitian yang dilakukan Islam (2010), pengalaman kerja 1-10 tahun dalam keperawatan memiliki tingkat pengetahuan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan pengalaman kerja 21-30 tahun. Islam (2010) mengatakan perawat dengan tahun kerja lebih lama memiliki kesempatan lebih rendah meng-update ilmunya.

Pada penelitian ini sebanyak 51 orang (85%) responden belum pernah mengikuti pelatihan tentang perawatan luka dengan metode moist wound healing atau perawatan luka modern. Sumber informasi bisa didapatkan melalui pelatihan-pelatihan yang dilakukan. Pelatihan merupakan salah satu sumber informasi yang menjadi perantara dalam menyampaikan informasi, merangsang pikiran dan kemampuan, dan menambah pengetahuan (Notoatmodjo, 2010). Dari data yang diperoleh rata-rata responden sudah pernah mengikuti pelatihan selain pelatihan perawatan luka seperti pelatihan Bantuan Hidup Dasar (BHD), Pencegahan dan Penangan Infeksi (PPI), Keselamatan dan Kesehatan Kerja RS (K3RS) dan Interpretasi EKG. Pelatihan-pelatihan tersebut telah difasilitasi oleh rumah sakit.

Hasil penelitian menunjukkan setengah dari total responden, yaitu sebanyak 30 orang responden (50%) memiliki pengetahuan cukup tentang perawatan luka dengan metode moist wound healing di RSUP H. Adam Malik Medan. Sebanyak 52 orang (86,7%) sudah mengetahui bahwa prinsip moist wound healing adalah lembab dan tertutup. Maibach, Bashir dan McKibbon (2002) mengatakan metode perawatan luka lembab dengan balutan tertutup secara klinis memiliki keuntungan akan meningkatkan proliferasi dan migrasi dari sel-sel epitel disekitar lapisan air yang tipis, mengurangi resiko infeksi dan timbulnya jaringan parut.

Sebanyak 35 orang (58,3%) responden sudah mengetahui bahwa manfaat perawatan luka lembab adalah mempercepat proses penyembuhan luka sesuai fisiologis tubuh. Lingkungan yang lembab dapat mempercepat respon inflamasi, yang menjadikan proliferasi sel lebih cepat dan penyembuhan luka pada luka dermal yang lebih dalam. Prinsip penyembuhan luka lembab meniru fungsi dari epidermis. Tubuh kita sebagian besar terdiri dari air, dan lingkungan alam sel lembab (Bryant, 2007).

Sebanyak 42 orang (70%) responden sudah mengetahui bahwa perawatan luka lembab tertutup bertujuan untuk meningkatkan re-epitelisasi jaringan baru. Perawatan luka lembab tertutup mampu meningkatkan re-epitelisasi 30-50%, meningkatkan sintesa kolagen sebanyak 20-60%, dan rata-rata re-epitelisasi dengan kelembaban 2-6 kali lebih cepat dan epitelisasi terjadi 3 hari lebih awal dari pada luka yang dibiarkan kering terbuka (Maibach, Bashir & McKibbon, 2002).

Hasil penelitian menunjukkan hanya 16 orang (26,7%) responden yang mengetahui prinsip utama manajemen perawatan luka. Data yang diperoleh menunjukkan kebanyakan responden menyatakan bahwa prinsip manajemen perawatan luka lembab sama dengan intervensi perawatan luka. Bryant (2007) menyatakan prinsip dari manajemen luka tergabung dalam pendekatan holistik atau secara keseluruhan. Penerapan prinsip dari manajemen luka harus mampu mengidentifikasi dan menentukan semua kebutuhan fisiologis pasien terkait dengan proses penyembuhan luka yaitu mengatasi penyebab luka, meningkatkan imunitas tubuh, dan menjaga kondisi fisiologis lingkungan luka. Kegagalan dalam menentukan prinsip manajemen luka dapat membahayakan seperti proses penyembuhan luka yang terhambat, penurunan daya tahan tubuh, komplikasi dan inflamasi yang berulang kemungkinan dapat terjadi.

Sebanyak 36 orang (60%) responden sudah mengetahui bahwa intervensi pertama yang harus dilakukan adalah pengkajian luka lengkap setelah membuka balutan lama. Intervensi keperawatan merupakan semua tindakan yang dilakukan perawat atas nama klien untuk membantu klien meningkatkan derajat kesehatannya (Bulechek & McCloskey, 2004). Untuk dapat melakukan menentukan penggunaan balutan tepat guna sesuai dengan luka pasien, hal pertama yang harus dilakukan ialah pengkajian luka lengkap setelah membuka balutan lama. Pengkajian luka ditujukan pada pengumpulan data khusus karakteristik status luka dan sekitar luka (Ekaputra, 2013). White (2009) mengatakan pendekatan manajemen luka optimal berpusat pada pengkajian yang

komprehensif dari pasien dan luka.. Semua aspek perawatan dari keadaan awal hingga pengobatan dan evaluasi harus didokumentasikan dengan tepat.

Mayoritas responden memiliki pengetahuan yang baik tentang teknik pencucian yang tepat tanpa menyebabkan trauma. Sebanyak 48 orang (80%) responden sudah mengetahui bahwa showering/ mengirigasi merupakan teknik pencucian yang paling tepat. Beberapa teknik lainnya seperti swabbing/ menyeka dan scrubbing/ menggosok tidak lagi dianjurkan karena dapat menyebabkan perdarahan dan trauma berulang sehingga dapat meningkatkan inflamasi pada jaringan granulasi dan memperlama proses penyembuhan luka (Gitarja, 2008).

Mayoritas responden sudah mengetahui tentang tipe cairan pencuci luka yng tepat dan mendukung perawatan luka dengan metode moist wound healing. Sebanyak 47 orang (78,3%) perawat sudah mengetahui bahwa NaCl 0,9% merupakan tipe cairan pencuci yang baik. Menurut pedoman AHCPR (1994, dalam Potter & Perry, 2006) menyatakan bahwa cairan pembersih yang dianjurkan adalah normal salin (Sodium klorida). Sodium klorida atau Natrium klorida tersusun atas Na dan Cl yang memiliki komposisi sama seperti plasma darah, dengan demikian aman bagi tubuh (Morison, 2013).

Hasil penelitian ini menunjukkan hanya 29 orang (48,3%) perawat yang mengetahui prosedur pengkajian luka yang tepat. Kebanyakan perawat menyatakan pengkajian luka dilakukan sebelum luka dibersihkan. Jika pengkajian luka dilakukan sebelum luka dibersihkan, maka benda asing disekitaran luka akan menghambat penilaian derajat luka. Warna dasar luka akan terhalangi dengan benda asing di atas permukaan luka. Pengkajian luka harus dilakukan setelah luka

dibersihkan untuk dapat menentukan hasil pengkajian dan intervensi yang akurat (Morison, 2013).

Hasil penelitian menunjukkan hanya 24 orang (40%) responden yang mengetahui tentang autolisis debridement. Autolisis debridement merupakan proses peluruhan jaringan nekrotik yang dilakukan oleh tubuh sendiri dengan syarat lingkungan luka harus lembab (Maryunani, 2013). Penelitian yang dilakukan Mwipatayi (2004) pada 10 orang pasien luka kronik dengan jaringan nekrotik, dua diantaranya dilakukan proses autolisis debridement menggunakan balutan polyacrylate mengalami penurunan luas area luka dari 26,4 cm2 menjadi 21,4 cm2 dalam waktu 5 hari. Sedangkan delapan orang pasien lagi dirawat menggunakan balutan basah kering mengalami penurunan luas area luka dari 25 cm2 menjadi 23 cm2 dalam waktu 5 hari. Hal ini menunjukkan bahwa proses autolisis debridement lebih efektif dan sangat bermanfaat.

Sebanyak 30 orang (50%) perawat sudah mengetahui tentang pemilihan balutan tepat guna untuk mendukung metode perawatan luka lembab ialah balutan mampu mencegah infeksi, menampung eksudat, tertutup rapat, dan mempertahankan kelembaban. Arisanty (2012) mengatakan balutan occlusive ataupun semi-occlusive mampu menggantikan fungsi kulit yang hilang atau rusak, mempertahankan kelembaban, mengoptimalkan proses debris, mencegah trauma, mengefektifkan biaya, waktu, dan tenaga karena tidak perlu diganti setiap hari.

Sebanyak 42 orang (70%) perawat telah mengetahui bahwa luka eksudatif harus menggunakan balutan yang mampu mempertahankan kelembaban dan menampung eksudat luka secara maksimal. Schulitz et al (2005) mengatakan

substansi biokimia pada cairan luka kronik berbeda dengan luka akut. Produksi cairan eksudat pada luka kronik dapat menekan penyembuhan luka dan menyebabkan maserasi pada pinggir luka. Cairan eksudat pada luka kronik ini juga menghancurkan matrik protein ekstra seluler dan faktor-faktor pertumbuhan, menimbulkan inflamasi yang lama, menekan proliferasi sel dan membunuh matrik jaringan. Oleh karena itu, prinsip balutan yang tetap dapat mempertahankan kelembaban dan dapat menyerap cairan eksudat secara efektif sangat dibutuhkan untuk mempercepat proses penyembuhan luka.

Lebih dari setengah total responden sudah mengetahui tentang tujuan utama perawatan luka dengan beberapa karakterisktik luka yang berbeda-beda. Sebanyak 33 orang (55%) perawat sudah mengetahui bahwa tujuan perawatan luka dengan warna dasar merah, sedikit eksudat, dan terdapat banyak vaskular, ialah menjaga kelembaban luka dan proteksi mencegah perdarahan berulang. Sebanyak 47 orang (78,3%) perawat sudah mengetahui bahwa luka tujuan utama perawatan luka eksudatif berwarna dasar kuning dan sangat berbau ialah menghilangkan slough hingga terlihat warna dasar luka dan mengurangi bau luka. Sebanyak 30 orang (50%) perawat sudah mengetahui bahwa tujuan perawatan luka dengan warna dasar nekrotik hitam dan kering tanpa eksudat ialah meningkatkan kelembaban luka dengan autolisis debridement. Sebanyak 48 orang (80%) sudah mengetahui bahwa tujuan perawatan luka post operasi ialah untuk proteksi luka tersebut dan mencegah trauma pasca operasi. Menentukan tujuan perawatan berguna untuk menentukan intervensi dan manajemen perawatan luka yang tepat agar dapat mencapai tujuan tersebut (White, 2009).

Sebanyak 38 orang (63,3%) perawat sudah mengetahui bahwa topikal terapi yang tepat digunakan pada luka dengan jaringan nekrotik hitam dan kering adalah hydocolloid gel. Hanya 25 orang (41,7%) perawat yang mengetahui topikal terapi luka yang digunakan pada luka dengan tepi luka yang masih tebal, mengeras dan belum menyatu adalah hydrogel. Hanya 24 orang (40%) perawat yang mengetahui jenis balutan ideal pada luka dengan banyak cairan eksudat adalah balutan alginate. Kebanyakan perawat belum mengenal jenis-jenis balutan primer maupun sekunder yang sesuai dengan karakterisktik luka tertentu. Peneliti berasumsi bahwa ketidaktahuan perawat tersebut dikarenakan mayoritas perawat masih menggunakan jenis balutan yang sama untuk semua karakteristik luka yang berbeda. Biaya pembelian balutan occlusive modern lebih mahal dari balutan kasa konvensional, tetapi balutan modern dapat mengurangi frekuensi penggantian balutan dan meningkatkan kecepatan penyembuhan sehingga dapat menghemat biaya yang dibutuhkan (Schulitz et al., 2005). Sesuai dengan penelitian yang dilakukan Ohura, Hiromi dan Yoshio (2004) tentang efektifitas pengeluaran biaya pada perawatan luka dengan balutan tradisional dan balutan modern. Hasilnya, total biaya yang digunakan selama 12 minggu untuk perawatan luka dengan derajat II dan III menunjukkan hasil pengeluaran biaya yang berbeda. Rata-rata biaya yang dikeluarkan pada perawatan luka dengan balutan modern yaitu sebesar 87,715 yen yang lebih rendah dibandingkan perawatan luka dengan balutan tradisional yang menggunakan kasa yaitu sebesar 131,283 yen.

Sebanyak 44 orang (73,3%) perawat sudah mengetahui bahwa indikator balutan luka harus segera diganti ialah ketika balutan sudah kotor, tidak utuh lagi

dan eksudat sudah penuh. Pada perawatan luka dengan metode moist wound healing, balutan luka tidak perlu diganti setiap hari. Balutan luka dengan prinsip moist wound healing memiliki daya serap eksudat lebih tinggi, dapat mempertahankan kelembaban permukaan luka dan memperepat proses re-epitelisasi jaringan dan tidak menyebabkan maserasi disekitar luka, olehkarena itu penggantian balutan bisa dilakukan 3-5 hari bahkan lebih sesuai dengan balutan yang digunakan dan kondisi luka yang dirawat (Bryant, 2007). Metode perawatn luka lembab secara klinis akan meningkatkan proliferasi dan migrasi sel-sel epitel disekitar lapisan air tipis (Maibach, Bashir, McKibbon, 2002). Berkurangnya frekuensi penggantian balutan di rumah sakit akan mengurangi waktu perawat dalam merawat luka, dengan demikian perawat bisa mengerjakan pekerjaan lagi lebih efektif.

Sebanyak 51 responden sudah mengetahui bahwa tull grass (sofra-tulle) digunakan untuk luka akut, traumatis atau luka post operasi. Sofratulle merupakan balutan primer berbahan lilin parafin, lanolin dan mengandung framycetin sulfat. Framycetin adalah antibiotik golongan aminoglikosida yang sensitif terhadap bakteri seperti Staphylococus aureus, Escherischia coli, Klebsiella spesies dan sejenisnya. Sofratul digunakan pada luka ringan traumatis, bisul, luka bakar, dan luka lain yang secara klinis terinfeksi oleh organisme terbukti sensitif terhadap framycetin. Kontra indikasi penggunaan sufratul yaitu pada pasien dengan kondisi alergi lanolin, framycetin atau pada organisme yang resisten terhadap framycetin. Sofratulle sudah digunakan sejak lama di banyak rumah sakit pemerintah terutama

di negara-negara Asia (Thomas, 1997). Namun sofratulle tidak efektif digunakan pada luka kronis karena daya serap eksudat dari sofratulle yang rendah.

Hasil penelitian ini menunjukkan setengah dari total responden memiliki pengetahuan cukup tentang perawatan luka tertutup. Tingkat pengetahuan cukup masih perlu ditingkatkan lagi menjadi pengetahuan baik karena akan mendukung aplikasi tindakan yang baik pula.

Peneliti berasumsi bahwa dukungan dari rumah sakit sangat penting untuk meningkatkan pengetahuan perawat dengan memberikan kesempatan atau bahkan memfasilitasi perawat untuk mengadakan seminar dan pelatihan tentang perawatan luka. Dalam penelitian ini peneliti merasakan adanya keterbatasan penelitian yaitu peneliti tidak dapat menemukan instrumen baku dari peneliti-peneliti sebelumnya dan terbatasnya peneliti-penelitian Indonesia tentang perawatan luka dengan metode moist wound healing.

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait