• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2. Pembahasan

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui Prevalensi Preeklampsia di RSUP H Adam Malik Medan periode Juli 2008 - Juli 2011. Penelitian ini dilakukan sejak bulan Agustus sampai Desember 2012 dan menurut data

komputerisasi Instalasi Rekam Medik, didapatkan jumlah penderita preeklampsia sebanyak 100 penderita.

Dari tabel 5.1 terlihat penderita preeklampsia yang paling banyak adalah dari kelompok primigravida yaitu sebanyak 47,4%. Hal yang sama didapati pada penelitian Kashanian (2011) di Tehran, Iran, menemukan penderita preeklampsia paling banyak pada kelompok primigravida yaitu 23,6% dari 318 penderita preeklampsia. Pada penelitian Uzan et al (2011) yang menyatakan bahwa primigravida merupakan salah satu risiko mayor dari preeklampsia. Menurut Gant (1980) kejadian preeklampsia lebih sering pada primigravida sebagai bukti adanya faktor imunologis yang berperan dalam patofisiologi preeklampsia. Salah satu teori terjadinya preeklampsia adalah reaksi imun maternal melawan antigen paternal yang di ekspresikan di plasenta dan reaksi ini menimbulkan defek pada invasi trofoblas dan disfungsi plasenta. Risiko akan lebih rendah pada kelompok multigravida disebabkan oleh terjadinya desensitisasi setelah paparan antigen paternal di plasenta pada kehamilan pertama. Risiko yang lebih rendah pada multipara juga berkaitan dengan invasi trofoblas yang lebih baik setelah modifikasi arteri spiral selama kehamilan pertama (Hernandez Diaz, 2009). Pada primigravida sering mengalami stres dalam menghadapi kehamilan dan persalinan. Stress yang terjadi pada primigravida menyebabkan peningkatan pelepasan corticotropin-releasing hormone (CRH) oleh hipotalamus, yang kemudian menyebabkan peningkatan kortisol. Efek kortisol adalah mempersiapkan tubuh untuk berespons terhadap semua stressor dengan meningkatkan respons simpatis, termasuk respons yang ditujukan untuk meningkatkan curah jantung dan mempertahankan tekanan darah (Corwin, 2001). Berdasarkan usia penderita pada tabel 5.2. Penderita preeklampsia paling banyak tergolong dari kelompok dengan rentang usia 35-40 yaitu sebanyak (43,3%). Hal ini disebabkan pada orang yang lebih tua tekanan darah cenderung lebih tinggi. Tekanan darah sistolik meningkat sesuai dengan peningkatan usia, sementara tekanan darah diastolik meningkat seiring dengan tekanan darah sistolik hingga sekitar usia 55 tahun (Suhardjono, 2006). Pada usia kurang dari 20 tahun menunjukkan bahwa rahim dan panggul ibu belum berkembang dengan

sempurna. Dua tahun setelah menstruasi pertama, seorang wanita masih mungkin mencapai pertumbuhan panggul antara 2-7% (Moerman, 2000). Hal ini dapat menimbulkan kesulitan pada saat kehamilan dan persalinan, sedangkan usia yang lebih dari 35 tahun menyebabkan kondisi kesehatan dan keadaan rahim tidak sebaik pada saat usia 20-35 tahun (Muslinah, 1999). Pada penelitian Kashanian (2011) mendapati penderita preeklampsia paling banyak dari kelompok umur 21- 30 tahun yaitu sebanyak 23,7% dimana pada umur tersebut merupakan umur dimana wanita mengalami kehamilan pertamanya (primigravida). pada penelitian ini kelompok umur 21-30 tahun didapati sebanyak 40%.

Berdasarkan Indeks Massa Tubuh penderita, menunjukkan bahwa terdapat 3 orang penderita yang memiliki Indeks Massa Tubuh diatas 35 kg/m2, sedangkan 94 orang lainnya tidak dapat didata karena tidak tercantumnya berat badan dan tinggi badan penderita sehingga data ini tidak representatif. Berdasarkan riwayat keluarga penderita yang pernah mengalami preeklampsia pada tabel 5.4, menunjukkan bahwa riwayat preeklampsia pada keluarga penderita tidak dapat diamati karena ketidak lengkapan rekam medis penderita. padahal faktor ras dan genetik merupakan unsur yang penting terhadap kejadian preeklampsia, terdapat bukti bahwa preeklampsia merupakan penyakit yang diturunkan, penyakit ini lebih sering ditemukan pada wanita dari ibu yang menderita preeklampsia (Gede, 1998). Ada faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal. Genotype ibu lebih menentukan terjadinya preeklampsia secara familian jika dibandingkan dengan genotype janin. Telah terbukti bahwa pada ibu yang mengalami preeklampsia, 26% anak perempuannya akan mengalami preeklampsia pula, sedangkan hanya 8% anak menantu mengalami preeklampsia (Angsr, 2008). 20-40% preeklampsia terjadi pada anak yang dimana ibunya pernah mengalami preeklampsia, 11-37% dari wanita yang dimana saudara perempuannya mengalami preeklampsia dan 22-47% pada orang kembar (Ward dan Lindheimer dalam cunningham, 2009). Sebanyak 70 gen telah diteliti dan diduga berhubungan dengan kejadian preeklampsia. 7 diantaranya sudah di teliti yaitu :

2. F5 (1q23) yang berhubungan dengan trombophilia

3. AGT (1q42-q43) yang berhubungan dengan regulasi tekanan darah berhubungan dengan hipertensi kronis.

4. HLA (6p21.3) yang berhubungan dengan immunitas.

5. NOS3 (7q36) yang berhubungan dengan fungsi vaskular endothelial

6. F2 (11p11-q12) yang berhubungan dengan koagulasi dan berhubungan dengan gen thrombophilic.

7. ACE (17q23) regulasi tekanan darah.

Berdasarkan riwayat hipertensi kronis penderita pada tabel 5.5, menunjukkan bahwa penderita preeklampsia paling banyak dari kelompok yang tidak memiliki riwayat hipertensi kronis yaitu sebanyak 69 penderita (71,1%) , sedangkan kelompok yang memiliki riwayat hipertensi kronis sebanyak 28 penderita (28,9%). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Kashanian dkk (2011), pada penelitian tersebut menjumpai bahwa dari 310 penderita preeklampsia terdapat 305 orang tanpa riwayat hipertensi kronis. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh adanya faktor risiko lain pada penderita. Riwayat hipertensi kronis tergolong dalam risiko mayor dari preeklampsia (Uzan et al, 2011). Terjadinya hipertensi pada preeklampsia disebabkan oleh ketidakseimbangan antara vasokonstriktor dan vasodilator dimana vasokonstriktor meningkat, seperti angiotensin 2, endotelin, tromboksan dan produksi vasodilator menurun sehingga terjadilah peningkatan tekanan darah yang menyebabkan resistensi perifer meningkat. Pada wanita dengan hamil normal seharusnya resisten terhadap angiotensin 2 (Tanjung, 2007).

Berdasarkan jumlah janin pada penelitian ini, menunjukkan bahwa penderita preeklampsia paling banyak dari kelompok dengan janin tunggal sebanyak 96,9%, dan angka kejadian janin multipel sebanyak 3,1%. Hal ini hampir sama dengan penelitian yang dilakukan Hadi, 2011 menemukan 6% dari penderita preeklampsia yang berasal dari kelompok janin multipel. Dari penelitian Supriandono dan Sofoewan mendapatkan bahwa 4% kasus preeklampsia berat

mempunya jumlah janin lebih dari satu, sedangkan pada kelompok kontrol, 2(1,2%) kasus mempunyai jumlah janin lebih dari satu.

Berdasarkan jarak kehamilan penderita pada tabel 5.7. didapatkan bahwa penderita preeklampsia 91,8% berasal dari kelompok dengan jarak kehamilan dibawah 10 tahun, hal ini disebabkan oleh banyaknya sample yang merupakan primigravida. Hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh North dkk pada tahun 2011, dimana didapatkan data 90% penderita preeklampsia yang menjadi responden, berasal dari kelompok dengan jarak kehamilan dibawah 10 tahun.

Berdasarkan riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya pada tabel 5.8 didapatkan 86,6% belum pernah mengalami preeklampsia sebelumnya. Hal ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh kashanian 2011, dinyatakan bahwa 94% belum pernah mengalami preeklampsia sebelumnya, hal ini kemungkinan karena sebagian besar responden adalah kelompok primigravida.

Berdasarkan tabel 5.9, dapat dilihat bahwa penderita preeklampsia paling banyak didiagnosa pada preeklampsia berat yaitu 85,6 %. Hal ini disebabkan oleh rendahnya pengetahuan ibu untuk melakukan pemeriksaan rutin pada kehamilannya, sehingga penderita tersebut datang sudah dalam keadaan preeklampsia berat. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian pada tabel 5.10, dimana derajat proteinuria paling banyak pada kategori kadar proteinuria ≥2+ yaitu sebanyak 85,6%. Menurut Cunningham pada tahun 2010, diagnosa preeklampsia berat ditegakkan jika tekanan darah sistolik≥160mmHg dan tekanan darah diastolik ≥110mmHg dan proteinuria ≥2 dipstik. Proteinuria bisa saja muncul lebih lama dari pada peningkatan tekanan darah, Sibai (2004) melaporkan 10-15% wanita dengan HELLP Syndrome tidak menunjukkan adanya proteinuria. Zwart et al (2008) melaporakan 17% wanita yang mengalami preeklampsia- eklampsia tidak menunjukkan proteinuria saat mengalami kejang. Diagnosis Preeklampsia tidak lengkap tanpa adanya proteinuria. Proteinuria tidak selalu menunjukkan kelainan ginjal. Nilai diagnosis proteinuria tergantung dari derajat proteinuria, menetap atau disertai kelainan urin lainnya. Hardwicke menerangkan

1. Peningkatan permeabilitas membran basal glomerulus terhadap protein (proteinuria glomerulus). Hal ini juga dikemukakakn oleh Creet sebagai mekanisme dasar proteinuria pada preeklampsia. Pada keadaan ini ditemukan proteinuria dengan BM 65.000-180.000 dalton, terutama albumin dan transferin. 2. Gangguan fungsi tubular (proteinuria tubular). Lison dkk juga mengemukakan terjadi gangguan reabsorbsi protein pada tubulus proksimal. Pada keadaan ini dijumpai proteinuria dengan BM kecil (10.000-65.000 dalton)

3. Ekskresi ini berhubungan dengan pengeluaran protein yang berlebihan pada urin dengan BM yang kurang dari 40.00 dalton.

Brown dkk (1994) pada penelitiannya menemukan, pada kehamilan trimester tiga, ekskresi albuminuria/24 jam akan meningkat, dan pada penderita preeklampsia ekskresi albuminuria didapati lebih tinggi dari hamil normal (Lintang, 2000).

Dokumen terkait