• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAHAN DAN METODE

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kualitas Fermentasi Silase Ransum Komplit

Karakteristik Fisik Silase Ransum Komplit

Kualitas silase ransum komplit dapat dilihat berdasarkan karakteristik fisik silase tersebut. Hasil pengamatan terhadap warna, bau, tekstur dan keberadaan jamur ransum komplit setelah 6 minggu ensilase dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Karakteristik fisik ransum komplit berbasis hasil samping jagung, sawit dan ubi kayu setelah 6 minggu ensilase

Perlakuan Peubah

SRKJ SRKS SRKU

Warna campuran hijau,

kuning dan coklat

campuran hijau, kuning dan coklat

campuran hijau, kuning dan coklat

Bau khas fermentasi

asam laktat

khas fermentasi asam laktat

khas fermentasi a asam laktat Tekstur utuh dan kompak utuh dan kompak utuh dan kompak

Keberadaan jamur (%) 7.64 3.83 tidak ada

Keterangan: SRJK (silase ransum komplit berbasis hasil samping jagung), SRKS (silase ransum komplit berbasis hasil samping sawit), SRKU (silase ransum komplit berbasis hasil samping ubi kayu)

Pengamatan ransum komplit berbasis hasil samping jagung, sawit dan ubi kayu setelah 6 minggu ensilase menunjukkan warna yang tidak jauh berbeda dari sebelum ensilase yaitu campuran hijau, kuning dan coklat. Campuran ketiga warna ini merupakan pengaruh keanekaragaman bahan yang digunakan pada pembuatan silase seperti; rumput gajah, daun ubi kayu, daun kelapa sawit, jerami jagung, serat buah sawit, kulit ubi kayu, dedak padi, bungkil kelapa dan lumpur sawit.

Secara umum ketiga perlakuan SRKJ, SRKS dan SRKU memperlihatkan warna yang relatif sama (Gambar 6). Warna coklat dan kuning yang terlihat pada ketiga perlakuan tidak menunjukkan tanda-tanda kerusakan selama ensilase, seperti terjadinya reaksi pencoklatan akibat bahan kering yang tinggi atau pembusukan oleh bakteri Clostridiakarena kelebihan kadar air. Tetapi warna kuning dan hijau tersebut merupakan pengaruh bahan yang digunakan pada pembuatan silase. Hal ini sesuai dengan yang direkomendasikan Macaulay (2004) bahwa silase yang berkualitas baik

akan berwarna hijau terang sampai kuning atau hijau kecoklatan tergantung materi silase. Sementara Saun dan Heinrichs (2008) menyatakan bahwa warna silase mengindikasikan permasalahan yang mungkin terjadi selama fermentasi. Silase yang terlalu banyak mengandung asam asetat akan berwarna kekuningan, sedangkan kalau kelebihan asam butirat akan berlendir dan berwarna hijau-kebiruan dan silase yang baik menunjukkan warna hampir sama dengan warna asalnya.

A. SRKJ B. SRKS C. SRKU

Gambar 6 Karakteristik silase ransum komplit berbasis hasil samping jagung, sawit dan ubi kayu setelah 6 minggu ensilase. SRJK (silase ransum komplit berbasis hasil samping jagung), SRKS (silase ransum komplit berbasis hasil samping sawit) dan SRKU (silase ransum komplit berbasis hasil samping ubi kayu)

Hasil penelitian silase ransum komplit berbasis hasil samping jagung, sawit dan ubi kayu menunjukkan bau khas fermentasi asam laktat setelah 6 minggu ensilase (Tabel 8). Perlakuan SRKU mempunyai bau harum yang lebih menyengat jika dibandingkan dengan SRKS dan SRKJ. Diduga fermentasi yang terjadi pada ketiga jenis silase ransum komplit bersifat heterofermentatif, sehingga tidak hanya asam laktat sebagai produk akhir fermentasi, tetapi juga menghasilkan asam asetat, propionat, butirat dan alkohol. Diperkirakan pada perlakuan SRKU produksi alkohol dan asam asetat lebih tinggi sehingga menghasilkan bau yang lebih menyengat, sementara pada perlakuan SRKJ dan SRKS didominasi oleh asam laktat yang ditandai dengan bau yang tidak menyengat. Hasil ini didukung oleh Saun dan Heinrichs (2008) menyatakan bahwa silase yang baik mempunyai bau seperti susu fermentasi karena mengandung asam laktat, bukan bau yang menyengat. Namun

menurut Kung (1993) bau harum belum tentu mencerminkan silase yang berkualitas, karena bau harum bisa berasal dari tingginya etanol yang diproduksi yeast bercampur asam asetat. Silase yang baik bersifat homofermentatif ditandai dengan bau yang tidak menyengat, karena asam laktat hampir tidak berbau. Lebih lanjut dijelaskan jika produksi asam asetat tinggi akan berbau cuka, sementara fermentasi asam propionat akan menimbulkan bau harum yang menyengat dan fermentasi Clostridia akan menghasilkan bau busuk.

Pengamatan terhadap tekstur silase pada masing-masing perlakuan setelah 6 minggu ensilase menunjukkan tekstur yang utuh, kompak dan tidak terlihat adanya lendir. Secara umum ketiga perlakuan memperlihatkan silase dengan kualitas baik, karena tidak terdapat tanda-tanda kerusakan seperti tekstur yang hancur atau kering. Hal ini disebabkan semua perlakuan silase ransum komplit mempunyai kadar air yang sesuai untuk suatu proses fermentasi berkisar 56 69%. Macaulay (2004) menyatakan bahwa tekstur silase dipengaruhi oleh kadar air bahan pada awal ensilase, silase dengan kadar air yang tinggi (>80%) akan memperlihatkan tekstur yang berlendir, lunak dan berjamur. Sedangkan silase berkadar air rendah (<30%) mempunyai tekstur kering dan ditumbuhi jamur.

Keberadaan jamur pada permukaan silo merupakan salah satu masalah yang sering terjadi pada proses ensilase. Idealnya silase yang baik mempunyai permukaan yang tidak berjamur. Data penelitian memperlihatkan pada perlakuan SRKJ dan SRKS ditemukan jamur di permukaan silo berturut-turut sebesar 7.64% dan 3.83%, sementara pada perlakuan SRKU tidak ditemukan jamur setelah 6 minggu ensilase (Tabel 8). Persentase jamur yang didapatkan pada penelitian ini lebih rendah dari pernyataan Davies (2007) bahwa keberadaan jamur pada produk silase mencapai 10%.

Besarnya keberadaan jamur pada perlakuan SRKJ disebabkan sifat bahan yang lebih voluminus jika dibandingkan dengan perlakuan SRKS dan SRKU, sehingga mempengaruhi tingkat pemadatan. Hal ini terlihat dari kapasitas yang lebih rendah (34.5 kg vs 41.3 kg dan 36.7 kg) pada silo volume 50 liter. Akibatnya udara yang terperangkap di dalam silo akan lebih banyak dan memberi kesempatan yang lebih

besar untuk pertumbuhan jamur dan mikroorganisme berspora lainnya pada permukaan silo. Hal ini sesuai dengan pernyataan Donald et al. (1993) bahwa kehadiran jamur erat kaiatannya dengan keberadaan udara yang terperangkap pada silo, baik pada fase awal ensilase ataupun akibat kebocoran silo selama penyimpanan. Sementara menurut Johnson dan Harrison (2001) sifat densiti bahan silase mempengaruhi kestabilan udara pada silase. Semakin tinggi sifat densiti bahan akan meningkatkan tingkat pemadatan silase, akibatnya udara yang terdapat dalam silo akan berkurang. Saun dan Heinrichs (2008) melaporkan bahwa keberadaan jamur pada permukaan silo tidak hanya dipengaruhi oleh sifat densiti bahan, tetapi juga cuaca dan jumlah silase yang dikeluarkan tiap hari.

Karakteristik Kimia dan Mikrobial Silase Ransum Komplit

Nilai pH, jumlah koloni bakteri asam laktat, kandungan N-amonia, kehilangan WSC, kehilangan bahan organik dan kehilangan bahan kering ransum komplit berbasis hasil samping jagung, sawit dan ubi kayu setelah 6 minggu ensilase dapat dilihat pada Tabel 9.

pH

pH merupakan indikator utama untuk mengetahui pengaruh ensilase terhadap nilai nutrisi pada silase berkadar air tinggi, pH lebih rendah menunjukkan kualitas lebih baik (Kung dan Nylon 2001). Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pH ransum komplit berbasis jagung, sawit dan ubi kayu setelah 6 minggu ensilase adalah 3.80, 3.90 dan 3.85. Nilai ini menunjukkan bahwa silase ransum komplit mempunyai kualitas fermentasi yang baik sekali (ditandai dengan pH <4). Hal ini sesuai dengan pendapat McCullough (1978) dan Macaulay (2004) yang menyatakan bahwa kualitas silase dapat digolongkan menjadi 4 kriteria berdasarkan pH yaitu: baik sekali dengan pH 3.2 4.2, baik pH 4.2 4.5, sedang pH 4.5 4.8 dan buruk pH >4.8. Nilai pH yang didapatkan pada penelitian ini lebih rendah dari perlakuan silase berbahan tunggal pada Italian regrass dan Orchardgrass (Ridla dan Uchida 1999; Fransen dan Strubi 1998). Hasil yang sama juga dilaporkan Nishino et al. (2004) pada perlakuan silase

seluruh bagian tanaman jagung dan campuran seluruh bagian tanaman jagung dengan alfalfa, bungkil kedelai, molases, ampas tebu dan ampas bir. Hal ini membuktikan bahwa silase ransum komplit mempunyai kualitas fermentasi lebih baik daripada silase berbahan tunggal. Penambahan sejumlah sumber nutrien (molases, dedak padi dan bungkil kelapa) dapat meningkatkan ketersediaan karbohidrat mudah larut, sehingga mendorong pertumbuhan bakteri asam laktat untuk menghasilkan asam laktat lebih banyak dan menghasilkan pH akhir yang lebih rendah.

Tabel 9 Karakteristik kimia dan mikrobial ransum komplit berbasis hasil samping jagung, sawit dan ubi kayu setelah 6 minggu ensilase

Perlakuan Peubah

SRKJ SRKS SRKU

pH silase 3.80c±0.01 3.90a±0.05 3.85b±0.01

Jumlah koloni bakteri asam

laktat (cfu/g) 9.2x10

5a

±0.46 8.5x104b±0.07 8.0x104bc±0.13 Kehilangan WSC (%BK) 4.17b±0.24 2.92c±0.19 5.68a±0.46 Kadar N-amonia (% TN) 7.99±0.95 7.18±0.42 7.68±0.98 Kehilangan bahan organik (%) 6.29a±0.40 3.24bc±0.58 2.84c±0.46 Kehilangan bahan kering (%) 7.20a±0.45 4.60bc±1.07 4.00c±0.61 Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan pengaruh yang

berbeda nyata (P<0.05). SRJK (silase ransum komplit berbasis hasil samping jagung), SRKS (silase ransum komplit berbasis hasil samping sawit), SRKU (silase ransum komplit berbasis hasil samping ubi kayu)

Rendahnya pH silase pada penelitian ini didukung oleh cukupnya ketersediaan kandungan WSC (6.17 13.14% BK) yang berfungsi sebagai substrat pendorong pertumbuhan bakteri asam laktat yang ditemukan sebelum fermentasi pada masing-masing perlakuan. Sementara McDonald et al. (1991) menyatakan bahwa untuk mendapatkan silase yang baik diperlukan jumlah minimal WSC yang terdapat pada bahan silase sebesar 3 5% BK. pH yang rendah itu mencerminkan telah terjadi fermentasi asam laktat dan silase ransum komplit sudah layak simpan. Schroeder (2004) menyatakan bahwa silase yang berkualitas tercapai apabila produksi asam didominasi oleh asam laktat, pH lebih cepat turun dan proses fermentasi sempurna dalam waktu singkat, sehingga lebih banyak nutrisi yang dapat dipertahankan. Dominasi pertumbuhan bakteri asam laktat yang ditandai dengan rendahnya nilai pH mampu menekan pertumbuhan mikroorganisme yang tidak diinginkan, seperti

Clostridia tidak mampu bertahan pada pH di bawah 4.6 4.8, sementara Enterobacteriatidak bisa tumbuh pada pH di bawah 5.0, sedangkan jamur tidak bisa bertahan pada kondisi anaerob (McDonaldet al. 1991; Linet al. 1992).

Analisis ragam menunjukkan pH silase nyata (P<0.05) dipengaruhi oleh perlakuan jenis silase ransum komplit. Perlakuan SRKJ memperlihatkan pH terendah (3.80) diikuti perlakuan SRKU (3.85) dan SRKS (3.90). Adanya variasi pH antar perlakuan disebabkan perbedaan aktivitas mikroorganisme (terutama bakteri asam laktat) dalam mengkonversi gula-gula sederhana menjadi asam laktat selama proses fermentasi. Rendahnya pH pada perlakuan SRKJ didukung dengan produksi asam laktat yang lebih besar (1722 ppm) dibandingkan dengan SRKS dan SRKU berturut-turut sebesar 1480 ppm dan 946 ppm (LIPI 2008). Hal ini sesuai dengan pernyataan Kung dan Shaver (2001) bahwa semakin tinggi produksi asam laktat maka akan semakin rendah pH silase yang dihasilkan. Sementara Kizilsimsek et al. (2005) menyatakan bahwa bahan baku dan tipe silo akan mempengaruhi kualitas silase secara fisik dan kimia. Sedangkan (Joneset al. 2004) menyatakan bahwa kandungan bahan kering bahan, ukuran pemotongan, kondisi anaerob, kandungan gula dan populasi bakteri asam laktat merupakan faktor utama yang mempengaruhi kualitas silase.

Jumlah Koloni Bakteri Asam Laktat

Jumlah bakteri asam laktat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses silase selain kadar air dan kandungan WSC bahan silase. Jumlah koloni bakteri asam laktat pada masing-masing perlakuan ditemukan berbeda (P<0.05) setelah 6 minggu ensilase. Perlakuan SRKJ memperlihatkan jumlah koloni bakteri asam laktat tertinggi (9.2x105cfu/g) diikuti perlakuan SRKS dan SRKU (8.5x104dan 8.0x104 cfu/g). Jumlah koloni bakteri asam laktat yang diperoleh pada penelitian ini lebih rendah dari hasil penelitian Bolsen et al. (2000) yang menemukan populasi bakteri asam laktat sekitar 106cfu/g pada silase tanpa diinokulasi.

Rendahnya jumlah koloni bakteri asam laktat yang terdapat pada perlakuan silase ransum komplit berbasis jagung, sawit dan ubi kayu ini berhubungan dengan mekanisme kerja bakteri asam laktat dalam menghasilkan asam laktat selama proses fermentasi. Peningkatan jumlah koloni bakteri asam laktat akan diikuti dengan penurunan pH. Selanjutnya populasi bakteri asam laktat ini akan menurun setelah fase stabil karena asam yang dihasilkan dapat menghambat pertumbuhannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan McDonaldet al. (1991) bahwa bakteri asam dapat bertahan hidup mulai dari pH 4.0 sampai 6.8, bahkanPediococcus damnasus (cerevisae)dapat bertahan pada pH 3.5, sementara Streptococcusumumnya bertahan pada pH sekitar 4.5 sampai 5.0, sedangkan spesies Lactobacillus akan tumbuh subur pada pH 4.5 sampai 6.4. Diduga pada penelitian ini terdapat sejumlah bakteri asam laktat yang tidak mampu bertahan pada pH rendah sehingga akhirnya akan mati, hanya bakteri tertentu yang dapat bertahan sampai akhir periode ensilase. Selain itu diperkirakan terdapat pebedaan jenis bakteri asam laktat pada awal ensilase dan setelah ensilase. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa bakteri asam laktat jenisStreptococcus dan Pediococcus dominan pada awal fase fermentasi, sedangkan jenisLactobacillus dominan di akhir fermentasi. Sementara itu Lopez (2000) melaporkan bahwa bakteri asam laktat juga menghasilkan sejumlah komponen-komponen antibakteria seperti hidroksi peroksida yang dapat menghambat pertumbuhannya. Di samping itu media agar yang digunakan pada saat penghitungan jumlah koloni bakteri asam laktat juga mempengaruhi koloni yang dihasilkan. Media yang digunakan adalah MRS agar yang mempunyai pH 6 7 (bersifat basa), sementara pH produk silase mempunyai pH di bawah 4 (bersifat asam), sehingga hanya sebagian bakteri asam laktat yang dapat tumbuh.

Perlakuan SRKJ memiliki jumlah koloni tertinggi setelah ensilase jika dibandingkan dengan SRKS dan SRKU. Hal ini diperkirakan bahwa bakteri asam laktat yang terdapat pada SRKJ berbeda dan lebih tahan terhadap pH yang rendah dibanding bakteri asam laktat yang terdapat pada perlakuan SRKS dan SRKU. Sementara itu pada perlakuan SRKS dan SRKU diduga mempunyai bakteri asam laktat yang tidak tahan dengan kondisi asam. Dugaan lainnya perlakuan SRKJ

mempunyai koloni bakteri asam laktat awal yang lebih tinggi dari perlakuan SRKS dan SRKU, sehingga mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk bersaing dengan mikroorganisme lainnya. Hal ini terkait dengan komposisi bahan pada perlakuan SRKJ yang menggunakan jerami jagung. McDonald et al. (1991) melaporkan bahwa jumlah bakteri asam laktat lebih dominan pada bagian daun daripada bagian batang tanaman. Sementara itu komposisi bahan pada perlakuan SRKS didominasi oleh hasil samping pengolahan buah sawit, sehingga populasinya lebih rendah. Sedangkan pada perlakuan SRKU pertumbuhan bakteri asam laktat dipengaruhi oleh kandungan sianida terutama pada bagian daun dan kulit ubi kayu.

Kehilangan WSC (Water Soluble Carbohydrate)

Karbohidrat yang mudah larut dalam air (WSC) merupakan substrat primer bakteri penghasil asam laktat untuk menurunkan pH pada silase. Apabila kandungan WSC pada bahan rendah, maka fermentasi tidak berjalan sempurna karena produksi asam laktat akan berhenti (Bolsen et al. 2001; Jones et al. 2004). Kandungan WSC pada perlakuan SRKJ, SRKS dan SRKU sebelum ensilase adalah 8.71% BK, 6.17% BK dan 13.14% BK. Davieset al. (1998) menyatakan bahwa variasi kandungan WSC hijauan dipengaruhi oleh kondisi iklim, tingkat kematangan hijauan saat dipanen dan pemberian pupuk. Tabel 10 di atas memperlihatkan bahwa kandungan WSC sebelum ensilase pada masing-masing perlakuan melebihi kebutuhan minimal (3 5% BK) untuk mendapatkan fermentasi yang baik (McDonaldet al. 1991). Sementara Hutton (2004) menyatakan kebutuhan WSC selama fermentasi silase berkisar 6 12% BK. Tabel 10 Kandungan WSC silase ransum komplit berbasis hasil samping jagung,

sawit dan ubi kayu sebelum dan setelah ensilase serta kehilangannya Perlakuan WSC sebelum ensilase% (% BK) WSC setelah ensilase (% BK) Kehilangan WSC (% BK) SRKJ 8.71 4.54 4.17 SRKS 6.17 3.25 2.92 SRKU 13.14 7.46 5.68

Keterangan: WSC (water soluble carbohydrate), SRJK(silase ransum komplit berbasis hasil samping jagung), SRKS (silase ransum komplit berbasis hasil samping sawit), SRKU (silase ransum komplit berbasis hasil samping ubi kayu)

Joneset al. (2004) menyatakan bahwa proses fermentasi merupakan aktivitas biologis bakteri asam laktat mengkonversi gula-gula sederhana menjadi asam (terutama asam laktat). Gambar 7 memperlihatkan bahwa komponen gula dimanfaatkan mulai dari fase awal ensilase sampai tercapainya fase stabil yang ditandai dengan dominannya bakteri asam laktat dan tidak terjadi lagi penurunan pH.

Gambar 7 Fase-fase fermentasi selama ensilase (Joneset al. 2004)

McDonaldet al. (1991) menyatakan bahwa fruktosa merupakan gula bebas yang bisa langsung dikonsumsi oleh mikroorganisme sebagai sumber nutrien, sementara komponen gula (glukosa, galaktosa, mannosa, xylosa, dan arabinosa) dari struktur karbohidrat tidak segera tersedia sebagai fermentable substrat untuk bakteri asam laktat. Komponen gula tersebut akan tersedia setelah mengalami hidrolisis oleh enzim pada hijauan itu sendiri. Demikian pula halnya dengan pati harus dirombak dengan bantuan enzim yang dihasilkan mikroorganisme pada silase menjadi gula-gula sederhana. Sebaliknya pada penelitian ini komponen-komponen gula sederhana yang mudah difermentasi cukup tersedia untuk mendapatkan fermentasi yang baik. Mengingat bahan baku yang dipakai pada pembuatan silase ransum komplit terdiri dari beberapa campuran bahan pakan yang dapat menyediakan nutrien bagi percepatan tumbuhnya mikroorganisme penghasil asam laktat (molases dan dedak padi). Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa penambahan sejumlah sumber nutrien

seperti tepung tapioka, molases, jagung giling dan dedak padi pada hijauan tropik dapat meningkatkan kualitas fermentasi (Panditharatneet al. 1986; Sibandaet al. 1997; Yokotaet al. (1998). Cukupnya ketersediaan gula tersebut terlihat dari besarnya kandungan WSC yang tersisa pada masing-masing perlakuan setelah 6 minggu ensilase, perlakuan SRKJ (4.54% BK), SRKS (3.25% BK) dan SRKU (7.46% BK). Banyaknya WSC yang digunakan selama proses fermentasi pada penelitian ini hanya sekitar 50% dari kandungan gula asal pada masing-masing perlakuan.

Data penelitian menunjukkan adanya variasi (P<0.05) jumlah pemanfaatan WSC selama proses fermentasi pada semua perlakuan. Perlakuan SRKU memperlihatkan kehilangan WSC tertinggi yaitu 5.68% BK diikuti perlakuan SRKJ dan SRKS berturut-turut sebesar 4.17% BK dan 2.92% BK. Hasil yang hampir sama juga dilaporkan Ridla dan Uchida (1999) bahwa pemanfaatan WSC pada silase Rhodesgrassdan Italian ryegrass setelah 2 bulan ensilase pada suhu 30°C berturut-turut sebesar 3.93 dan 5.93% BK. Sementara itu Nishino et al. (2004) melaporkan kehilangan WSC pada silase dengan campuran beberapa bahan lebih tinggi daripada silase berbahan tunggal (11.95 vs 6.51% BK).

Lebih tingginya pemanfaatan WSC pada perlakuan SRKU disebabkan pada perlakuan tersebut mengandung komponen monosakarida lebih tinggi dibandingkan dengan kedua perlakuan lainnya (13.14 vs 8.71 dan 6.17 % BK). Di samping itu penurunan pH pada perlakuan SRKU juga lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan SRKJ dan SRKS (2.05 vs 1.66 dan 1.22). Sehingga bakteri asam laktat membutuhkan gula yang lebih banyak untuk memproduksi asam laktat. Hal ini sesuai dengan pernyataan McDonald et al. (1991) besarnya pemanfaatan gula selama ensilase dipengaruhi oleh komponen gula yang terdapat pada bahan ensilase. Bakteri asam laktat hanya mampu memanfaatkan komponen monosakarida, sementara komponen disakarida dan polisakarida lainnya harus dirombak menjadi komponen gula-gula sederhana. Selain itu mikroorganisme yang terlibat dalam proses ensilase dan pH juga mempengaruhi pemakaian gula.

Kadar N- Amonia

Salah satu tujuan pembuatan silase adalah meminimalkan aktivitas proteolitik yang disebabkan oleh enzim pada tanaman, ataupun mikroorganisme terutama

Clostridium. Komponen NPN (Non Protein Nitrogen) meningkat drastis dengan aktivitas proteolitik. Komponen ini bersifat sebagai penyangga (menahan penurunan pH), sehingga mengganggu kestabilan silase. Selain itu beberapa komponen NPN ada yang bersifat toksik seperti; amin yang dapat mengurangi konsumsi pakan (Saun dan Heinrichs 2008). 3.88 1.99 0.48 7.99 7.187.68 4.11 5.19 7.20 0 2 4 6 8 K ad a r N -a m o n ia N-amonia sebelum ensilase N-amonia setelah ensilase Peningkatan N-amonia SRKJ SRKS SRKU

Gambar 8 Kadar N-amonia ransum komplit berbasis hasil samping jagung, sawit dan ubi kayu sebelum dan setelah ensilase serta peningkatannya

Kandungan amonia sudah terdeteksi sebelum ensilase (Gambar 8). Kadar amonia ransum komplit berbasis jagung, sawit dan ubi kayu sebelum ensilase berturut-turut 3.88% TN, 1.99% TN dan 0.48% TN. Hal ini disebabkan terjadinya reaksi proteolisis oleh enzim tanaman telah berlangsung saat pelayuan sebelum ensilase. McDonald et al. (1991) menyatakan bahwa proteolisis akan berlangsung sesaat setelah hijauan dipanen, dipotong dan akan terus berlangsung sampai beberapa jam setelah dimasukkan ke dalam silo. Reaksi ini berhenti jika kondisi anaerob dalam silo tercapai. Selain itu kehadiran bakteri Clostridiajuga mampu membentuk amonia melalaui reaksi deaminasi. Tujuh dari 60 spesies clostridium merupakan mikroorganisme yang sering terlibat pada proses silase. Clostridia yang bersifat sakarolitik seperti Clostridium butericum yang mampu memfermentasi asam organik dan gula juga mampu mendegradasi protein dan asam amino dalam jumlah yang sedikit. Sementara Clostridium sporogenes bersifat proteolitik akan mendegradasi asam amino (asam glutamat, lisin, arginin, histidin, alanin dan glisin) menjadi

amonia. Sehingga kehadiran bakteri ini tidak diinginkan dalam proses ensilase (McDonaldet al. 1991).

Data hasil penelitian menunjukkan kadar N-amonia setelah 6 minggu ensilase tidak dipengaruhi oleh jenis ransum komplit. Perlakuan SRKJ memperlihatkan kadar N-amonia tertinggi (7.99% TN) diikuti oleh perlakuan SRKU (7.68% TN) dan SRKS (7.18% TN). Namun kisaran kadar N-amonia yang didapatkan pada penelitian ini masih dalam batasan yang normal pada silase yaitu kurang dari 10% (Saun dan Heinrichs 2008; Macaulay 2004; Kung dan Shaver 2001).

Besarnya kadar N-amonia ini berhubungan dengan densiti bahan, semakin rendah sifat densiti bahan maka akan semakin banyak udara yang terperangkap dalam silo, akibatnya kondisi anaerob akan sulit dicapai sehingga akan memberikan kesempatan lebih lama berlangsungnya reaksi protoelisis. Hal ini akan menyebabkan banyak protein yang dirombak menjadi N-amonia (Johnson dan Harrison 2001). Selain itu penambahan NPN seperti urea sebagai sumber protein (Schroeder 2004; McDonald et al. 1991; Woolford 1984) juga dapat meningkatkan kadar N-amonia pada silase (Muhlbach 1999), karena urea mudah didegradasi menjadi amonia. Sementara menurut Kung dan Stokes (2001) kadar amonia merupakan indikator besarnya protein yang terdegradasi selama proses fermentasi. Tingginya kadar amonia pada perlakuan SRKJ dari pada perlakuan SRKS dan SRKU didukung oleh data penurunan kadar protein yang lebih tinggi pula (9.95% vs 4.48% dan 5.20%). Sedangakan peningkatan kadar N-amonia tertinggi selama ensilase ditunjukkan pada perlakuan SRKU yaitu sebesar 7.20% TN (Gambar 8).

Kehilangan Bahan Kering dan Bahan Organik

Beberapa jenis bakteri akan mendegradasi selulosa dan hemiselulosa menjadi gula-gula sederhana selama ensilase berlangsung. Kemudian bakteri yang lainnya akan menguraikan gula-gula sederhana menjadi produk akhir yang lebih sederhana (asam asetat, laktat dan asam butirat). Produk akhir paling menguntungkan adalah asam asetat dan asam laktat (Schroeder 2004). Proses pendegradasian pati dan gula menjadi asam tersebut menyebabkan kehilangan bahan kering pada produk silase.

Kehilangan bahan kering dan bahan organik perlakuan silase ransum komplit

Dokumen terkait