• Tidak ada hasil yang ditemukan

Luas, Jarak, Bentuk, dan Karakteristik Habitat di Kepulauan Karimunjawa Kepulauan Karimunjawa terdiri dari gugusan pulau yang masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda. Hasil pengukuran luas pulau dengan menggunakan SIG menunjukkan pulau terluas adalah Pulau Karimunjawa (3202 ha), sedangkan pulau terkecil adalah P. Burung (2,99 ha). Pulau yang luas memiliki tipe habitat lebih dari satu, seperti P. Karimunjawa dan P. Kemojan yang mempunyai lima tipe habitat, yaitu hutan pantai, hutan mangrove, kebun campuran, pemukiman, dan hutan dataran rendah. Sementara pulau-pulau kecil seperti P. Burung, P. Cemara Besar, dan P. Kembar hanya terdiri dari satu tipe habitat, yaitu hutan pantai. Hasil pengukuran jarak pulau memperlihatkan P. Kembar merupakan pulau yang memiliki jarak terjauh dari P. Jawa (106,02 km) dan pulau terdekat adalah P. Genting (70,74 km). Pengukuran jarak masing-masing pulau dari P. Karimunjawa menunjukkan P. Kemojan merupakan pulau terdekat dari P. Karimunjawa (0,74 km), sedangkan P. Kembar (28,45 km) merupakan pulau terjauh dari P. Karimunjawa.

Model equilibrium (keseimbangan) dalam teori biogeografi pulau yang dikemukakan MacArthur dan Wilson (1967) menyebutkan bahwa kekayaan spesies semakin tinggi dengan semakin meningkatnya luas atau ukuran pulau. Ukuran pulau yang luas menjadikan keanekaragaman habitatnya tinggi, sehingga peluang keberadaan niche yang sesuai menjadi semakin tinggi pula. Faktor jarak juga akan menentukan jumlah spesies di suatu lokasi, pulau yang berada pada jarak yang lebih jauh dari daratan utama (mainland) atau pulau yang sangat terisolasi akan memiliki jumlah spesies yang lebih sedikit dibandingkan pulau yang lebih dekat atau berjarak dekat dari daratan utama. Semakin jauh jarak suatu pulau dari sumber kolonisasi maka kekayaan kekeyaan spesies semakin rendah.

Berdasarkan nilai MSI (Mean Shpae Index) bentuk pulau paling sederhana dengan nilai MSI 1,1 adalah P. Kembar, sedangkan bentuk paling kompleks atau tidak beraturan adalah P. Burung dengan nilai MSI 1,24. MSI merupakan indeks yang menggambarkan kompleksitas bentuk pulau, semakin tinggi nilai MSI bentuk pulau tersebut semakin tidak beraturan. Di dalam penentuan kawasan

konservasi bentuk area selalu menjadi pertimbangan dan perdebatan. Konsep SLOSS (Single Large Or Several Small) selalu menjadi perdebatan dalam penetapan suatu kawasan konservasi. Menurut Indrawan et al. (2007) dalam hubungannya dengan bentuk area, efek tepi (edge effect) umumnya bersifat merugikan. Suatu kawasan yang tepi atau pinggiran luas atau lebih banyak, cenderung berbentuk tidak beraturan (irregular shape) dan akan sedikit memberikan perlindungan bagi spesies yang hidup di dalamnya. Bagian tepi pada pulau-pulau di lokasi penelitian berbatasan langsung dengan laut dan merupakan habitat burung khususnya semi interior spesies dan edge spesies. Efek tepi yang terlihat di lokasi penelitian adalah fragmentasi habitat atau kerusakan habitat akibat dibangunnya sarana wisata di sekitar tepi pulau dan penebangan pohon oleh penduduk, khususnya vegetasi mangrove. Efek tepi yang mulai terlihat tersebut akan mengancam keberadaan beberapa spesies burung yang hidup di dalam pulau tersebut, bukan hanya interior spesies saja tetapi juga semi interior spesies dan edge spesies.

Komunitas Burung di Kepulauan Karimunjawa

Karakteristik masing-masing pulau yang berbeda cenderung menga-kibatkan komunitas burung khususnya kekayaan, keanekaragaman, kesamaan, komposisi spesies, serta komposisi guild di Kepulauan Karimunjawa juga berbeda. Analisis terhadap komunitas burung di Kepulauan Karimunjawa menunjukkan rata-rata jumlah individu yang ditemukan sebanyak 3074 dari 54 spesies burung. Spesies tersebut termasuk dalam 22 famili dan 11 ordo. Dari 54 spesies ditemukan, 31 spesies termasuk spesies residen dan 23 spesies non residen. Sebanyak 16 spesies termasuk dilindungi oleh Peraturan Perundangan Indonesia, tiga spesies dikategorikan NT (Near Threatened) oleh IUCN (International Union for Conservation of Nature) yaitu Caloenas nicobarica (Junai mas), Ducula rosacea (Pergam katanjar), dan Rhinomyias umbratilis (Sikatan rimba dada kelabu). Disamping itu sebanyak tujuh spesies tercantum dalam CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) yaitu Caloenas nicobarica dan Falco peregrinus (Appendix I), Accipiter virgatus, Haliaeetus leucogaster, Hieraaetus kienerii, Pernis ptilorhynchus, dan Falco moluccensis (Appendix II).

Keberadaan spesies-spesies burung yang dilindungi di Kepulauan Karimunjawa antara lain karena habitat di Kepulauan Karimunjawa mendukung kebutuhan hidup spesies-spesies tersebut, baik sebagai tempat mencari makan, beristirahat, berlindung, dan berkembangbiak. Kepulauan Karimunjawa selain sebagai Taman Nasional juga merupakan daerah pariwisata, oleh karena itu tidak menutup kemungkinan spesies-spesies yang dilindungi menjadi terancam kelestariannya. Keterancaman mendapat perhatian utama adalah apabila habitat-habitat burung yang dilindungi tersebut dibangun sarana/prasarana fisik dengan alasan untuk pengembangan sektor pariwisata. Fragmentasi habitat atau perubahan habitat akan mengakibatkan keberadaan burung-burung tersebut menjadi terancam.

Proses mikroevolusi tampak mulai terlihat di Kepulauan Karimunjawa, khususnya proses ke arah sub spesies baru. Berdasarkan hasil inventarisasi awal pada tahun 2003, spesies burung yang diduga merupakan subspesies baru dan dijumpai di Kepulauan Karimunjawa adalah Pycnonotus goiavier karimunjawaensis, Pstittacula alexandrii karimunjawaensis, dan Treron vernans karimunjawaensis (Dephut 2003). Secara morfologi ketiga subspesies tersebut cenderung lebih besar atau lebih gemuk dibandingkan spesies yang ada di P. Jawa.

Nilai indeks keanekaragaman di Kepulauan Karimunjawa adalah 2,51, sementara indeks keanekaragaman pada 12 pulau berkisar antara 1,65 – 2,52. Indeks keanekaragaman di Kepulauan Karimunjawa termasuk dalam kategori rendah apabila dibandingkan penelitian lain di P. Jawa (Wisnubudi 2004, Prawiradilaga 2003). Pulau yang luas dan habitatnya beranekaragam seperti P. Karimunjawa dan P. Kemojan cenderung memiliki keanekaragaman spesies lebih tinggi dibandingkan pulau yang kecil dan habitatnya kurang beragam. Hal ini didukung dengan apa yang dikemukakan Welty (1982) bahwa keanekaragaman habitat akan berpengaruh terhadap keanekaragaman spesies burung. Struktur habitat yang semakin beragam mengakibatkan semakin besar pula keanekaragaman satwa, hal ini karena habitat menyediakan sumberdaya yang cukup bagi burung khususnya sebagai tempat untuk mencari makan, berlindung, dan berkembang biak.

Perbedaan kelimpahan pada tingkat famili juga dapat disebabkan faktor ketersediaan makanan, jumlah spesies, serta keberadaan faktor pengendali populasi seperti keberhasilan berbiak dan predator. Komposisi famili berdasarkan jumlah spesies burung secara umum didominasi oleh famili Columbidae, yang memiliki anggota sebanyak delapan spesies. Hasil rata-rata jumlah individu per famili didominasi oleh Zosteropidae. Meskipun anggota famili ini hanya terdiri dari satu spesies saja (Zosterops chloris), tapi spesies ini sangat mendominasi Kepulauan Karimunjawa.

Dominasi Columbidae di Kepulauan Karimunjawa disebabkan famili ini memiliki distribusi yang cukup luas khususnya di pulau-pulau kecil, mampu beradaptasi terhadap lingkungan yang panas, dan kondisi habitat juga mendukung keberadan famili ini. Beberapa spesies pohon yang menghasilkan buah dan biji sebagai sumber makanan utama famili Columbidae dapat dijumpai di Kepulauan Karimunjawa, seperti Syzigium liniatum, Cocos nucifera, Casuarina equisetifolia, Rhodamnia cinerea, Eugenia sp, Garcinia celebrica, dan Ficus sp.

Zosteropidae dalam hal ini Zosterops chloris merupakan kelompok yang ditemukan hampir di semua tipe habitat, mulai dari hutan pantai, hutan mangrove, kebun campuran, pemukiman, dan hutan dataran rendah. Perilakunya aktif, tidak kenal lelah, terbang di antara pepohonan, semak, dan dapat dijumpai pada semua strata vegetasi (MacKinnon et al. 1993). Jenis makanan Zosterops chloris lebih dari satu jenis, yaitu serangga, buah, bahkan nektar. Berdasarkan kategori kelimpahan relatif, Zosterops chloris juga masuk dalam kategori melimpah. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan Zosteropidae merupakan famili yang dominan di Kepulauan Karimunjawa.

Sebanyak empat spesies burung ditemukan tersebar merata di semua pulau, yaitu Ducula bicolor, Nectarinia jugularis, Todirhampus chloris, dan Zosterops chloris. Keberadaan empat spesies burung tersebut menunjukkan kondisi habitat semua pulau yang diamati sangat mendukung sumberdaya yang dibutuhkan spesies burung tersebut. Spesies burung yang hanya ditemukan pada satu pulau saja (spesifik) sebanyak 17 spesies atau sekitar 31% dari total spesies yang ditemukan di Kepulauan Karimunjawa. Sebagian besar spesies tersebut ditemukan di pulau-pulau besar saja, khususnya Pulau Karimunjawa dan

Kemojan. Hal ini menunjukkan sumberdaya yang dibutuhkan spesies-spesies burung tersebut terbatas atau hanya ada di P. Karimunjawa dan P. Kemojan. Faktor lain adalah keberadaan hutan dataran rendah di P. Karimunjawa dan P. Kemojan selain merupakan tempat penyimpa-nan air yang penting bagi keanekaragaman spesies burung, juga menyediakan sumber pakan, tempat berlindung, dan berkembang biak bagi spesies-spesies tersebut.

Untuk melihat apakah struktur komunitas di kepulauan dipengaruhi oleh interaksi interspesifik, maka perlu juga melihat komposisi guild (Faaborg 1988). Kepadatan guild di suatu daerah berhubungan dengan ketersediaan sumber daya (del Río 2001). Sebagian besar burung yang ditemukan di Kepulauan Karimunjawa adalah pemakan serangga, baik pemakan serangga dan buah-buahan, serangga dan nektar, serangga dan vertebrata ataupun hanya pemakan serangga saja. Ketersediaan tumbuhan berbunga dan berbuah di lokasi penelitian menyebabkan melimpahnya kategori tersebut. Ketersediaan tumbuhan berbunga dan berbuah akan mengundang spesies-spesies serangga untuk datang menghisap nektar. Melimpahnya serangga tentu saja akan menyediakan sumber bagi spesies-spesies burung pemakan serangga, sehingga burung pemakan serangga juga akan melimpah. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat umum pada komunitas burung. Dominasi burung pemakan serangga juga tercatat pada komunitas burung Jawa (Prawiradilaga et al. 2002; Sodhi et al. 2005). Sebagian besar burung merupakan pemakan serangga, atau menjadikan serangga sebagai salah satu alternatif pakannya.

Analisis uji t indeks keanekaragaman spesies untuk melihat sejauh mana suatu komunitas memiliki perbedaan atau persamaan dengan komunitas lain, menunjukkan kecenderungan P. Karimunjawa dan P. Kemojan secara umum menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan pulau lainnya. Hal ini karena P. Karimunjawa dan P. Kemojan memiliki habitat yang lebih kompleks (hutan dataran rendah, hutan mangrove, hutan pantai, kebun campuran, dan pemukiman) dibandingkan pulau lainnya. Perbedaan nilai indek keanekaragaman yang nyata atau signifikan menunjukkan bahwa variasi habitat pada masing-masing pulau menyebabkan kemampuan spesies burung yang memanfaatkan setiap habitat pada

lokasi penelitian berbeda atau spesies burung hanya memanfaatkan tipe habitat tertentu untuk kelangsungan hidupnya.

Pulau yang termasuk kelompok pulau-pulau kecil atau pulau yang hanya memiliki satu tipe habitat (hutan pantai) tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Hutan pantai di P. Burung, P. Cemara Besar, P. Kembar, P. Seruni, P. Geleang, dan P. Menjangan Kecil secara umum memiliki jenis vegetasi yang hampir sama, seperti Scaevola taccada, Casuarina equisetifolia, Cocos nucifera dan Rhodamnia cinerea. Kesamaan tipe habitat dan jenis vegetasi menyebabkan keanekaragaman spesies burung di pulau-pulau tersebut cenderung tidak berbeda nyata.

Pulau-pulau kecil juga tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan pulau-pulau besar yang memiliki kemerataan rendah (P. Nyamuk, P. Genting, dan P. Parang), meskipun ketiga pulau tersebut memiliki luas dan tipe habitat yang sangat berbeda dengan pulau-pulau kecil. Hal ini karena di P. Nyamuk, P. Genting, dan P. Parang ada dominasi spesies (Zosterops chloris) yang menyebabkan rendahnya indeks kemerataan. Dominasi spesies menyebabkan indeks keanekaragaman spesies di ketiga pulau tersebut tidak berbeda secara signifikan dengan pulau-pulau kecil.

Hasil analisis indeks kesamaan spesies burung di Kepulauan Karimunjawa yang berupa dendrogram menunjukkan adanya kecenderungan pulau-pulau yang lokasinya berdekatan, pulau yang luasnya hampir sama, dan pulau yang tipe habitatnya mirip mempunyai komposisi spesies yang hampir sama. Secara umum hasil penelitian menunjukkan semakin tinggi nilai kesamaan maka komposisi spesies penyusun suatu komunitas memiliki kesamaan. Hal ini karena faktor yang mempengaruhinya seperti jarak, luas, perbedaan tipe habitat, struktur dan komposisi vegetasi penyusun habitat yang memberikan lebih banyak spesies burung yang sama.

Analisis hubungan komunitas burung dengan tipe habitat menunjukkan bahwa jumlah spesies, indeks keanekaragaman, dan kemerataan burung tertinggi terdapat pada tipe habitat hutan mangrove. Hal tersebut antara lain karena fungsi hutan mangrove adalah sebagai habitat satwa liar seperti burung, sebagai tempat berlindung, mencari makan, tempat berkembang biak bagi burung air, dan

persinggahan burung migran (Noor et al. 1999; Irwanto 2006). Hutan mangrove di Kepulauan Karimunjawa menyediakan ikan, udang, kepiting, dan moluska yang menjadi sumber makanan beberapa spesies burung Vegetasi hutan mangrove seperti Rhizophora spp, Bruguiera spp, Excoecaria agallocha, Lumnitzera spp dan Sonneratia spp pada saat penelitian sebagian besar tampak berbunga dan berbuah. Ketersediaan tumbuhan berbunga dan berbuah mengundang serangga untuk menghisap nektar, sehingga burung pemakan seranggapun akan datang ke habitat mangrove. Ketersediaan nektar juga menyediakan sumber makanan bagi spesies pemakan nektar seperti Anthreptes malacensis, Nectarinia calcostetha, Nectarinia jugularis.

Pengaruh sistem angin musim (monsoon) dan dominasi spesies akan mempengaruhi nilai indeks keanekaragaman pada waktu pengamatan yang berbeda. ilai indeks keanekaragaman pada pengamatan kedua lebih tinggi dibandingkan pengamatan pertama dan ketiga, hal ini dipengaruhi oleh sistem angin musim. Pengamatan pertama (Juni 2006) dan pengamatan ketiga (Juni 2007) lebih dipengaruhi oleh angin musim timur karena angin bertiup dari timur ke barat. Pada musim timur, angin bertiup sangat kencang, perairan di Kepulauan Karimunjawa terlihat berombak dan sedikit mengandung uap air, sehingga kadang-kadang menimbulkan hujan lokal, bahkan pada waktu pengamatan ketiga terjadi badai beberapa kali yang disertai angin cukup kencang. Hal ini mengakibatkan aktifitas burung di Kepulauan Karimunjawa menjadi terganggu, burung tidak banyak keluar melakukan aktifitas dan mempengaruhi keanekaragaman spesiesnya. Adanya dominasi spesies tertentu (Zosterops chloris) pada pengamatan ketiga juga mengakibatkan rendahnya nilai indeks keanekaragaman spesies. Faktor lain yang kemungkinan turut mempengaruhi adalah pada saat pengamatan pertama dan ketiga (Bulan Juni) merupakan waktu berbiak bagi beberapa kelompok spesies burung, khususnya burung pemakan buah dan nektar. Spesies yang sedang berbiak aktifitasnya menjadi berkurang, mereka menggunakan sebagian besar waktunya di sarang, sehingga akan jarang terlihat pada saat pengamatan.

Aplikasi Teori Biogeografi Pulau terhadap Komunitas Burung di Kepulauan Karimunjawa

Luas area dan keanekaragaman habitat sangat mempengaruhi komunitas burung, khususnya kekayaan spesies burung baik semua spesies yang ditemukan, spesies residen maupun non residen di Kepulauan Karimunjawa. Faktor jarak dan bentuk pulau tidak banyak berpengaruh terhadap kekayaan spesies burung. Analisis indeks keanekaragaman spesies menunjukkan hanya indeks keanekaragaman spesies non residen saja yang dipengaruhi oleh faktor luas area dan keanekaragaman habitat.

Hasil uji signifikan regresi linier pengaruh luas area terhadap kekayaan spesies menunjukkan luas area mempengaruhi kekayaan spesies untuk semua spesies burung yang ditemukan (P < 0,0001, R2= 0,88), spesies residen (P < 0,005, R2= 0,82), dan spesies non residen (P < 0,005, R2= 0,73). Hal ini berarti kontribusi atau pengaruh luas area terhadap kekayaan spesies untuk semua spesies yang ditemukan sebesar 88%, kelompok residen sebesar 82%, dan kelompok non residen dipengaruhi oleh luas area sebesar 73%.

Menurut MacArthur dan Wilson (1967) ada hubungan antara luas area dan jumlah spesies (species-area relationship), dimana pulau yang lebih luas memiliki jumlah spesies yang lebih besar dibandingkan pulau yang berukuran lebih sempit. Machado (2000), Davidar (2001), dan Watson el al. 2005 juga menemukan adanya hubungan yang nyata antara kekayaan spesies burung dengan luas area. Luas area biasanya dipandang sebagai sebuah variabel penting untuk menentukan tingkat kesesuaian dengan spesies tertentu, dan beberapa penelitian tentang perkembangbiakan burung menunjukkan tingkat kepadatan populasi kebanyakan spesies menurun mengikuti sisa luas rata-rata area (Ambuel & Temple. 1983; Freemark & Merriam 1986; Robbins et al. 1989; Herkert 1994; Robinson et al. 1995, diacu dalam Estades 2001). Oleh karena itu, konservasi untuk spesies yang sensitif terhadap luas memerlukan sebuah daerah perlindungan yang luas. Ukuran pulau yang luas akan mendukung pertambahan populasi spesies karena tersedianya sumber makanan dan habitat yang sesuai (MacArthur & Wilson 1967).

Di Kepulauan Karimunjawa nilai z (slope ) yang dihasilkan untuk semua spesies burung yang ditemukan adalah sebesar 0.22, kelompok residen nilai z yang didapat adalah 0,20, dan untuk kelompok non residen nilai z yang diperoleh adalah 0,25. Hasil tersebut sesuai dengan MacArthur dan Wilson (1967) yang menyebutkan bahwa nilai eksponen untuk pulau di suatu kepulauan berkisar antara 0,20 – 0,35. Masa daratan yang besar (seperti benua) memiliki nilai z sebesar 0,12 – 0,17. Pola kekayaan spesies burung dalam hubungannya dengan luas area juga ditunjukkan di Kepulauan Maluku dan Nusa Tenggara (Mardiastuti 1996). Data yang didapatkan dari 28 pulau di Maluku dan 17 di Nusa Tenggara menghasilkan nilai z (slope) Maluku sebesar 0,40, sedangkan Nusa Tenggara sebesar 0,32. Hal ini diduga avifauna pulau-pulau kecil (< 100 km2) di Maluku memiliki tingkat isolasi geografik yang tinggi.

Analisis pengaruh keanekaragaman habitat terhadap kekayaan spesies burung di Kepulauan Karimunjawa juga menunjukkan hubungan yang signifikan, baik untuk semua spesies burung yang ditemukan (P < 0,0001, R2 = 0,87), kelompok residen (P < 0.0001, R2 = 0,80), dan non residen (P < 0,005, R2 = 0,71). Hasil tersebut menunjukkan bahwa keanekaragaman habitat mempengaruhi kekayaan spesies burung di Kepulauan Karimunjawa sebesar 87% untuk semua spesies yang ditemukan, 80% untuk kelompok residen, dan 71% untuk non residen.

Lack (1976) menyebutkan bahwa kekayaan spesies suatu organisme di suatu area lebih ditentukan oleh keanekaragaman habitat, area yang terdiri dari habitat yang lebih kompleks atau lebih beranekaragam akan memiliki jumlah spesies yang lebih tinggi. Pulau kecil dan jauh dari daratan utama cenderung memiliki habitat yang miskin, sehingga jumlah spesies yang mendiami pulau tersebut semakin lama semakin menurun. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Davidar et al. (2001), Calmé dan André (2000), serta Fernandes et al. (2003), bahwa keanekaragaman habitat memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kekayaan spesies burung. Bocklen (1986) diacu dalam Davidar et al. (2001) mengatakan tingkat heterogenitas habitat akan meningkatkan tingkat akumulasi spesies, karenanya beberapa tempat perlindungan dengan lebih banyak habitat akan jauh lebih efektif dalam

mempertahankan keanekaragaman hayati dibandingkan satu tempat perlindungan yang luas. Disamping itu keanekaragaman habitat juga lebih banyak menyediakan tempat beraktifitas, berkembang biak dan sumber makanan bagi burung.

Jarak dari Pulau Jawa, jarak dari Pulau Karimunjawa dan bentuk pulau tidak berpengaruh terhadap komunitas burung di Kepulauan Karimunjwa. Meskipun demikian, hasil regresi menunjukkan ada kecenderungan semakin jauh jarak dari mainland dan semakin tidak beraturan bentuk pulau maka kekayaan dan keanekaragaman spesies burung di Kepulauan Karimunjawa rendah. MacArthur dan Wilson (1967) menyebutkan jarak akan menentukan jumlah spesies di suatu lokasi, pulau yang berada pada jarak yang lebih jauh dari daratan utama (mainland) atau pulau yang sangat terisolasi akan memiliki jumlah spesies yang lebih sedikit dibandingkan pulau yang lebih dekat atau berjarak dekat dari daratan utama. Faktor jarak dalam penelitian ini tidak memperlihatkan hubungan yang signifikan dengan kekayaan spesies tetapi tetap berpengaruh walaupun pengaruhnya sangat kecil dibandingkan lain. Jauhnya jarak suatu pulau menjadi hambatan bagi spesies burung tertentu untuk melakukan penyebaran ke beberapa pulau. Spesies yang memiliki kemampuan penyebaran (dispersal) tinggi adalah yang mampu melakukan perjalanan ke pulau tersebut. Bentuk pulau dalam penelitian ini dihubungannya dengan efek tepi (edge effect). Menurut Indrawan et al. (2007) suatu kawasan yang memiliki daerah tepi atau pinggiran yang lebih luas maka akan sedikit memberikan perlindungan bagi spesies yang hidup di dalamnya khususnya bagi interior species. . Hasil penelitian menunjukkan efek tepi untuk saat ini belum berpengaruh pada interior spesies, karena spesies burung yang ditemukan kebanyakan adalah semi interior spesies, edge spesies, open area species dan adaptive spesies. Meskipun demikian daerah atau tepi-tepi pulau harus dijaga dari fragmentasi atau kerusakan habitat. Fragmentasi atau kerusakan habitat juga akan mengganggu keberadaan semi interior spesies dan edge spesies.

Pola hubungan antara indeks keanekaragaman habitat dengan luas pulau dan keanekaragaman habitat menunjukkan hasil yang signifikan untuk spesies non residen. Luas area mempengaruhi indeks keanekaragaman spesies non

sebesar 64%, sementara keanekaragaman habitat menunjukkan pengaruh terhadap indeks keanekaragaman spesies non residen sebesar 69%.

Analisis regresi berganda menunjukkan pengaruh luas area dan ke-anekaragaman habitat mendominasi komunitas burung khususnya kekayaan spesies burung di Kepulauan Karimunjawa, baik untuk semua spesies yang ditemukan (residen dan non residen), kelompok residen, dan kelompok non residen. Hasil yang sama ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan Davidar et al.(2001), Kohn dan Walsh (1994), Ricklefs dan Lovette (1999) diacu dalam Triantis et al. (2003) menyimpulkan bahwa baik luas area maupun habitat sama-sama memberikan kontribusi terhadap kekayaan spesies di suatu pulau.

Analisis parsial untuk menguji variabel atau faktor mana yang paling dominan dalam menentukan komunitas burung di Kepulauan Karimunjawa menunjukkan faktor keanekaragaman habitat ternyata lebih mempengaruhi kekayaan spesies burung dibandingkan luas area, baik untuk semua spesies yang ditemukan, spesies residen, dan non residen. Pengaruh keanekaragaman habitat untuk semua spesies yang ditemukan sebesar 64% dan untuk luas pulau hanya 47%. Spesies residen lebih didominasi oleh pengaruh keanekaragaman habitat sebesar 50%, sedangkan luas area sebesar 46%. Hasil analisis parsial untuk kelompok non residen juga menunjukkan bahwa faktor keanekaragaman habitat meskipun tidak terlalu besar tetapi lebih mempengaruhi kekayaan spesies burung dibandingkan faktor luas area. Pengaruh atau kontribusi keanekaragaman habitat adalah sebesar 32%, faktor luas area hanya berperan sebesar 14% saja. Uji parsial untuk menunjukkan faktor mana yang paling berpengaruh terhadap indeks keanekaragaman spesies non residen menunjukkan bahwa faktor keanekaragaman habitat juga lebih berpengaruh terhadap keanekaragaman spesies non residen sebesar 45% , luas area hanya berpengaruh sekitar 0,5% saja.

Secara umum pulau yang habitatnya lebih beragam, kekayaan spesiesnya cenderung lebih tinggi dibandingkan pulau yang hanya terdiri dari satu tipe habitat. Seperti terlihat pada P. Menjangan Besar, P. Nyamuk, P. Parang, P. Genting, P. Kemojan dan P. Karimunjawa yang memiliki jumlah tipe habitat lebih dari satu, secara umum kekayaan spesiesnya terlihat lebih tinggi dibandingkan

Dokumen terkait