• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini berlangsung di klinik ortodonti FKG USU dengan sampel penelitian berjumlah 40 foto sefalometri lateral mahasiswa suku Batak FKG dan FT USU dengan usia minimal 18 tahun yang masih aktif dalam menjalani masa pendidikan di USU. Sampel merupakan data sekunder dari penelitian Silaban K. yang berjudul “Hubungan Antara Dimensi Vertikal Tulang Vertebra dan Panjang Mandibula pada Mahasiswa suku Batak” yang diambil berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah memperoleh persetujuan medik (informed consent) dan telah memenuhi syarat kode etik penelitian (ethical clearance). Data hasil yang diperoleh dari pengukuran foto sefalometri lateral kemudian diolah menggunakan perangkat lunak pengolahan data statistik. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan terhadap sampel, dapat dilihat gambaran rerata sudut interinsisal dan profil jaringan lunak wajah pada mahasiswa suku Batak FKG dan FT USU (Tabel 1)

Tabel 1. RERATA NILAI SUDUT INTERINSISAL DAN PROFIL JARINGAN LUNAK WAJAH PADA MAHASISWA SUKU BATAK FKG DAN FT USU

N Rata-rata Simpangan Baku

Sudut Interinsisal 40 121,45 9,997

Ls : E line 40 0,93 mm 2,664

Li : E line 40 0,60 mm 3,622

Tabel 1 menunjukkan nilai rerata sudut interinsisal dan profil jaringan lunak wajah pada mahasiswa suku Batak FKG dan FT USU. Nilai rerata sudut interinsisal adalah 121,45°, nilai rerata Ls : E line adalah 0,93 mm dan nilai rerata Li : E line adalah 0,60 mm.

Hubungan antara sudut interinsisal dengan profil jaringan lunak wajah diperoleh dengan menggunakan uji hipotesis korelasi Pearson’s. Hal ini disebabkan karena semua data terdistribusi normal (Tabel 2).

Tabel 2. HUBUNGAN ANTARA SUDUT INTERINSISAL DENGAN PROFIL JARINGAN LUNAK WAJAH MENURUT ANALISIS RICKETTS PADA MAHASISWA SUKU BATAK FKG DAN FT USU (UJI KORELASI PEARSON’S) Korelasi Pearson`s Sudut interinsisal P R (Pearson’s) Ls : E line 0,119 0,251 Li : E line 0,903 0,020

**. Korelasi bermakna adalah signifikan pada taraf uji p ≤ 0.01 ( r ) = 0,00 – 0,20 → sangat lemah

( r ) = 0,21 – 0,40 → lemah ( r ) = 0,41 – 0,60 → sedang ( r ) = 0,61 – 0,80 → cukup kuat

Uji korelasi pearson’s yang dilakukan antara sudut interinsisal dengan profil jaringan lunak wajah ( Ls : E line ) diketahui sebesar 0,251. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan korelasinya lemah dengan nilai signifikan (p) yang tidak bermakna yaitu sebesar 0,119. Hubungan antara sudut interinsisal dengan profil jaringan lunak wajah ( Li : E line ) juga memiliki nilai signifikan yang tidak bermakna yaitu sebesar 0,903 dengan nilai kekuatan korelasi uji Pearson’s sebesar 0,020. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan kedua variabel tersebut sangat lemah.

Tabel 2 memperlihatkan bahwa hubungan korelasi dalam arah positif. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besarnya sudut interinsisal, maka semakin besar pula jarak bibir atas (Ls) dan bibir bawah (Li) terhadap garis estetis.

BAB 5 PEMBAHASAN

Penelitian ini menggunakan sampel foto sefalometri lateral mahasiswa suku Batak FKG dan FT USU yang merupakan data sekunder dari penelitian Silaban K. yang berjudul “Hubungan Antara Dimensi Vertikal Tulang Vertebra dan Panjang Mandibula pada Mahasiswa Suku Batak”. Salah satu kriteria inklusi dari penelitian ini yaitu mahasiswa yang berumur minimal 18 tahun dimana pada usia ini telah melewati masa pubertas dan pada usia ini fase tumbuh kembangnya telah selesai.1,10 Besar sampel ditentukan dengan menggunakan rumus perhitungan statistik dengan standar error tipe I ditetapkan sebesar 5 % dengan Zα 2 pihak sebesar 1,96 dan standar error tipe II ditetapkan sebesar 10 % dengan Zβ sebesar 1,282, maka didapat jumlah sampel sebanyak 25 foto sefalometri, dengan pertimbangan agar parameter populasi makin akurat dan hasil pengukuran lebih valid maka sampel yang digunakan adalah 40 foto sefalometri lateral, kerugian dari pertambahan jumlah sampel umumnya adalah waktu yang diperlukan untuk pengukuran lebih lama dan biaya yang lebih besar.

Hasil dalam penelitian ini menunjukkan rerata sudut interinsisal mahasiswa suku Batak yang merupakan ras Proto-Melayu di FKG dan FT USU adalah 121,45°. Rerata sudut interinsisal pada penelitian ini lebih kecil dibandingkan dengan hasil penelitian Susilowati di Makassar dimana rerata sudut interinsisal untuk laki-laki adalah 136,36° dan 136,03° untuk perempuan.1 Perbedaan ini mungkin disebabkan karena populasi penelitian berasal dari suku dan ras yang berbeda dimana pada penelitian Susilowati yang menjadi populasi penelitian adalah suku Bugis dan Makassar yang merupakan ras Deutro-Melayu.1 Sementara dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Nurbayati terhadap pasien RSGMP FKG USU didapat rerata sudut interinsisal sebesar 120,20°, besar rerata sudut interinsisal penelitian tersebut hampir sama dengan penelitian ini, hal ini kemungkinan disebabkan karena populasi sampel berada pada wilayah yang sama, akan tetapi pada penelitian Nurbayati suku

tidak menjadi salah satu dari kriteria sampelnya.10 Hasil pengukuran rerata sudut interinsisal dari beberapa penelitian tersebut menunjukkan suku Bugis dan Makassar memiliki besar sudut yang mendekati nilai normal sudut interinsisal yang menurut Ricketts bernilai 130°.16

Nilai rerata Ls : E line pada penelitian ini adalah 0,93 mm dan 0,60 mm untuk Li : E line. Hasil pengukuran profil jaringan wajah menurut analisis Ricketts dalam penelitian ini berbeda dengan hasil yang didapatkan Nurbayati dalam penelitiannya terhadap pasien RSGMP FKG USU dimana pada penelitian Nurbayati rerata Ls : E

line adalah -0,56 mm dan 1,15 mm untuk Li : E line. Perbedaan yang cukup besar ini

mungkin disebabkan karena sampel pada penelitian ini adalah mahasiswa yang usianya tidak jauh berbeda, sementara pada penelitian Nurbayati sampel penelitiannya merupakan pasien RSGMP FKG USU yang usianya mungkin jauh berbeda.10 Penelitian longitudinal yang dilakukan Ricketts dan Palisades terhadap 1000 sampel disimpulkan bahwa nilai Li : E line berkurang seiring bertambahnya usia.1,32 Hasil dari penelitian ini juga lebih kecil dari nilai normal profil jaringan lunak menurut Ricketts dimana nilai rerata normal untuk Ls : E line dan Li : E line masing-masing adalah 2-4 mm dan 1-2 mm.16,22

Uji korelasi Pearson`s yang dilakukan terhadap hasil pengukuran dalam penelitian ini didapat adanya hubungan antara sudut interinsisal dengan profil jaringan lunak wajah mahasiswa suku Batak FKG dan FT USU, tetapi lemah dan tidak signifikan. Hasil uji korelasi yang didapat dalam arah positif, yang artinya semakin besarnya sudut interinsisal, maka semakin besar pula jarak bibir atas (Ls) dan bibir bawah (Li) terhadap garis estetis.

Hasil uji korelasi ini didukung oleh Nurbayati, yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara profil jaringan lunak wajah dengan sudut interinsisal yang membentuk profil skeletal wajah, walaupun terdapat perbedaan pada hasil akhir penelitian dimana korelasi hasil penelitian Nurbayati menuju kearah negatif yang berarti semakin besar sudut interinsisal maka semakin kecil jarak bibir atas (Ls) dan bibir bawah (Li) terhadap garis estetis, sementara pada penelitian ini didapat bahwa semakin besarnya sudut interinsisal, maka semakin besar pula jarak bibir atas (Ls)

dan bibir bawah (Li) terhadap garis estetis.10 Hasil ini juga didukung oleh Riedel yang menyatakan bahwa ada hubungan erat antara profil jaringan lunak wajah dengan susunan gigi dan tulang yang membentuk profil skeletal wajah.12

Penelitian ini juga didukung oleh Sijabat yang melakukan penelitian mengenai hubungan konveksitas skeletal dengan konveksitas jaringan lunak wajah pada pasien usia remaja suku Batak yang dirawat di klinik ortodonti FKG USU. Penelitiannya dikelompokkan berdasarkan Klas I Angle, Klas II Angle dan Klas III Angle. Hasil penelitiannya didapat bahwa ada hubungan antara konveksitas skeletal dengan konveksitas jaringan lunak wajah pada pasien suku Batak usia remaja yang dirawat di klinik ortodonti FKG USU.28 Zen juga telah melakukan penelitian yang bertujuan untuk melihat adanya hubungan antara jaringan keras dan jaringan lunak menggunakan analisis Ricketts. Zen menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara konveksitas, posisi gigi insisivus bawah terhadap bidang profil, dan posisi bibir menurut analisis Ricketts.6

Penelitian yang sama telah dilakukan sebelumnya oleh Susilowati pada suku Bugis dan Makassar, Susilowati menemukan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara besarnya sudut interinsisal dengan derajat konveksitas jaringan lunak wajah.1 Penelitian Susilowati didukung oleh penelitian Koesoemahardja yang menyatakan bahwa tidak semua jaringan lunak fasial pertumbuhannya berkorelasi dengan jaringan kerasnya, tetapi ada yang tumbuh mandiri, perbedaan hasil ini mungkin disebabkan karena titik-titik referensi yang digunakan untuk mengukur profil jaringan lunak wajah berbeda.8 Pada penelitian Susilowati pengukuran profil jaringan lunak wajah yang dipakai adalah metode Subtelny, titik referensi yang digunakan yaitu N’-Sn-Pog’.1 Sedangkan penelitian ini menggunakan metode Ricketts, dimana titik referensinya yaitu Pog’-Pr. Selain itu pada penelitian Susilowati subjek dibedakan antara laki-laki dan perempuan dan suku yang menjadi subjek penelitian berbeda sementara pada penelitian ini subjek penelitian tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini disebabkan karena keterbatasan sampel.

BAB 6

Dokumen terkait