• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Contoh

Karakteristik contoh yang diteliti dalam penelitian ini meliputi jenis kelamin, usia dan status gizi (TB/U). Pada Tabel 4 disajikan sebaran contoh berdasarkan karakteristik contoh dan status gizi.

Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik contoh dan status gizi Karakteristik contoh Contoh stunted Contoh normal Total p n % n % n % Jenis Kelamin Laki-laki 15 18.1 15 18.1 30 18.1 Perempuan 68 81.9 68 81.9 136 81.9 Total 83 100 83 100 166 100 Usia Median (min,maks) 16 (10,18) 16 (15, 18) 16 (10, 18) 0.073 13-15 tahun 3 3.6 9 0.8 12 7.2 16-18 tahun 80 96.4 74 89.2 154 92.8 Total 83 100 83 100 166 100 Jenis kelamin

Secara umum sebagian besar (81.9%) contoh adalah perempuan. Untuk contoh stunted dan normal, persentase perempuan adalah 81.9% (Tabel 4). Prevalensi stunted pada remaja perempuan (81.9%) lebih banyak daripada remaja laki-laki (18.1%). Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Amelia (2011) yang menunjukkan bahwa prevalensi stunted pada remaja perempuan adalah lebih banyak daripada remaja laki-laki.

Usia contoh

Secara keseluruhan, terdapat 92.8% contoh yang berusia antara 16-18 tahun. Pada contoh stunted dan normal masing-masing adalah 96.4% dan 89.2% berusia antara 16-18 tahun. Tabel 4 menunjukkan bahwa prevalensi contoh

stunted signifikan lebih tinggi pada kelompok usia 16-18 tahun dibandingkan pada kelompok usia 13-15 tahun. Hal ini diduga disebabkan adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia beberapa waktu yang lalu. Remaja kelompok usia 16-18 tahun adalah remaja yang lahir pada tahun tersebut. Masa krisis menyebabkan daya beli masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan makan anaknya menurun yang berdampak terhadap status gizi mereka. Usia contoh stunted

cenderung lebih tinggi dibandingkan contoh normal namun perbedaannya tidak nyata (p>0.05).

Rata-rata z-skor TB/U pada usia 13-15 tahun untuk contoh stunted dan contoh normal masing-masing adalah -2.52 dan -1.02. Pada usia 16-18 tahun, rata-rata z-skor TB/U pada contoh stunted dan contoh normal berturut-turut adalah -2.60 dan -1.07. Hal ini mengindikasikan bahwa dengan bertambahnya usia maka nilai z-skor TB/U semakin menjauh dari pertumbuhan normal. Kondisi ini antara lain disebabkan oleh dengan semakin tinggi usia maka kebutuhan energi dan zat gizi juga semakin banyak. Tanpa penyediaan makanan yang memadai (kualitas maupun kuantitas) sesuai dengan usia maka pertumbuhan remaja semakin menyimpang dari normal dengan bertambahnya usia.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Friedman et al. (2005), Mushtaq et al. (2011) dan Senbanjo et al. (2011). Hasil penelitian Senbanjo et al.

(2011) menunjukkan bahwa penurunan tinggi badan dibandingkan dengan referensi NCHS mencapai puncaknya di usia 12 tahun pada perempuan dan usia 13 tahun pada laki-laki. Hasil penelitian di Kenya menunjukkan bahwa indeks TB/U semakin menjauh dari nilai median NCHS sejalan dengan peningkatan usia (Friedman et al. 2005). Hasil penelitian yang menunjukkan lebih tingginya prevalensi stunted sejalan dengan peningkatan usia umumnya terjadi pada anak di negara-negara berpendapatan menengah ke bawah dimana setelah usia tiga bulan terjadi gangguan pertumbuhan yang secara persisten berjalan lambat sampai masa remaja. Peningkatan prevalensi stunted sejalan dengan peningkatan usia telah dihubungkan dengan percepatan pertumbuhan (growth spurt) yang tidak terjadi atau lambat terjadi jika dibandingkan dengan anak normal (Senbanjo et al. 2011).

Karakteristik Keluarga Contoh

Karakteristik keluarga yang diamati yaitu besar keluarga, lama pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua dan pendapatan keluarga. Pada Tabel 5 disajikan sebaran contoh berdasarkan karakteristik keluarga dan status gizi.

Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik keluarga dan status gizi

Karakteristik keluarga Contoh stunted Contoh normal Total p

n % n % n % Besar Keluarga median (min,maks) 6 (4, 12) 5 (2, 11) 5.5 (2, 12) 0.000 Kecil 5 6.0 29 34.9 34 20.5 Sedang 46 55.4 43 51.8 89 53.6 Besar 32 38.6 11 13.3 43 25.9 Total 83 100 83 100 166 100

Lama Pendidikan Ayah median (min,maks) 9 (1, 15) 12 (1, 18) 10.5 (1, 18) 0.000 Rendah 35 42.2 16 19.3 51 30.7 Sedang 43 51.8 53 63.9 96 57.8 Tinggi 5 6.0 14 16.9 19 11.5 Total 83 100 83 100 166 100

Lama Pendidikan Ibu

median (min,maks) 6 (1, 16) 12 (1, 18) 9 (1, 18) 0.003 Rendah 49 59.0 29 34.9 78 47.0 Sedang 28 33.7 45 54.2 73 44.0 Tinggi 6 7.2 9 10.8 15 9.0 Total 83 100 83 100 166 100 Pekerjaan Ayah Tidak bekerja 0 0 1 1.2 1 0.6 Buruh tani 4 4.8 6 7.2 10 6.0 Jasa (ojek/sopir) 0 0 1 1.2 1 0.6 Petani pemilik 0 0 1 1.2 1 0.6 PNS/TNI 14 16.9 12 14.5 26 15.8 Pegawai swasta 17 20.5 17 20.5 34 20.4 Dagang/ wiraswasta 30 36.1 26 31.3 56 33.7 Lainnya 18 21.7 19 22.9 37 22.3 Total 83 100 83 100 166 100 Pekerjaan Ibu Tidak bekerja/IRT 53 63.9 59 71.1 112 67.5 Buruh tani 2 2.4 0 0 2 1.2 Petani pemilik 1 1.2 0 0 1 0.6 PNS/TNI 4 4.8 3 3.6 7 4.2 Pegawai swasta 5 6.0 6 7.2 11 6.6 Dagang/ wiraswasta 11 13.3 13 15.7 24 14.5 Lainnya 7 8.4 2 2.4 9 5.4 Total 83 100 83 100 166 100 Pendapatan Keluarga median (min,maks) 1.200.000 (500.000, 6.000.000) 2.000.000 (500.000, 5.000.000) 1.600.000 (500.000, 6.000.000) 0.000 <Rp 2 juta 59 71.1 29 34.9 88 53.0 Rp 2-3 juta 21 25.3 42 50.6 63 38.0 >Rp 3 juta 3 3.6 12 14.5 15 9.0 Total 83 100 83 100 166 100 Besar keluarga

Besar keluarga berkisar antara 4-8 orang baik pada contoh stunted

maupun contoh normal. Jumlah anggota keluarga contoh stunted adalah nyata lebih banyak (p<0.05) daripada contoh normal (Tabel 5). Salimar (2010) menyatakan bahwa keluarga yang memiliki besar keluarga diatas 4 orang mempunyai peluang lebih besar memiliki anak dengan status gizi stunted.

Lama pendidikan orang tua

Lama pendidikan ayah maupun ibu contoh yang tergolong rendah lebih banyak pada contoh stunted (42.2% dan 59.0%) dibandingkan contoh normal (19.3% dan 34.9%). Lama pendidikan ayah maupun ibu contoh stunted adalah nyata lebih rendah (p<0.05) daripada contoh normal.

Semakin tinggi pendidikan formal maka akan semakin luas wawasan berpikirnya sehingga akan lebih banyak informasi yang diserap. Pendidikan ayah yang lebih tinggi berpeluang untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi, peluang untuk menyediakan makanan dengan jumlah dan kualitas yang lebih baik juga lebih besar.

Latar belakang pendidikan ibu berpengaruh terhadap perilaku ibu dalam mengelola rumah tangga, termasuk dalam hal pemilihan, penyediaan dan konsumsi pangan keluarga sehari-hari. Pendidikan ibu juga menentukan aksesnya kepada pengasuhan yang tepat dan akses terhadap sarana kesehatan (Engel et al. 1997). Menurut Nurmawati (1995) orang yang berpendidikan tinggi cenderung memilih pangan yang lebih baik dalam jumlah dan mutu dibandingkan yang berpendidikan lebih rendah.

Pekerjaan orang tua

Secara umum pekerjaan ayah sebagian besar contoh adalah dagang/wiraswasta dengan persentase untuk contoh stunted adalah 36.1% dan contoh normal adalah 31.3%. Pekerjaan pegawai swasta pada contoh normal dan contoh stunted sama yaitu 17%. Sedangkan ayah yang bekerja sebagai PNS/TNI lebih banyak pada contoh stunted (16.9%) dibandingkan contoh normal (14.5%).

Pekerjaan ibu sebagian besar adalah Ibu Rumah Tangga (IRT) baik contoh

stunted (63.9%) maupun contoh normal (71.1%). Ibu yang bekerja sebagai pegawai swasta dan dagang/wiraswasta lebih banyak pada contoh normal (7.2% dan 15.7%) dibandingkan contoh stunted (6.0% dan 13.3%) (Tabel 5).

Pendapatan keluarga

Pendapatan keluarga merupakan gabungan dari hasil pendapatan ayah, ibu dan anggota keluarga lain dalam satu bulan. Pendapatan keluarga terendah contoh

stunted adalah Rp 500.000, pendapatan keluarga tertinggi adalah Rp 6.000.000 dengan median Rp 1.200.000. Pendapatan keluarga terendah contoh normal adalah Rp 500.000, pendapatan keluarga tertinggi adalah Rp 5.000.000 dengan median Rp 2.000.000. Tabel 5 dapat dilihat bahwa pada contoh stunted

pendapatan keluarga paling banyak adalah <Rp 2 juta (71.1%) sedangkan pada contoh normal paling banyak adalah Rp 2-3 juta (50.6%). Upah Minimum Regional (UMR) Kabupaten Bogor pada tahun 2013 yaitu sebesar Rp 2.002.000,00 (BKPM 2013). Hal ini berarti sebesar 71.1% keluarga pada contoh

stunted dan 34.9% keluarga pada contoh normal memiliki pendapatan keluarga yang berada di bawah Upah Minimum Regional (UMR) Kabupaten Bogor 2013. Pendapatan keluarga contoh stunted adalah nyata lebih rendah (p<0.05) daripada contoh normal. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Riskesdas 2010 yang menunjukkan prevalensi kependekan (stunted) pada anak dan remaja berhubungan dengan keadaan ekonomi keluarga, yakni semakin tinggi ekonomi suatu keluarga maka semakin rendah prevalensi kependekan.

Kualitas Konsumsi Pangan

Mutu gizi/mean adequacy ratio (MAR)

Tabel 6 menunjukkan rata-rata tingkat kecukupan energi dan zat gizi dan mutu gizi/mean adequacy ratio (MAR) contoh stunted dan normal.

Tabel 6 Rata-rata tingkat kecukupan energi dan zat gizi serta MAR dan status gizi contoh

Zat Gizi Contoh stunted Contoh normal

TK (%) MAR (%) TK (%) MAR (%) Energi (Kal) 51.7 79 (9, 82) 51.6 80 (10, 89) Protein (g) 62.3 61.4 Vit. A (RE) 110.2 114.2 Vit. C (mg) 33.5 34.6 Kalsium (mg) 187.8 197.3 Zat besi (mg) 41.4 41.7

Secara keseluruhan, tingkat kecukupan energi dan zat gizi contoh stunted

cenderung lebih rendah dibandingkan contoh normal namun perbedaannya tidak nyata (p>0.05), kecuali tingkat kecukupan energi dan protein. Lebih tingginya tingkat kecukupan energi dan protein pada contoh stunted karena konsumsi makanan jajanan sebagai pangan sumber energi dan protein lebih tinggi pada contoh stunted dibandingkan contoh normal baik dari segi porsi maupun frekuensi, meliputi chiky, crackers dan biskuit. Tingginya tingkat kecukupan vitamin A pada contoh stunted dan contoh normal karena konsumsi minyak dan lemak yang tinggi. Tingginya tingkat kecukupan kalsium pada contoh stunted dan contoh normal karena konsumsi susu dan hasil olahannya, makanan jajanan dan pangan hewani yang tinggi.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Amelia (2008) pada remaja di Kota Sungai Penuh, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi bahwa tidak ada perbedaan signifikan tingkat kecukupan energi dan zat gizi antara remaja yang memiliki riwayat stunted pada usia dini dengan remaja yang tidak memiliki riwayat stunted pada usia dini.

Tingkat kecukupan energi dan protein dari sekitar dua pertiga contoh

stunted maupun contoh normal berada dalam kategori defisit tingkat berat (<70% kebutuhan). Tingkat kecukupan vitamin dan mineral contoh stunted dan contoh normal sebagian besar berada dalam kategori cukup (>77% AKG), kecuali vitamin C dan mineral zat besi. Tingkat kecukupan vitamin C dan zat besi tergolong kurang (<77% AKG) bahkan nilainya <50%.

MAR contoh stunted cenderung lebih rendah dibandingkan contoh normal namun perbedaannya tidak nyata (p>0.05). MAR contoh stunted dan contoh normal berada dalam kategori cukup (70-84%) dengan persentase masing-masing adalah 79.0% dan 80.0% (Tabel 6). Hasil penelitian ini berada di atas hasil penelitian Lativa (2013) yang merujuk data Riskesdas 2010 yang menunjukkan MAR pada remaja usia 13-18 tahun adalah 62.

Tabel 7 menunjukkan bahwa 80% contoh tingkat kecukupan energinya tergolong defisit tingkat berat dan hanya 6% contoh yang tergolong normal. Tingkat kecukupan protein sebagian besar contoh (67%) tergolong defisit tingkat

berat dan hanya 10% contoh yang tergolong normal. Tingkat kecukupan vitamin dan mineral sebagian besar contoh (>50%) tergolong kurang (<77% AKG), kecuali vitamin A. Bahkan tingkat kecukupan vitamin C pada 91.6% contoh tergolong kurang. Tingkat kecukupan vitamin A sebagian besar contoh (>50%) tergolong cukup (>77% AKG).

Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan zat gizi dan status gizi

Kategori Contoh stunted Contoh normal Total p n % n % n % Energi 0.362

Defisit berat (<70% AKG) 68 81.9 62 74.7 130 78.3 Defisit sedang (70-79% AKG) 4 4.8 7 8.4 11 6.6 Defisit ringan(80-89% AKG) 3 3.6 8 9.6 11 6.6

Normal (90-119% AKG) 4 4.8 6 7.2 10 6.1

Lebih (>120% AKG) 4 4.8 0 0 4 2.4

Total 83 100 83 100 166 100

Protein 0.402

Defisit berat(<70% AKG) 59 71.1 52 62.7 111 67.0 Defisit sedang (70-79% AKG) 6 7.2 9 10.8 15 9.0 Defisit ringan (80-89% AKG) 4 4.8 7 8.4 11 6.6

Normal (90-119% AKG) 5 6.0 11 13.3 16 9.6 Lebih (>120% AKG) 9 10.8 4 4.8 13 7.8 Total 83 100 83 100 166 100 Vitamin A 0.873 Kurang (<77% AKG) 32 38.6 31 37.3 63 38.0 Cukup (≥77% AKG) 51 61.4 52 62.7 103 62.0 Total 83 100 83 100 166 100 Vitamin C 0.000 Kurang (<77% AKG) 76 91.6 76 91.6 152 91.6 Cukup (≥77% AKG) 7 8.4 7 8.4 14 8.4 Total 83 100 83 100 166 100 Kalsium 0.120 Kurang (< 77% AKG) 51 61.4 41 49.4 92 55.4 Cukup (≥ 77% AKG) 32 38.6 42 50.6 74 44.6 Total 83 100 83 100 166 100 Zat Besi 0.634 Kurang (<77% AKG) 74 89.2 72 86.7 146 88.0 Cukup (≥77% AKG) 9 10.8 11 13.3 20 12.0 Total 83 100 83 100 166 100

Bioavailabilitas zat besi

Berdasarkan Tabel 8, hasil perhitungan menggunakan metode Du et al.

(2000) menunjukkan bahwa konsumsi pangan hewani contoh stunted dan contoh normal masing-masing adalah 115 (15, 300) dan 118 (18, 300) g, namun total besi konsumsi contoh stunted dan contoh normal masing-masing adalah 10.7 (1.0, 46.0) mg dan 10.8 (2.0, 23.0) mg. Total besi yang dikonsumsi contoh stunted dan contoh normal (41.4% dan 41.7%) tersebut masih dalam kategori kurang dari angka kecukupan gizi mineral besi (77%). Hal ini disebabkan konsumsi pangan hewani rata-rata hanya besar dari segi jumlah, tapi tidak besar dari segi mutu gizi besi yang terkandung di dalam pangan. Hasil perhitungan konsumsi pangan menggunakan metode Du et al. dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

17

Tabel 8 Nilai bioavailabilitas pada contoh stunted dan contoh normal (metode Du et al. 2000)

Total Intake Bioavailabilitas (%) Besi Terserap (mg) Persen

Total

Total Hewani (g) Fe (mg) Vit. C (mg) Heme Non Heme Heme Non Heme Total

Contoh

stunted 115.0 (15.0, 300.0) 10.7 (1.0, 46.0) 19.0 (9.0, 143.0) 23 1.3 (0.2; 1.9) 0.9 (0.2; 1.2) 0.08 (0.01; 0.12) 1.08 (0.20; 1.40) 10.8

Contoh

Konsumsi pangan hewani contoh stunted dan contoh normal masing-masing adalah 115 (15,300) dan 118 (18, 300) g. Konsumsi vitamin C pada contoh stunted adalah 19 (9, 143) mg (tergolong kurang) sedangkan pada contoh normal adalah 20 (10, 73) mg (tergolong kurang). Almatsier (2002) menyatakan bahwa protein terutama protein hewani dan vitamin C membantu penyerapan zat besi dalam tubuh. Pangan yang mengandung zat besi dalam jumlah yang cukup tinggi adalah hati, daging, makanan laut, buah kering dan sayuran hijau. Konsumsi sayuran dan buah pada contoh stunted adalah 101 (11, 152) g sedangkan pada contoh normal adalah 117 (18, 184) g. Zat pendorong penyerapan Fe dalam tubuh berfungsi dalam penyerapan zat besi non-heme di dalam usus.

Konsumsi serealia pada contoh stunted adalah 214 (110, 625) g sedangkan pada contoh normal adalah 135.2 g. Rata-rata konsumsi kacang-kacangan dan rata-rata konsumsi teh pada contoh stunted masing-masing adalah 21.9 g dan 0.9 g sedangkan pada contoh normal masing-masing adalah 32.1 g dan 0.8 g. Almatsier (2002) menyatakan bahwa zat yang menghambat penyerapan zat besi antara lain tanin dan kalsium yang terdapat dalam teh, kopi, cokelat, oregano dan susu. Tingkat keasaman lambung, faktor intrinsik dan kebutuhan tubuh dapat menjadi faktor penghambat penyerapan Fe dalam tubuh. Selain itu zat yang dapat menghambat penyerapan zat besi pada metode Du et al. adalah serealia, kacang-kacangan dan teh, hal ini berkaitan dengan adanya fitat dan tanin yang menghambat absorbsi.

Tingkat kecukupan vitamin C berdasarkan bioavailabilitas contoh stunted

dan contoh normal masing-masing adalah 33.5% dan 34.6% (berada dalam kategori kurang). Perhitungan perkiraan penyerapan besi didasarkan pada bioavailabilitas konsumsi makan yaitu, penyerapan besi tinggi (15%), penyerapan besi sedang (10%) dan penyerapan besi rendah (5%) (WNPG 2004). Tingkat kecukupan zat besi dikelompokkan menjadi kurang (<77% AKG) dan cukup (>77% AKG) (Gibson 2005). Pada Tabel 8 menunjukkan persen total bioavailabilitas contoh stunted dan contoh normal masing-masing adalah 10.8% dan 10.9% (berada dalam kategori penyerapan besi sedang). Berikut tabel sebaran bioavailabilitas berdasarkan tingkat kecukupan zat besi.

Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kecukupan zat besi dan bioavailabilitas zat besi

Tingkat Kecukupan

Zat Besi

Bioavailabilitas

Contoh stunted Contoh normal

Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi

n % n % n % n % n % n %

Kurang 10 76.9 59 92.2 5 83.3 12 92.3 55 88.7 5 62.5 Cukup 3 23.1 5 7.8 1 16.7 1 7.7 7 11.3 3 37.5 Total 13 100 64 100 6 100 13 100 62 100 8 100

Tabel 9 menunjukkan sebaran bioavailabilitas berdasarkan tingkat kecukupan zat besi contoh stunted dan contoh normal terbesar pada kategori kecukupan zat besi kurang sebanyak 74 orang dengan bioavailabilitas rendah sebanyak 10 orang, bioavailabilitas sedang sebanyak 59 orang dan bioavailabilitas tinggi sebanyak 5 orang untuk contoh stunted dan pada kategori kecukupan zat besi kurang sebanyak 72 orang dengan bioavailabilitas rendah sebanyak 12 orang, bioavailabilitas sedang sebanyak 55 orang dan bioavailabilitas tinggi sebanyak 5

orang pada contoh normal. Hal ini menunjukkan kecukupan zat besi kurang tidak berdampak terhadap bioavailabilitas dan menunjukkan bahwa bioavailabilitas zat besi yang diserap dalam kategori sedang baik pada contoh stunted maupun contoh normal. Contoh normal (37.5%) yang memiliki tingkat kecukupan zat besi cukup dan bioavailabilitas zat besi tinggi adalah lebih dari dua kali lipat contoh stunted

(16.7%). Bioavailabilitas didefinisikan sebagai jumlah atau proporsi zat gizi dari makanan yang dapat diserap oleh tubuh dan digunakan untuk fungsi biokimia dan fisiologis dalam tubuh. Pengertian lain bioavailabilitas adalah proporsi zat gizi dari makanan yang tersedia untuk menjalankan fungsi metabolisme tubuh. Bioavalabilitas juga dipengaruhi oleh zat yang membantu (enhancer) dan menghambat (inhibitor) penyerapannya di dalam tubuh.

Prestasi Belajar

Prestasi belajar yang diteliti dalam penelitian ini meliputi nilai ujian semester dan skor IQ. Pada Tabel 10 disajikan sebaran contoh berdasarkan prestasi belajar dan status gizi.

Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan kategori prestasi belajar dan status gizi Prestasi Belajar Contoh stunted Contoh normal Total P n % n % n %

Nilai ujian semester median (min,maks)

56 (27, 85) 61 (24, 91) 58.5 (24, 91) 0.047

Kurang 50 60.2 35 42.2 85 51.2

Cukup 14 16.9 26 31.3 40 24.1

Lebih dari cukup 17 20.5 16 19.3 33 19.9

Baik 2 2.4 6 7.2 8 4.8 Total 83 100 83 100 166 100 Skor IQ median (min,maks) 108 (92, 136) 110 (93, 136) 109 (92, 136) 0.035 Normal 46 55.4 31 37.3 77 46.4 Cerdas 22 26.5 32 38.6 54 32.5 Amat cerdas 15 18.1 20 24.1 35 21.1 Total 83 100 83 100 166 100

Nilai ujian semester

Rata-rata nilai contoh stunted dan contoh normal sebagian besar tergolong kurang (<60) dengan persentase masing-masing adalah 60.2% dan 42.2% (Tabel 10). Contoh dengan rata-rata nilai tergolong baik (>80) lebih banyak pada contoh normal (7.2%) dibandingkan contoh stunted (2.4%). Nilai contoh stunted adalah nyata lebih rendah (p<0.05) daripada contoh normal.

Tabel 11 menunjukkan rata-rata nilai mata pelajaran sains dan sosial contoh stunted dan normal. Rata-rata nilai mata pelajaran contoh stunted lebih tinggi pada rata-rata nilai sosial daripada rata-rata nilai sains. Sebaliknya, rata-rata nilai mata pelajaran contoh normal lebih tinggi pada rata-rata nilai sains daripada rata-rata nilai sosial. Hal ini menunjukkan bahwa contoh stunted memiliki

kemampuan yang lebih baik dalam menerima mata pelajaran sosial dibandingkan mata pelajaran sains.

Tabel 11 Rata-rata nilai mata pelajaran sains dan sosial serta status gizi contoh Rata-rata nilai mata pelajaran Contoh stunted Contoh normal

Rata-rata nilai mata pelajaran sains

Laki-laki 51 52

Perempuan 53 60

Rata-rata nilai mata pelajaran sosial

Laki-laki 57 50

Perempuan 56 58

Skor IQ

IQ contoh stunted dan contoh normal sebagian besar (46.4%) tergolong normal (Tabel 10). Contoh dengan IQ tergolong amat cerdas lebih banyak pada contoh normal (24.1%) dibandingkan contoh stunted (18.1%) sedangkan contoh dengan IQ tergolong normal pada contoh stunted lebih banyak (55.4%) dibandingkan contoh normal (37.3%). Contoh dengan IQ tergolong cerdas dan amat cerdas pada contoh stunted lebih banyak pada kelompok usia 16-18 tahun dibandingkan kelompok usia 13-15 tahun. Hal ini sejalan dengan pernyataan Serebriakoff, Langer (2002) yang menyatakan bahwa IQ berkembang sejalan dengan perkembangan usia dan mencapai puncak pada usia 18 tahun. Skor IQ contoh stunted adalah nyata lebih rendah (p<0.05) dibandingkan contoh normal.

Hubungan antar Variabel

Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan signifikan antara (p>0.05) pendapatan keluarga dengan kualitas konsumsi pangan (MAR). Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Aslis (2002) yang menyatakan bahwa pendapatan rumah tangga memiliki hubungan positif yang signifikan dengan MAR. Hasil yang sama juga ditemukan pada kualitas konsumsi pangan (bioavailabilitas zat besi), yaitu tidak terdapat hubungan yang signifikan antara (p>0.05) pendapatan keluarga dengan kualitas konsumsi pangan (bioavailabilitas zat besi).

Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan signifikan antara (p>0.05) usia dengan status gizi. Hal ini bertolak belakang dengan pernyataan Al-Saffar (2009) bahwa anak yang berusia lebih tua, lebih berisiko kekurangan zat gizi dibandingkan anak muda. Apabila contoh yang berusia lebih tua memiliki orang tua dengan sosial ekonomi yang rendah dibandingkan usia yang lebih muda maka kemungkinan orang tua tidak mampu memenuhi kebutuhan akan makanan sehingga kemungkinan besar mengakibatkan terjadinya kekurangan gizi pada contoh.

Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan terdapat hubungan signifikan dan negatif antara (p<0.05 dan r=-0.397) besar keluarga dengan status gizi. Hal ini berarti semakin banyak jumlah anggota keluarga maka status gizi anaknya semakin kurang.

Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan terdapat hubungan signifikan dan positif antara (p<0.05 dan r=0.369) pendapatan keluarga dengan status gizi.

Hal ini berarti semakin tinggi pendapatan keluarga maka status gizi anaknya semakin baik. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Girma (2002) di Ethiopia. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa prevalensi stunted paling tinggi terjadi pada anak dari rumah tangga yang sangat miskin (54%), dari kelompok rumah tangga miskin (44%) dan lebih rendah pada rumah tangga status ekonomi menengah/lebih tinggi (26%).

Mekanisme hubungan ekonomi dengan stunted terjadi secara tidak langsung dan melalui faktor-faktor yang lain, misalnya ukuran keluarga, pola asuh, asupan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Cahyaningsih (2008) dalam penelitiannya mengenai pola konsumsi pangan di Provinsi Jawa Barat menyimpulkan bahwa konsumsi ikan, daging, telur dan susu meningkat dengan meningkatnya ekonomi rumah tangga. Di Indonesia, status ekonomi terendah cenderung mempunyai anak 7 atau lebih, lebih tinggi dari kelompok lainnya. Umur pertama menikah pada usia sangat muda (10-14 tahun) cenderung lebih tinggi pada status ekonomi terendah/kuintil 1 (6.0%). Ada kecenderungan semakin tinggi pendidikan dan status ekonomi, semakin tinggi cakupan tiap jenis imunisasi (Depkes RI 2010).

Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan terdapat hubungan signifikan dan positif antara (p<0.05 dan r=0.273) lama pendidikan ayah dengan status gizi. Hasil yang sama juga ditemukan pada lama pendidikan ibu, yaitu terdapat hubungan yang positif signifikan (p<0.05 dan r=0.229) dengan status gizi. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Girma (2002) yang menyatakan bahwa ayah dan ibu dengan pendidikan lebih rendah (tidak sekolah/SD) berpeluang memiliki anak stunted lebih besar.

Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan terdapat hubungan signifikan dan positif antara (p<0.05 dan r=0.233) kualitas konsumsi pangan (MAR) dengan status gizi. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan signifikan antara (p>0.05) kualitas konsumsi pangan (bioavailabilitas zat besi) dengan status gizi.

Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan terdapat hubungan signifikan dan positif antara (p<0.05 dan r=0.047) status gizi dengan prestasi belajar (nilai ujian semester). Hasil yang sama juga ditemukan pada skor IQ, yaitu terdapat hubungan yang positif signifikan antara (p<0.05 dan r=0.164) status gizi dengan skor IQ.

Dokumen terkait