• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini mengkaji lebih dalam mengenai ikan unggulan karena

stakeholder lebih memilih memanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhan pasar. Untuk itu keberlanjutan ikan unggulan perlu diperhatikan. Ikan pelagis unggulan

80

yang terdapat di PPN Prigi yaitu tuna, tongkol, cakalang, lemuru dan layang. Hasil ini berbeda dengan penelitian Nurani (2008) yang menyatakan ikan unggulan di Trenggalek adalah bawal hitam, teri, cakalang, peperek, layur dan kuwe. Hal ini dapat disebabkan penambahan kriteria pada penelitian ini berupa lama musim ikan dalam setahun juga dapat disebabkan perbedaan waktu pengambilan data. Seperti telah dijelaskan sebelumnya (Bab 5.1) bahwa suatu jenis ikan tidak selamanya akan tetap menjadi ikan unggulan.

Ikan tuna dan cakalang merupakan salah satu komoditas ekspor. Ikan tuna yang dapat diekspor segar adalah yang berukuran > 20 kg, sedangkan ikan cakalang yang dapat diekspor beku adalah yang berukuran > 2 kg. Ikan tongkol dan layang sebagian besar dipasarkan ke Surabaya dalam bentuk segar maupun pindang. Sedangkan ikan lemuru dipasarkan setelah dipindang atau dikeringkan, selain itu ikan lemuru yang kualitasnya buruk akan diolah menjadi tepung ikan.

Keberlanjutan perikanan dari aspek ekologi dikaji dengan menghitung potensi ikan unggulan. Potensi ikan yang dapat dimanfaatkan secara optimal sesuai MSY untuk masing-masing ikan adalah 1000,69 ton/tahun ikan tuna; 8853,01 ton/tahun ikan tongkol; 1056,56 ton/tahun ikan cakalang; 7497,64 ton/tahun ikan lemuru; dan 5324,21 ton/tahun ikan layang.

Penangkapan ikan tuna di PPN Prigi hanya sedikit yang menghasilkan kualitas ekspor segar. Ikan tuna yang tertangkap di rumpon berukuran relatif kecil (baby tuna). Hal ini mengkhawatirkan karena ikan tuna yang tertangkap belum pernah melakukan pemijahan, sehingga akan merusak siklus hidup ikan tuna. Hasil penelitian juga menyatakan bahwa ikan tuna memiliki potensi kelebihan tangkap yang paling tinggi dibandingkan ikan unggulan lain. Penelitian Nurdin (2011) memperkuat hasil penelitian ini. Penelitian tersebut menyatakan bahwa penggunaan rumpon untuk penangkapan ikan tuna di PPN Prigi layak secara teknis dan ekonomi tetapi tidak layak secara bioekologi. Penyebab tertangkapnya baby tuna adalah penggunaan alat tangkap pancing tonda. Pancing tonda tidak dapat menjangkau habitat hidup ikan tuna dewasa yang memiliki lapisan renang 20-400 m dibawah permukaan laut (Simbolon 2011). Secara ekologi perikanan tuna menggunakan pancing tonda tidak layak untuk dilakukan.

81

Penangkapan ikan cakalang menggunakan pancing tonda tepat untuk dilakukan. Ikan cakalang memiliki habitat hidup pada lapisan renang yang jauh lebih dangkal dibandingkan ikan tuna yaitu 0-40 m (Simbolon 2011). Pancing tonda telah mampu untuk menjangkau fishing ground ikan cakalang. Perubahan alat tangkap menjadi lebih besar tidak perlu dilakukan karena diprediksi hanya akan menambah biaya operasional tanpa penambahan hasil tangkapan yang diinginkan. Diantara kelima ikan pelagis unggulan di PPN Prigi, ikan cakalang memiliki potensi kelebihan tangkap yang paling rendah.

Purse seine adalah alat tangkap yang paling produktif untuk menangkap ikan pelagis yang hidup bergerombol. Ikan unggulan yang paling banyak tertangkap purse seine adalah tongkol, lemuru dan layang. Ikan tongkol memiliki sifat lebih kosmopolitan dibanding ikan tuna dan cakalang karena mampu hidup di perairan lebih dangkal dan bersalinitas lebih rendah (Simbolon 2011). Hal ini menyebabkan ikan tongkol banyak tertangkap purse seine bersama ikan layang dan lemuru pada daerah sekitar 10-25 mil dari pantai. Perubahan ukuran unit penangkapan purse seine menjadi lebih besar tidak perlu dilakukan karena alat tangkap yang ada telah mampu beroperasi menjangkau fishing groud ikan tujuan penangkapan.

Berdasarkan perhitungan model produksi surplus, kelima ikan unggulan di PPN Prigi terindikasi telah mengalami kelebihan tangkap akibat terlalu banyaknya unit penangkapan ikan yang beroperasi. Ikan tuna yang memiliki prioritas unggulan pertama ternyata telah mengalami kelebihan tangkap paling tinggi. Regulasi yang tepat diperlukan untuk mengurangi atau bahkan menghentikan sementara penangkapan ikan tuna.

Produksi ikan tongkol, lemuru dan layang mengalami penurunan drastis pada tahun 2010 (Gambar 9, 11 dan 12). Perubahan ini dapat dipengaruhi oleh kegiatan penangkapan karena habitatnya di perairan pantai yang lebih mudah dijangkau oleh usaha penangkapan. Sedangkan ikan tuna dan cakalang mengalami penurunan produksi namun dalam taraf biasa. Selain disebabkan peningkatan jumlah alat tangkap, penurunan produksi ikan tongkol, lemuru dan layang juga diakibatkan perubahan cuaca. Ikan tuna dan cakalang hidup di perairan laut lepas yang lingkungannya relatif stabil, sedangkan ikan tongkol, lemuru dan layang

82

hidup di perairan pantai yang kondisi lingkungannya lebih dinamis dibandingkan dengan perairan laut lepas (Simbolon 2011). Kemungkinan lain adalah terjadinya kecenderungan perubahan komposisi jenis organisme yang merupakan reaksi dari adanya pengaruh akibat komunitas sumberdaya tersebut. Hal tersebut antara lain dinyatakan dalam bentuk interaksi antar spesies yang ada dalam komunitas ataupun adanya penggantian kelimpahan antar spesies-spesies tersebut (Nurhakim 2004).

Keberlanjutan ekonomi dalam penelitian ini dikaji dengan menghitung kelayakan usaha unit penangkap ikan, yang dominan menangkap ikan unggulan. Alat penangkap ikan yang dominan tersebut adalah purse seine, gillnet, pancing tonda dan payang. Penggunaan alat tangkap selektif selain bermanfaat untuk pengelolaan sumberdaya perikanan juga bermanfaat secara ekonomi karena dengan penggunaan alat tangkap selektif diharapkan akan diperoleh ukuran ikan sesuai kebutuhan pasar (Nababan et al 2007).

Unit penangkapan ikan yang diprioritaskan berdasarkan perhitungan

cashflow dan investment criteria adalah purse seine, disusul gillnet dan pancing tonda. Unit penangkapan purse seine memiliki perbandingan pendapatan dan biaya yang tinggi (R/C = 2,55). Unit penangkapan gillnet memiliki urutan prioritas kedua karena memiliki pengembalian nilai investasi yang paling cepat dibandingkan alat tangkap lain (PP = 1,65 tahun) dan tingkat keuntungan selama umur alat tangkap yang paling tinggi (IRR = 57,21%) jauh dari tingkat suku bunga yang berlaku. Hal ini disebabkan rendahnya nilai investasi gillnet serta tingginya pendapatan karena unit penangkapan gillnet juga membawa alat tangkap tonda.

Alat tangkap payang dinyatakan berada pada urutan ke empat atau tidak diprioritaskan. Payang memiliki R/C = 1,99 dan B/C = 1,45, lebih rendah jika dibandingkan dengan unit penangkapan lain. Jangka waktu pengembalian modal payang (PP) sangat lama yaitu 4,56 tahun. Penyebab lamanya PP adalah tingginya biaya operasional yang dikeluarkan namun hasil tangkapan payang bukan ikan bernilai ekonomis tinggi. Selain itu tingkat keuntungan selama umur alat tangkap lebih rendah dari tingkat suku bunga yang berlaku (IRR = 10,08 %). Artinya lebih menguntungkan menyimpan uang modal investasi di bank yang memiliki tingkat suku bunga 12 % dibandingkan menanamkan modal pada usaha payang. Hal inilah

83

yang menyebabkan jumlah alat tangkap payang tidak mengalami perkembangan berarti dari tahun ke tahun.

Jika jumlah unit penangkapan purse seine, pancing tonda, gillnet dan payang tidak dikendalikan maka akan menguras sumberdaya sehingga menyebabkan

overfishing. Hal tersebut pada akhirnya akan berdampak terhadap pengurangan penerimaan pemilik kapal dan menyebabkan kerugian. Pengendalian jumlah armada yang beroperasi perlu dilakukan. Pengurangan armada untuk menyesuaikan dengan kemampuan ikan bereproduksi akan meningkatkan pendapatan dan menjaga agar sumberdaya ikan tetap berjalan berkelanjutan.

Aspek sosial dikaji dari persepsi sosial stakeholder terhadap perikanan. Heryanto (1998) mengungkapkan bahwa usia dapat mempengaruhi cara berpikir seseorang. Hal ini juga terlihat dari hasil pengelompokkan persepsi berdasarkan usia, dimana grup 4 (41-46), 6 (53-58) dan 7 (≥ 59) memiliki grup centroid atau pusat pengelompokkan yang saling tumpang tindih, artinya persepsi dari tiga kelompok usia tersebut memiliki banyak kemiripan. Hal ini disebabkan responden pada grup 4, 6 dan 7 memiliki usia berdekatan dan pengalaman yang banyak sehingga memiliki pandangan yang mirip. Selain itu grup centroid dari grup 3 yang rata-rata berasal dari pihak pengelola dan grup 5 yang rata-rata merupakan nelayan juga saling tumpang tindih. Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman kerja yang telah dilalui nelayan telah membuat mereka mengerti bagaimana arah tujuan yang hendak dilakukan pihak pengelola.

Ginting (1998) menyatakan bahwa konflik dapat muncul dari beberapa sebab, namun faktor yang cukup dominan adalah kerancuan tipe pemilikan sumberdaya dan kerancuan wewenang. Artinya kerancuan pemilikan menyebabkan tidak jelasnya siapa yang berhak untuk memanfaatkan satu sumberdaya dan berakibat timbulnya pertikaian antara pihak-pihak yang berbeda persepsi dalam penentuan kepemilikan sumberdaya perikanan dan kelautan. Oleh karena itu tipe dan konsep pemilikan yang berasosiasi dengan pemilikan sumberdaya kelautan dapat memberikan suatu kerangka kerja yang berguna untuk menganalisis kewenangan yang rancu dan konflik yang berkembang. Menurut Priyatna et al

(2005) tindakan manusia dalam menghadapi sumberdaya milik bersama mengarah pada pemenuhan kepentingan sendiri dalam jangka pendek. Hal ini juga terlihat

84

pada persepsi hak penangkapan oleh nelayan Prigi yang 80,49% menyatakan bahwa hanya nelayan desa setempat dan desa sekitarnya yang berhak menangkap ikan di Prigi, namun 65,85% nelayan menolak jika diberlakukan pembatasan alat tangkap walaupun mengetahui bahwa jumlah dan ukuran ikan semakin berkurang.

Dahuri (2002) menyatakan keberadaan nelayan Indonesia pada masa sekarang masih tergolong nelayan tradisional yang memiliki produktivitas rendah. Rendahnya SDM dapat menyebabkan rendahnya pendapatan dan pendapatan yang rendah dapat berakibat semakin meningkatnya kemiskinan nelayan. Berdasarkan hasil penelitian Suryani et al (2004), rendahnya tingkat pendidikan di kalangan nelayan dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain; orang tua yang lebih mengarahkan untuk menjadi nelayan dan dikenalkan pada laut sejak kecil sehingga tidak terpikir untuk sekolah, selain itu keterbatasan biaya dan tidak adanya keinginan dari diri sendiri. Penelitian yang penulis lakukan memperlihatkan bahwa jenjang pendidikan nelayan 36% hanya berpendidikan SD, 43% berpendidikan SMP dan 21% berpendidikan SMA. Nelayan berpendidikan SMA adalah golongan pemuda. Artinya nelayan di Prigi sedikit demi sedikit telah berubah dan mengerti mengenai pentingnya pendidikan.

Berdasarkan pemetaan persepsi, perlu dilakukan penyuluhan mengenai kejelasan hak penangkapan pada grup usia 1, 6 dan 7. Grup dengan tingkat pendidikan SD memerlukan penyuluhan mengenai pentingnya pendidikan dan keterampilan agar dapat menerima teknologi baru. Sedangkan grup nelayan dan pedagang memerlukan penyuluhan mengenai kejelasan hak penangkapan dan perlunya berorganisasi.

Batas-batas hak penangkapan yang jelas akan memberikan pengetahuan bahwa pada dasarnya sumberdaya adalah milik bersama dan perlu pengelolaan bersama diantara stakeholder. Hal ini diperlukan untuk menghindari terjadinya konflik. Mayoritas responden nelayan (68,29%) tidak terdaftar dalam organisasi atau perkumpulan nelayan apapun. Pentingnya berorganisasi perlu dijelaskan pada nelayan. Berorganisasi akan menambah berbagai keuntungan nelayan, antara lain meningkatnya pengetahuan, hubungan sosial yang terjalin serta kemudahan informasi dan distribusi jika ada bantuan untuk bidang perikanan. Nelayan umumnya memiliki persepsi yang lebih mirip dengan bakul/pedagang, hal ini dapat

85

disebabkan tingkat pendidikan yang rendah sehingga pemahaman mengenai keberlanjutan sulit diterima, selain itu keduanya juga kepentingan yang lebih mirip yaitu untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi. Sedangkan pengelola memiliki pandangan yang lebih berbeda karena lebih maju tingkat pendidikannya.

Secara keseluruhan persepsi stakeholder perikanan di Prigi berdasarkan usia, tingkat pendidikan maupun pekerjaan cenderung memiliki kemiripan yang tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa untuk mempersatukan visi dan misi perikanan tangkap yang berkelanjutan dapat diraih dengan relatif mudah karena semua

stakeholder memiliki pandangan yang hampir sama.

Perumusan strategi difokuskan pada perikanan tongkol dan cakalang menggunakan purse seine. Hasil pengkajian analisis IFAS dan EFAS menunjukkan lebih banyak terdapat kelemahan dan ancaman yang berhubungan dengan keberlanjutan perikanan pelagis di PPN Prigi. Hal ini menyebabkan strategi- strategi yang dihasilkan lebih mengedepankan perbaikan kelemahan untuk dapat meraih peluang yang ada dalam jangka panjang.

Kebijakan pengelolaan perikanan tangkap semestinya tidak hanya berupa regulasi yang mengontrol akses terhadap pemanfaatan sumberdaya yang ada, tetapi harus mampu membangun dan memberdayakan komunitas perikanan untuk mengatasi masalahnya (Wiyono 2006). Untuk itu perumusan strategi jangka pendek dan jangka panjang sebagai tolok ukur untuk mencapai sasaran strategis seperti yang dipaparkan pada hasil (Sub sub bab 5.5.3).

Sebagai contoh, regulasi untuk penulisan logbook pada nelayan tidak akan berjalan efektif tanpa adanya timbal balik yang diterima nelayan. Data logbook

dibutuhkan pihak pengelola/pemerintah untuk data base yang pada akhirnya digunakan untuk menentukan manajemen kebijakan pengelolaan. Nelayan dibutuhkan sebagai pencatat data logbook di atas kapal. Agar terjadi hubungan yang saling menguntungkan diantara keduanya diperlukan pemberian reward bagi nelayan yang mengisi logbook. Reward yang diberikan misalnya fasilitas penyimpanan ikan di cold storage dengan harga murah. Hal tersebut diharapkan dapat menambah kemauan nelayan untuk mengisi logbook sehingga pelaporan meningkat. Jika hasil ini tercapai maka data yang dibutuhkan pengelola dapat terkumpul.

87

6 KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait