• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keadaan Umum Penelitian

Penelitian ini terdiri atas dua tahap, yaitu pembuatan kompos dan uji tanam. Kompos dibuat dari campuran kotoran ayam petelur dengan batang pisang dengan perlakuan penambahan bioaktivator EM4 dan MOL tapai dengan taraf 1%, 5% dan 10%. Pengomposan dilakukan secara anaerobik, karena menyesuaikan karakteristik mikroorganisme yang terdapat pada MOL tapai yang merupakan mikroorganisme anaerob. Pembuatan kompos dilakukan selama 21 hari di laboratorium pengolahan limbah Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. MOL tapai dibuat dengan membiakan mikroorganisme tapai selama lima hari pada media air dengan penambahan gula. Gambar 1 menunjukkan MOL tapai yang siap untuk ditambahkan dan pematangan kompos.

Gambar 1. MOL Tapai dan Pematangan Kompos

Setelah kompos matang dilanjutkan dengan pengujian kualitas kompos dengan melihat kandungan C-organik, N total, P total, K total dan pH. Analisis kualitas kompos dilakukan di Laboratorium Soil and Fertilizer SEAMEO BIOTROP Bogor.

Kompos yang telah matang dilanjutkan dengan uji tanam. Pengujian ini bertujuan untuk melihat produktivitas tanaman dengan penggunaan kompos yang dibuat. Tanaman yang digunakan adalah kangkung darat dengan melakukan penanaman pada polybag yang dipelihara selama 28 hari. Uji tanam dilakukan dalam rumah kaca di Laboratorium lapang Cikabayan University Farm. Penggunaan rumah kaca bertujuan untuk mengurangi pengaruh lingkungan yang akan menghambat

16 proses uji tanam. Gambar 2 menunjukkan rumah kaca yang digunakan pada uji tanam pupuk kompos terhadap tanaman kangkung darat.

Gambar 2. Rumah Kaca Tempat Uji Tanam

Pertumbuhan tanaman kangkung tidak semuanya normal. Beberapa sampel tanaman kangkung mengalami pertumbuhan yang tidak normal, yaitu batang menjadi panjang dan kurus karena kurang cahaya matahari yang masuk ke dalam rumah kaca, yang dapat dilihat pada Gambar 3. Parameter yang diamati pada uji tanam adalah tinggi tanaman, jumlah daun, biomassa tajuk dan biomassa akar tanaman kangkung.

17

Kualitas Pupuk Kompos

Kualitas kompos merupakan faktor penting dalam menentukan apakah kompos tersebut layak untuk digunakan atau tidak. Secara umum kualitas kompos yang dihasilkan masih berada pada standar baku mutu pupuk organik, walaupun untuk beberapa unsur belum memenuhi standar. Kualitas kompos yang dihasilkan dilihat melalui kandungan C-organik, N total, P total, K total, pH dan bobot akhir kompos.

Kandungan Karbon (C) Organik

Kandungan C-organik pada kompos yang dihasilkan termasuk ke dalam standar baku mutu pupuk organik (SNI 19-7030-2004). Kandungan C-organik kompos berkisar antara 11%-14,6%, sedangkan kandungan yang disyaratkan baku mutu pupuk organik adalah 9,80%-32%. Selama proses pengomposan kandungan C-organik akan berkurang karena dalam proses dekomposisi bahan C-C-organik digunakan oleh mikroorganisme sebagai sumber energi dan bersama N digunakan sebagai penyusun sel. Kandungan C-organik yang semakin berkurang juga disebebkan pelepasan unsur C pada saat pengomposan seperti, CO2, uap air dan panas. Rataan kandungan C-organik dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rataan Nilai Kandungan C-Organik (%)

Perlakuan C-Organik

EM4 14,55±0,31a

MOL Tapai 1% 11,60±1,57b MOL Tapai 5% 11,92±0,56ab MOL Tapai 10% 14,08±1,18ab

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang nyata (P<0,05)

Hasil sidik ragam untuk C-organik menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) antara perlakuan. Hasil uji lanjut dengan Tukey menunjukkan bahwa perlakuan EM4 berbeda dengan perlakuan MOL tapai 1%, tetapi tidak berbeda dengan MOL tapai 5% dan MOL tapai 10%. Sedangkan perlakuan MOL tapai 1% tidak berbeda dengan perlakuan MOL tapai 5% dan MOL tapai 10%.

18 Kandungan C-organik kompos yang telah matang mengalami penurunan kandungan C-organik bahan awal kompos, karena proses perombakan yang terjadi selama pengomposan. Ragi berperan dalam perombakan bahan organik menjadi senyawa-senyawa organik, sedangkan Lactobacillus dan mikroorganisme selulolitik lainnya berperan dalam proses penyediaan senyawa organik yang selanjutnya terurai ke dalam bentuk yang siap diserap akar tanaman (Higa dan Parr, 1994).

Rataan kandungan C-organik yang paling rendah terdapat pada perlakuan MOL tapai 1%, sedangkan rataan kandungan C-organik yang tertinggi terdapat pada perlakuan EM4. Semakin rendah kandungan C-organik kompos menandakan semakin bagus proses dekomposisi yang dilakukan mikroorganisme selama proses pengomposan.

Kandungan C-organik yang lebih rendah pada MOL tapai 1% dan MOL tapai 5% menunjukkan bahwa aktivator ini dapat mendekomposisi campuran kotoran ayam dan batang pisang lebih baik dibandingkan dengan aktivator EM4 dan MOL tapai 10%. Sehingga penambahan MOL tapai sebanyak 1% lebih optimal dalam pengomposan.

Kandungan Nitrogen (N) Total

Kandungan N dalam kompos sangat dipengaruhi oleh proses pengomposan dan bahan baku yang digunakan. Dalam proses pengomposan, N yang dapat diserap tanaman dari hasil penguraian bahan organik berupa amonium, nitrit dan nitrat. Ion-ion tersebut berasal dari penguraian senyawa protein oleh mikroorganisme perombak.

Kandungan N pada kompos yang dihasilkan pada masing-masing perlakuan berkisar antara 2,33%-2,41% sangat tinggi bila dibandingkan dengan baku mutu pupuk organik (SNI 19-7030-2004) yang menyaratkan kandungan N minimal 0,40%. Hal tersebut disebabkan campuran bahan dasar yang mengandung N yang tinggi terutama kotoran ayam yang memiliki kandungan yang tinggi dibandingkan kotoran ternak lain.

Kandungan N total yang tinggi juga dipengaruhi proses pengomposan yang terjadi. Unsur N cenderung tertahan dalam tumpukan kompos dan selama proses dekomposisi unsur N yang hilang hanya sebanyak 5% dibandingkan unsur C yang hilang sebanyak 50% (Alexander, 1977).

19 Hasil sidik ragam menunjukkan tidak ada pengaruh semua perlakuan (EM4, MOL tapai 1%, 5% dan 10%) terhadap kandungan N total kompos. Hal tersebut sangat berkaitan dengan kemampuan mikroorganisme untuk merombak protein menjadi N total. Kemampuan mikroorganisme pada MOL tapai lebih dominan dalam perombakan bahan yang mengandung karbohidrat dibandingkan dengan merombak protein. Rataan kandungan N total kompos dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rataan Nilai Kandungan N Total (%)

Perlakuan N Total EM4 2,41±0,03 MOL Tapai 1% 2,33±0,20 MOL Tapai 5% 2,38±0,05 MOL Tapai 10% 2,29±0,03 Rasio C/N

Rasio C/N akhir kompos akan semakin kecil dibandingkan dengan C/N rasio pada awal pengomposan. Rasio C/N selain penentu kualitas kompos, juga merupakan indikator kematangan dari kompos. Semakin rendah rasio C/N akhir kompos dibandingkan rasio C/N awal, maka semakin baik kompos yang dihasilkan. Rasio C/N merupakan salah satu faktor yang penting dalam pengomposan. Hal tersebut disebabkan pengomposan bergantung pada kegiatan mikroorganisme yang membutuhkan karbon sebagai sumber energi dan bersamaan dengan nitrogen untuk pembentukan selnya (Gaur, 1983).

Nilai rasio C/N kompos yang dihasilkan dari semua perlakuan yang berkisar antara 4,97-6,14 sangat rendah dibandingkan dengan baku mutu pupuk organik (SNI 19-7030-2004) yang memiliki nilai 10-20. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh aktivitas mikroorganisme perombak bahan organik serta kandungan C-organik dan N kompos. Kandungan N total yang relatif tinggi pada kompos menyebabkan nilai rasio C/N menjadi rendah. Selain itu, kandungan C/N kotoran ayam yang rendah dibandingkan batang pisang diduga juga menyebabkan rendahnya C/N akhir kompos. Rataan nilai rasio C/N dapat dilihat pada Tabel 3.

20 Tabel 3. Rataan Nilai Rasio C/N

Perlakuan Rasio C/N

EM4 6,03±0,18A

MOL Tapai 1% 4,97±0,25B MOL Tapai 5% 5,02±0,12B MOL Tapai 10% 6,14±0,45A

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang sangat nyata (P<0,01)

Berdasarkan hasil sidik ragam untuk rasio C/N diketahui bahwa ada perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) antara perlakuan. Hasil uji lanjut dengan Tukey menunjukkan bahwa perlakuan EM4 berbeda sangat nyata dengan perlakuan MOL tapai 1% dan 5%, tetapi tidak berbeda dengan perlakuan MOL tapi 10%. Sedangkan perlakuan MOL tapai 1% tidak berbeda dengan MOL tapai 5%, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan EM4 dan MOL tapai 10%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai rasio C/N perlakuan MOL tapai 1%, dan 5% lebih kecil dibanding dengan rasio C/N EM4 dan MOL tapai 10% padahal kandungan N total masing-masing perlakuan tidak nyata. Hal tersebut disebabkan aktivitas mikroorganisme pada MOL tapai 1% dan 5% yang aktif merombak selama proses pengomposan dibandingkan EM4 dan MOL tapai 10%, yang dapat dilihat pada nilai C-organik yang rendah sebagai indikator pemanfaatan karbon sebagai energi.

Kandungan Fosfor (P) Total

Unsur P merupakan unsur yang penting dalam kompos, karena unsur ini merupakan unsur hara yang utama bagi pertumbuhan tanaman. Soepardi (1983) melaporkan, bahwa kandungan unsur P semakin tinggi dengan terjadinya pelapukan bahan organik yang dikomposkan. Pada tahap pematangan mikroorganisme akan mati dan kandungan P di dalam mikroorganisme akan bercampur dalam bahan kompos yang secara langsung akan meningkatkan kandungan fosfor dalam kompos.

Unsur P yang terkandung pada setiap perlakuan kompos yang berkisar antara 4,30%-4,60% relatif tinggi dibandingkan dengan baku mutu pupuk organik (SNI 19-7030-2004) yang mensyaratkan kandungan unsur P minimal 0,10%. Unsur P pada

21 kompos sangat berperan dalam pembentukan bunga, buah, biji dan mempercepat kematangan buah. Rataan kandungan unsur P dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Rataan Nilai Kandungan P Total (%)

Perlakuan P Total

EM4 4,39±0,06

MOL Tapai 1% 4,37±0,17

MOL Tapai 5% 4,60±0,21

MOL Tapai 10% 4,30±0,09

Hasil sidik ragam unsur P menunjukkan hasil yang tidak nyata. Hasil tersebut menunjukkan tidak ada pengaruh semua perlakuan yang diberikan terhadap kandungan unsur P. Hal tersebut kemungkinan disebabkan mikroorganisme pada EM4 dan MOL tapai kurang aktif dalam melakukan perombakan terhadap kotoran ayam dan batang pisang.

Kandungan Kalium (K) Total

Kalium pada tanaman sangat berperan dalam pembentukan protein serta karbohidrat, pengerasan bagian kayu, mempertinggi daya tahan terhadap penyakit dan meningkatkan kualitas biji dan buah. Soepardi (1983) menyatakan, bahwa kandungan unsur K semakin tinggi dengan adanya pelapukan bahan organik yang dikomposkan. Jika bahan organik awal yang digunakan untuk pembuatan kompos cukup kandungan N, maka biasanya unsur hara lainnya seperti P dan K akan tersedia dalam jumlah yang cukup (Dalzell et al., 1987).

Kandungan unsur K pada kompos yang dihasilkan pada masing-masing perlakuan berkisar 3,78%-3,97%, nilai tersebut cukup tinggi dibandingkan dengan baku mutu pupuk organik (SNI 19-7030-2004) yang mensyaratkan kandungan unsur K minimal 0,20%. Tingginya kandungan unsur K tersebut disebabkan penambahan batang pisang sebagai campuran bahan kompos, unsur K yang tinggi pada awal pengomposan memberikan efek tingginya kandungan K pada akhir pengomposan. Rataan kandungan K total dapat dilihat pada Tabel 5.

22 Tabel 5. Rataan Nilai Kandungan K Total (%)

Perlakuan K Total

EM4 3,97±0,10

MOL Tapai 1% 3,85±0,07 MOL Tapai 5% 3,91±0,11 MOL Tapai 10% 3,78±0,13

Hasil sidik ragam menunjukkan tidak ada pengaruh penambahan bioaktivator EM4 dan MOL tapai dengan jumlah penambahan yang berbeda terhadap kandungan K. Hal ini diduga disebabkan jumlah bahan yang dikomposkan sama, dengan perbandingan kotoran ayam dengan batang pisang sama untuk setiap perlakuan. Dengan kata lain kemampuan bioaktivator EM4 dan MOL tapai pada penelitian ini sama efektifnya dalam melakukan perombakan bahan organik terutama pada unsur K.

Nilai pH Kompos

Nilai pH pada proses pengomposan merupakan hal sangat mempengaruhi aktivitas perkembangan mikroorganisme yang akan sangat berpengaruh terhadap kualitas kompos yang dihasilkan. CPIS (1992), menyatakan bahwa pH yang terlalu tinggi dapat menyebabkan unsur nitrogen pada bahan kompos berubah menjadi amoniak, sebaliknya dalam kondisi asam akan menyebabkan mikroorganisme mati. Proses pengomposan pada setiap perlakuan sangat rentan sekali dengan nilai pH yang tinggi, karena bahan yang dikomposkan berupa kotoran ayam petelur yang mengandung banyak amoniak.

Nilai pH sebesar 8,6-8,8 pada setiap perlakuan kompos sangat tinggi dibandingkan dengan baku mutu pupuk organik (SNI 19-7030-2004) yang berkisar antara 6,80-7,49. Dengan lebih tingginya nilai pH yang dihasilkan setiap perlakuan, menandakan pH kompos yang dihasilkan kurang baik. Adanya peningkatan nilai pH hingga akhir proses pengomposan disebabkan terbentuk NH3 selama proses dekomposisi yang bersifat basa, hal tersebut lebih diperparah lagi dengan kandungan kotoran ayam yang banyak mengandung amoniak, sehingga pH kompos yang dihasilkan relatif tinggi.

23 Selain itu, nilai pH yang tinggi mungkin juga dipengaruhi oleh proses perombakan protein yang menghasilkan NH3 yang kemudian berikatan dengan air membentuk NH4OH yang bersifat basa, sehingga pH meningkat. Nilai pH yang relatif sama menandakan perkembangan mikroorganisme pada masing-masing media kompos relatif tidak jauh berbeda untuk setiap perlakuan. Rataan nilai pH kompos dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Nilai pH Kompos yang Dihasilkan

Perlakuan pH

EM4 8,7

MOL Tapai 1% 8,6

MOL Tapai 5% 8,8

MOL Tapai 10% 8,7

Bobot Akhir Kompos

Bobot akhir kompos dipengaruhi oleh kadar air bahan, penyusutan, aktivitas mikroorganisme dan karakteristik bahan. Semakin besar bobot akhir kompos maka semakin bagus kompos yang dihasilkan. Kompos yang dibuat dari campuran kotoran ayam dengan batang pisang memiliki kandungan kadar air yang tinggi sehingga sangat mempengaruhi bobot kering kompos. Hal tersebut dikarenakan kadar air banyak yang hilang selama pengeringan kompos dengan cara kering angin, sehingga bobot akhir kompos menjadi kecil. Selain kadar air, aktivitas mikroorganisme perombak juga mempengaruhi bobot akhir kompos. Proses perombakan bahan organik yang menghasilkan air, panas dan bahan organik lainnya akan menyebabkan bobot bahan semakin berkurang.

Hasil sidik ragam bobot kering kompos menunjukkan hasil yang tidak nyata terhadap semua perlakuan bioaktivator. Hal tersebut diduga jumlah bahan awal yang dikomposkan berbobot sama dan aktivitas mikroorganisme perombak pada masing-masing perlakuan relatif sama. Produksi bobot kering kompos yang rendah dikarenakan karakteristik bahan (kotoran ayam dan batang pisang) yang mengandung banyak kadar air. Sehingga menyebabkan tingginya penyusutan bobot kompos hampir mencapai 75%. Hal tersebut mengindikasikan produksi kompos yang

24 dihasilkan kurang bagus, kurang ekonomis bila digunakan sebagai pupuk pada tanaman. Rataan bobot kompos dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Rataan Bobot Kering Kompos (kg)

Perlakuan Bobot Kompos

EM4 2,52±0,97

MOL Tapai 1% 2,63±0,03

MOL Tapai 5% 2,54±0,11

MOL Tapai 10% 2,62±0,67

Uji Tanam

Tinggi Tanaman Kanggkung

Produktivitas tanaman merupakan faktor penting yang harus diamati pada proses uji tanam kompos. Tingkat produktivitas dapat dilihat dari respon pertumbuhan tanaman kangkung tersebut yang bisa dilihat melalui pertumbuhan tinggi tanaman. Lakitan (1995), menyatakan bahwa tinggi tanaman merupakan pertumbuhan yang paling mudah diukur.

Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan interaksi antara jenis dan dosis pupuk tidak mempengaruhi tinggi tanaman kangkung. Penggunaan dosis pupuk yang berbeda memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap tinggi tanaman pada 7 HST.

Hasil uji lanjut menggunakan Tukey menunjukkan bahwa rataan tinggi tanaman pada 7 HST pada penggunaan dosis 100 g tidak berbeda dengan dosis 200 g, namun berbeda nyata dengan dosis 300 g. Rataan tertinggi terdapat pada penggunaan dosis 100 g sedangkan rataan terendah terdapat pada penggunaan dosis 300 g. Tinggi tanaman kangkung dipengaruhi oleh kandungan unsur N yang terdapat pada jenis pupuk. Nitrogen lebih optimum dalam menunjang pertumbuhan vegetatif, oleh karena itu tanaman sayuran yang terdiri dari batang dan daun saja lebih responsif terhadap kadar N tanah (Plaster, 1992). Rataan tinggi tanaman kangkung pada 7 HST dapat dilihat pada Tabel 8.

25 Tabel 8. Rataan Tinggi Tanaman Kangkung dengan Penggunaan Jenis Pupuk yang

Berbeda pada 7 HST

Perlakuaan Dosis Rataan

100 g 200 g 300 g --- cm --- EM-4 8,36±0,45 8,66±0,50 7,41±0,37 8,14 MOL Tapai 1% 8,87±1,65 9,09±1,17 8,17±0,31 8,71 MOL Tapai 5% 9,75±0,71 8,61±0,75 7,87±0,85 8,74 MOL Tapai 10% 9,35±0,76 8,86±0,69 8,28±1,03 8,83 Rataan 9,08A 8,80A 7,93B

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang sangat nyata (P<0,01)

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penggunaan dosis pupuk kompos yang berbeda memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap tinggi tanaman kangkung pada 14 HST. Hasil uji lanjut menggunakan Tukey menunjukkan bahwa tinggi tanaman kangkung pada 14 HST pada penggunaan dosis 100 g memberikan respon tidak berbeda nyata dengan dosis 200 g, namun berbeda nyata dengan dosis 300 g. Penggunaan dosis pupuk 100 g memberikan respon rataan tinggi tanaman tertinggi, sedangkan penggunaan dosis 300 g memiliki rataan tinggi yang paling rendah.

Penggunaan dosis 100 g ternyata memberikan respon tinggi tanaman yang baik, hal ini menggambarkan bahwa penggunaan dosis optimum pada masing-masing jenis pupuk sebesar 100 g. Berdasarkan hasil sidik ragam memberikan gambaran bahwa semakin tinggi penggunaan dosis pupuk maka rataan tinggi tanaman kangkung yang dihasilkan akan semakin rendah. Rataan tinggi tanaman kangkung pada 14 HST dapat dilihat pada Tabel 9.

26 Tabel 9. Rataan Tinggi Tanaman Kangkung dengan Penggunaan Jenis Pupuk yang

Berbeda pada 14 HST

Perlakuaan Dosis Rataan

100 g 200 g 300 g --- cm --- EM-4 18,91±1,72 17,61±1,66 13,70±0,94 16,74 MOL Tapai 1% 19,37±3,60 18,42±1,90 14,96±1,69 17,58 MOL Tapai 5% 20,02±1,62 17,64±1,40 15,22±1,90 17,63 MOL Tapai 10% 19,05±1,62 17,53±0,91 14,81±1,94 17,13 Rataan 19,34A 17,80A 14,67B

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang sangat nyata (P<0,01)

Kondisi yang hampir sama juga terjadi pada 21 HST, hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penggunaan dosis pupuk yang berbeda memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap tinggi tanaman kangkung pada 21 HST. Hasil uji lanjut menggunakan Tukey menunjukkan hasil bahwa tinggi tanaman kangkung pada 21 HST dengan penggunaan dosis 100 g tidak berbeda dengan dosis 200 g dan berbeda nyata dengan dosis 300 g, sedangkan dosis 200 g tidak berbeda dengan dosis 300 g. Rataan tinggi tanaman kangkung pada 21 HST dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Rataan Tinggi Tanaman Kangkung dengan Penggunaan Jenis Pupuk yang

Berbeda pada 21 HST

Perlakuaan Dosis Rataan

100 g 200 g 300 g --- cm --- EM-4 33,60±2,73 31,90±2,77 28,62±7,45 31,37 MOL Tapai 1% 34,73±6,06 34,55±1,51 31,05±3,65 33,44 MOL Tapai 5% 34,14±2,12 29,26±3,11 25,17±7,41 29,52 MOL Tapai 10% 33,04±2,55 33,91±2,74 30,55±3,82 32,50 Rataan 33,88A 32,40AB 28,85B

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang sangat nyata (P<0,01)

Berdasarkan hasil yang didapatkan dari tiga minggu awal pengukuran, dapat dilihat bahwa penggunaan dosis 100 dan 200 g memberikan nilai rataan tinggi

27 tanaman yang besar dibandingkan dengan penggunaan dosis 300 g. Hal tersebut mengambarkan pemberian dosis yang optimal pada masing-masing perlakuan jenis pupuk adalah 200 g dan apabila melebihi dari 200 g akan memberikan respon pertumbuhan tinggi tanaman yang kurang bagus.

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penggunaan dosis pupuk yang berbeda memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap tinggi tanaman kangkung pada 28 HST. Penyebab hal tersebut diduga karena terjadinya etiolasi pada tanaman kangkung, sehingga ada beberapa tanaman yang mengalami tinggi yang berlebihan bahkan ada yang mencapai 1,5 m.

Hal tersebut sangat tidak normal terjadi pada tanaman kangkung. Terjadinya etiolasi pada tanaman kangkung disebabkan oleh kurangnya cahaya matahari menyinari tanaman, karena rumah kaca yang digunakan untuk uji tanam berlumut pada bagian atap. Tumbuhan yang hidup dibawah tegakan pohon atau terlindungi akan terjadi pemanjangan batang yang dikarenakan pada kondisi intensitas cahaya matahari yang rendah, degradasi auksin akan berkurang sehingga kandungan auksin akan meningkat (Salisbury dan Ross, 1995). Rataan tinggi tanaman kangkung pada 28 HST dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Rataan Tinggi Tanaman Kangkung dengan Penggunaan Jenis Pupuk yang Berbeda pada 28 HST

Perlakuaan Dosis Rataan

100 g 200 g 300 g --- cm --- EM-4 67,98±13,16 66,63±13,66 67,96±20,22 67,52 MOL Tapai 1% 71,09±27,47 71,89±13,04 72,26±20,23 71,75 MOL Tapai 5% 57,26±8,09 62,11±10,68 48,66±16,67 56,01 MOL Tapai 10% 63,27±8,63 65,52±20,37 58,42±19,62 62,40 Rataan 64,90 66,54 61,82

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan jenis pupuk kompos tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap tinggi tanaman kangkung selama proses pemeliharaan. Semua jenis pupuk yang diberikan kepada kangkung sama baiknya terhadap tinggi tanaman. Hal ini disebabkan kandungan unsur-unsur pada

28 masing-masing jenis pupuk relatif sama, sehingga respon yang diberikan tanaman kangkung terutama untuk tinggi tidak ada perbedaan.

Jumlah Daun Tanaman Kangkung

Jumlah daun merupakan salah satu respon pertumbuhan yang juga diamati pada penelitian uji tanam. Jumlah daun tanaman kangkung dipengaruhi oleh K dan N. Kalium berperan penting dalam transpor fotosintat, membantu pembentukan protein dan karbohidrat, memperkuat jaringan tanaman, mengatur berbagai proses fisiologi tanaman dan membentuk atibodi tanaman (Simamora dan Salundik, 2006).

Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan interaksi antara jenis dan dosis pupuk kompos tidak mempengaruhi jumlah daun tanaman kangkung. Hasil sidik ragam pada 7 HST menunjukkan bahwa penggunaan dosis dan jenis pupuk yang berbeda memberikan pengaruh tidak berbeda nyata terhadap jumlah daun tanaman kangkung. Hal ini menandakan bahwa, pada minggu awal pertumbuhan tanaman kangkung pada setiap perlakuan jenis pupuk dan perlakuan dosis memberikan efek yang sama terhadap jumlah daun. Jumlah daun yang sama disebabkan pada minggu awal tanaman kangkung baru melewati fase perkecambahan dan baru memasuki fase pertumbuhan awal. Rataan jumlah daun tanaman kangkung pada 7 HST dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Rataan Jumlah Daun Tanaman Kangkung dengan Penggunaan Jenis Pupuk yang Berbeda pada 7 HST

Perlakuaan Dosis Rataan

100 g 200 g 300 g --- helai --- EM-4 2,00±0,00 2,00±0,00 1,94±0,00 1,98 MOL Tapai 1% 1,94±0,12 1,87±0,14 2,00±0,00 1,93 MOL Tapai 5% 2,00±0,00 2,00±0,00 2,00±0,00 2,00 MOL Tapai 10% 2,00±0,00 2,00±0,00 2,00±0,00 2,00 Rataan 1,98 1,97 1,98

Hasil sidik ragam pada 14 HST menunjukkan bahwa penggunaan dosis yang berbeda memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap jumlah daun tanaman kangkung. Hasil uji lanjut menggunakan Tukey dapat dilihat bahwa, rataan

29 jumlah daun pada penggunaan dosis 100 g tidak berbeda dengan dosis 200 g, namun berbeda nyata dengan penggunaan dosis 300 g. Hal tersebut menandakan bahwa pada 14 HST perlakuan dosis 100 dan 200 g memberikan efek yang baik terhadap tanaman kangkung, namun pada dosis 300 g memberikan respon yang rendah dibandingkan perlakuan dosis 100 dan 200 g. Penggunaan dosis optimal untuk setiap perlakuan jenis pupuk kompos adalah sebanyak 200 g. Rataan jumlah dau tanaman kangkung pada 14 HST dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Rataan Jumlah Daun Tanaman Kangkung dengan Penggunaan Jenis Pupuk yang Berbeda pada 14 HST

Perlakuaan Dosis Rataan

100 g 200 g 300 g --- helai --- EM-4 5,00±0,41 5,81±0,24 4,81±0,51 5,37 MOL Tapai 1% 5,62±0,83 5,69±0,24 5,06±0,59 5,46 MOL Tapai 5% 5,62±0,25 5,94±0,51 5,69±0,66 5,75 MOL Tapai 10% 5,87±0,32 5,87±0,14 5,31±0,37 5,68 Rataan 5,65A 5,83A 5,22B

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang sangat nyata (P<0,01)

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penggunaan dosis pupuk kompos yang berbeda memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap jumlah daun tanaman kangkung pada 21 HST, namun untuk perlakuan jenis kompos memberikan pengaruh tidak berbeda nyata terhadap jumlah daun tanaman kangkung. Hasil uji lanjut menggunakan Tukey dapat dilihat bahwa perlakuan pada dosis 100 g hampir tidak berbeda nyata dengan dosis 200 dan 300 g, namun penggunaan dosis yang berbeda berpengaruh terhadap jumlah daun tanaman kangkung. Rataan jumlah daun tertinggi pada perlakuan dosis 200 g dan yang terendah pada dosis 300 g.

Jumlah daun pada 21 HST salah satunya dipengaruhi oleh kandungan unsur-unsur hara yang terdapat pada tanah. Karena jenis pupuk kompos tidak berpengaruh terhadap jumlah daun tanaman kangkung, maka penggunaan dosis dan kemampuan

Dokumen terkait