• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Mentoring Poligami Berbayar Coach Hafidin Dalam Perspektif Hukum Islam.

Sebelum membahas tentang mentoring poligami menurut Islam, lebih baiknya melihat praktek poligami yang dilaksanakan Rasulullah Saw. Diketahui secara mashur bahwa Nabi Muhammad melaksanakan poligami setelah wafatnya Siti Khadijah r.a.

Sehingga para ulama berpendapat bahwasanya poligami yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dilatarbelakangi oleh kondisi sosial yang mengharuskan beliau berpoligami dalam rangka untuk menolong para janda yang ditinggal suaminya syahid dimedan peperangan dan untuk menolong anak-anak yatim yang telah ditinggal wafat oleh ayahnya.96

Poligami yang dilaksanakan Nabi Muhammad Saw, tidak berbicara persoalan nafsu seksual semata. Akan tetapi poligami yang dilaksanakan oleh beliau, dalam rangka untuk menolong para janda dan anak yatim. Sehingga dapat dipahami bahwa poligami yang telah dilakukan Nabi Muhammad sangat erat kaitannya dengan misi yang diembannya sebagai utusan Allah Swt.

96 Nasaruddin Umar, Ketika Fikih Membela PeremPuan, Cet. 1, (Jakarta: Gramedia, 2014), 128.

66

Mentoring poligami yang dilaksanakan oleh Coach Hafidin, menurut hemat penulis dengan mengacu dari akun media sosial milik beliau, bahwa mentoring poligami adalah sebuah kegiatan yang di dalamnya terdapat mentor atau pembicara untuk mengkampanyekan membangun pernikahan poligami.97 Coach Hafidin sebagai mentor poligami telah menyiapkan materi-materi yang telah disusun oleh beliau untuk diajarkan kepada para peserta kelas mentoring poligami.98

Materi-materi yang disampaikan oleh beliau menurut penulis banyak yang tidak sesuai dengan Islam dan tentunya akan menimbulkan permasalahan jika diberikan oleh para peserta kelas mentoring poligami. Hal ini, disebabkan ketidakutuhan beliau memahami konsep poligami dalam Islam. Hal tersebut tampak sekali dari pendapatnya mengenai Poligami dalam Islam, beliau beranggapan bahwa poligami itu syariat Allah yang sama seperti syariat Allah yang lainnya.99

a. Hukum Poligami Dalam Islam Menurut Coach Hafidin

Seorang muslim wajib berlapang dada dalam menerima ketentuan syariat yang diberikan Allah Swt. Termasuk syariat yang berat dan tidak sesuai dengan kemauan sebagian manusia, seperti halnya syariat poligami. Seorang muslim yang mengingkari syariat poligami bisa menyebabkan kemurtadan dalam dirinya.100

97 https://www.instagram.com/p/CiZSpeAhTQx/?next=%2F&hl=en diakses pada Selasa 20 September 2022, pukul 19:13 WIB.

98 Wawancara dengan Coach Hafidin di Serang, Banten 17 Juli, 2022.

99 Hafidin, 45 Hari Sukses Poligami, Cet. 2, (Sukabumi: Farha Pustaka, 2020), 4.

100 Hafidin, Mindshet Sukses Suami Poligami, Cet. 1, (Sukabumi: Farha Pustaka, 2020).

67

Beliau berpendapat bahwa hukum poligami dalam Islam itu diperbolehkan. Akan tetapi hukum tersebut dapat berubah, sesuai dengan kondisi laki-laki (suami) ketika akan melaksanakan poligani. Perubahan hukum poligami jika diklasifikasikan sebagai berikut :

1) Sunnah: Suami Punya kemampuan finansial, dan ia sendiri menginginkan mempunyai keturunan yang banyak, maka poligami dihukumi sunnah bagi kondisi suami yang seperti itu.

2) Wajib : Suami mempunyai finansial yang bagus dan tinggi, akan tetapi ia mempunyai libido yang tinggi, sedangkan istrinya tidak dapat melayani hasrat seksualnya, bisa disebabkan karena sakit ataupun alasan lainnya.

Maka dengan kondisi seperti ini hukum poligami menjadi wajib.

3) Makruh : Jika laki-laki (suami) libidonya tidak terlalu tinggi, akan tetapi ia mempunyai keinginan poligami. Maka dengan kondisi yang seperti itu makruh hukumnya untuk melaksanakan poligami.

4) Haram: Jika laki-laki (suami) impoten, akan tetapi ia berkeinginan poligami. Maka dengan kondisi yang seperti itu dihukumi haram.

Beliau mempunyai pendapat bahwa melaksanakan poligami dalam Islam tidak mempunyai syarat tertentu yang harus dipersiapkan. Terpenting laki-laki suka dengan perempuan untuk dinikahi, dan itu yang menjadi syarat utamanya. Ungkapan tersebut beliau katakan kepada penulis sebagai berikut :

Penulis : Bagaimana pendapat ustad tentang adanya sarat adil ketika hendak melaksanakan poligami.?

Coach Hafidin: Yang pertama poligami itu gak ada saratnya, karena sarat poligami itu terpenting mau doang, saya mau, saya suka perempuan . Sarat adil itu hanya bagi orang yang tidak ingin disiksa oleh Allah di akhirat, karena jika

68

tidak adil maka akan disiksa oleh Allah. Karena ketidak adilan, baik terhadap istri pertama atau kedua tidak diperbolehkan.

Dari argumentasinya tersebut penulis memahaminya bahwa Coach Hafidin dalam menangkap poligami dalam Islam tidak secara utuh. Beliau mengesampingkan syarat jaminan keadilan yang diberikan oleh Islam kepada suami yang hendak melaksanakan poligami.

Jika kita cermati ayat Al-Quran yang dijadikan satu-satunya legitimasi dalam melaksanakan poligami, yaitu :

اَم اْوُحيكْناَف ىهمهتَ يْلا يفِ اْوُطيسْقُ ت َّلََّا ْمُتْفيخ ْنياَو اْوُليدْعَ ت َّلََّا ْمُتْفيخ ْنياَف ۚ َعهبُرَو َثهلُ ثَو هنْٰ ثَم يء ۤا َسي نلا َني م ْمُكَل َباَط

اْوُلْوُعَ ت َّلََّا ىهنْٰدَا َكيلهذ ۗ ْمُكُناَْيَْا ْتَكَلَم اَم ْوَا ًةَديحاَوَ ف .

Artinya : Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Akan tetapi, jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat zalim. (QS. An-Nisa’[4]:3)

Mayoritas ulama memahami hukum diperbolehkannya poligami dalam Islam mengacu pada QS. An-Nisa’ [4]:3. Ayat tersebut menerangkan bahwasanya seorang laki-laki dapat menikahi maksimal sampai empat wanita dengan syarat yang harus dipenuhi yakni dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya. Jika sang suami tidak dapat belaku adil maka cukup menikah dengan satu istri saja.101

Perlu diketahui dengan bersama, bahwa QS. An-Nisa’ [4]:3 yang menerangkan kebolehan poligami dalam Islam tidaklah hendak membuat peraturan baru dalam poligami,

101 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Cet. 7, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), 129-130.

69

disebabkan poligami telah dikenal dan banyak dipraktekan oleh penganut agama ataupun adat istiadat masyarakat sebelum turunnya ayat ini. Ayat ini tidak untuk menganjurkan poligami apalagi untuk mewajibkannya, akan tetapi ayat ini membawa pesan bahwa poligami itu diperbolehkan dalam Islam. Perlu diketahui juga, bahwa diperbolehkannya poligami dalam Islam, itupun merupakan pintu darurat yang dapat dilaksanakan oleh manusia yang benar-benar sangat membutuhkan dan dengan syarat yang tidak ringan pula.102

Pada dasarnya Islam memberikan konsep pernikahan bertujuan agar hadirnya kebahagiaan dalam diri manusia. Kebahagiaan dalam membangun pernikahan yang paling mendasar iyalah dengan hadirnya cinta yang hadir pada kedua pasangan. Secara naluri manusia tidak akan ada yang ingin cintanya terbagi. Oleh karenanya ada ungkapan dalam literatur agama yang menyatakan:

يناَّبُح يبْلَقْلا يفي َسْيَل ينَّباَر يدْوُجُوْلا يفي َلََّو

.

“Tidak ada di dalam hati dua cinta, sebagaimana tidak ada dalam wujud ini dua Tuhan”103

Demikian pandangan tentang cinta dalam ungkapan literatur agama disejalankan dengan pandangan tentang keesaan Tuhan. Itulah keidealan yang diharapkan dalam menjalankan pernikahan. Disebabkan pernikahan adalah prosesi acara yang mengikat antara pria dan wanita. Secara alami pria maupun wanita yang telah melaksanakan pernikahan tidak akan ada yang ingin cintanya dibagi.

102 M. Quraish Shihab, Perempuan, Cet. 1, (Tangerang: Lentera Hati, 2018), 182-183.

103 Ibid.

70

Huzaemah Tahido Yanggo berpendapat bahwa hukum poligami dalam Islam adalah mubah (diperbolehkan). Dengan catatan tidak adanya kekhawatiran terjadinya penganiyaan terhadap para istri-istrinya. Bahkan apa bila terdapat kemungkinan akan terjadinya penganiyayaan terhadap para istri-istrinya, maka dianjurkan beristri satu saja.

Dengan demikian dapat dipahami, bahwasanya kebolehan poligami itu terkait erat sekali akan adanya jaminan keadilan dari pihak suami.104

Pembicaraan poligami selalu berkaitan dengan keadilan yang dijadikan syarat ketika hendak melaksanakan poligami. Menurut Mahmud Syaltut Islam memperbolehkan poligami selama tidak dikhawatirkan terjadinya penganiayaan terhadap para istri. Jika terdapat kemungkinan-kemungkinan penganiyaan terhadap istri, Islam menganjurkan kepada laki-laki (suami) mencukupkan satu istri saja. Sehubungan dengan keadilan dalam berpoligami, Muhammad Abduh mengatakan haram berpoligami, bagi laki-laki (suami) yang mempunyai kekhawatiran dalam dirinya tidak dapat berlaku adil.105

Berkaitan dengan keadilan yang dijadikan syarat ketika hendak melaksanakan poligami Nasaruddin Umar berpendapat bahwasanya jika dicermati dengan teliti terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, maka kita akan tiba pada suatu kesimpulan bahwa pernikahan poligami dalam Islam tidak di idealkan. Asas pernikahan dalam Islam adalah monogami,

104 Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, Cet. 1, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010).

105 Huzaemah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah Kajian Hukum Islam Kontemporer, Cet. 1, (Bandung: Percetakan Angkasa, 2022), 149-150.

71

dikarenakan pernikahan poligami berpotensi sangat besar dapat menyalahi prinsip-prinsip keadilan dan kemaslahatan keluarga.106

Indonesia sebagai Negara yang warganya mayoritas beragama Islam memiliki peraturan tersendiri untuk mengatur warganya dalam melaksanakan pernikahan. Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974 telah mengatur tentang perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomer. 9 Tahun 1975 berbicara tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai pedoman bagi umat Islam di Indonesia untuk melaksanakan pernikahan.

Perlu diketahu dengan bersama bahwa Hukum Perkawinan di Indonesia menganut asas monogami, akan tetapi Indonesia tidak mengikuti asas monogami mutlak. Artinya, beristri lebih dari seorang dalam waktu bersamaan masih diperbolehkan asalkan memenuhi syarat, alasan dan prosedur yang telah ditetapkan. Prinsip tersebut telah ditegaskan dalam pasal 3 ayat (1) Undang-Undang perkawinan. Asas dalam Undang-Undang Perkawinan adalah bukan monogami mutlak, akan tetapi asas monogami terbuka yang ditegaskan dalam Undang-Undang Perkawinan Pasal 3 ayat (2) yaitu pengadilan dapat memberikan izin kepada suami apabila hendak beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Dalam arti pihak yang bersangkutan adalah istri terdahulu.

Pasal 3 ayat (2) mengatur bahwa pengadilan Agama sebagai instansi yang berhak mengesahkan kebolehan poligami di Indonesia.107

106 Nasaruddin Umar, Ketika Fikih Membela Perempuan, Cet. 1, (Jakarta: Gramedia, 2014), 131-132.

107 Esther Masri, “Poligami Dalam Perspektif Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI),” Jurnal Krtha Bhayangkara, 13, no. 2 Desember (2019):

223–41.

72

Berkaitan dengan persyaratan poligami pada KHI pasal 56 menyatakan, seorang suami yang ingin beristri lebih dari satu orang harus mendapatkan izin dari pihak Pengadilan Agama. Apabila laki-laki menambah istri dari seorang tanpa mengantongi izin dari Pengadilan Agama, maka pernikahan yang dilakukannya tidak mempunyai kekuatan hukum. Pada KHI pasal 57 menyatakan pihak Pengadilan Agama akan memberikan izin suami melakukan poligami apabila:

1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri

2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.108

Kemudian dalam pasal 58 dijelaskan, bahwa untuk memperoleh izin dari pengadilan agama, seorang suami yang hendak poligami diharuskan memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan pada Pasal 5 Undang-Undang N0. 1 Tahun 1974 Yaitu :

1. Adanya persetujuan istri

2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anak mereka.

Mengenai izin poligami dari istri terdahulu, pihak dari istri tidak bisa memberikan izin hanya secara tertulis maupun lisan, akan tetapi pihak dari istri mempertegas kerelaannya di poligami suaminya sewaktu sidang di pengadilan agama.109 Membahas tentang poligami perlu sekiranya mengetahui sebab-sebab yang melatar belakangi turunnya QS. An-Nisa’ [4]:3 yang dijadikan legitimasi untuk melaksanakan poligami.

108 KompilasiHukum Islam (KHI), Cet. 7, (Bandung: Nuansa Aulia, 2020), 16.

109 Hamdi, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Cet. 1, (Yogyakarta: Deepublish, 2018), 71-72.

73

Mengenai latar belakang ayat ini turun secara mashur diketahui melalui Riwayat Hadist dari Urwah Bin Zubair r.a. :

َ ت يَّللَّا يلْوَ ق ْنَع َمَّلَسَو يهْيَلَع َُّللَّا ىَّلَص ي يبَّنلا َجْوَز َةَشيئاَع َلَأَس ُهَنَأ يْيَْ بُزلا ُنيب ُةَوْرُع ْن ع اْوُطيسْقُ ت َّلََّأ ْمُتْفيخ ْنيإَو َلىاَع

َيه يتِْخُأ َنْبا َيَ ْتَلاَق يءاَسي نلا َنيم ْمُكَل َبَاط اَم اوُحيكْناَف ىَماَتَ يلا يفي يفي ُهُكيراَشُتَ ف اَهي ييلو يرجح يفي ُنْوُكَت ُةَمْييتَيْلا

اَهيقاَدَص يفي َطُسْقَ ي ْنَأ يْيَْغيب اَهَجَّوَزَ تَ ي ْنَأ اَهُّ ييلَو ُدْييُيَْ ف اَُلُاََجََو اَُلُاَم ُهُبيجْعُ يَ ف يهيلاَم ُهُرْ يَغ اَهييطْعُ ي اَم َلْثيم اَهييطْعُ يَ ف

ُه اوُحيكْنَ ي ْنَأ اوُهُ نَ ف َّنيهيتَّنَس ىلعأ َّنييبِ اوُغي لَ بُ يَو َّنَُلُ اوُطيسْقُ ي ْنَأ َّلَّيإ َّن

ْمَُلُ َبَاط اَم اوُحيكْنَ ي ْنَأ اورمأو يقاَدَّصلا َنم

َّنُهاَويس يءاَسي نلا َنيم .

“Aku ( Urwah Bin Zubair ) pernah bertanya kepada Aisyah tentang firman Allah

“ Dan jika kamu mempunyai rasa khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim”. Kemudian Aisyah menjawab, “ Wahai ponakanku, si anak yatim berada dipangkuan para walinya, dan hartanya anak yatim tersebut dicampur menjadi satu dengan walinya. Walinya tersebut terpesona oleh kecantikannya dan ingin menguasai hartanya, lalu walinya hendak menikahi ia, akan tetapi dengan cara yang tidak adil dengan memberikan mas kawin yang tidak sesuai. Maka jika begitu perbuatan tersebut dilarang, kecuali ia harus berbuat adil.”110

Berdasarkan keterangan hadist dari Urwah Bin Zubair r.a. dapat diketahui secara spesifik bahwasanya yang melatar belakangi turunnya QS. An-Nisa’ [4]:3 disebabkan adanya pengasuh anak yatim yang berbuat tidak adil atau dzolim terhadap anak-anak yatim. maksud utama ayat ini diturunkan untuk memperingatkan kepada para pengasuh anak yatim agar berlaku adil terhadap mereka (anak yatim).

Pada dasarnya melalui QS. An-Nisa’[4]:3, Allah Swt menyerukan kepada pengasuh anak-anak yatim untuk memberikan perhatian, perlindungan, pengasuhan, dan pemeliharaan terhadap anak yatim dengan baik dan adil. dikarenakan pada era tersebut,

110 Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Cet. 1, (Beirut: Dar Ibnu Kasir, 2002), 1123.

74

banyak pengasuh anak yatim yang cenderung memperlakukan mereka tidak adil. Para wali anak yatim banyak memberlakukan ketidakadilan dengan tidak mengelola hak-hak sosial dan ekonomi secara proporsional. Disamping itu, para wali anak yatim berkeinginan menikahi anak yatim dengan tidak memberikan mahar yang sepantasnya.111 Syaikh Muhammad Abduh berpendapat dalam Islam poligami diharamkan apabila laki-laki mempunyai rasa khawatir tidak dapat berlaku adil kepada istri-istrinya. Oleh karenanya keadilan menjadi syarat mutlak bagi laki-laki yang ingin berpoligami.112

Keadilan yang dimaksudkan dalam poligami yakni hanya dalam urusan pangan, pakaian, tempat tinggal, menggilir istri dalam urusan menginap dan segala urusan yang bersifat kebendaan.113 Argumentasi tentang keadilan tersebut bersandar dengan apa yang telah ucapkan oleh Sayyidah Aisyah r.a. bahwa Rasulullah pernah berdoa dengan Allah Swt terkait persoalan ini.

ُكيلْمَأ اَمْييف ييمْسَق اَذَه َّمُهَّلل َا ينِْمُلَ ت َلاَف

ُكيلَْتَ اَمْييف َو

َلَّ

ُكيلْمَأ

“Ya Allah, ini bagian ( keadilan ) yang berada dalam kemampuanku. Maka, janganlah engkau menuntut aku menyangkut ( keadilan cinta ) yang berada diluar kemampuanku..”114

Dari doa yang dipanjatkan Rasulullah Saw, dapat dipahami yang kehendaki makna keadilan dalam poligami adalah sesuatu yang material, bukan persoalan menyangkut keadilan cinta yang itu berada diluar kemampuan manusia.

111 Muhammad Husein, Poligami, Cet. 1. (Yogyakarta: Ircisod, 2020), 27-28.

112 Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, Cet. 1, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), 203.

113 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Cet. 7, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), 131-132.

114 Abi Dawud Sulaiman Bin Asy’as, Sunan Abī Dawud, (Beirut, lebanon: Dar Ar-Risalah Al-Alamiyah, 2009), 470.

75

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan mayoritas ulama berpendapat bahwa poligami itu diperbolehkan dalam Islam, akan tetapi bukan berarti poligami dalam Islam tidak mempunyai syarat. Terjaminnya keadilan dari pihak suami kepada istri-istrinya dalam melaksanakan poligami menjadi syarat yang harus dipenuhi. Bahkan jika mengacu pada aturan UU Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam, poligami diperbolehkan dengan syarat yang ketat adanya jaminan keadilan dan izin dari pihak istri pertama atau terdahulu

Menurut pendapat penulis, hendaknya suami (laki-laki) yang ingin berpoligami mempertimbangkan aspek syarat jaminan adanya keadilan. Suami yang hendak poligami tentunya harus dapat mempertimbangkan, apakah ia mampu atau tidak bertindak adil terhadap istri-istrinya. Apabila seorang suami merasa tidak mampu untuk berbuat adil, lebih baik cukup menikah dengan satu istri saja.

Menarik kesimpulan dari penuturan di atas, penulis tidak sepakat dengan argumentasi-argumentasi Coach Hafidin dalam tiga hal :

Pertama : Menurut penulis, Coach Hafidin kurang memahami Syariat yang diberikan oleh Allah Swt. Beliau berpendapat bahwa manusia itu harus menerima dengan lapang dada terhadap syariat yang diberikan Alllah Swt kepada manusia, baik syariat yang mudah dilaksanakan maupun yang berat untuk dilaksanakannya.

Penulis sependapat dengan beliau jika manusia harus menerima segala perintah yang diberikan oleh Allah SWT. Akan tetapi penulis berbeda pendapat jika aturan dari Allah SWT yang diberikan untuk manusia ada yang memberatkan sebagian manusia.

76

Tentunya keseluruhan aturan yang diberikan oleh Allah Swt untuk makhluknya pasti mendatangkan maslahah atau kebaikan. Seperti yang telah diungkapan dalam kaidah fikih:

ْا ُءْرَدَو ْحيلاَصَمْلا ُبْلَج

َ لم اَف ْديس

“Syariat Allah itu pada hakikatnya untuk meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadahan”.115

Dari kaidah tersebut dapat dipahami, bahwasanya syariat atau aturan yang diberikan oleh Allah Swt kepada makhluknya itu mengandung maslahah (kebaikan) dan menolak kemafsadahan (kerusakan). Oleh karenanya tidak sepatutnya seorang muslim mengatakan, jika syariat Islam yang diberikan kepada manusia itu memberatkan. Karena pada dasarnya syariat atau aturan yang diberikan oleh Allah Swt untuk menghadirkan kebaikan kepada seluruh manusia.

Kedua : penulis tidak sepakat pendapat beliau mengenai poligami dalam Islam.

Menurut penulis, diperbolehkannya poligami dalam Islam, tentu sangat erat kaitannya dengan keharusan adanya keadilan dari pihak suami untuk para istri. Islam memperbolehkan poligami tidak serta merta tanpa adanya syarat yang harus dipenuhi.

Oleh karena itu penulis beranggapan bahwa Coach Hafidin tidak cermat dalam memahami QS. An-Nisa’ [4]:3 yang dijadikan legitimasi poligami dalam Islam.

Penulis mengacu dari Riwayat Hadist dari Urwah Bin Zubair R.a. bahwasanya latar belakang ayat tersebut turun berbicara persoalan ketidakadilan yang dilakukan

115 A Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, Cet. 1, (Rawamangun-Jakarta: Kencana, 2017), 27.

77

pengasuh anak yatim. Sehingga dapat dipahami bahwa misi utama ayat ini untuk melindungi dan memberikan keadilan kepada anak yatim. Dikarenakan anak yatim itu lemah secara alamiah, sebab ditinggal wafat oleh ayahnya.

Beliau dalam memahami konsep poligami dalam Islam tampak tidak secara utuh.

Pendapat beliau yang mengesampingkan syarat jaminan keadilan yang diberikan suami terhadap istri-istrinya yang hendak dipoligami tentu tidak dapat dibenarkan. Sedangkan poligami dalam Islam menurut mayoritas ulama maupun pemikir kontemporer bukanlah sesuatu yang tidak bersyarat, poligami diperbolehkan dalam Islam mengharuskan adanya syarat jaminan keadilan dari pihak suami.

Beliau menyamakan poligami dengan syariat-syariat Allah yang lainnya tentu sangat bermasalah bagi penulis. Seolah Coach Hafidin menyamakan poligami seperti halnya perintah Shalat, Zakat, Puasa dan lain-lain. Perlu diketahui, Islam bukanlah agama yang menginisiasi tentang poligami, dikarenakan poligami telah banyak dikenal dan dipraktekan oleh penganut Agama ataupun adat istiadat masyarakat pada zaman dulu.

Islam tidak menganjurkan poligami apalagi mewajibkannya, tetapi Islam hanya memperbolehkan poligami dengan diberikannya syarat yang ketat. Sehingga poligami dalam Islam itu dapat dilaksanakan bagi orang-orang yang membutuhkan dan itu merupakan pintu darurat.

Ketiga : Pertimbangan perubahan Hukum Poligami dalam Islam menurut Coach Hafidin hanya berdasarkan nafsu hasrat seksual dari pihak laki-laki saja. Sedangkan poligami itu menurut mayoritas ulama bersifat darurat, bukan pada keadaan normal. Beliau

78

membangun argumentasinya seolah-olah Islam hanya memberikan solusi, apabila suami hasrat seksualnya tinggi, solusinya adalah poligami.

Nabi Muhammad Saw pernah bersabda untuk memberikan solusi kepada umatnya, cara agar mengontrol hawa nafsu:

وٍرْمَع ينْب يَّللَّا يدْبَع ْنَع : َلَاق

َءاَج َمَّلَسَو يهْيَلَع َُّللَّا ىَلَص يَّللَّا يلْوثُسَر َلىيإ لُجَر َلاَقَ ف

يهْيَلَع َُّللَّا ىَلَص يَّللَّا يلوُسَرَيَ :

َمَّلَسَو ُماَييقْلاَو ُماَيي صلا يتَِّمُأ ءاَصيخ .

" Abdullah bin ‘Amru, dia berkata, seorang laki-laki datang menemui Rasulullah Saw dan berkata, izinkan aku untuk mengebiri (menghilangkan syahwa). Lalu Rasulullah Saw berkata, cara meredam syahwat bagi umatku adalah dengan berpuasa dan shalat malam”.116

Sabda dari Nabi Muhammad Saw di atas, hendaknya dijadikan pegangan bagi umat Islam. Jika hasrat seksual begitu tinggi tentu cara meredamnya dengan cara berpuasa dan melaksanakan shalat malam. Tentu tidak tepat jika solusi yang diberikan kepada suami yang mempunyai hasrat seksualnya tinggi dengan hanya melaksanakan pernikahan poligami. Dikarenakan poligami bukan sebagai jalan satu-satunya yang diberikan Islam untuk membendung tingginya hasrat seksual, akan tetapi melaksanakan puasa dan shalat malam sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah Saw dapat membendung hasrat seksual yang berlebih pada diri manusia.

b. Relasi suami dan Istri diposisikan atasan dan bawahan.

Coach Hafidin mengatakan kepada penulis, bahwasanya perempuan (istri) itu dalam rumah tangga kedudukannya di bawah laki-laki (suami). Secara detail beliau mengatakan kepada penulis ketika sesi wawancara seperti ini:

116 Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad Bin Hanbal, Cet. 1, (Riyadh, Saudi Arabia: Bait Al-Afkar, 1998), 500.

79

Penulis: Bagaimana kedudukan perempuan dalam rumah tangga dalam kacamata islam menurut ustad?

Coach Hafidin: Dalam Islam kedudukan perempuan itu dibawah suami, dalilnya arrijalu qowamuna ala nisa, lakilaki itu penguasa, pemimpin, orang yang dihormati, hakim, pendidik. Sehingga perempuan itu yang dipimpin, yang menghormati suami, yang diperintah suami, gak boleh istri ngatur suami namanya kedudukan istri itu dibawah suami. Tidak boleh ada istilah kesepakatan.

Bahkan nabi sendiri mengatakan, kalaulah boleh manusia bersujud dihadapan manusia, maka yang diperintahkan istri sujud terhadap suami. Maka suami hampir setara dengan tuhan, makannya hatai-hati. Kebahagaian perempuan itu, ketika fikirannya, telinganya mendengar perintah suami. Ketika perasaannya dikerahkan untuk menaati suami, itulah kebahagiaan.

Beliau mengetengahkan pendapatnya dengan memakai dalil ayat Al-Qur’an :

ييلُاَوْمَا ْنيم اْوُقَفْ نَا ىاَيبَِّو ٍضْعَ ب ىهلَع ْمُهَضْعَ ب ُه للَّا َلَّضَف اَيبِ يء ۤا َسي نلا ىَلَع َنْوُماَّوَ ق ُلاَجي رل تهتينهق ُتهحيله صلاَف ۗ ْم

ْلي ل تهظيفهح ُه للَّا َظيفَح اَيبِ يبْيَغ

ُرُجْهاَو َّنُهْوُظيعَف َّنُهَزْوُشُن َنْوُ فاََتَ ْيتِه لاَو ۚ َّنُهْوُ بيرْضاَو يع يجاَضَمْلا يفِ َّنُهْو

ًرْ ييبَك اا ييلَع َناَك َه للَّا َّنياۗ ًلاْييبَس َّنيهْيَلَع اْوُغْ بَ ت َلاَف ْمُكَنْعَطَا ْنياَف .

Artinya : Laki-laki mempunyai kelayakan memimpin kaum wanita, karena Allah memberikan kelebihan di atas yang lain dan karena memberikan nafkah. Wanita-wanita yang saleh ialah yang taat beribadah, yang menjaga amanat sewaktu pergi, karena Allah telah memelihara mereka. Mereka yang dikhawatirkan berbuat nusyus, berilah peringatan, jauhilah mereka ditempat tidur, berilah sanksi yang mendidik. Tetapi apabila mereka telah taat kepadamu, jangan mencari jalan untuk menyudutkannya. Allah sungguh Mahatinggi lagi Mahaagung.(QS. An-Nisa [4]: 34.)117

Menurut beliau ayat di atas mengatakan secara eksplisit bahwa laki-laki (suami) adalah pemimpin dan perempuan (istri) adalah yang dipimpin. Oleh karenanya tidak ada dalam kamus rumah tangga laki-laki itu diatur oleh perempuan, karena dasarnya laki-laki adalah pemimpin. Bahkan dalam membangun rumah rumah tangga tidak perlu adanya

117 Tim Penerjemah Al-Qur’an UII, Qur’an Karim Dan Terjemahan Artinya (Yogyakarta: UII Press, 2018), 148.

80

kesepakatan antara suami dan istri, karena jika adanya kesepakatan menunjukan laki-laki (suami) dibawah perempuan (istri).

Laki-laki dan perempuan adalah jenis kelamin yang berbeda secara asal penciptaannya, akan tetapi penciptaan yang berbeda itu pada dasarnya untuk saling melengkapi dan menyempurnakan. Oleh karenanya Allah telah berfirman :

ۗه تََّشَل ْمُكَيْعَس َّنياۙ ىىهثْ نُْلَّاَو َرَكَّذلا َقَلَخ اَمَو

Artinya : Demi ciptaan yang berjenis laki-laki dan perempuan. Sungguh usahamu sangat beragam. QS. Al-Lail[92]:3-4)118

Tentunya tujuan dari Allah Swt untuk membedakan menciptakan laki-laki dan perempuan ketika berbicara konteks kehidupan rumah tangga, berguna untuk pembebanan tugas yang diberi antara suami dan istri untuk menciptakan integrasi antara keduanya untuk mencapai kehidupan yang bahagia. Integrasi antara laki-laki dan perempuan ibarat siang dan malam. Siang berbeda dengan malam. Siang terang benderang digunakan untuk mencari nafkah, sedangkan malam diselimuti oleh kegelapan sebagai waktu istirahat.

Siang dan malam diciptakan oleh Allah Swt dengan fungsi yang berbeda, akan tetapi antara siang dan malam itu menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.119

Dalam ajaran Islam perkawinan memiliki tujuan untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Tujuan ini sesuai dengan apa yang telah disebutkan berdasarkan :

118 Ibid., 92.

119 Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah Kajian Hukum Islam Kontemporer, Cet. 1, (Bandung:

Percetakan Angkasa, 2022), 138-139.

81

يهيتهيها ْنيمَو اًجاَوْزَا ْمُكيسُفْ نَا ْني م ْمُكَل َقَلَخ ْنَا

ٍمْوَقي ل ٍتهيهَلَّ َكيلهذ ْيفي َّنياۗ ًةَْحَْرَّو ًةَّدَوَّم ْمُكَنْ يَ ب َلَعَجَو اَهْ يَليا اىْوُ نُكْسَتي ل

َنْوُرَّكَفَ تَّ ي .

Artinya : Termasuk ayat-Nya pula, Allah menciptakan jodohmu dari dirimu sendiri, agar kamu menemukan ketenangan disampingnya ia juga menciptakan kasih dan sayang yang mengikat. Yang demikian itu merupakan ayat bagi kaum yang berfikir.(QS.

Ar-Rum[30]:21).120

Berdasarkan ayat di atas tujuan membangun keluarga dalam Islam yakni terbentuknya perpaduan antara ketentraman (sakinah), penuh rasa cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah). Membangun rumah tangga menurut Islam itu terdiri dari Istri yang patuh dan setia, suami yang jujur dan tulus, ayah yang penuh kasih sayang dan ramah, ibu yang lemah lembut dan berperasaan halus.121

Maksud kepimpinan suami dalam membangun rumah tangga yang telah disebutkan pada QS. An-Nisa’ [4]:34, kedudukan suami sebagai penanggung jawab atas keselamatan keluarga. Tentunya sebagai kepala rumah tangga atau pemimpin keluarga suami diberikan beban oleh agama sebagai pelindung, pembela, mencari nafkah, memelihara istri dan anak-anaknya.122

Kepimpinan suami dalam membangun rumah tangga tidak bisa hanya ditinjau dari pandangan yang tidak setara, dengan alasan suami adalah pemimpin dalam rumah tangga, laki-laki tidak perlu berdialog dengan istrinya. Tentunya pemahaman seperti itu tidak dapat dibenarkan. Karena pada dasarnya Islam telah memberikan beban dan

120 Tim Penerjemah Al-Qur’an UII, Qur’an Karim Dan Terjemahan Artinya (Yogyakarta: UII Press, 2018),

121 Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah Kajian Hukum Islam Kontemporer, Cet. 1, (Bandung:

Percetakan Angkasa, 2022), 133-134.

122 Ibid., 138.

Dokumen terkait