• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh rerata pengalaman karies anak usia 37-71 bulan di Kecamatan Medan Selayang sebesar 4,86 ± 4,52. Berdasarkan kriteria dari WHO (cit. Kusumawati), Rerata pengalaman karies ini termasuk tinggi (4,5−6,5)31

. Jumlah anak yang bebas karies pada penelitian ini adalah sebesar 25,7 % dari 105 anak (Tabel 8). Hasil penelitian ini terlihat lebih rendah dibandingkan penelitian Eka dkk di Cileunyi Bandung pada anak usia 15-60 bulan, anak yang bebas karies sebanyak 43,22 % dari 317 orang anak.9

Pada variabel frekuensi makan utama terlihat bahwa anak dengan frekuensi 1-3 kali/hari memiliki rerata deft lebih tinggi daripada anak dengan frekuensi ≥4

kali/hari. Secara statistik, tidak ada hubungan yang bermakna antara frekuensi makan utama dengan pengalaman ECC (p = 0,95) (Tabel 9). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Eissa dan Andrew (cit. Al-hosani) yang menyatakan tidak ada hubungan antara frekuensi makan utama dengan pengalaman karies pada anak usia 2-4 tahun di Abu Dhabi.

Masih rendahnya pengetahuan mengenai faktor risiko karies dan kesadaran untuk menjaga kebersihan rongga mulut anak sejak dini merupakan kemungkinan penyebab tingginya angka pengalaman karies pada anak.

Pada variabel durasi makan utama terlihat bahwa anak dengan durasi >30 menit memiliki rerata deft paling tinggi dibandingkan dengan durasi <30 menit. Namun secara statistik, tidak ada hubungan yang bermakna antara durasi makan utama dengan pengalaman ECC (p = 0,09) (Tabel 9). Kemungkinan hal ini disebabkan karena kebanyakan sampel mengonsumsi makanan utama dalam durasi 21-30 menit (49,5%) dan >30 menit (44,1%). Hasil ini bertentangan dengan teori yang menyatakan bahwa semakin lama makanan berada di dalam mulut maka akan menyebabkan gigi terpapar zat asam lebih lama dan memberikan peluang lebih besar dalam proses perusakan enamel.

28

26

Pola makan utama merupakan akumulasi dari nilai frekuensi makan utama dan durasi makan utama. Anak dengan pola makan utama baik memiliki rerata deft terendah yaitu 4,39 ± 4,41, sedangkan anak dengan pola makan utama buruk memiliki rerata deft tertinggi yaitu 5,71 ± 4,99 . Secara statistik pola makan utama tidak menunjukkan hubungan yang bermakna dengan pengalaman ECC (p = 0,48) (Tabel 10).

Pada variabel frekuensi makan selingan terlihat bahwa anak dengan frekuensi

≥4 kali/hari memiliki rerata deft paling tinggi (7,70 ± 5,36). Secara statistik ada hubungan yang bermakna antara frekuensi makan selingan dengan pengalaman ECC (p = 0,004) (Tabel 11). Semakin sering konsumsi makanan manis dapat menyebabkan proses demineralisasi yang dominan, sehingga peluang terjadinya karies semakin besar. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Holt (cit. Moynihan) pada balita di Inggris yang menyatakan bahwa anak yang mengonsumsi makanan manis ≥ 4 kali

sehari memiliki pengalaman karies yang lebih tinggi (dmft 1,69)dibandingkan anak yang mengonsumsi makanan manis sekali sehari (dmft 1,01).

Pada variabel durasi makan selingan terlihat bahwa semakin lama durasi makan selingan anak maka semakin tinggi nilai rerata deft nya, terlihat anak dengan durasi >30 menit memiliki rerata deft tertinggi (6,56 ± 4,58). Secara statistik ada hubungan yang bermakna antara durasi makan selingan dengan pengalaman ECC (p = 0,017) (Tabel 11). Hasil penelitian ini sesuai dengan teori bahwa semakin lama gigi terpapar gula semakin cepat demineralisasi dan akan semakin mudah proses karies terjadi.

29

26

Pada variabel jenis makanan selingan kariogenik terlihat bahwa anak yang mengonsumsi makanan selingan kariogenik dengan keteraturan ≥4 hari/minggu

memiliki pengalaman ECC yang paling tinggi (5,72 ± 4,67). Secara statistik ada hubungan yang bermakna antara jenis makanan selingan kariogenik dengan pengalaman ECC (p = 0,002) (Tabel 11). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Hestieyonini bahwa anak yang mengonsumsi permen coklat dan biskuit hampir setiap hari memiliki rerata pengalaman karies lebih tinggi (dmft 2,5) dibandingkan anak yang mengonsumsi sayur dan buah-buahan (dmft 1,1).

Pada variabel bentuk makanan selingan terlihat bahwa anak yang mengonsumsi makanan selingan dalam bentuk lengket memiliki rerata deft paling tinggi (5,67 ± 4,58). Sebanyak 76,5 % anak mengonsumsi makanan selingan dalam bentuk lengket, umumnya berupa snack, kue basah, permen, roti dan permen. Secara statistik ada hubungan yang bermakna antara bentuk makanan selingan dengan pengalaman ECC (p = 0,02) (Tabel 11). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Khoiriyah di MII Syafiiyah Kembangarum, Mranggen, Semarang yang menyatakan bahwa anak yang sering mengonsumsi makanan manis dan lengket memiliki prevalensi karies yang tinggi yaitu 91,6%.

Pola makan selingan merupakan akumulasi dari nilai frekuensi, durasi, jenis dan bentuk makanan selingan. Secara statistik ada hubungan yang bermakna antara pola makan selingan dengan pengalaman ECC (p = 0,005) (Tabel 12). Anak dengan pola makan selingan baik memiliki rerata deft terendah yaitu 1,63 ± 1,84, sedangkan anak dengan pola makan selingan buruk memiliki rerata deft tertinggi yaitu 5,74 ± 4,61. Keempat kategori variabel pola makan selingan yaitu frekuensi, durasi, jenis dan bentuk makanan selingan memiliki risiko yang tinggi terhadap terjadinya karies pada anak.

30

Pada variabel frekuensi minum manis terlihat bahwa anak dengan frekuensi

≥4 kali/hari memiliki rerata deft tertinggi (8,67 ± 5,50). Secara statistik ada hubungan yang bermakna antara frekuensi minum minuman manis dengan pengalaman ECC (p = 0,03) (Tabel 13). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Ismail dkk (cit. Moynihan) yang menyimpulkan bahwa frekuensi minuman manis diantara waktu makan memiliki hubungan yang sangat erat dengan peningkatan karies pada anak-anak Amerika, dengan rerata pengalaman karies yang lebih besar pada anak-anak yang frekuensi minum manisnya >3 kali sehari (2,79).

Pada variabel durasi minum minuman manis terlihat bahwa semakin lama durasi minum minuman manis anak maka semakin tinggi rerata deft nya. Secara statistik ada hubungan yang bermakna antara durasi minum minuman manis dengan pengalaman ECC (p = 0,046) (Tabel 13). Hasil ini sesuai dengan teori bahwa durasi yang lama merupakan faktor pemicu karies karena lamanya kontak dengan rongga

mulut.26

Pada variabel minum minuman manis dengan botol pada malam hari terlihat bahwa anak yang mengonsumsi minuman manis dalam botol pada malam hari 4-7 hari/minggu memiliki rerata deft paling tinggi (8,50 ± 4,43). Hasil statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara minum minuman manis dengan botol pada malam hari dengan pengalaman ECC (p = 0,13) (Tabel 13). Kemungkinan hal ini terjadi karena sebagian besar sampel tidak mengonsumsi minuman manis dengan menggunakan botol pada malam hari (86,6%), dan hanya 3,8% sampel rutin mengonsumsi minuman manis dengan botol pada malam hari 4-7 hari/minggu. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Forrest (cit. Paulus) yang menyatakan bahwa rampan karies disebabkan oleh seringnya gigi berkontak dalam waktu lama dengan cairan yang mengandung gula terutama pada saat tertidur.

Hasil penelitian membuktikan walaupun minum minuman manis dengan gelas namun dengan durasi yang lama tetap mempengaruhi terjadinya karies.

Pola minum minuman manis merupakan akumulasi dari nilai frekuensi, durasi dan minum minuman manis dengan botol pada malam hari. Secara statistik pola minum minuman manis menunjukkan hubungan yang bermakna dengan pengalaman ECC (p = 0,048) (Tabel 14). Berdasarkan perincian variabel hanya minum minuman manis dengan botol pada malam hari yang tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan pengalaman ECC (p = 0,13). Anak dengan pola minum minuman manis baik memiliki rerata deft terendah yaitu 4,40 ± 4,63, sedangkan anak dengan pola minum minuman manis buruk memiliki rerata deft tertinggi yaitu 8,75 ± 1,70.

13

Pada variabel frekuensi minum susu terlihat bahwa anak dengan frekuensi 3-4 kali/hari memiliki rerata deft tertinggi (6,27 ± 5,31), kemudian diikuti frekuensi ≥5

kali/hari (6,00 ± 1,73) dan terendah pada frekuensi 0-2 kali/hari (4,02 ± 3,77). Secara statistik ada hubungan yang bermakna antara frekuensi minum susu dengan pengalaman ECC (p = 0,042) (Tabel 15). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Paulus pada anak usia 4-5 tahun di Kabupaten Gowa bahwa 16 dari 30 anak yang menderita rampan karies meminum susu diatas tiga kali sehari.

Pada variabel durasi minum susu terlihat bahwa semakin lama anak meminum susu maka semakin tinggi rerata deft nya. Secara statistik ada hubungan yang

bermakna antara durasi minum susu dengan pengalaman ECC (p = 0,001) (Tabel 15). Hasil ini sesuai dengan teori bahwa semakin lama gigi terpapar zat gula maka semakin cepat terjadinya proses demineralisasi dan akan semakin mudah proses karies terjadi.

Pada variabel minum susu botol pada malam hari terlihat bahwa anak yang rutin meminum susu botol malam hari ≥4 hari/minggu memiliki rerata deft tertinggi

(5,93 ± 5,10). Secara statistik ada hubungan yang bermakna antara minum susu botol pada malam hari dengan pengalaman ECC (p = 0,037) (Tabel 15). Penggunaan susu atau minuman manis dengan botol sampai anak tertidur akan memperpanjang durasi kontak antara cairan susu yang manis dengan pemukaan gigi anak. Aliran saliva yang rendah akan mengurangi efek oral cleansing pada saat anak tidur. Hal inilah yang akan memperparah risiko terjadinya karies pada anak.

26

3

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Ollila dan Larmas yang menyatakan bahwa penggunaan susu botol yang berkepanjangan pada malam hari merupakan salah satu faktor yang sangat berkontribusi terhadap perkembangan karies.22

Pola minum susu merupakan akumulasi dari nilai frekuensi, durasi dan minum susu botol malam hari. Secara statistik pola minum susu menunjukkan hubungan yang bermakna dengan pengalaman ECC (p = 0,000) (Tabel 16). Anak dengan pola minum susu baik memiliki rerata deft terendah yaitu 3,50 ± 3,26, sedangkan anak dengan pola minum susu buruk memiliki rerata deft tertinggi yaitu 8,04 ± 5,16.

Perilaku diet merupakan akumulasi dari pola makan utama, pola makan selingan, pola minum minuman manis dan pola minum susu. Secara statistik ada hubungan yang bermakna antara perilaku diet dengan pengalaman ECC (p = 0,000) (Tabel 17). Hasil analisis uji statistik terlihat rerata pengalaman ECC yang terjadi berbanding lurus dengan kategori perilaku dietnya. Anak dengan perilaku diet baik memiliki rerata deft terendah yaitu 2,88 ± 4,30, sedangkan anak dengan perilaku diet buruk memiliki rerata deft tertinggi yaitu 9,15 ± 5,38. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian di Northumberland, UK dan Michigan,USA yang dilakukan

dengan menggunakan catatan diet dan menunjukkan peningkatan angka karies pada anak dengan perilaku diet karbohidrat yang tinggi.

Pada penelitian ini terbukti bahwa perilaku diet berpengaruh terhadap terjadinya ECC pada anak. Metode pencatatan diet selama 7 hari mendapatkan hasil yang lebih terperinci dan terpercaya di dalam mengevaluasi perilaku diet seseorang. Disarankan untuk mengevaluasi perilaku diet individu menggunakan kartu catatan diet agar dapat dievaluasi secara indvidu dan dapat memberikan nasihat diet secara individu juga.

Dokumen terkait