• Tidak ada hasil yang ditemukan

5.2.1 Kelompok variabel karakteristik hasil tangkapan

Karakteristik hasil tangkapan yang disajikan merupakan karakteristik hasil tangkapan yang diperoleh saat penelitian dimana berlaku musim tenggara yaitu musim sedikit ikan. Karakteristik hasil tangkapan dapat berubah pada saat rawai dasar dioperasikan pada musim yang berbeda.

Perbandingan jumlah hasil tangkapan sasaran utama dan hasil tangkapan sampingan adalah 1: 2. Jumlah hasil tangkapan sampingan yang sangat mendominasi ini menunjukkan bahwa rawai dasar tidak hanya menangkap ikan sasaran utamanya saja, selain itu hal ini juga merupakan indikasi bahwa perairan Lombok Timur memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang cukup tinggi, sehingga tertangkapnya berbagai jenis sumberdaya hayati ini tidak dapat dihindari.

Kakap dan kerapu karang tergolong crepuscular (Anonim 2004b), sehingga kedua ikan ini juga dapat tertangkap pada malam hari, begitupula dengan ikan crepuscular lainnya (Tabel 9). Operasi penangkapan ikan pada saat penelitian dilakukan pada pagi hingga sore hari, sehingga bila operasi ini dilakukan pada malam hari perbandingan hasil tangkapan sasaran utama dan hasil tangkapan sampingannya dapat saja berubah, begitupula dengan jenis-jenis ikannya. Pada malam hari kemungkinan ikan nokturnal yang tertangkap akan lebih tinggi dan akan mendominasi hasil tangkapan sampingan bersama ikan-ikan crepuscular lainnya.

Spesies dari filum Coelenterata (Sargantia elegans, bunga karang dan kipas laut) ini tersangkut oleh mata pancing yang dipasang dekat tempat hidup mereka. Terambilnya koral atau “tanaman laut’ ini haruslah menjadi sorotan yang penting karena bila jumlahnya terus menurun maka kelestarian terumbu karang di masa depan akan terancam. Bila terumbu karang ini mencapai kondisi yang sangat kritis maka begitupula dengan ikan-ikan karang yang hidup di dalamnya.

Nelayan rawai dasar berusaha untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar- besarnya, sehingga seluruh ikan hasil tangkapan sampingan dibawa ke daratan untuk dijual. Berbeda dengan hasil tangkapan dari filum Coelenterata yang langsung

dibuang ke laut karena dianggap tidak bernilai jual. Mereka belum mengetahui bahwa kipas laut telah dapat dimanfaatkan sebagai dekorasi ruangan.

Selain berbagai jenis ikan dan beberapa spesies dari filum Coelenterata, hasil tangkapan sampingan juga meliputi seluruh hasil tangkapan sasaran utama yang tidak layak tangkap. Rasio jumlah antara ikan yang layak tangkap dan tidak layak tangkap adalah 2:1 untuk kakap merah dan 74:1 untuk kerapu karang, atau 4:1 untuk kedua ikan tersebut. Kedua jenis ikan ini meiliki proporsi ukuran layak tangkap yang jauh lebih tinggi dibandingkan ukuran yang tidak layak tangkap, hal ini dapat disebabkan karena di tempat rawai dasar dioperasikan di terdapat kakap merah dan kerapu karang dalam kelompok umur yang relatif sama atau dapat juga karena rawai dasar dioperasikan pada musim dimana ikan target penangkapan telah siap memijah. Kakap merah dan kerapu karang dewasa akan hidup secara berkelompok (Kuiter 1992), dan kakap merah yang hidup di terumbu karang umumnya adalah kakap merah yang dewasa (Badrudin 2003).

Puncak panjang kakap merah yang berada di bawah ukuran memijah, frekuensinya jauh berada di bawah frekuensi puncak yang lain. Hal ini perlu diwaspadai karena telah terlihat kecenderungan untuk banyak tertangkap pada ukuran dibawah ukuran layak tangkap. Kerapu karang memiliki puncak panjang dan berat di atas ukuran layak tangkap.

Tertangkapnya ikan-ikan ini juga tampaknya berkaitan erat dengan pancing yang digunakan nelayan, yaitu pancing nomor 11. Pancing ini rata-rata menangkap kakap merah dan kerapu karang pada kisaran 40,0 cm - 43,9 cm, namun beberapa ikan masih tertangkap di bawah kisaran ini. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa nomer pancing yang digunakan adalah terlalu besar (semakin besar nomor pancing, semakin kecil ukuran pancing tersebut).

Beragamnya ukuran ikan yang tertangkap selain disebabkan oleh ukuran mata pancing yang terlalu kecil juga disebabkan oleh banyaknya mata pancing yang dipasang. Jumlah mata pancing mempengaruhi persaingan perebutan umpan pada ikan. Semakin banyak pancing yang digunakan maka persaingan yang terjadi akan semakin berkurang, begitupula sebaliknya. Pada jumlah pancing yang sedikit, hanya

ikan-ikan yang berukuran besar yang mampu bersaing untuk mendapatkan umpan. Sedangkan bila pancing yang dipasang lebih banyak, maka ikan-ikan yang berukuran lebih kecil akan lebih mudah untuk ikut memakan umpan-umpan yang terpasang. Akibatnya ikan-ikan yang tertangkap akan lebih beragam baik dari segi ukuran maupun jenisnya.

Waktu perendaman juga mempengaruhi keragaman ikan yang tertangkap. Semakin lama waktu perendaman kesempatan beraneka jenis ikan termasuk ikan-ikan yang tidak layak tangkap untuk tertangkap akan semakin tinggi pula. Hal ini akan meyebabkan berkurangnya nilai keramahan lingkungan operasi penangkapan ikan ini. Hubungan panjang dan berat diperlukan untuk referensi ukuran ikan yaitu pada saat kegiatan komersil. Grafik hubungan panjang dan berat memperlihatkan apabila kakap merah berada pada ukuran berat di bawah 1104,9 gram per ekornya (bila ukuran panjang mengacu pada 2003c), ikan ini dapat dikategorikan tidak layak tangkap/jual (Gambar 12). Grafik hubungan panjang dan berat untuk kerapu karang (Gambar 13) menunjukkan bahwa kerapu karang yang layak tangkap/jual adalah kerapu karang yang memiliki berat di bawah 189,95 gram per ekornya (bila ukuran panjang mengacu pada Anonim 2003d), atau 400 gram (Sunyoto 2000). Perhitungan layak tangkap kerapu karang pada penelitian ini mengambil teori Sunyoto (2000) karena merupakan perpotongan dari kedua teori pada grafik (Gambar 13).

Ukuran layak tangkap untuk setiap daerah berbeda-beda. Ukuran layak tangkap ini sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan tempat ikan hidup. Kabupaten Lombok Timur belum memiliki ukuran layak tangkap untuk kedua ikan ini, sehingga dapat dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui ukuran layak tangkap ikan-ikan karang di lokasi ini.

5.2.2 Kelompok variabel perilaku nelayan

Terdapat tiga variabel perilaku nelayan yang dapat menurunkan keramahan operasi penangkapan ikan dengan menggunakan rawai dasar. Variabel yang pertama adalah perilaku nelayan yang dapat menyebabkan kecelakaan di laut. Operasi penangkapan ikan yang dikategorikan ramah lingkungan haruslah memberikan resiko

kecelakaan yang minimal terhadap nelayan yang bekerja. Untuk keberhasilan suatu operasi penangkapan diperlukan nelayan yang tangguh untuk mengatasi segala resiko yang mungkin terjadi.

Keselamatan nelayan bergantung kepada alam, pendidikan dan keterampilan nelayan dan tersedianya peralatan keselamatan yang memadai. Nelayan yang memiliki pendidikan ataupun keterampilan yang tinggi akan mampu merawat perahunya dengan baik serta mengetahui tindakan-tindakan yang perlu dilakukan dalam usahanya untuk mengurangi resiko kecelakaan di laut.

Terjadi tiga kali kecelakaan kapal pada tahun 2002. Kecilnya frekuensi terjadinya kecelakaan di laut menunjukkan dengan pendidikan formal yang rendah (Tabel 10), nelayan setempat masih mampu untuk menjalankan operasi penangkapan ikan dengan cukup aman. Pendidikan formal sangat penting untuk mempengaruhi tingkat keselamatan di laut, walaupun tidak dapat dijadikan tolak ukur secara mutlak. Pendidikan yang tinggi bila tidak disertai keterampilan yang tinggi akanlah sia-sia saja. Pelatihan dan penyuluhan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan yang didapatkan melalui pendidikan non formal dapat lebih dimengerti dan akan terimplementasikan dengan lebih baik apabila nelayan setempat memiliki tingkat pendidikan formal yang cukup.

Kecelakaan pertama terjadi pada bulan Januari, yaitu berlaku musim barat dimana angin berhembus cukup kencang sehingga menghambat nelayan untuk kembali ke daratan. Pada waktu terjadi kecelakaan, perahu kembali menjelang malam hari. Kecelakaan perahu yang lain terjadi pada bulan April dimana perahu tidak kembali. Berdasarkan panduan musim nelayan setempat, bulan April termasuk ke dalam musim timur atau musim pancaroba yang ditandai dengan berhembusnya angin yang tidak tentu arahnya.

Sebagian besar nelayan di Kabupaten Lombok Timur menjadikan profesi nelayan sebagai pekerjaan utama, sehingga bila tidak melaut maka kondisi keuangan mereka secara otomatis akan menurun drastis. Berdasarkan alasan tersebut maka masih ada nelayan rawai dasar yang tetap melaut walau dalam musim paceklik dan berangin

kencang, sekalipun hasil yang akan mereka tangkap adalah dalam jumlah yang sangat sedikit dan tentunya beresiko tinggi.

Kecelakaan kedua terjadi pada bulan Desember dimana berlaku musim barat daya. Kecelakaan ini disebabkan oleh perahu yang bocor. Nelayan rawai dasar umumnya rutin melakukan pemeriksaan keseluruhan perahu dan alat tangkapnya tiga kali dalam sebulan. Setiap akan memulai perjalanannya nelayan rawai dasar selalu mengecek ulang kondisi perahu dan alat tangkapnya. Kecelakaan perahu pada saat itu tetap terjadi, hal ini diduga karena perbaikan yang kurang sempurna yang terjadi di saat perbaikan rutin dan kurang cermatnya nelayan pada saat pemeriksaan ulang sebelum melaut. Para nelayan saat itu sangat beruntung, karena peristiwa itu terjadi pada bulan dimana nelayan ramai melaut, sehingga dapat segera ditolong.

Tidak dapat dibayangkan apabila kecelakaan tersebut terjadi pada musim dimana nelayan sedikit beroperasi. Pada kondisi tersebut nelayan hanya dapat mengandalkan bantuan kepada alat-alat keselamatan yang mereka punyai, yaitu pelampung alat tangkap maupun jerigen plastik sampai mereka memperoleh pertolongan. Dengan peralatan keselamatan sederhana seperti ini tentunya mereka tidak akan bertahan terlalu lama. Seluruh unit penangkapan rawai dasar tidak memiliki peralatan keselamatan yang telah disepakati secara nasional. Nelayan setempat beranggapan bahwa alat-alat tersebut masih terlalu mahal, contohnya untuk life jacket harganya berkisar Rp 95.000- Rp 250.000 per unitnya (Anonim 2005e). Nelayan rawai dasar menganggap bahwa peralatan keselamatan ini tidak terlalu dibutuhkan karena kecelakaan perahu jarang sekali terjadi.

Variabel yang kedua adalah perilaku nelayan yang menyebabkan terjadinya kerusakan fisik habitat ikan (terumbu karang). Sekitar 90% dari 30 unit penangkapan rawai dasar yang diamati menurunkan pemberat ke dasar perairan secara langsung tanpa pemilihan lokasi (Tabel 11). Disini ada dua kemungkinan mengapa mereka tidak mengadakan pemilihan lokasi. Kemungkinan pertama karena tidak ada pilihan lain karena penutupan terumbu karang yang merata, sedangkan kemungkinan kedua mereka melakukannya begitu saja tanpa memikirkan akibat yang mungkin ditimbulkan. Dari 90% semuanya seperti pada kemungkinan yang kedua, sisanya

yaitu 10% mengadakan pemilihan lokasi hanya dengan maksud untuk melihat ada atau tidaknya ikan target. Hal ini memberikan indikasi bahwa masih banyak nelayan rawai dasar yang belum sadar akan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem, mereka hanya berpikir bahwa pemberat kapal dan pemberat alat tangkap mereka hanya mengakibatkan kerusakan yang sedikit saja pada terumbu. Apabila seluruh nelayan berpendapat seperti ini maka kerusakan yang menyeluruh mungkin saja akan terjadi. Kerusakan yang terus terakumulasi ini akan mengganggu rantai kehidupan di dalam ekosistem tersebut. Ikan-ikan yang memakan polip karang akan kekurangan makanan dan akhirnya mati, begitupula dengan ikan-ikan predator, sehingga pada akhirnya akan mengurangi hasil tangkapan secara signifikan.

Variabel yang ketiga adalah perilaku nelayan yang menyebabkan pencemaran lingkungan. Untuk mencapai suatu operasi penangkapan ikan yang ramah lingkungan nelayan harus berusaha untuk tidak menyebabkan pencemaran lingkungan. Untuk operasi penangkapan dengan menggunakan rawai dasar, terdapat empat aspek polutan yang diteliti, yaitu:

(1) Tali pancing putus

Nelayan rawai dasar meninggalkan begitu saja tali pancing yang putus di perairan. Hal ini disebabkan karena tali pancing yang putus susah untuh diambil karena terbelit pada karang. Tali pancing yang terbelit langsung dipotong sehingga masih ada bagian lain yang dapat diselamatkan. Tali pancing putus yang ditinggalkan begitu saja di perairan dapat menyebabkan ghost fishing, dimana ikan-ikan terpancing tanpa ada yang mengambilnya, sehingga ikan-ikan tersebut tidak dapat mencari makan ataupun bereproduksi. Terganggunya siklus hidup satu hewan dapat mengganggu siklus hidup hewan lainnya. Selain itu tali pancing yang terbuat dari bahan sintetis, membuatnya tahan terhadap pembusukan sehingga dapat menyebabkan ghost fishing ini dapat bertahan dalam waktu yang sangat lama. Terjadi 1080 tali pancing putus di Kabupaten Lombok Timur tiap tahunnya (Lampiran 8). Data diambil dari 30 perahu responden, yatu hanya 10 % dari keseluruhan perahu rawai dasar yang beroperasi (300 perahu). Bila dijumlahkan akan terdapat 10800 tali pancing putus tiap tahunnya. Untuk

memastikan hal ini dapat dilakukan penelitian lanjutan dengan melakukan pengamatan bawah air. Dari banyaknya tali pancing yang putus, nelayan harus meningkatkan kualitas tali pancing yang digunakan, tentunya dengan usaha pemeliharaan alat tangkap yang lebih baik lagi.

(2) Sampah kemasan perbekalan

Sampah perairan yang mengganggu lainnya adalah sampah-sampah yang dihasilkan oleh nelayan. Dalam suatu trip penangkapan, nelayan rawai dasar membawa perbekalan berupa nasi bungkus, minuman serta terkadang membawa rokok. Kemasan dari barang-barang tersebut oleh hampir semua nelayan rawai dasar dibuang ke laut (Tabel 12, Lampiran 9). Kemasan yang mendominasi adalah dari bahan yang dimasukkan ke dalam kategori non-biodegradable yaitu sebesar 55,5% (Tabel 13), dimana bahan-bahan dari kategori ini tidak dapat diuraikan sehingga akan terus-menerus menjadi sampah di perairan. Apabila telah terakumulasi dalam jumlah yang banyak dan dalam waktu yang lama sangat dikhawatirkan akan merusak habitat ikan karang dalam kisaran yang cukup luas. (3) Bahan bakar

Bahan bakar merupakan salah satu komponen yang tidak dapat dipisahkan dalam analisis ini. Nelayan rawai dasar membawa 4 liter solar untuk setiap tripnya. Untuk setiap liter bahan bakar yang tersisa akan dipergunakan untuk melaut pada trip berikutnya, sehingga tidak ada yang terbuang dengan percuma. Namun terkadang ada saja sedikit bahan bakar yang tercampur bersama minyak pelumas mesin dan air di dalam perahu. Oleh nelayan campuran ini langsung di buang ke laut. Hal ini tentu saja dapat mencemari lingkungan perairan laut. Sebagian minyak akan menguap, yakni yang kadar racunnya tinggi, akan hancur dan bercampur dengan lapisan air laut yang teratas. Beberapa minggu kemudian hancuran-hancuran minyak itu menjadi gumpalan-gumpalan teer yang mengumpul di bawah permukaan air. Lambat laun gumpalan-gumpalan tersebut mengendap dan dibawa oleh gelombang ke pantai. Dengan terkumpulnya gumpalan-gumpalan teer di pantai, maka pantai itu tak akan banyak lagi artinya sebagai tempat pemandian, tempat hidup ikan, kerang dan sebagainya (Thohir

1991). Bahan bakar juga memberikan dampak terhadap lingkungan udara. Udara yang bersih adalah udara yang tidak mengandung uap atau gas dari bahan-bahan kimia yang beracun. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa unit penangkapan rawai dasar menggunakan solar sebagai bahan bakar karena sifatnya yang efektif dan ekonomis. Namun, berpegang kepada prinsip udara bersih, dengan menggunakan solar akan menyebabkan temperatur mesin kapal menjadi sangat tinggi, sehingga nitrogen oksida yang dibentuk sangat tinggi pula. Nitrogen oksida dapat menimbulkan gangguan pada saluran pernafasan. Nitrogen oksida yang terbentuk oleh penggunaan solar akan lebih banyak daripada penggunaan bensin dalam jumlah yang sama. Mesin diesel juga akan menghasilkan partikel soot yang dilepaskan ke atmosfir. Partikel ini berukuran sangat kecil , sehingga dapat terhirup sampai bagian terdalam dari paru-paru dan menjadi partikel racun yang terendap dan meracuni tubuh baik pada manusia maupun hewan (Jones 1987). Unit penangkapan yang ramah lingkungan adalah unit penangkapan yang ramah pula terhadap lingkungan udaranya. Dengan menggunakan bahan bakar yang memiliki ataupun menghasilkan partikel toksik dalam konsentrasi yang tinggi lama kelamaan akan meracuni udara di sekitarnya. (4) Cat perahu

Perahu rawai dasar adalah perahu yang terbuat dari kayu, sehingga cat yang digunakan adalah cat kayu biasa. Cat yang dipergunakan oleh unit penangkapan rawai dasar adalah cat kayu merk Avian. Cat Avian tidak mengandung merkuri dan white lead. Diketahui bahwa kedua bahan ini masih sering digunakan sebagai aditif dalam pembuatan cat, walaupun telah terbukti bersifat toksik. White lead sering digunakan sebagai pewarna putih pada cat, pernah dilaporkan adanya kasus keracunan pada anak kecil yang memakan makanan yang telah terjatuh pada lapisan cat yang mengandung zat ini, sedangkan merkuri digunakan untuk mempercepat proses pengeringan pada cat. (Jones 1987).

Karakteristik hasil tangkapan dan perilaku nelayan yang telah diteliti memberikan kesan rawai dasar di Kabupaten Lombok Timur tidak ramah lingkungan, namun dapat diambil 3 variabel terpenting yang menurut penulis sangat penting untuk dijadikan acuan sebagai penentu keramahan lingkungan operasi penangkapan dengan menggunakan unit penangkapan rawai dasar namun variabel lainnya tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Ketiga variabel tersebut adalah variabel perbandingan ukuran ikan yang layak tangkap, variabel keragaman ukuran yang ditunjukkan oleh kisaran panjang dan berat, serta variabel perilaku nelayan yang dapat menyebabkan pencemaran lingkungan, dengan aspek polutan tali pancing putus.

Ketiga variabel ini dipilih karena berhubungan langsung dengan hasil tangkapan. Hasil tangkapan adalah indikator terpenting bagi kelangsungan suatu perikanan karang. Hasil tangkapan yang tidak layak tangkap dapat berpengaruh kepada daur hidup ikan tersebut. Apabila ikan yang tidak layak tangkap tertangkap, maka ikan- ikan baru tidak dapat dihasilkan, karena daur hidup ikan tersebut berhenti sampai disitu. Untuk itu ikan-ikan yang ditangkap sebaiknya berada pada kisaran keragaman di atas ukuran layak tangkap. Hal ini dapat diupayakan dengan menyesuaikan ukuran pancing yang digunakan.

Variabel terpenting lainnya adalah variabel perilaku nelayan yang dapat menyebabkan pencemaran lingkungan, dengan aspek polutan tali pancing putus. Ikan-ikan akan tersangkut pada pancing tanpa ada yang mengambilnya (ghost fishing), sehingga akan menjadi sia-sia. Tali pancing putus ini juga menjadi sampah perairan dalam jangka waktu yang sangat lama, mengingat tali pancing tersebut terbuat dari bahan sintetis yangbersifat non-biodegradable. Dari ketiga variabel tersebut operasi penangkapan yang diterapkan nelayan rawai dasar di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat dinilai ramah lingkungan. Penilaian ramah lingkungan ini sesuai dengan Cochrane (2002) yang memberikan indeks efek terhadap ekosistem yang cukup tinggi terhadap alat tangkap rawai dasar (longline).

Dokumen terkait