• Tidak ada hasil yang ditemukan

Permintaan dunia terhadap produk-produk peternakan diprediksi mencapai dua kali lipat sampai dengan pertengahan abad ini disebabkan oleh naiknya pertambahan jumlah penduduk, dan di lain pihak pada waktu bersamaan telah diprediksi akan terjadi perubahan cuaca yang besar secara global. Dengan meningkatnya permintaan hasil produksi tanaman pangan untuk mengisi kebutuhan biofuel akhir-akhir ini, turut memberikan dampak terhadap suplai sumber pangan dan juga terjadi kenaikkan harga untuk komoditi tanaman pangan sumber enegi terbarukan tersebut. Bagi negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia keamanan pangan atau food secutity tetap menjadi isue prioritas tertinggi. Oleh karena sampai saat ini masih tetap melakukan impor daging merah dan ternak sapi bakalan dalam jumlah besar, karena tidak ada keseimbangan antara permintaan dan penawaran komoditi ini.

Sulitnya memenuhi kebutuhan daging merah atau daging ternak ruminansia di Indonesia disebabkan oleh beberapa alasan, diantaranya adalah keterbatasan sumber daya pakan hijauan. Ditengah upaya meningkatkan suplai komoditi daging merah berasal dari ternak ruminansia justru dinyatakan turut bertanggung jawab atas terjadinya pemanasan global akibat akumulasi gas-gas rumah kaca, di antaranya gas N2O dan gas CH4 yang banyak dihasilkan oleh ternak ruminan (FAO, 2006; Follett and Reed., 2010). Diperkirakan kurang lebih 20% emisi gas metane, dan antara 16 - 33% N2O berasal dari kegiatan pertanian terutama dihasilkan dari padang rumput (Clark et al., 2005). Bahaya gas metane 23 kali lebih besar dari gas CO2, dan bahaya gas N2O lebih buruk lagi yaitu sekitar 300 kali (Guss, 2011). Namun demikian dampak positif dari pemanasan global adalah tersedia CO2 yang sangat dibutuhkan dalam proses fotosintesis, sehingga diprediksi bahwa naiknya produksi biomassa tanaman sekarang ini tidak lagi sepenuhnya sebagai hasil pemuliaan tanaman dan manajemen budidaya, tetapi turut ditentukan oleh ketersediaan gas CO2 (Mc Laughin, 2003; IPPC, 2007). Oleh karena itu ketrsediaan gas tersebut perlu disiasati penggunaannya sebagai peluang untuk meningkatkan produktivitas

tanaman biji-bijian dan padang penggembalaan dengan penerapan teknologi adaptasi yang tepat.

Saat panen yang tepat.

Kebiasaan penggembalaan ternak yang diterapkan selama ini hanya bertujuan bagaimana cara menghasilkan biomassa hijauan untuk memenuhi kebutuhan ternak. Berbagai teknologi budidaya telah diterapkan, namun faktor lingkungan lain belum diperhatikan. Patokan umur penggembalaan ternak tergantung jenis hijauan yang digunakan, tetapi jenis tanaman padang penggembalaan biasanya digembalai pada umur tanaman sekitar 30 hari. Patokan ini ditetapkan karena selama ini penggembalaan ternak hanya dipahami secara sederhana dan terfokus pada aspek morfologi tanaman.

Sesungguhnya penggembalaan memberikan pengaruh yang kompleks terhadap tanaman rumput dalam kaitannya dengan pertumbuhan, densitas dan produksi biomassa hijauan pakan, yang pada gilirannya akan mempengaruhi suplai hijauan untuk memenuhi kebutuhan ternak (Manske, 2001). Praktek penggembalaan tradisional menyebabkan kerusakan lanskap dan kemunduruan sampai pada kerusakan ekosistem padang penggembalaan (Gorder et al., 2005)

Pemanasan global yang diakibatkan oleh meningkatnya gas CO2 di atmosfir mendasari hipotesis bahwa akan ada perbedaan kebutuhan satuan bahang untuk menghasilkan satu filokron rumput B. humidicola yang digunakan sebagai tanaman padang penggembalaan. Kebutuhan satuan bahang untuk menghasilkan satu filokran pada tanaman yang tumbuh tunggal pada pelitian ini sebesar 68,19 DD (0C hari), sedangkan pada tanaman yang tumbuh dalam komunitas membutuhkan lebih yakni 130,44 DD ( 0C hari). Tanaman tunggal yang membutuhkan satuan bahang lebih sedikit disebabkan kurang terjadi persaingan unsur hara dan air. Selain itu penetrasi cahaya matahari mencapai permukaan tanah dan menaikkan suhu permukaan tanah, sebagai perangsang munculnya tunas baru. Tanaman dalam komunitas yang membutuhkan satuan bahang lebih banyak, mungkin disebabkan karena padatnya populasi tanaman yang membatasi penetrasi cahaya matahari ke permukaan tanah. Filokron dipengaruhi suhu udara

pada tingkat kanopi tanaman, tetapi lebih ditentukan oleh suhu permukaan tanah di sekitar titik tumbuh pada crown (McMaster et al., 2003).

Defoliasi atau perenggutan merangsang pertumbuhan anakan baru yang lebih vigor, dengan prosentase biomassa daun yang lebih banyak dan bergizi. Selain itu defoliasi/perenggutan merangsang pelepasan karbon dan asam amina mlalui eksudat akar, unsur-unsur sangat dibutuhkan untuk prolifikasi mikro organisme tanah (Gorder et al., 2005).

Sejak lama manajemen defoliasi tanaman makanan ternak lebih banyak terfokus pada pengaturan intensitas dan frekuensi pemotongan, atau tekanan penggembalaan, tetapi mengabaikan tahap perkembangan vegetatif yang tepat. Bila hal tersebut diperhatikan maka tanaman diberi kesempatan untuk mampu menyediakan jumlah biomassa hijauan yang dibutuhkan ternak, dan menjamin keberlanjutan produksi dan reproduksi.

Selama ini belum tersedia data tahap perkembangan vegetatif yang tepat pada rumput B.humidicola untuk dapat digembalakan. Secara umum dikatakan bahwa tahap perkembangan tanaman rumput dengan memiliki 3,5 daun dewasa cukup ideal untuk digembalai. Mengacu pada patokan tersebut, dan berdasarkan hasil percobaan I bahwa kebutuhan satuan bahang tanaman dalam komunitas 130,44 DD (0C hari) maka tanaman B. humidicola untuk dapat dipanen akan membutuhkan jumlah satuan bahang sebesar 456,54 DD (0C hari).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan interval defoliasi berdasarkan kebutuhan unit panas yang berinteraksi dengan intensitas defoliasi 10 cm di atas permukaan tanah, ternyata memberikan hasil bobot kering biomassa hijauan, rasio daun batang, dan kandungan protein kasar paling tinggi, sebaliknya kandungan serat kasar, ADF dan Lignin yang paling rendah. Hasil ini diperoleh dari manajemen defoliasi secara manual atau pemotongan dengan alat potong gunting. Cara ini belum melibatkan faktor-faktor kompleks dalam yang terdapat dalam integrasiperkebunan kelapa – padang penggembalaan – ternak sapi. Dalam sistem integrasi ini kompetisi (cahaya, air dan hara), pengaruh injakan dan renggutan ternak, adanya urine dan feses ternak, serta simbiosis mutualis mikro organisme tanah merupakan suatu kajian ekofisiologis yang kompleks yang harus diperhatikan.

Data kebutuhan unit panas yang diperoleh untuk rumput B. humidicola

memberikan gambaran bahwa CO2 berlimpah di atmosfir yang turut menyebabkan naiknya suhu udara, dapat dimanfaatkan secara efisien untuk pertumbuhan tanaman yang optimal. Tingkat pertumbuhan yang optimal tersebut akan lebih akurat dengan menggunakan patokan akumulasi unit panas yang dibutuhkan tanaman. Keragaan padang penggembalaan diperoleh sebagai hasil interaksi antara fenofase dengan intensitas defoliasi yang tepat, karena terkait dengan ketersediaan cadangan energi untuk pertumbuhan kembali.

Sebagaimana diketahui bahwa cadangan energi dan tersedianya titik-titik tumbuh ditentukan oleh berapa banyak bagian tanaman yang tertinggal setelah defoliasi. Data morfologis dan nilai nutrien hasil perlakuan tersebut di atas, mengindikasikan bahwa rumput B. humidicola potensial sebagai pakan, tetapi sejauh mana nilai biologisnya akan terlihat pada keragaan padang penggembalaan dan keragaan ternak setelah digembalai.

Keragaan padang penggembalaan dan keragaan ternak.

Integrasi tanaman padang penggembalaan dan ternak sapi ke dalam sistem perkebunan kelapa bukanlah model yang baru, melainkan sudah diterapkan oleh petani sejak lama, yang dikenal dengan sistem segi tiga Kelapa-Pastura-Ternak sapi (Reynolds, 1990). Sistem integrasi ini memiliki berbagai keuntungan, tetapi juga kerugian jika tidak menerapkan manajemen penggembalaan yang benar. Integrasi padang penggembalaan dan ternak sapi dengan tanaman industri seperti kelapa, karet dan sengon merupakan suatu lingkungan ekofisiologis yang kompleks. Untuk keberlanjutan semua komponen yang terkait harus hidup dengan pola simbiose mutualistis.

Tanaman kelapa, padang penggembalaan dan ternak sapi merupakan komponen yang menyusun sistem segi tiga tersebut. Ketiga komponen ini berinteraksi langsung dan tidak langsung melalui tanah sebagai media. Komponen ternak mensuplai manure sebagai sumbangan positif pada tanah, akan tetapi ternak juga memberikan pengaruh negatif berupa pemadatan tanah bila besarnya tekanan penggembalaan melebihi kapasitas tampung lahan.

Ternak memberikan unsur hara secara tidak langsung pada padang penggembalaan, tetapi memberikan manure melalui tanah. Manure tersebut akan mengalami proses dekomposisi oleh mikro organisme tanah, sampai unsur- unsurnya menjadi tersedia untuk tanaman rumput B. humidicola dan juga untuk tanaman kelapa.

Kontribusi ternak pada padang penggembalaan secara fisik berupa perenggutan, yang pada gilirannya akan merangsang pertumbuhan kembali tanaman rumput. Pertumbuhan anakan baru tersebut terjadi karena , dengan adanya defoliasi / perenggutan menyebabkan penghambatan dominasi apikal sebagai hasil kerja hormon auksin. Dengan terjadinya penghambatan kerja hormon auksin akan merangsang pertumbuhan tajuk baru / tunas tunas lateral pada tanaman rumput bagian bawah.

Pengaruh positif penggembalaan ternak hanya akan terjadi jika tekanan penggembalaan yang sesuai dengan kapasitas tampung, diterapkan pada fase pertumbuhan vegetatif optimal. Interaksi yang tepat ini selain akan memberikan produksi biomassa yang berkualitas untuk ternak, juga menyumbangkan unsur karbon untuk kebutuhan prolifikasi mikroorganisme tanah. Hal ini akan menjadi kontribusi komponen padang penggembalaan pada tanah berupa mulsa. Selain itu tanaman rumput mensuplai unsur-unsur yang terkandung dalam eksudat akar yang akan dilepaskan ke tanah ketika terjadi perenggutan.

Tanah merupakan media untuk proses dekomposisi bahan organik oleh aktifitas mikroorganisme tanah. Mikroorganisme ini berkembang oleh adanya manure dari ternak dan mulsa serta eksudat akar dari tanaman rumput. Pada proses lebih lanjut, tanah akan menyediakan unsur hara untuk padang penggembalaan dan kelapa. Dengan adanya kecukupan unsur hara, padang penggembalaan mampu menyediakan biomassa hijauan pakan yang cukup dan berkualitas untuk memenuhi kebutuhan ternak. Demikian juga karena tersedia unsur hara yang memadai akan menaikkan hasil buah kelapa.

Harapan keberlanjutan sistem integrasi segi tiga kelapa, padang penggembalaan dan ternak sapi hanya akan dicapai bila simbiose mutualistis antar

komponen terpelihara melalui strategi manajemen penggembalaan efektif secara biologis.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan menerapkan sistem penggembalaan rotasi mampu memperbaiki keragaan padang penggembalaan. Keragaan tersebut sebagai indikator persistensi tanaman rumput setelah mengalami perenggutan, terutama yang berinteraksi dengan tekanan penggembalaan yang tinggi. Keragaan ini terefleksi juga pada kualitas nutrien yang dihasilkan, dimana sistem penggembalaan rotasi menghasilkan protein kasar lebih tinggi dibandingkan sistem penggembalaan kontinyu. Demikian juga dengan naiknya tekanan penggembalaan diikuti dengan naiknya kandungan protein kasar. Berbagai literatur menyatakan bahwa rumput B. humidicola dikategorikan sebagai jenis rumput yang persisten dan dianjurkan dapat digunakan untuk padang penggembalaan. Akan tetapi indikator yang dapat diukur untuk menunjukkan persistensinya masih sangat terbatas, khususnya yang tumbuh terintegasi dengan tanaman kelapa. Persistensi dan kandungan nutrien dari penelitian ini terukur juga pada produksi ternak berupa penambahan bobot badan (pbb) harian. Sistem penggembalaan rotasi memberikan penambahan bobot badan harian lebih tinggi dari sistem penggembalaan kontinyu. Penggembalaan dengan sistem rotasi pada tekanan penggembalaan yang ideal seperti dalam penelitian ini, tidak saja mempertahankan persistensi tetapi juga meningkatkan kesuburan tanah, terutama unsur nitrogen.

Dengan menggunakan data penambahan bobot badan sekitar 382 g/e/h pada sistem penggembalaan kontinyu dengan 3 ekor ternak, atau setara dengan berat total 411,8 kg/ha/thn. Bila harga penjualan Rp. 25.000/kg berat hidup, akan diperoleh hasil penjualan dari jumlah penambahan bobot badan sebesar Rp. 10.275.000.-/ha/tahun. Pada sistem penggembalaan rotasi dengan penambahan bobot badan 406 g/e/h, pbb untuk 3 ekor sama dengan 438,5 kg/ha. Dengan cara perhitungan yang sama akan diperoleh hasil penjualan Rp. 10.975.000.- Jumlah ini merupakan nilai tambah introduksi padang penggembalaan dan ternak pada sistem pertanian perkebunan kelapa.

Produksi kopra pada pertanian kelapa rakyat yang pada umumnya tanpa manajemen budidaya yang baik menghasilkan 1 ton kopra per hektar per tahun.

Bila harga kopra Rp 8.000 / kg, berarti menghasilkan Rp. 8.000.000./ha/tahun. Ketergantungan pendapatan petani bila hanya pada komoditi kelapa selalu beresiko, karena harga kopra fluktuatif sepanjang waktu. Penerimaan dari penjualan kopra tersebut belum merupakan pendapatan neto petani karena harus dipotong biaya tenaga kerja dan angkutan. Dengan demikian penerimaan petani dari penjualan kopra hanya berkisar 50% dari jumlah tersebut. Dari perhitungan ini terlihat bahwa kotribusi ternak secara ekonomi pada sistem pertanian perkebunan kelapa sangat bermakna yaitu sekitar 10 juta rupiah lebih besar dari pendapatan bruto hasil penjualan kopra.

Pentingnya integrasi padang penggembalaan dan ternak sapi dalam sistem pertanian perkebunan kelapa adalah bahwa harga daging sapi tidak pernah turun di pasaran. Sampai saat ini Indonesia defisit daging merah, karena komoditi ini hanya berkembang 1,4% per tahun sedangkan permintaan komoditi ini sebesar 4,7 % per tahun. Hal ini yang menyebabkan impor daging merah dan sapi bakalan untuk penggemukan tetap meningkat sampai tahun ini.

Dengan menerapkan manajemen yang memperhatikan keseimbangan antar komponen yang menyusun sistem integasi ini, memberikan sumbangan yang tidak ternilai dengan uang untuk lingkungan hidup melalui beberapa mekanisme. Pertama, dengan menerapkan sistem penggembalaan rotasi dan tekanan penggembalaan yang semakin tinggi merangsang terjadinya pertumbuhan kembali rumput setelah direnggut. Dalam hal ini terjadi penggunaan CO2 yang semakin banyak melalui fotosintesis yang cepat ketika terjadi pertumbuhan kembali tanaman rumput. Pemanfaatan CO2 yang banyak tersebut membantu upaya mitigasi terhadap pemanasan global. Kedua, rumput B. humidicola melepaskan senyawa brachialactone melalui eksudat akar. Senyawa ini berperan sebagai

biological nitrification inhibitor (BNI) yang dapat memperlambat terjadinya pelepasan N2O sebagai salah satu gas rumah kaca, melalui nitrifikasi. Aktivitas

brachialactone hanya akan terstimulasi apabila tersedia NH4 di sekitar perakaran. NH4 ini dapat berasal dari pemupukan nitrogen atau adanya urine.

Peristiwa ini merupakan satu bentuk simbiosis mutualistis antara rumput

defoliasi secara mekanik (cutting or mowing) dan defoliasi secara biologis oleh ternak (grazing).

Direktorat Jenderal Produksi Peternakan menargetkan swasembada daging merah akan dicapai pada tahun 2014, atau impor daging merah akan dibatasi hanya sebesar 10%. Kalau demikian seharusnya lahan tidur, terutama di areal pertanaman kelapa, yang ditutupi oleh hijauan lokal yang tidak edible sebagai pakan, seharusnya dikonversi menjadi padang penggembalaan unggul. Dalam hal ini B. humidicola dapat digunakan sebagai rumput padang penggembalaan unggul disertai dengan penerapan manajemen dan teknologi adaptasi terhadap perubahan iklim, seperti yang diperoleh dalam penelitian ini.

Dokumen terkait