• Tidak ada hasil yang ditemukan

Salah satu areal alternatif yang memiliki prospek besar dari segi potensi luas dan daya dukung untuk dijadikan sebagai areal produksi ikan adalah lahan pasang surut. Di Indonesia luas areal pasang surut sekitar 20,1 juta hektar di tiga pulau besar, yaitu Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya. Namun demikian pemanfatannya memerlukan penerapan teknologi yang sesuai dengan kondisi dan sifat lahannya.

Lahan pasang surut memiliki karakteristik yang khas, yaitu sistem pengairan yang mengandalkan pasang dan surutnya air sungai, tanahnya bereaksi masam sampai sangat masam, memiliki pH 2,53–3,39, sulfat 6,91–8,7 mg/L, Fe 0,72–2,83 mg/L, silika 0,74–2,0 mg/L, oksigen terlarut kurang dari 5 mg/L, dan masuknya air laut sehingga air menjadi payau. Masuknya air laut menyebabkan rentang perbedaan salinitas air yang cukup besar antara musim hujan dan musim kemarau dan mencapai 0–28 ppt, serta tumbuhnya tanaman yang dominan, yaitu pohon nipah.

Dilihat dari karakteristik yang khas dari lahan pasang surut, pemanfaatan untuk budidaya ikan menghadapi berbagai kendala. Meskipun dalam pemanfaatannya menghadapi banyak kendala, namun lahan pasang surut memberi harapan dan prospek yang baik. Dalam menentukan komoditas yang sesuai secara teknis dibudidayakan di lahan pasang surut perlu untuk dikaji lebih lanjut. Antara lain toleransi terhadap lingkungan, kelangsungan hidupnya dan pertumbuhan. Berdasarkan kriteria ini, salah satu komoditas yang dapat dibudidayakan pada media sulfat masam adalah ikan gabus (Channa striata Bloch.).

Ikan gabus merupakan salah satu komoditas penting yang berpotensi untuk dikembangkan budidayanya, bernilai ekonomis tinggi, dan dalam dunia medis daging ikan gabus dipercaya berkhasiat untuk mempercepat pengeringan luka pasca operasi dan meningkatkan daya tahan tubuh. Permintaan ikan gabus akhir-akhir ini semakin mendapat perhatian bagi para pembudidaya ikan di wilayah Kalimantan Barat pada umumnya. Untuk memenuhi permintaan akan ikan gabus di pasaran, baik benih maupun ukuran konsumsi para pembudidaya hanya mengandalkan dari hasil tangkapan saja. Apalagi benih-benih ikan gabus banyak dijadikan sebagai pakan alami ikan-ikan hias seperti arwana.

Peningkatan kebutuhan terhadap ikan gabus tentunya akan mempengaruhi ketersediaan stok di perairan umum. Maka dari itu perlu dilakukan upaya pelestarian dan pengembangan budidaya ikan gabus dengan cara domestikasi ikan, yaitu pemindahan suatu organisme dari habitat lama ke habitat baru. Ikan dari alam liar kemudian dipelihara dalam suatu lingkungan terbatas yang didalamnya diberi perlakuan (treatment) tertentu sehingga ikan tersebut menjadi terbiasa seperti berada pada lingkungan alaminya.

Berbagai upaya penelitian dan pengembangan telah mulai dilakukan untuk kelestarian dan meningkatkan produksi budidaya ikan gabus, terutama performa biometrik dan fisiologis, mulai dari domestikasi hingga rekayasa kualitas air. Selain itu, secara alami, ikan cenderung memilih habitat yang paling cocok untuk kebutuhan fisiologisnya, yang dikenal dengan istilah “enviroregulation” dan dijadikan pertimbangan, sebagai isyarat penting dalam pertumbuhan benih ikan gabus.

Keberhasilan usaha budidaya tidak hanya ditentukan oleh penguasaan teknik pemeliharaan saja. Salah satunya ditentukan kemampuan mengelola parameter-parameter kualitas air hingga menjadi kondisi yang optimum bagi ikan untuk tumbuh. Walaupun secara umum prinsip dasar pengelolaan kualitas air tidak berbeda, namun kondisi optimum bagi ikan antara satu daerah dengan daerah lain mungkin saja berbeda. Jenis ikan dan ukuran ikan juga memerlukan kondisi kualitas air optimum yang berlainan. Dalam hal ini, faktor fisik, kimiawi dan biologis berperan dalam pengaturan homeostatis yang diperlukan bagi kelangsungan hidup dan pertumbuhan, antara lain suhu, oksigen, pH dan salinitas.

Perubahan salinitas media akan mempengaruhi nilai osmolaritas media dan cairan tubuh (plasma) ikan. Tingginya gradien konsentrasi substansi yang terlarut di dalam darah dengan lingkungannya menyebabkan air masuk ke dalam tubuh ikan air tawar secara osmosis melalui membran semipermeabel. Bila proses osmosis ini tidak dikendalikan, maka kondisi dapat menyebabkan darah ikan air tawar mengandung air yang berlebihan (hemodilution) yang berakibat fatal bagi ikan. Untuk mencegah hemodilution, ikan air tawar harus mempertahankan keseimbangan yang dinamis dengan cara regulasi osmotik (osmoregulasi).

Sebagai ikan air tawar yang bersifat stenohalin, ikan gabus memiliki toleransi yang sempit terhadap salinitas. Untuk dapat hidup dan tumbuh dengan baik, ikan gabus harus dapat mempertahankan kondisi tekanan osmotik tubuh yang ideal, karena untuk proses fisiologis yang normal dibutuhkan tekanan osmotik tertentu. Pada penelitian ini, salinitas 3 ppt merupakan kondisi media yang optimal untuk berlangsungnya proses fisiologis benih ikan gabus. Penambahan garam di dalam media dapat membantu ikan dalam mengurangi penggunaan energi, karena apabila salinitas lingkungan mendekati salinitas cairan tubuh ikan, maka energi hasil metabolisme hampir tidak dipergunakan untuk penyesuaian diri dengan tekanan osmotik lingkungan. Kondisi ini membuat ikan menjadi lebih tenang, sehingga akan berpengaruh menurunkan tingkat konsumsi oksigen. Pada kondisi salinitas optimum metabolisme akan mencapai tingkat maksimum, sehingga nafsu makan akan terpacu. Dengan demikian kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan dapat mencapai nilai maksimum, karena garam memiliki ion Na+ dan Cl- untuk menigkatkan ionic strength yang dapat mengurangi tingkat stres benih ikan.

Ikan air tawar mempunyai konsentrasi osmotik darah lebih tinggi dari lingkungannya sehingga sejumlah garam dalam tubuh akan hilang melalui permukaan jaringan insang dan kulit pada proses difusi serta melalui feses dan urin. Peningkatan salinitas air akan mengakibatkan keadaan hipertonik berkurang, sehingga ikan akan lebih banyak menggunakan energi untuk pertumbuhannya. Selain itu, salinitas juga merupakan fasilitator dari pertukaran ion-ion antara darah (tubuh) ikan dan air (lingkungan) yang dapat menjaga kestabilan regulasi asam basa dalam tubuh. Untuk menjaga agar garam-garam tubuh yang hilang seminim mungkin, maka dilakukan penyerapan kembali garam-garam dalam pembuluh proksimal ginjal. Kehilangan garam-garam ini akan digantikan oleh garam-garam yang terdapat dalam pakan dan penyerapan aktif ion-ion garam yang berasal dari lingkungan perairan melalui insang. Kelangsungan hidup ikan air tawar dalam lingkungan bersalinitas bergantung

(toleransi) jaringan terhadap garam-garam dan kontrol permeabilitas. Selain itu salinitas juga merupakan fasilitator dari pertukaran ion-ion antara darah (tubuh) ikan dan air (lingkungan) yang dapat menjaga kestabilan regulasi asam basa dalam tubuh.

Ikan gabus tergolong ikan yang mengambil oksigen dari udara (air breathing fish). Pada penelitian ini, pengaruh efektivitas pengadukan dan tanpa pengadukan terhadap respons kelangsungan hidup, pertumbuhan dan efisiensi pakan benih ikan gabus diteliti lebih lanjut. Hasil penelitian membuktikan bahwa kelangsungan hidup dan pertumbuhan benih ikan gabus pada pemeliharaan tanpa pengadukan memberikan hasil lebih baik, karena ikan gabus memiliki alat pernapasan tambahan (divertikula) sehingga mampu menyesuaikan diri pada lingkungan yang minim oksigen, sehingga ikan gabus mampu mentolerir kondisi hipoksia. Dan saat metabolisme berlangsung konsentrasi oksigen di lingkungan pemeliharaan tidak memberikan pengaruh, baik aktivitas respirasi dan nafsu makannya. Akibatnya, pemeliharaan tanpa pengadukan menunjukkan tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan yang optimum.Hal ini membuktikan juga, bahwa tingkat kebutuhan oksigen tergantung pada spesies, tetapi juga pada ukuran dan aktivitas ikan.

Walaupun tanpa pengadukan ketersediaan oksigen di perairan masih bisa mendukung kehidupan ikan gabus, hal ini disebabkan fluktuasi suhu masih dalam kondisi yang normal dan tidak membahayakan bagi kelangsungan hidup benih ikan gabus, kondisi ikan lebih tenang tanpa pengadukan sehingga tidak menyebabkan meningkatnya penggunaan oksigen untuk proses respirasi, karena media pemeliharaan menggunakan salinitas 3,6 ppt, membuat ikan bisa menjaga keseimbangan antara kosentrasi cairan tubuh dan lingkungan, penambahan garam juga dapat menurunkan toksisitas NH3 karena garam dapat menurunkan laju

metabolisme yang pada akhirnya dapat menekan ekKHesi amoniak (Nirmala et al. 2012). Konsentrasi CO2 dalam media pemeliharaan masih dikatakan baik untuk

kehidupan ikan gabus dan tidak mengalami stres sehingga oksigen yang digunakan untuk proses respirasi lebih optimum. Apabila konsentrasi CO2 tinggi,

mengakibatkan CO2 didalam darah terakumulasi, sehingga ikan mengalami

asidosis. Asidosis mengurangi afinitas hemoglobin terhadap oksigen (Bohr effect) dan menurunkan kandungan oksigen didalam darah (Root effect). Rendahnya glukosa darah karena kinerja insulin yang berfungsi meningkatkan asam amino dalam darah dan mengaktivasi insulin kembali sehingga mampu melakukan transpor glukosa. Tingginya kadar hemoglobin mengindikasikan bahwa ikan tidak mengalami anemia karena mampu menyesuaikan diri pada lingkungannya. Dengan demikian ketersediaan oksigen dalam jaringan selalu ada, sehingga proses metabolisme tidak terganggu. Dengan demikian ikan akan mengalami ketersediaan energi.

Setiap sel dalam organisme memerlukan oksigen untuk metabolisme. Oksidasi substansi dari makanan di dalam sel akan menghasilkan panas yang dibebaskan dan bentuk lain dari energi, serta menghasilkan karbon dioksida sebagai hasil akhir dari metabolisme. Karbon dioksida harus dikeluarkan dari dalam sel sebab jika tidak akan menjadi racun bagi protoplasma. Oksigen merupakan bahan pernafasan yang dibutuhkan oleh sel untuk berbagai reaksi metabolisme. Oleh kareana itu, kelangsungan hidup ikan sangat di tentukan oleh kemampuannya memperoleh oksigen yang cukup dari lingkungannya. Oksigen

merupakan bahan pernafasan yang dibutuhkan oleh sel untuk berbagai reaksi metabolisme. Bagi ikan, oksigen di perlukan oleh tubuhnya untuk menghasilkan energi melalui oksidasi lemak dan gula. Energi yang terlepas selain digunakan untuk aktivitas tubuh seperti kontraksi otot daging, sekresi kelenjar dan konduksi saraf. Juga untuk membentuk susunan komponen biokimia tubuh, pemeliharaan struktur tubuh serta reproduksi. Berkurangnya oksigen terlarut dalam perairan akan mempengaruhi fisiologi respirasi ikan dan hanya ikan yang memiliki sistem respirasi yang sesuai dan bertahan hidup.

Tingginya laju pertumbuhan tanpa pengadukkan karena ikan gabus termasuk pada ikan yang membutuhkan oksigen dari aspek kebutuhan oksigen konsumtif, yang bergantung pada keadaan metabolisme guna pembakaran bahan makanan sehingga menghasilkan energi untuk berbagai aktivitas tubuh, termasuk metabolisme basal, gerak, pertumbuhan, dan reproduksi, bila ketersediaan oksigen diperairan dianggap mampu untuk membantu proses metabolisme.

Ikan juga akan menanggapi osilasi diurnal, karena kisaran pH suatu perairan kadang mengalami osilasi diurnal. pH menunjukkan konsentrasi ion hydrogen dalam air sebagai logaritma negatif dari konsentrasi ion hidrogen molar (-log[ H+]). Air dianggap asam ketika pH di bawah 7 dan basa di atas 7. Kisaran pH untuk budidaya adalah 6,5–9. Bila kapasitas mekanisme bufer melebihi pH darah maka pH darah menurun dan kapasitas hemoglobin untuk mengangkut oksigen menurun, karena interaksi pH dengan molekul hemoglobin akan membebaskan proton yang menggeser kurva keseimbangan oksigen. Tanpa adanya reaksi ini hemoglobin tidak akan membawa cukup oksigen dari sel darah merah ke jaringan, dan kondisi asam basa pH darah dan lambung dalam keadaan tidak seimbang. Yang pada akhirnya akan mempengaruhi pada laju respirasi.

Laju respirasi akan terhambat di saat struktur insang telah mengalami kerusakan. Jika proses laju respirasi terjadi dengan normal maka ketersediaan oksigen didalam tubuh akan normal dan dapat mempengaruhi laju katabolisme. Laju katabolisme akan menghasilkan energi untuk proses anabolisme, proses osmoregulasi dan ekKHesi. Apabila anabolisme normal maka pertumbuhan akan baik. Dalam hal ini, katabolisme juga akan digunakan untuk keseimbangan tekanan osmotik dalam proses osmoregulasi dan ekKHesi, karena osmoregulasi pada ikan air tawar melibatkan pengambilan ion dari lingkungan untuk membatasi kehilangan ion dan air akan masuk ke tubuh ikan bila kondisi tubuhnya hipertonik, sehingga ikan akan banyak mengekKHesikan air dan menahan ion. Apabila laju katabolisme tidak teratur akan mempengaruhi laju anabolisme sehingga pertumbuhan akan terhambat.

Karena kolam pasang surut mempunyai pH yang rendah 3–5, maka kandungan yang bersifat toksik H+, Al, Fe (III), dan Mn tinggi. Keadaan ini diikuti dengan P tersedia dan kejenuhan basa yang rendah. Selama oksidasi pirit pada lahan pasang surut akan menghasilkan Fe2+, H+, dan SO42-. Pada pH <8

(asam) kesetimbangan bergeser pada pembentukan H2S yang terionisasi. Apabila

diperairan tidak terdapat oksigen maka sulfat berperan sebagai sumber oksigen dalam proses oksidasi yang dilakukan oleh bakteri anaerob. Karena pada kondisi ini, ion sulfat direduksi menjadi ion sulfit yang membentuk kesetimbangan dengan ion hidrogen untuk membentuk hidrogen sulfida Effendi (2007).

Nilai pH diperairan dapat ditingkatkan dengan beberapa cara, yaitu pertukaran ion. Salah satu bahan yang dapat digunakan untuk meningkatkan pH

dalam perairan dengan kompos batang pisang. Dan kompos dapat digunakan sebagai bahan perlakuan (treatment) untuk meningkatkan pH di air dengan humus sebagai peran utamanya, memiliki efektivitas yang cukup tinggi, murah biaya, ketersediaan bahan berlimpah, kemudahan teknologi, serta tidak membahayakan organisme budidaya. Kompos merupakan bahan organik matang (stabil) yang terbentuk dari proses dekomposisi secara biokimia melalui peran mikroorganisme atau proses biodegradasi dari campuran substrat yang dilakukan oleh komunitas mikroba terdiri dari berbagai populasi dalam kondisi aerobik dan padat (solid).

Batang pisang (Musa sp.) merupakan salah satu hasil perkebunan yang tidak dimanfaatkan yang dapat dijadikan kompos, karena komponen utama yang terdapat dalam batang pisang adalah selulosa, hemiselulosa dan lignin (Prasetiyono 2012). Li et al. (2010) menyatakan, batang pisang memiliki selulosa 39,12%, holoselulosa 72,71%, pektin 0,27%, lignin (klason lignin 8,8% dan acid soluble lignin 1,90%). Hasil analisis pada penelitian ini, menunjukkan bahwa kompos batang pisang memiliki komposisi kimia Ca 1,54%, Mg 0,86%, C- Organik 43,39%, N 2,48%, C/N 17,50, pH 7,5 unit, KTK+ 41,07 cmol+/kg, asam humic 2,50 ppm, asam fulvic 0,80 ppm dan kadar air 68,78%.

Humus muncul dari degradasi kimia dan biologi bahan organik dari aktivitas sintetik mikroorganisme. Salah satu sumber utama dari bahan organik tanah adalah tumbuhan sehingga proses pengomposan yang berasal dari tumbuhan dapat menghasilkan humus. Komponen humus dibentuk oleh sebuah proses yang disebut humifikasi. Humus terdiri atas substansi non humus dan substansi humus. Karena kemampuannya untuk membentuk kompleks yang larut dalam air. Substansi humus mempunyai konstribusi dalam pertukaran anion dan kation, dan beberapa sebagai pH buffer.

Bila dilihat tahap penelitian ini secara komprehensip, ditemukan peningkatan hasil, baik kelangsungan hidup maupun pertumbuhan benih ikan gabus pada setiap perbaikan teknologi yang diimplementasikan. Di sisi lain, perbaikan teknologi ini tidak selalu menambah biaya produksi. Pada tahap awal tanpa ada input teknologi tingkat kelangsungan hidup benih ikan yang dihasilkan dari pemeliharaan selama 40 hari hanya 54,44%. Tahap berikutnya dengan mengoptimalkan salinitas dapat meningkatkan kelangsungan hidup benih menjadi 77,00% (mengalami peningkatan 22,56%). Biaya yang diperlukan untuk mengoptimalkan salinitas ini adalah Rp. 19.800,00 untuk 30 unit akuarium (volume masing-masing 60 L). Pada tahap berikutnya terjadi perbaikan teknologi pemeliharaan yang hasilnya lebih baik lagi dari hasil tahap II, yaitu dengan cara menghilangkan aerasi. Tanpa pemberian aerasi selain dapat menghemat biaya penggunaan listrik sebesar Rp. 50.400,00 tetapi juga menghasilkan tingkat kelangsungan hidup benih ikan gabus yang lebih tinggi yaitu mencapai 92% (meningkat 15% dari tahap sebelumnya). Pada tahap Tahap IV dilakukan pemberian kompos dari batang pisang untuk memperbaiki pH. Teknologi ini memerlukan tambahan biaya Rp. 10.260,00, sehingga biaya penerapan teknologi ini seluruhnya menjadi Rp. 30.060,00 untuk 30 unit akuarium. Perbaikan teknologi pemeliharaan ini, mengakibatkan lebih tingginya kelangsungan hidup benih ikan gabus yang dihasilkan, yaitu mencapai 95,33% atau mengalami peningkatan sebesar 3,62% dari hasil tahap III (Tabel 12).

Tabel 12 Peningkatan hasil (kelangsungan hidup dan pertumbuhan) benih ikan gabus pada setiap perbaikan teknologi yang diimplementasikan

Tahap Kegiatan Tahap I Tahap II Tahap III Tahap IV Input teknologi Air sulfat

masam Salinitas optimal Tanpa pengadukkan Kompos Kelangsungan hidup (%) 54,44 77 92,00 95,33 Kenaikan kelangsungan hidup (%) 22,56 15 3,33 Persentase kenaikan (%) 41,44 19,48 3,62 Rata2 kenaikan (%) 13,63 Pertumbuhan (SGR) (%) 2,93 5,62 6,73 7,66 Kenaikan pertumbuhan (%) 2,69 1,11 0,93 Persentase kenaikan (%) 91,81 19,75 13,82 Rata2 kenaikan (%) 1,58

Penerapan Informasi Hasil Penelitian Dalam Pengelolaan Sumberdaya Ikan Gabus Di Kawasan Pasang Surut

Tujuan utama pengelolaan sumberdaya ikan, termasuk budidaya ikan gabus di kawasan pasang surut, adalah peningkatan terget produksi dan kelestarian sumberdaya komoditas tersebut. Untuk merealisasi tujuan tersebut diperlukan berbagai referensi, salah satu referensi yang dapat dijadikan acuan adalah hasil dari penelitian ini.

Salinitas optimal yang ditemukan dari penelitian ini dapat diterapkan pada budidaya ikan di dalam wadah terkontrol seperti bak dan tangki. Hal ini bukan berarti pada budidaya ikan gabus di dalam kolam pasang surut salinitas tidak dapat di atur. Untuk pemeliharaan di kolam, salinitas dioptimalkan dengan mengatur pemasukan air saat salinitas payau atau mengatur pencampuran antara air tawar yang ada di dalam kolam dan air bersalinitas dari saluran sekunder/tersier.

Adanya organ pernafasan tambahan (diverticula) pada ikan gabus menjadikan jenis ikan ini dapat memenuhi kekurangan oksigen dengan mengambil langsung dari udara. Dengan demikian ikan gabus dapat hidup pada perairan tergenang dan memiliki kelarutan oksigen yang relatif rendah. Bahkan pertumbuhan ikan gabus justru lebih baik bila dipelihara tanpa pengadukkan. Temuan ini menunjukkan bahwa pemeliharaan dalam kolam di lahan pasang surut dengan kondisi tanpa aliran tentu tidak berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ikan gabus.

Hasil penelitian penggunaan kompos dari pohon pisang sebagai bahan ameliorasi untuk meningkatkan pH perairan juga dapat diimplementasikan pada budidaya ikan gabus dalam kolam di lahan pasang surut sulfat masam. Dosis kompos optimal untuk pertumbuhan ikan gabus yang diperoleh dari hasil penelitian adalah 9 g/L. Pada dosis tersebut, terjadi perbaikan parameter kualitas air sehingga dihasilkan pertumbuhan ikan gabus yang terbaik. Dengan perlakuan

tersebut dapat meningkatkan pH air dari 4,5 menjadi > 5,5. Selanjutnya, dosis kompos tersebut dikonversi untuk aplikasi dalam kolam pasang surut.

Aplikasi secara langsung untuk memperbaiki kualitas air kolam pasang surut dengan total luas 1 hektar (10.000 m2) dan kedalaman air 25 cm dibutuhkan 11.250 kg kompos. Jumlah ini didasarkan dosis terbaik tersebut dapat digunakan untuk 2 musim pemeliharaan. Kompos sebanyak ini dapat menyerap limbah pohon pisang sebanyak 75.000 kg (rendemen kompos dari pohon pisang sekitar 15%). Berdasarkan data di lapangan, bobot rata-rata 1 pohon pisang adalah 37,5 kg (pisang kepok), dengan demikian jumlah pohon pisang yang diperlukan sebagai bahan baku untuk memenuhi kebutuhan kompos bagi 1 hektar kolam di lahan pasang surut adalah 2.000 pohon.

Untuk penerapan dosis kompos di kawasan pasang surut daerah lain, perlu dilakukan koreksi dengan mencari nilai koefisien koreksi sebagai pengali atau menentukan faktor koreksi terhadap hasil penelitian dimana lokasi pengambilan media budidaya dilakukan (Tabel 13). Lahan pasang surut di daerah lain meskipun memiliki tipologi serupa dengan tempat penelitian ini dilakukan, biasanya kondisi kimia tanah tidak persis sama, terutama pH, kedalaman pirit, bahan organik dan kandungan mineral tanah. Berdasakan hal ini tentu harus diperhitungkan kembali kompos yang akan ditambahkan, karena kualitas air bukan saja ditentukan oleh sumber airnya, tetapi juga sangat bergantung pada kualitas tanah dan lama bersentuhan dengan tanah sebagai wadah budidaya.

Pemberian kompos pada kolam pasang surut merupakan substitusi penggunaan kapur. Oleh sebab itu, kebutuhan kompos ditentukan berdasarkan perhitungan kebutuhan kapur. Jumlah kapur yang diperlukan untuk memperbaiki kualitas tanah dapat dihitung dengan berbagai pendekatan dan metode, seperti : 1) kebutuhan kapur berdasarkan metode inkubasi, 2) metode titrasi, dan 3) berdasarkan Al-dd. Penetapan kebutuhan kapur dengan metode inkubasi dilakukan dengan mencampurkan kapur dan tanah serta air dalam beberapa dosis kapur selama beberapa waktu tertentu, biasanya dari satu minggu sampai beberapa minggu (Suriadikarta dan Setyorini 2016). Metode penentuan kebutuhan kapur berdasarkan inkubasi dan titrasi didasarkan pada nilai pH, sedangkan metode Al- dd didasarkan pada nilai Al. Ketiga metode ini banyak dipakai untuk pertanian.

Pada budidaya ikan di kolam, metode yang banyak digunakan untuk penentuan kebutuhan kapur adalah dengan menghitung aktivitas penetralan asam yang dimodifikasi dari prosedur Adam dan Evans (Boyd 1990). Perhitungan metode ini didasarkan pada hubungan pH dan kapasitas tukar kation (KTK) (Boyd 1990; Cheng 2015). Dengan diketahuinya pH tanah dasar awal dan pH tanah dasar yang diinginkan dapat diketahui keasaman yang dinetralkan dan kebutuhan kapur untuk setiap kawasan. Berdasarkan metode ini, untuk daerah Sungai Kakap, Kalimantan Barat dengan pH tanah awal 3,39 dan pH tanah yang diinginkan adalah 5,0. Pada pH tanah ini umumnya pH air dapat mencapai 6,0 atau lebih (umumnya pH air 0,5–1,0 unit lebih tinggi dari pH tanah).

Tabel 13 Koefisien koreksi dan faktor koreksi pemberian kompos dengan mengacu pada penentuan kebutuhan kapur No Lokasi/Kawasan pH tanah awal pH tanah diinginkan Kenaikan pH Keasaman dinetralkan (meq) Kebutuhan Kapur (kg/ha) Koefisien koreksi kebutuhan kompos Kebutuhan kompos untuk setiap kawasan (kg/ha) Faktor Koreksi Kompos (kg/ha)

1 Sungai Kakap, Kalbar 3,391) 5,0 1,61 0,6761 7.437 1,0000 11.250 0

2 KAI, PI, PS-1, Sumsel 3,402) 5,0 1,60 0,6695 7.365 0,9903 11.141 -109

3 KAI, PII, PS-14, Sumsel 3,902) 5,0 1,10 0,3653 4.019 0,5404 6.079 -5171

4 Lamunti, PLG, Kalteng 4,102) 5,0 0,90 0,2603 2.864 0,3851 4.332 -6918

5 Parit Petak, Kalteng 3,502) 5,0 1,50 0,6048 6.653 0,8946 10.064 -1186

6 Telang, Muba, Sumsel 4,402) 5,0 0,60 0,1279 1.407 0,1891 2.128 -9122

7 Tabung Anen, Kalsel 4,902) 5,0 0,10 0,0043 47 0,0063 71 -11179

8 Belawang, Kalsel 3,402) 5,0 1,60 0,6695 7.365 0,9903 11.141 -109

Berdasarkan kenaikan pH tanah yang diinginkan, kebutuhan kapur untuk daerah lahan pasang surut di Sungai Kakap, Kalimantan Barat adalah 7.437 kg/ha. Jumlah kapur yang dibutuhkan ini setara dengan kebutuhan kompos. Selanjutnya berdasarkan data kebutuhan kapur ditentukan koefisien pengali untuk menentukan kebutuhan kompos di kawasan pasang surut daerah lain (Tabel 13).

Kolaborasi Pengelola Budidaya Perikanan (Ko-Manajemen)

Pembangunan kawasan berbasis perikanan budidaya menuntut adanya perencanaan yang baik. Dalam merencanakan pembanguanan kawasan ada tiga aspek yang perlu mendapat perhatian, yaitu masukan (input), proses dan luaran (output) (Gambar 3.). Input utama yang berperan penting adalah: 1) Sumberdaya alam berupa lahan dan air; 2) Sumberdaya manusia yang berkualitas dengan jumlah

Dokumen terkait