• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. PENELITIAN TENTANG DINAMIKA KOMUNIKASI

C. Laporan dan Pembahasan hasil Penelitian Tentang Model

2) Pembahasan

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden mengenai pola komunikasi, ditemukan bahwa komunikasi berarti berbicara atau mengirim pesan, mengungkapkan gagasan, pendapat atau perasaan kepada orang lain dan orang lain menerimanya. Komunikasi merupakan “proses”, maka untuk berkomunikasi yang baik membutuhkan waktu dan kesabaran; karena berkomunikasi tidak sekedar saling bicara dan mendengar (to hear), tetapi juga saling mendengarkan (to listen) dengan mengerti(Andreas, 2015:1).

Bentuk-bentuk komunikasi terdiri atas dua bagian yakni komunikasi verbal yang terjadi melalui kata-kata atau berbicara dan komunikasi nonverbal yang terjadi melalui pelukan, ciuman, bersalaman dan memberi berkat. Fungsi komunikasi nonverbal adalah sebagai penguat komunikasi verbal. Dalam konteks sikap dan perilaku, pesan nonverbal dapat menerjemahkan gagasan, keinginan, atau maksud yang ada dalam hati, misalnya; tepuk tangan, pelukan, usapan tangan, duduk, dan berdiri tegak mampu mengekspresikan gagasan, keinginan atau maksud (Syaiful Bahri Djamarah, 2014: 115-118).

Adapun fungsi komunikasi yang terjadi dalam keluarga adalah untuk menjaga dan memperat hubungan keluarga sehingga bisa saling mengenal agar keutuhan keluarga tetap terjaga keharmonisannya dan terciptanya kenyamanan dan kedamaian. Ketika komunikasi itu terjaga dengan baik, maka akan timbul

kedekatan dan keterikatan batin, karena komunikasi itu sendiri merupakan wujud saling mengungkapkan rasa cinta kasih dan kasih sayang.

Komunikasi yang baik yang terjadi dalam keluarga membawa pengaruh yang cukup besar bagi seluruh anggota keluarga. Tentunya sebuah keluarga akan berfungsi dengan baik apabila di dalamnya terdapat pola komunikasi yang terbuka, ada sikap saling menerima satu sama lain, saling mendukung dan memberi rasa aman dan damai. Kebutuhan dasar setiap anggota keluarga seperti kebutuhan dicintai, kebutuhan dimengerti, kebutuhan untuk dipahami, kebutuhan untuk diterima apa adanya, kebutuhan untuk dipercaya, kebutuhan untuk keterlibatan, dan kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya akan menentukan tingkat keharmonisan dalam keluarga (Alfonsus Sutarno, 2013: 30).

Komunikasi yang baik dan efektif juga akan membentuk pertumbuhan dan perkembangan anak, baik dari segi psikologis maupun dari segi iman, karena secara otomatis anak akan melihat dan mendengar apa yang dibuat oleh orang tuanya, atau bisa dikatakan tingkah laku anak bisa jadi karena faktor komunikasi orang tuanya. Ketika anak lebih gampang terpengaruh dengan situasi negatif dari luar maka bisa saja merupakan kegagalan orangtua dalam menurunkan nilai rohani atau nilai moral kepada anaknya. Komunikasi antara orang tua dan anak sangat penting bagi orang tua dalam upaya melakukan kontrol, pemantauan, dan dukungan pada anak. Tindakan orang tua ini dapat dipahami secara positif dan negatif oleh anak, tergantung dari cara bagaimana orang tua berkomunikasi (Sri Lestari, 2012: 62).

Adapun faktor penghambat sehubungan dengan komunikasi dalam keluarga adalah munculnya rasa egois dan ingin menang sendiri. Hal ini ditandai dengan adanya perbedaan pendapat, karena masing-masing merasa paling benar. Perbedaan budaya juga menjadi faktor penghambat dalam berkomunikasi. Selain itu kesibukan dalam pekerjaan juga mengurangi intensitas komunikasi dengan keluarga karena kurangnya waktu untuk berkumpul bersama dalam keluarga. Bahkan komunikasi sering terjadi hanya sebelah pihak di mana muncul sikap diam dan masa bodoh. Terjadi pula kekerasan dalam rumah tangga dan yang menjadi korban adalah anak-anak.

Untuk itu agar komunikasi bisa berjalan dengan baik dan efektif maka perlu adanya keterbukaan dalam berkomunikasi. Perlu juga membangun sikap jujur, terbuka dan kehalusan serta kelembutan dalam berbicara. Sikap mengalah dalam menghadapi masalah dalam keluarga bisa juga merupakan solusi yang tepat karena dapat mengurangi konflik dalam keluarga. Perihal siapa yang benar dan siapa yang salah, itu urusan kemudian, karena yang terpenting adalah bagaimana adanya saling menerima kelebihan dan kekurangan, saling percaya, saling mengerti kekurangan dan kelebihan. Melalui komunikasi yang terbuka dan jujur, keluarga dapat hidup harmoni. Kebutuhan dasar setiap anggota keluarga seperti kebutuhan dicintai, kebutuhan dimengerti, kebutuhan untuk dipahami, kebutuhan untuk diterima apa adanya, kebutuhan untuk dipercaya, kebutuhan untuk keterlibatan, dan kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya akan menentukan tingkat keharmonisan dalam keluarga (J. Hardiwiratno, 1994:12)

b. Keharmonisan Dalam Keluarga

1) Hasil Penelitian

Mengenai keharmonisan dalam keluarga, sebagaimana dalam wawancara dengan 10 responden ditemukan fakta bahwa semuanya berjalan dengan baik, karena adanya sikap saling memaafkan, mengampuni, mengalah, juga ada kerinduan untuk selalu ada bersama dengan keluarga. R6 mengungkapkan bahwa hubungan dalam keluarga selama ini baik, meskipun kadang ada konflik. Namun konflik tersebut selalu diusahakan untuk diselesaikan dengan baik (Lampiran 2: 16). R5 menegaskan bahwa mengesampingkan ego adalah solusi yang tepat, karena jika tidak maka masalahnya akan semakin bertambah rumit (Lampiran 2: 13). R4 menyebutkan bahwa bertengkar dan beda pendapat itu hal yang wajar, karena pola pikir dan latar belakang budaya pasti berbeda (Lampiran 2: 10). R3 menggambarkan bahwa semakin bertambahnya usia perkawinan, relasi kedekatan semakin mendalam. Gambaran pernyataan tersebut dapat dibaca pada kutipan di bawah ini:

Ketika usia perkawinan semakin bertambah kami merasa semakin dekat dan semakin mengenal satu sama lain. Relasi yang dibangun semakin dekat ini, membuat kami selalu merasa aman dan damai dalam membangun keluarga. Kami berusaha untuk mengesampingkan ego demi kebaikan bersama (Lampiran 2: 7).

Supaya keharmonisan dalam keluarga selalu terjaga, R2 mengungkapkan bahwa setiap hari selalu ada kerinduan untuk berkumpul bersama dalam keluarga (Lampiran 2: 5). Hal inipun ditegaskan oleh R3 bahwa usaha untuk berkumpul bersama dalam keluarga dilakukan melalui refreshing bersama pada hari libur (Lampiran 2: 8). R5 mengungkapkan bahwa ketika berkumpul bersama selalu

terjadi sharing pengalaman atau merencanakan kegiatan apa yang mau dilakukan (Lampiran 2: 14). Sedangkan R4 mengatakan bahwa berkumpul bersama dalam keluarga terjadi juga pada perayaan-perayaan penting. Hal tersebut bisa dilihat pada pernyataan di bawah ini:

Setiap hari kami selau berusha untuk berkumpul bersama. Selain ini pada pada perayaan-perayaan penting seperti ultah perkawinan, ultah kelahiran, natal, dan Paskah kami rayakan dengan makan bersama. Pada saat kumpul bersama selain makan, ada-ada saja pembicaraan yang disampaikan, seperti pekerjaan di kantor ataupun pengalaman keseharian. Untuk berdoa bersama dalam keluarga, jarang kami lakukan (Lampiran 2: 11).

R6 menegaskan bahwa supaya keharmonisan dalam keluarga terjalin dengan baik, maka sikap yang diambil dalam menyikapi konflik adalah mengalah dan memberi maaf (Lampiran 2: 17), bahkan R8 mengatakan bahwa jika masalah itu terjadi pada hari itu, maka harus diselesaikan pada hari itu juga (Lampiran 2: 233). Sedangakn R5 mengungkapkan bahwa dalam membangun keluarga pasti ada tantangan atau konflik. Meminta maaf bukan sesuatu yang sulit, butuh kerendahan hati dan ketulusan hati untuk melakukan itu. Mengalah adalah jalan terbaik untuk mencapai kebaikkan bersama (Lampiran 2: 14).

Memang dalam membangun keluarga, selalu saja ada persolan yang cukup mengganggu keharmonisan dalam keluarga. R7 mengatakan bahwa persoalan terberat yang mengganggu keharmonisan dalam keluarga adalah ketidakjujuran dan ketidakterbukaan dalam berkomunikasi, apalagi disinyalir ada orang ke tiga yang hadirnya dalam perkawinan (Lampiran 21: 20). R1 juga menyatakan bahwa berkurangnya intensitas komunikasi, maka muncul kecurigaan. Hal ini bisa dilihat pada kutipan di bawah ini:

Hubungan atau relasi yang terjadi selama ini khusunya beberapa tahun terakhir ini, cukup mengganggu. Persoalannya adalah kurangnya komunikasi dalam hal ini adalah kurang memberi informasi atau bercerita tentang kegiatan apapun ketika berada di tempat tugas sehingga menimbulkan kecurigaan (Lampiran 2: 2).

R9 mengatakan bahwa persoalan yang menyolok yang mengganggu keharmonisan dalam keluarga adalah perbedaan budaya, sehingga membutuhkan usaha untuk menyatukan dua budaya yang berbeda (Lampiran 2: 26). R10 mengatakan bahwa ada masalah mengenai minimnya waktu untuk berkumpul bersama, dikarenakan kesibukan bekerja, dan tidak ada kesediaan untuk memberi informasi. (Lampiran 2: 29). Sedangkan R4, R6, dan R8, mengungkapkan bahwa salah satu faktor penyebab lunturnya keharmonisan dalam keluarga adalah faktor ekonomi (Lampiran 2: 11, 17, 23). R3 mengisahkan bahwa gara-gara faktor ekonomi mereka harus berpisah dalam beberapa bulan. Hal ini bisa dilihat pada kutipan di bawah ini:

Persoalan yang cukup mengganggu keharmonisan adalah faktor ekonomi. Memang ketika awal pernikahan, kami bekerja sebagai honorer. Gaji yang kami terima tidak cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dalam keterbatasan ekonomi ini, kami juga harus berpikir untuk bagaimana menyekolahkan anak. Situasi inilah yang memicu konflik dalam keluarga, bahkan kita berpisah dalam beberapa bulan. Faktor yang lain adalah munculnya sikap cemburu dan curiga yang berlebihan. Situasi ini disebabkan karena tidak ada keterbukaan dari kami dalam membangun komunikasi (Lampiran 2: 8).

Untuk menyikapi setiap persoalan yang mengganggu keharmonisan dalam keluarga R5 menyatakan bahwa perlu adanya sikap saling percaya, apalagi ketika membangun hubungan jarak jauh. Frekuensi perjumpaan sangat minim maka media handphone menjadi sarana untuk membangun komunikasi, sehingga relasi tetap terjaga dengan baik (Lampiran 2: 14). R9 berpendapat bahwa perlu adanya

penyesuaian diri dan tidak memaksakan kehendak (Lampiran 2: 26). Sedangkan R3 berpendapat bahwa perlu adanya introspeksi diri ketika ada konflik. Pernyataan ini dapat dibaca pada kutipan berikut:

Ketika ada konflik hal pertama yang kami buat adalah kita saling introspeksi diri, kami melihat kira-kira munculnya masalah ini karena apa. Setelah itu kami berbicara dari hati ke hati dan kami saling memaafkan. Kami juga sangat menghargai nilai luhur perkawinan, dan penghargaan ini kami buktikan dengan membangun sikap saling menghormati, menerima kekuarangan dan kelebihan pasangan kami (Lampiran 2: 8).

1) Pembahasan

Membangun rumah tangga yang harmonis memang menjadi impian semua orang. Keluarga yang harmonis tentu ditandai dengan suatu hubungan atau relasi yang baik yang terjadi melalui meluangkan waktu sejenak di tengah kesibukan untuk berkumpul bersama keluarga di rumah, sambil membagi pengalaman keseharian di tempat tugas masing-masing. Berkumpul bersama dalam keluarga pada moment-moment penting sekedar untuk merayakan perayaan keluarga, adalah juga bagian dari cara menciptakan keharmonisan dalam keluarga. Selain itu berjalan-jalan ke tempat rekreasi juga tentu akan membantu mencairkan suasana agar lebih rileks dari kepenatan bekerja. Secara berkala keluarga perlu melakukan aktivitas di luar rutinitas, misalnya rekreasi. Seringnya kebersamaan membantu anggota keluarga untuk menumbuhkan pengalaman dan kenangan bersama yang menyatukan dan menguatkan mereka (Sri Lestari, 2012: 24-26)

Tetapi tidak dipungkiri bahwa di tengah impian itu pasti ada konflik dan pertengkaran. Situasi ini muncul karena berbagai macam faktor yakni; a) Faktor ekonomi yang serba terbatas dengan penghasilan yang minim, apalagi tuntutan

hidup terus meningkat, b) Ketidaksetiaan dalam perkawinan, karena hadirnya orang ke tiga dalam hidup perkawinan, c) Perbedaan budaya yang mempengaruhi karakter dan pola pikir, d) Kesibukan bekerja yang menyebabkan frekuensi perjumpaan sangat minim apalagi komunikasi tidak dibangun secara baik, f) Adanya kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, e) Munculnya kesenjangan rohani, di mana keluarga kurang melibatkan Tuhan dalam keluarga melalui doa-doa keluarga.

Untuk mengatasi ini maka perlu meletakkan unsur kasih sebagai dasar dalam hidup perkawinan, sehingga dengan demikian setiap masalah maupun persoalan yang timbul dapat diselesaikan dengan baik. Setiap masalah yang timbul biasanya disebabkan karena mutu komunikasi yang kurang seimbang. Masing-masing terlalu mempertahankan ide dan pendapat, sehingga menimbulkan ketidakharmonisan dalam keluarga. Agar keharmonisan dalam keluarga tetap terjaga, maka setiap anggota keluarga perlu membangun komunikasi yang seimbang dan bermutu tanpa saling menyakiti satu sama lain.

Setiap keluarga juga perlu membangun suatu kesadaran bahwa ketika usia perkawinan semakin bertambah, maka kualitas atau kedalaman untuk mengenal pasangan harus lebih mendalam. Perlu juga membangun sikap saling percaya, saling memahami dan saling mengerti satu sama lain kendati rasa sebagai manusia akan tetap ada dalam diri. Masing-masing terus belajar untuk introspeksi diri dan membangun semangat untuk saling memaafkan, memberi pengampunan dan lebih penting adalah membangun komunikasi yang baik. Kemudian yang paling penting adalah membangun kesempatan doa bersama dalam keluarga. Melalui doa

keluarga, tentu semua anggota keluarga dibawa untuk semakin dekat dengan Tuhan, sehingga meningkatkan keharmonisan dalam keluarga.

C. Pembentukan Karakter dan Iman Anak

1) Hasil Penelitian

Melalui wawancara tentang “pembentukan karakater dan iman anak” dari 10 responden ada sebagian mengatakan tidak mengalami kesulitan, tetapi sebagian yang lain sedikit mengalami kesulitan karena berbagai macam faktor. Berkaitan dengan pembentukan karakter dan iman anak ini tentunya ada harapan terbesar dari orang tua terhadap masa depan anaknya. R3 mengharapkan agar kelak anak-anaknya bisa hidup mapan, sukses, mandiri, berkecukupan, bertumbuh dewasa dan kuat dalam iman (Lampiran 2: 8). R4 mengungkapkan agar anak-anaknya bisa mandiri dan kariernya harus lebih baik dari orang tuanya dan tidak lagi bergantung pada orang tua (Lampiran 2: 11). Sedangkan R5 mengharapkan agar anak-anak bisa menjadi orang baik dan hidupnya menjadi berkat bagi orang lain (Lampiran 2: 14). R6 menegaskan bahwa yang terpenting adalah supaya anak semakin beriman (Lampiran 2: 17). R8 kembali menegaskan bahwa sebagai orang tua mereka mengarahkan agar anak bisa meraih masa depannya dengan baik. Hal ini bisa dibaca pada kutipan di bawah ini:

Kami berharap agar anak-anak bisa bahagia dan senang. Apapun keinginan anak, sebagai orang tua kami hanya sebatas mengarahkan dan mendukung. Memang anak sendiri ingin sekolah yang tinggi dan yakin akan kemampuannya bahkan mau ke luar negeri. Sebagai orang tua kita hanya sebatas mendukung, dan mendampingi (Lampiran 2: 23)

Mengenai bentuk pendampingan agar anak bisa menentukan pilihan hidupnya, menurut R8 adalah dengan mengarahkan, mendampingi dan

mendengarkan anak (Lampiran 2: 23). Menurut R7 sebagai orang tua mereka selalu memberikan dukungan berupa nasihat dan peneguhan (Lampiran 2: 21). R5 dan R10 mengatakan bahwa sebagai orang tua mereka selalu memantau apapun yang dibuat oleh anak juga melihat bakat dan kemampuannya (Lampiran 2: 15, 29). Sedangkan R3 mengatakan bahwa anak-anak diberi kebebasan tetapi tidak lepas kontrol. Dalam hal ini sikap yang diambil adalah selalu mengawasi anak-anak (Lampiran 2: 9).

Menurut R4 sebagai orang tua peran dan tanggungjawab dalam pertumbuhan dan perkembangan karakter dan iman anak adalah memberi contoh dan teladan yang baik (Lampiran 2: 12). Demikian juga dikatakan oleh R1 bahwa orang tua harus menjadi contoh yang baik. Hal ini bisa dibaca dalam kutipan berikut ini:

Dalam pembentukan karakter anak, sebagai orang tua kami berusaha untuk memberi contoh yang baik melalui kasih sayang dan cinta bagi anak-anak. Kami menyadari bahwa anak-anak sangat kritis dalam hal ini, memori mereka sangat kuat untuk merekam apa yang dibuat oleh orang tuanya. Oleh karena itu kami harus menjadi contoh. Dalam hal imanpun demikian, kami tetap memberi contoh yang baik, seperti pergi ke Gereja setiap hari dan terlibat dalam setiap kegiatan di lingkungan. Anak-anak selalu kami libatkan dalam kegiatan ini. Dengan melihat apa yang dibuat oleh orang tuanya, anak-anak akan termotivasi untuk juga terlibat dalam hal ini (Lampiran 2: 3).

R7 punya pengalaman lain yakni sebagai orang tua, mereka kurang memberi perhatian. Pernyataan ini bisa dibaca pada kutipan berikut:

Sebagai orang tua kadang kami kurang memberi perhatian, kami lebih asyik dengan dunia kami. Kami hanya membebankan salah satu dari kami untuk memberi perhatian dan dukungan kepada anak. Dengan demikian anak menjadi tidak suka dengan salah satu dari kami (Lampiran 2: 21).

Dalam hal menghadapi permasalahan anak sikap yang diambil oleh R2 adalah membuat pendekatan terhadap anak, mendengarkan anak dan memberikan solusi yang tepat (Lampiran 2: 5). R1 dan R2 menyatakan bahwa ketika anak-anak bercerita tentang permasalahannya, sebagai orang tua memposisikan diri sebagai pendengar yang baik, memberikan solusi kemudian mengajak anak untuk berpikir dan merefleksikan itu (Lampiran 2: 3, 5). R8 menyatakan bahwa ketika anak sedang dalam permasalahan maka jalan keluar yang terbaik adalah membuat pendekatan secara pribadi, memberikan pengertian, mengarahkan dan menerapkan disiplin (Lampiran 2: 24).

Selain itu, sebagai orang tua memberi contoh dalam penghayatan hidup beriman adalah hal paling penting. R9 menyatakan bahwa sebagai orang tua apapun yang dilakukan orang tua pasti akan diikuti oleh anak. Hal ini bisa kita baca dalam kutipan di bawah ini:

Kami selalu berprinsip bahwa apapun yang kami lakukan, pasti akan diikuti anak. Hal yang kami buat selama ini bahwa pagi hari kami berdoa angelus berrsama, dan juga memberi berkat ketika hendak berangkat kerja. Selain itu kami juga melibatkan anak untuk ikut ambil bagian dalam kegiatan di lingkungan. Hanya bahwa doa bersama dalam keluarga, masih kurang kami lakukan dalam keluarga (Lampiran 2: 27). R3 menyatakan bahwa sebagai orang tua perlu memberi contoh yang baik misalnya terlibat aktif di lingkungan dan pergi ke Gereja pada hari Minggu, namun dalam hal doa keluarga masih jarang dilakukan (Lampiran 2: 9). R1 menyebutkan bahwa mereka berusaha untuk melibatkan anak-anak dalam kegiatan rohani. Hal ini bisa dilihat pada kutipan di bawah ini:

Kami selalu berusaha untuk melibatkan mereka dalam kegiatan-kegiatan rohani seperti: doa di lingkungan, pendalaman iman, latihan koor, misa harian/minggu di Gereja, juga mendukung mereka untuk terlibat dalam

kegiatan PIA dan PIR. Hanya yang menjadi kelemahan kami adalah berdoa bersama dalam keluarga, jarang kami lakukan (Lampiran 2: 3)

2) Pembahasan

Orang tua adalah pendidik yang pertama dan utama bagi anak-anak dalam pembentukan karakter dan iman anak. Setiap orang tua pada awalnya tentu mengharapkan agar-agar anak-anaknya bertumbuh dan berkembang sesuai dengan yang diharapkan. Bahkan tidak sedikit orang tua yang mengharapkan agar anak-anaknya kelak bisa menjadi manusia yang sukses, mandiri, mapan dan kariernya harus bisa lebih baik dari orang tuanya. Di lain pihak ada orang tua yang berharap agar anaknya bisa menjadi orang baik yang hidupnya berguna bagi orang lain dan menjadi berkat bagi yang lain. Selain itu agar iman anaknya sungguh kuat dan tidak terpengaruh oleh situasi dan keadaan apapun.

Harapan ini tentu diimbangi pula dengan bentuk-bentuk pendampingan yang baik sehingga anak bisa bertumbuh dan berkembang sesuai dengan yang diharapkan. Bentuk pendampingan ini dilakukan melalui memantau setiap aktivitas anak, menasihati, meneguhkan dan mendukung hal-hal baik yang dibuat oleh anak. Ketika anak menghadapi masalah, maka orang tua hadir sebagai pendengar, kemudian memberikan solusi dan mengajak anak untuk berpikir dan berefleksi. Selain itu orang tua perlu membuat pendekatan secara pribadi, menasihati anak dan meneguhkannya. Kesadaran orang tua pada jati dirinya menyadarkan mereka pada peran dan panggilannya. Suami dan istri akan berjuang demi hidup dan masa depan anak (Alfonsus Sutarno, 2013: 60)

Tentunya orang tua sendiri harus memberikan teladan yang baik dan benar sehingga anak melihat dan ikut melakukan apa yang dibuat oleh orang tuanya. Keteladanan dan kesaksian adalah ekspresi dari komunikasi yang dibangun dalam diri orang tua. Bentuk Komunikasi verbal dan nonverbal yang dibangun dengan penuh kesadaran dan diwujudkan dengan penuh kasih akan berpengaruh pada perkembangan karakter dan iman anak. Di sini peran orang tua sangat penting yakni sebagai pendidik dan pendengar yang baik. Orang tua harus konsisten dengan kata dan perbuatannya agar anak melihat dan belajar dari apa yang dibuat oleh orang tuanya. Dalam hal imanpun orang tua harus bisa memberi teladan yang baik dengan melibatkan anak untuk terlibat dalam kegiatan rohani. Namun dalam kenyataan sebagian keluarga menghadapi kendala-kendala seperti: kurangnya kebiasaan berdoa dalam keluarga, anak kurang terlibat dalam aktivitas rohani baik dilingkungan maupun di tingkat paroki. Orang tua perlu memulai dengan kebiasaan berdoa bersama di rumah, melibatkan anak dalam kegiatan di lingkungan, dan kegiatan rohani lainnya di Gereja. Perlu disadari bahwa orang tua memiliki peran sentral dalam keluarga terutama dalam proses pembentukan karakter dan iman anak. Orang tua tentu memiliki harapan agar anak-anak dapat bertumbuh secara seimbang dalam pelbagai aspek kehidupan jasmani, rohani, psikologi, pengetahuan dan lain-lain. Suami istri akan melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya secara tepat bila pertama-tama mereka menyadari diri, siapakah sebenarnya diri mereka, siapakah diri mereka di hadapan anak-anak (Alfonsus Sutarno, 2013: 69-73).

Dokumen terkait