• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Tepung Jagung NK 33

Jagung NK 33 merupakan jagung hibrida yang mempunyai bentuk biji semi mutiara. Jagung semi mutiara lebih mudah dibuat tepung daripada jagung bentuk mutiara karena mengandung endosperma lunak yang lebih banyak. Pembuatan tepung jagung NK 33 pada penelitian ini menghasilkan rendemen sebesar 31,20% dari jagung pipilan kering. Proses pembuatan tepung jagung dilakukan dengan metode basah (wet milling) dan tepung diayak menggunakan ayakan 100 mesh. Pengayakan digunakan 100 mesh karena mempertimbangkan aplikasi tepung terhadap produk. Sifat fisikokimia tepung jagung NK 33 disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Sifat fisikokimia tepung jagung NK 33

Sifat fisikokimia Jumlah

Analisis thermal

Suhu awal gelatinisasi (To) (oC) 69.51

Suhu puncak gelatinisasi (Tp) (oC) 75.08 Suhu akhir gelatinisasi (Tc) (oC) 80.09 Entalpi gelatinisasi (H) (J/g) 5.18

Range suhu gelatinisasi (R) 11.14 Sifat amilografi

Suhu awal gelatinisasi (SAG) (oC) 73,50 ± 0,00 Suhu puncak gelatinisasi (SPG) (oC) 94,50 ± 0,00 Viskositas puncak (VP) (BU) 571,0 ± 4,24 Viskositas pasta panas (VPP) (BU) 494,0 ± 5,66 Viskositas breakdown (VB) (BU) 75,0 ± 7,07 Viskositas pasta dingin (VPD) (BU) 1406,0 ± 16,97 Viskositas setback (VS) 900,0 ± 28,28

Swelling volume (ml/g bk) 8,77 ± 0,65

Kelarutan (%) 11,20 ± 0,19

Kapasitas penyerapan air (g/g bk) 1,25 ± 0,02

Proksimat Air (% bb) 8,62 ± 0,11 Abu (% bk) 0,48 ± 0,02 Lemak (% bk) 2,56 ± 0,07 Protein (% bk) 9,50 ± 0,06 Karbohidrat (% bk) 87,46 ± 0,05 Pati (% bk) 75,31 ± 0,70 Amilosa (% bk) 18,74 ± 1,09 Amilopektin (% bk) 56,57 ± 1,09

Kadar air dan kadar abu tepung jagung sesuai dengan standar mutu tepung jagung berdasarkan Standar Nasional Indonesia. Kadar lemak tepung jagung NK 33 sebesar 2,56% bk. Kadar air dan kadar lemak tepung jagung yang relatif kecil menguntungkan karena umur simpan tepung lebih lama. Jagung merupakan sumber karbohidrat sehingga komponen utama yang terkandung adalah karbohidrat. Kadar karbohidrat tepung jagung NK 33 sebesar 87,46% bk. Hal ini tidak jauh berbeda jika dibandingkan jagung hibrida lain seperti Srikandi Kuning 88,59% bk, Arjuna 88,46% bk dan Bisma 88,23% bk (Zulkhair 2009). Kadar pati tepung jagung NK 33 sebesar 75,31% bk, dimana pati disusun oleh dua komponen utama yaitu amilosa dan amilopektin. Kandungan amilosa tepung jagung NK 33 sebesar 18,74% bk atau 24,88 bagian dari pati sedangkan kandungan amilopektin sebesar 56,57% bk atau 75,12 bagian dari pati. Berdasarkan kandungan amilosa dan amilopektin, jagung NK 33 termasuk dalam golongan jagung normal. Sing et al. (2005) menyatakan jagung normal mengandung amilosa sebesar 15,3-25,1%.

Analisis thermal tepung jagung NK 33 diukur menggunakan alat Differential Scanning Calorimetry (DSC). Perbandingan tepung jagung dan air yang digunakan pada analisis thermal dengan DSC adalah 1:3 dimana 2,5 mg tepung jagung ditambahkan 7,5 µl aquades. Jumlah air yang ditambahkan telah mencukupi untuk terjadinya proses gelatinisasi tepung. Perbedaan jumlah air yang ditambahkan akan berpengaruh terhadap hasil yang terukur dalam alat DSC. Hanya dengan kadar air minimal 30%, bagian amorphous pati mulai tergelatinisasi pada suhu 70oC (Yu dan Christie 2010). Penambahan air dilakukan secara langsung pada pan (tempat sampel) ketika pan sudah diisi sampel sehingga jumlah sampel dan air yang ditambahkan terukur secara tepat dan mudah dikontrol.

Hasil analisis thermal tepung jagung NK 33 menunjukkan suhu awal gelatinisasi (To) sebesar 69,51oC, suhu puncak gelatinisasi (Tp) sebesar 75,08oC dan suhu akhir gelatinisasi (Tc) sebesar 80,09oC. Suhu gelatinisasi tepung jagung NK 33 lebih tinggi jika dibandingkan suhu gelatinisasi dari pati jagung. Hal ini karena hasil analisis thermal suhu gelatinisasi pada tepung jagung NK 33 dipengaruhi oleh komponen lain selain pati seperti protein, lemak dan serat yang terkandung dalam tepung jagung. Pati jagung normal memiliki To 64,1oC, Tp

69,4oC, dan Tc 74,9oC, pati jagung waxy memiliki To 64,2oC, Tp 69,2oC, dan Tc 74,6oC (Jane et al.1999).

Tingkah laku pati terhadap pemanasan tergantung pada kadar air. Air yang terkandung dalam pati tidak stabil selama proses pemanasan, untuk itu diperlukan keseimbangan sampel. Sebelum dianalisis dengan alat DSC, pan yang sudah berisi sampel disimpan pada suhu ruang selama 24 jam supaya diperoleh kesimbangan sampel atau diperoleh sampel yang homogen. Yu dan Christie (2001) menyatakan distribusi air bisa tidak merata (tidak homogen) jika sampel disimpan kurang dari 24 jam khususnya buat sampel yang mengandung air lebih sedikit. Pan yang digunakan sebagai referens adalah pan kosong agar puncak yang dihasilkan pada thermogram lebih jelas. Apabila referens berisi air maka puncak yang dihasilkan kecil dan kurang tajam karena ada pengaruh air dimana evaporasi air memerlukan tambahan energi (Yu dan Christie 2001).

Pan yang digunakan dalam analisis thermal ini adalah alumunium pan dan kecepatan suhunya 10oC/menit. Kecepatan suhu tersebut yang biasa digunakan jika menggunakan alumunium pan. Jika pengukuran menggunakan pan yang memiliki massa lebih besar seperti high pressure stainless pan memerlukan kecepatan suhu yang lebih rendah misalkan 5oC/menit. Pemilihan pan penting agar diperoleh hasil yang tepat. Pan alumunium bisa bocor pada suhu 110oC sedangkan stainless stell O-ring pan bisa bocor pada suhu 220oC (Yu dan Christie 2001).

Pengukuran sifat amilografi tepung jagung NK 33 dilakukan dengan alat Brabender Amilograph. Tepung jagung NK 33 memiliki suhu awal gelatinisasi sebesar 73,5oC dan suhu puncak gelatinisasi sebesar 94,5oC. Suhu awal dan suhu puncak gelatinisasi tepung jagung NK 33 lebih tinggi jika dibandingkan suhu awal dan suhu puncak gelatinisasi tepung jagung waxy seperti jagung pulut. Tepung jagung pulut memiliki suhu awal gelatinisasi sebesar 72oC dan suhu puncak gelatinisasi sebesar 79oC (Suarni 2005d). Suhu gelatinisasi merupakan fenomena sifat fisik pati yang yang kompleks yang dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya ukuran molekul amilosa, amilopektin dan keadaan media pemanasan. Kadar lemak atau protein yang tinggi mampu membentuk kompleks dengan amilosa sehingga membentuk endapan tidak larut dan menghambat

pengeluaran amilosa dari granula. Dengan demikian diperlukan energi yang lebih besar untuk melepas amilosa sehingga suhu awal gelatinisasi yang dicapai akan lebih tinggi (Santosa et al. 2006, Widaningrum dan Purwani 2006).

Viskositas puncak tepung jagung NK 33 (571,0 BU) lebih rendah jika dibandingkan viskositas puncak pati jagung waxy (1524 BU) (Singh et al. 2005) dan viskositas puncak pati sagu (620 BU (Sugiyono et al. 2008). Hal ini disebabkan oleh perbedaan kandungan amilosa dan amilopektin dalam jagung dan sagu. Jagung waxy dan sagu mengandung amilopektin yang tinggi dibandingkan jagung NK 33 (jagung normal). Amilopektin memberikan kontribusi terhadap peningkatan viskositas puncak pasta karena amilopektin adalah molekul yang bertanggung jawab dalam pengembangan granula pati (Blazek dan Copeland 2008).

Viskositas breakdown tepung jagung NK 33 (75 BU) lebih rendah jika dibandingkan viskositas breakdown pati jagung waxy (216 BU) (Singh et al. 2005) dan pati sagu (360 BU) (Sugiyono et al. 2008). Viskositas breakdown mencerminkan kestabilan tepung atau pati selama pemanasan. Semakin kecil viskositas breakdown semakin stabil pasta pati atau pasta tepung terhadap pemanasan. Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan tepung jagung NK 33 lebih stabil terhadap pemanasan dibandingkan pati jagung waxy dan pati sagu. Viskositas setback tepung jagung NK 33 (900 BU) lebih tinggi jika dibandingkan viskositas setback pati jagung waxy (273 BU) (Singh et al. 2005) dan pati sagu (100 BU) (Sugiyono et al. 2008). Hal ini menunjukkan bahwa tepung jagung NK 33 lebih cepat mengalami retrogradasi dibandingkan dengan pati jagung waxy dan pati sagu. Fenomena ini dapat terjadi karena kandungan amilosa pada tepung jagung NK 33 lebih tinggi jika dibandingkan pati jagung waxy dan pati sagu sehingga amilosa yang lepas (amilosa leaching) selama proses gelatinisasi pada tepung jagung NK 33 juga lebih tinggi. Pada saat pendinginan, amilosa yang telah lepas (leaching) dapat bergabung dengan cepat membentuk kristal tidal larut sehingga viskositas pasta tepung jagung NK 33 menjadi lebih kental jika dibandingkan pati jagung waxy dan pati sagu. Berdasarkan profil gelatinisasi yang dimiliki, tepung jagung NK 33 termasuk

dalam tipe B ditandai dengan viskositas puncak tepung jagung yang sedang dan penurunan viskositas yangtidak terlalu tajam selama pemanasan.

Swelling volume tepung jagung NK 33 (88,77 ml/g bk) lebih rendah dibandingkan swelling volume beberapa tepung jagung hibrida yang lain seperti Bisi 16 (9,05 ml/g bk), Nusantara 1 (10,48 ml/g bk), Prima (9,18 ml/g bk) (Ekafitri 2009) dan swelling volume tepung jagung Pioner 21 (20 ml/g bk) (Kusnandar et al. 2008). Kelarutan tepung jagung NK 33 (11,20%) lebih rendah dibandingkan kelarutan tepung jagung Pioneer 21 (15,23%) tetapi kelarutan tepung jagung NK 33 lebih tinggi dibandingkan kelarutan tepung jagung Bisi 16 (10,26%), Nusantara 1 (6,76%) dan Prima (9,44%) (Ekafitri 2009). Daya serap air tepung jagung NK 33 (1,25 g/g bk) lebih rendah jika dibandingkan daya serap air tepung jagung pulut (1,60 g/g bk) (Suarni 2005d).

Komponen-komponen yang terkandung dalam tepung jagung NK 33 seperti kadar pati, amilosa, amilopektin, lemak, protein dan komponen lain dapat memengaruhi profil dan karakteristik gelatinisasi tepung. Hal ini berpengaruh juga jika tepung jagung NK 33 digunakan sebagai bahan baku produk pangan olahan kering seperti cookies. Cookies yang berbahan baku tepung jagung memiliki tekstur yang kasar seperti pasir ketika cookies dimakan. Untuk memperbaiki karakteristik tepung jagung dan cookies yang dihasilkan dilakukan pre-treatment pada tepung jagung dengan cara mengukus tepung jagung dalam retort pada tekanan 1,3 bar suhu 121oC selama 10-60 menit. Penampakan tepung jagung disajikan pada Gambar 11. Secara visual dapat dilihat tepung jagung kontrol berwarna lebih cerah dibandingkan tepung jagung pragelatinisasi pada semua perlakuan sedangkan diantara tepung jagung pragelatinisasi secara visual tidak berbeda.

(a) (b) (c) (d)

(e) (f) (g)

Gambar 11 Tepung jagung dengan lama pengukusan bertekanan yang berbeda (a) kontrol, (b) 10 menit, (c) 20 menit, (d) 30 menit, (e) 40 menit, (f) 50 menit, (g) 60 menit

Sifat Fisikokimia Tepung Jagung NK 33 Akibat Proses Pengukusan Bertekanan

Suhu Gelatinisasi (To, Tp dan Tc)

Hasil analisis suhu awal gelatinisasi (To), suhu puncak gelatinisasi (Tp) dan suhu akhir gelatinisasi (Tc) menggunakan alat DSC disajikan pada Tabel 11. Tepung jagung pragelatinisasi memiliki kisaran To 72,16-74,78oC, Tp 77,03- 79,67oC, dan Tc 81,84-90,84oC. To, Tp dan Tc tepung jagung pragelatinisasi semakin meningkat dengan semakin lama pengukusan bertekanan yang diterapkan. To, Tp dan Tc tepung jagung pragelatinisasi lebih tinggi jika dibandingkan tepung jagung kontrol (To 69,51oC, Tp 75,08oC, Tc 80,09oC). Peningkatan To, Tp dan Tc tepung jagung pragelatinisasi seiring dengan peningkatan lama waktu pengukusan bertekanan, hal ini berarti semakin lama waktu pengukusan bertekanan tepung jagung maka To, Tp dan Tc tepung jagung pragelatinisasi semakin tinggi. Menurut Pukkahuta et al. (2008), peningkatan suhu gelatinisasi disebabkan oleh penyusunan kembali rantai amilopektin yang pendek yang difasilitasi oleh energi panas dan keberadaan air selama proses pengukusan bertekanan. Molekul amilosa terbesar berada di daerah amorphous berikatan dengan rantai cabang amilopektin dari daerah kristalin sehingga akibat interaksi

ini mengurangi mobilitas rantai amilopektin dan menyebabkan granula pati lebih kuat dan tidak mudah meleleh.

Tabel 11 Suhu awal gelatinisasi (To), suhu puncak gelatinisasi (Tp) dan suhu akhir gelatinisasi (Tc) tepung jagung dengan lama pengukusan bertekanan yang berbeda

Lama pengukusan bertekanan

(menit) To ( o C) Tp (oC) Tc (oC) 10 72,61 77,68 82,99 20 72,16 77,03 81,97 30 73,40 78,42 84,11 40 73,29 78,25 83,43 50 74,13 78,85 84,57 60 74,78 79,67 90,84

Studi yang mendukung peningkatan To, Tp dan Tc pati setelah proses pengukusan bertekanan diantaranya adalah perlakuan pengukusan bertekanan dengan DIC (instantaneous controlled pressure drop) pada pati jagung. To, Tp dan Tc pati meningkat seiring dengan peningkatan tekanan dan lama waktu proses. Peningkatan suhu gelatinisasi pada pati jagung setelah proses pengukusan bertekanan dipengaruhi oleh perubahan struktur granula yaitu penurunan destabilisasi bagian amorphous ketika bagian kristalin meleleh atau rusak karena pembentukan komplek amilosa-lipid dan interaksi inter dan intra molekul rantai amilosa (Maache-Rezzoug et al. 2009).

Gunaratne dan Hoover (2002) menyatakan perbedaan suhu gelatinisasi diantara pati karena struktur molekul amilopektin (panjang rantai dan luas percabangan), komposisi pati (rasio amilosa dan amilopektin, jumlah kompleks lipid, rantai amilosa dan kadar fosfor), dan struktur granula pati (rasio kristalin dan amorphous). Zavareze dan Dias (2010) menambahkan selain kadar amilosa dan sumber pati, peningkatan To, Tp dan Tc dipengaruhi oleh kadar air pati pada proses hidrotermal. Secara umum To, Tp dan Tc meningkat dengan peningkatan intensitas panas dan kadar air.

Korelasi antara To, Tp dan Tc disajikan pada Gambar 12. To, Tp dan Tc berkorelasi positif dengan kadar air setelah pengukusan bertekanan. To dan Tp memiliki korelasi yang tinggi atau kuat dengan kadar air setelah pengukusan

bertekanan (rTo = 0,77 dan rTp = 0,72). Tc dan kadar air setelah pengukusan bertekanan memiliki korelasi yang cukup berarti (rTc = 0,65). Peningkatan To, Tp dan Tc diikuti oleh peningkatan kadar air setelah pengukusan bertekanan.

Gambar 12 Hubungan kadar air tepung jagung setelah pengukusan bertekanan dan To, Tp, Tc tepung jagung pragelatinisasi dengan perlakuan lama pengukusan bertekanan yang berbeda

Proses gelatinisasi dimulai pada bagian hilum granula (bagian amorphous) karena pada bagian ini ikatan hidrogennya lebih lemah. Bagian amorphous mengembang secara cepat kemudian pengembangan mengarah ke bagian luar yaitu bagian kristalin. Perbedaan suhu gelatinisasi diantara pati karena perbedaan derajat kristalin. Suhu gelatinisasi yang tinggi dikarenakan derajat kristalin yang tinggi dimana struktur lebih stabil dan granula lebih resisten terhadap gelatinisasi (Singh et al. 2003). Adebowale et al. (2009) menyatakan pada saat proses gelatinisasi, bagian amorphous menyerap air dan mengalami pembengkakan. Ketika bagian amorphous mengembang menyebabkan bagian kristalin stress dan rantai polimer dilepaskan dari permukaan kristal pati. Setelah proses HMT (heat moisture-treatment), interaksi antara molekul amilosa-amilosa dan amilosa-lipid menurunkan mobilitas bagian amorphous sehingga memerlukan suhu yang lebih tinggi untuk mengembang dan mengacaukan bagian kristalin.

Lu et al. (1996) dan Miyoshi (2002) menyatakan selama proses HMT terjadi degradasi molekul amilopektin pada rantai linier bagian luar sehingga jumlah molekul besar menurun tetapi jumlah molekul-molekul yang lebih kecil meningkat seperti molekul amilosa atau kompleks amilosa-lipid. Hal ini mengindikasikan terbentuknya kristalin baru dengan kestabilan panas yang berbeda pada bagian amorphous. Peningkatan kompleks amilosa-lipid setelah

r To = 0,77 r Tp = 0,72 r Tc = 0,65 65 70 75 80 85 90 95 11,0 11,5 12,0 12,5 13,0 To, Tp, Tc (oC) Kadar air (% bb) To Tp

HMT mengakibatkan suhu gelatinisasi yang lebih tinggi dibandingkan pati tanpa perlakuan HMT. Beberapa studi lain yang mendukung diantaranya HMT pada pati jagung (Hoover dan Manuel 1996, Kweon et al. 2000, Loisel et al. 2006, Zarguili 2006), HMT pati kentang (Lim et al. 2001, Varatharajan 2010), HMT pati singkong (Gunaratne dan Hoover 2002), pengukusan tepung beras (Lai 2001).

Entalpi Gelatinisai (ΔH)

Entalpi gelatinisasi adalah energi panas yang dibutuhkan melepas ikatan double heliks amilosa dan merusak bagian kristalin selama proses gelatinisasi. Pengukuran kualitas kristalin (panjang rantai double heliks) dicerminkan dengan suhu puncak gelatinisasi (Tp) sedangkan pengukuran kristalin secara menyeluruh (kualitas dan kuantitas) dicerminkan dengan entalpi gelatinisasi (ΔH) (Singh et al. 2003). Pernyataan senada, entalpi gelatinisasi menggambarkan jumlah double heliks yang tidak lepas dan larut selama gelatinisasi (selama proses hidrotermal) dan entalpi gelatinisasi dihubungkan dengan kristalin amilopektin secara menyeluruh (Tester dan Morison 1990, Cooke dan Gidley 1992).

Hasil analisis entalpi gelatinisasi tepung jagung disajikan pada Tabel 12. Entalpi gelatinisasi tepung jagung pragelatinisasi (4,45-4,24 J/g) lebih rendah jika dibandingkan tepung jagung kontrol (5,18 J/g). Proses pengukusan bertekanan menyebabkan penurunan entalpi gelatinisasi tepung jagung pragelatinisasi semua perlakuan. Entalpi gelatinisasi semakin menurun dengan semakin lama proses pengukusan bertekananyang diterapkan.

Tabel 12 Entalpi gelatinisasi (ΔH) tepung jagung dengan perlakuan lama pengukusan bertekanan yang berbeda

Lama pengukusan bertekanan (menit) ΔH (J/g)

10 4,45 20 4,36 30 4,34 40 4,32 50 4,28 60 4,24

Studi yang mendukung hasil penelitian ini diantaranya proses pengukusan bertekanan dengan DIC pada tepung jagung (Zarguili et al. 2006). Penurunan entalpi gelatinisasi terjadi seiring dengan peningkatan pengukusan bertekanandan entalpi nol ketika proses pengukusan bertekanan dilakukan pada tekanan 5 bar. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan entalpi gelatinisasi tergantung pada kerasnya proses pengukusan bertekanan yang dilakukan. Ketika tekanan uap air jenuh meningkat, suhu dalam vessel meningkat sehingga pengaruh panas yang diberikan pada pati juga meningkat. Keseimbangan tekanan 2 bar dicapai pada suhu 122oC dan tekanan 5 bar pada suhu 153oC. Penurunan entalpi gelatinisasi dihubungkan dengan perubahan interkristalin bagian amorphous oleh karena itu bagain kristalin lebih mudah dicairkan sehingga energi yang dibutuhkan lebih rendah.

Kadar air setelah pengukusan bertekanan berkorelasi negatif dengan entalpi gelatinisasi (ΔH) tepung jagung pragelatinisasi dengan koefisien korelasi yang sangat tinggi (r = -0,99) (Gambar 13). Berdasarkan hasil korelasi, dapat disimpulkan bahwa kadar air setelah pengukusan bertekanan sangat berhubungan dengan entalpi gelatinisasi tepung jagung pragelatinisasi. Peningkatan kadar air setelah pengukusan bertekanan diikuti oleh penurunan entalpi gelatinisasi tepung jagung pragelatinisasi.

Gambar 13 Hubungan kadar air tepung jagung setelah pengukusan bertekanan dan entalpi gelatinisasi (ΔH) tepung jagung pragelatinisasi dengan perlakuan lama pengukusan bertekanan yang berbeda

Perbedaan Tp dan ΔH disebabkan oleh perbedaan komposisi pati khususnya rasio amilosa dan amilopektin, dimana amilopektin adalah komponen utama yang

r = - 0,99 4.0 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 11.0 11.5 12.0 12.5 13.0 Kadar air (% bb) Δ H (J /g )

terlibat dalam kristalin granula pati. Hal ini ditunjukkan oleh hasil penelitian Loisel et al. (2006), pati jagung normal lebih sensitif terhadap perlakuan pengukusan bertekanan dengan DIC dibandingkan pati jagung waxy karena kadar amilosa pada pati jagung normal lebih tinggi dibandingkan jagung waxy. Sasaki et al. (2000) menyatakan pati yang memiliki kadar amilosa lebih tinggi memiliki bagian amorphous yang lebih tinggi dan bagian kristalin yang lebih rendah sehingga diperlukan suhu gelatinisasi yang lebih rendah.

Miyoshi (2002) melaporkan penurunan entalpi gelatinisasi (ΔH) mengindikasikan kristalin amilopektin didegradasi selama proses HMT. Bagian kristalin amilopektin dibentuk oleh rantai cabang yang pendek yang terikat dalam double heliks. Degradasi molekul amilopektin pada rantai linier bagian luar menghasilkan molekul-molekul yang lebih kecil seperti molekul amilosa atau kompleks amilosa-lipid. Hal ini menyebabkan terbentuknya kristalin baru. Struktur kristalin amilopektin baru yang terbentuk lebih lemah sehingga lebih mudah didegradasi. Hal senada disampaikan Loisel et al. (2006), penurunan entalpi gelatinisasi (ΔH) pati jagung dikarenakan hilangnya bagian kristalin di dalam granula setelah proses pengukusan bertekanan. Kehilangan bagian kristalin dapat diperkirakan dengan tingkat gelatinisasi pati. Kehilangan bagian kristalin semakin banyak seiring dengan perlakuan yang lebih intensif sehingga mengakibatkan bagian amorphous granula pati semakin banyak. Hasil X-ray diffraction pada pati jagung tekanan 2 bar (60 menit) dan 3 bar (15 menit) menyebabkan struktur kristalin sebagian hilang (tekanan 2 bar) dan seluruhnya hilang (tekanan 3 bar) dan terbentuk kompleks amilosa-lipid selama proses DIC (Maache-Rezzoug et al. 2009). Penurunan struktur kristalin juga ditemukan pada pati gandum setelah perlakuan pengukusan bertekanan dengan DIC (Zarguili et al. 2006).

Tingkat Gelatinisasi (TG)

Tingkat gelatinisasi adalah rasio antara pati yang tergelatinisai terhadap total pati. Tingkat gelatinisasi tergantung pada kondisi proses pengukusan bertekanan yang diterapkan. Pada tekanan 1,3 bar (121oC) dengan ketebalan lapisan tepung saat proses pengukusan bertekanan 1 cm, tingkat gelatinisasi tepung jagung

pragelatinisasi berkisar 14,09-18,15% (Tabel 13). Tingkat gelatinisasi yang paling rendah dimiliki oleh tepung jagung pragelatinisasi dengan lama waktu pengukusan bertekanan 10 menit, sedangkan tingkat gelatinisasi paling tinggi diperoleh pada tepung pragelatinisasi dengan lama waktu pengukusan bertekanan 60 menit. Tingkat gelatinisasi tepung jagung pragelatinisasi semakin meningkat seiring dengan peningkatan waktu proses pengukusan bertekanan.

Tabel 13 Tingkat gelatinisasi (TG) tepung jagung dengan perlakuan lama pengukusan bertekanan yang berbeda

Lama pengukusan bertekanan (menit) TG (%)

10 14,09 20 15,83 30 16,22 40 16,60 50 17,37 60 18,15

Zarguili et al. (2006) menyatakan tingkat gelatinisasi merupakan pencerminan bagian kristalin yang hilang setelah proses pengukusan bertekanan. Tingkat gelatinisasi tergantung pada level pengukusan bertekanan dan lamanya waktu proses pengukusan bertekanan. Pada tekanan 3 bar (136oC) selama 2 menit, tingkat gelatinisasi pati jagung 73,1% sedangkan pada tekanan yang sama dengan waktu proses 10 menit tingkat gelatinisasinya meningkat menjadi 84,6%. Pada tekanan 2 bar (122oC) dengan lama waktu proses pengukusan bertekanan 2 menit tingkat gelatinisasi pati jagung 23,9% sedangkan pada tekanan 5 bar (157oC) dengan waktu yang sama tingkat gelatinisasi pati jagung 100%. Pada tekanan 5 bar mengindikasikan bahwa seluruh bagian kristalin hilang. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dikatakan semakin tinggi tekanan dan semakin lama waktu pengukusan bertekanan mengakibatkan tingkat gelatinisasi pati jagung semakin tinggi.

Hasil analisis korelasi menunjukkan kadar air berkorelasi positif dengan tingkat gelatinisasi dengan koefisien korelasi yang sangat tinggi (r = 0,99) (Gambar 14). Berdasarkan hasil korelasi, dapat dikatakan bahwa kadar air mempunyai peranan yang sangat penting terhadap terjadinya gelatinisasi tepung

jagung selama proses pengukusan bertekanan dalam retort. Peningkatan tingkat gelatinisasi diikuti oleh peningkatan kadar air tepung jagung. Derajat hubungan antara kadar air dan tingkat gelatinisasi sangat tinggi, ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasi yang sangat tinggi. Vermeylen et al. (2006) menyatakan peningkatan kadar air selama proses pengukusan bertekananmemengaruhi proses gelatinisasi yang terjadi karena kadar air memegang peranan penting dalam meningkatkan mobilitas rantai amilosa sehingga berpengaruh terhadap destabilisasi bagian amorphous granula pati.

Gambar 14 Hubungan kadar air tepung setelah pengukusan bertekanan dan tingkat gelatinisasi tepung jagung pragelatinisasi dengan perlakuan lama pengukusan bertekanan yang berbeda

Proses pengukusan bertekanan yang semakin intensif dapat meningkatkan tingkat gelatinisasi pati juga ditunjukkan oleh hasil penelitian Loisel et al. (2006). Pada tekanan 1,3 bar selama 2,5 menit tingkat gelatinisasi pati jagung 3,5% sedangkan jika waktu proses ditingkatkan menjadi 5 menit tingkat gelatinisasi pati jagung meningkat menjadi 5,1%. Studi lain yang mendukung adalah proses pengukusan pada tepung beras (Lai 2000) dan HMT pati kentang (Varatharajan et al. 2010).

Range Suhu Gelatinisasi (R)

Range suhu gelatinisasi (R) mencerminkan kualitas dan homogenitas bagian kristalin, dimana mencakup keseragaman ukuran dan stabilitas kristal (Gunaratne dan Hoover 2002). Hasil analisis range suhu gelatinisasi disajikan pada Tabel 14.

r = 0,99 10.0 10.5 11.0 11.5 12.0 12.5 13.0 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Tingkat gelatinisasi (%) K a d a r a ir (% b b )

Range suhu gelatinisasi tepung jagung pragelatinisasi (9,44-10,14) lebih rendah jika dibandingkan range suhu gelatinisasi tepung jagung kontrol (11,14). Penurunan range suhu gelatinisasi tepung jagung pragelatinisasi secara umum seiring dengan peningkatan lama waktu pengukusan bertekanan. Menurut Maache-Rezzoug et al. (2009), penurunan range suhu gelatinisasi mencerminkan bahwa bagian kristal yang terbentuk lebih homogen setelah proses pengukusan bertekanan sehingga memerlukan energi atau entalpi yang lebih rendah untuk mencair. Hal ini karena penyatuan kristal yang terbentuk setelah proses pengukusan bertekanan memiliki daya kohesi yang rendah.

Tabel 14 Range suhu gelatinisasi (R) tepung jagung dengan perlakuan lama pengukusan bertekanan yang berbeda

Lama pengukusan bertekanan (menit) R

10 10,14 20 9,74 30 10,04 40 9,92 50 9,44 60 9,78

Proses pengukusan bertekanan yang semakin intensif dapat menurunkan range suhu gelatinisasi. Studi lain yang mendukung adalah perlakuan pengukusan bertekanan dengan DIC pada tepung jagung dengan tekanan yang berbeda (Maache-Rezzoug et al. 2009) dan pada tekanan yang sama dengan lama waktu yang berbeda (Zarguili et al. 2006). Perlakuan pengukusan bertekanan pada tekanan 1 bar (90 menit) menghasilkan range suhu gelatinisasi 11,6 sedangkan pada tekanan 2 bar dengan waktu yang sama menghasilkan range suhu gelatinisasi 9,2 (Maache-Rezzoug et al. 2009). Perlakuan pengukusan bertekanan pada tekanan 3 bar waktu 1 menit range suhu gelatinisasi 15,6, waktu 10 menit range suhu gelatinisasi 11,2 dan waktu 15 menit range suhu gelatinisasi 8,4 (Zarguili et al. 2006). Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa tekanan yang lebih tinggi dan waktu yang lebih lama selama proses pengukusan bertekanan dapat menurunkan range suhu gelatinisasi.

Analisis korelasi menunjukkan range suhu gelatinisasi berkorelasi negatif dengan kadar air setelah pengukusan bertekanan dengan koefisien korelasi yang

cukup berarti (r = -0,67) (Gambar 15). Dapat dikatakan range suhu gelatinisasi memiliki hubungan yang cukup erat dengan kadar air setelah pengukusan bertekanan. Peningkatan kadar air setelah pengukusan bertekanan diikuti oleh penurunan range suhu gelatinisasi.

Gambar 15 Hubungan kadar air tepung setelah pengukusan bertekanan dan range gelatinisasi (R) tepung jagung setelah pengukusan bertekanan dengan

Dokumen terkait