• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PEMBAHASAN DAN SIMPULAN

A. Pembahasan

Kebutuhan dasar manusia menurut hirarki Maslow merupakan sebuah teori yang dapat digunakan perawat untuk memahami hubungan antara kebutuhan dasar manusia pada saat memberikan perawatan. Kebutuhan fisiologis memiliki prioritas tertinggi dalam hirarki Maslow. Kebutuhan fisiologis merupakan hal yang penting untuk bertahan hidup, salah satunya adalah kebutuhan oksigenasi (Potter dan Perry, 2005). Terkait dengan hal tersebut pada bab ini penulis akan melakukan pembahasan terhadap asuhan keperawatan pemenuhan kebutuhan oksigenasi pada Ny. N dengan asma di ruang Anggrek I RSUD Dr. Moewardi Surakarta, mulai dari pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi dan evaluasi keperawatan.

1. Pengkajian

Pengkajian keperawatan adalah proses sistematis dari pengumpulan, verifikasi, dan komunikasi data tentang klien (Potter dan Perry, 2005 : 144). Dalam pengkajian terhadap Ny. N, penulis menggunakan metode wawancara, observasi, serta catatan rekam medis. Adapun hasil pengkajian data fokus yang terdapat pada teori dan ditemukan pada kasus adalah sebagai berikut :

a. Riwayat Kesehatan

Pengkajian kasus Ny. N yang dilakukan pada tanggal 3 April 2012 penulis menemukan tanda dan gejala asma yaitu sesak nafas, batuk disertai sputum, terdengar suara nafas wheezing, ekspirasi lebih panjang dari inspirasi, ada nafas cuping hidung, pasien tampak lemah, pernafasan 26 kali per menit. Dalam teori disebutkan bahwa tanda dan gejala asma antara lain dispnea, batuk terutama pada malam hari, pernafasan yang dangkal dan cepat, mengi (wheezing), peningkatan usaha nafas yang ditandai dengan retraksi dada, nafas cuping hidung, kecemasan, udara terperangkap karena obstruksi aliran udara yaitu pada asma terlihat memanjangnya waktu ekspirasi (Corwin, 2009). Berdasar pengkajian penulis pada kasus Ny. N ditemukan adanya kesesuaian tanda dan gejala penyakit asma antara teori dengan kasus yang ada.

Riwayat kesehatan dahulu, pasien mengatakan mengeluh sesak nafas sejak 2 tahun yang lalu, yang menyebabkan sesak pasien bukan karena alergi, tetapi aktifitas membawa beban berat pada waktu dulu saat masih bekerja. Dalam hal ini tipe asma terbagi menjadi tiga macam, yaitu asma ekstrinsik, instrinsik, dan campuran. Tipe yang pertama yaitu asma ekstrinsik, merupakan suatu jenis asma yang disebabkan oleh alergi, seperti bulu binatang, debu, tepung sari, dan lain-lain. Gejala asma umumnya dimulai sejak anak-anak. Tipe yang kedua yaitu asma instrinsik, merupakan jenis asma yang tidak

berhubungan secara langsung dengan alergen spesifik. Faktor-faktor seperti common cold, infeksi saluran nafas atas, aktifitas yang berat, dan emosi akan menimbulkan serangan asma. Tipe asma ini biasanya dimulai pada saat dewasa, yaitu lebih dari 35 tahun. Tipe yang ketiga yaitu asma campuran, dikarakteristikkan dengan bentuk kedua jenis asma ekstrinsik dan instrinsik (Somantri, 2008). Dalam kasus pada Ny. N ditemukan adanya persamaan yaitu tipe asma instrinsik. Disebutkan dalam teori tipe asma instrinsik salah satunya disebabkan oleh aktifitas berat dan biasanya dimulai pada saat dewasa, yaitu lebih dari 35 tahun. Dalam teori, kecemasan dapat menjadi pemicu datangnya serangan asma. Akibat adanya masalah psikologis juga menurunkan kemampuan sistem imunitas tubuh untuk melawan bakteri pathogen, sehingga penderita asma yang mengalami kecemasan berpeluang menyebabkan asma menjadi kambuh lagi. (Hadibroto dan Alam, 2005). Dalam pengkajian pola mekanisme koping penulis masih kurang maksimal dalam pengkajian kecemasan sebelum terjadi asma. Penulis hanya mengkaji kecemasan pada saat sakit, yaitu kecemasan karena khawatir dengan penyakitnya.

b. Hasil Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk mengkaji tingkat oksigenasi adalah teknik inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi pada dada (Potter dan Perry, 2005). Pemeriksaan paru pada Ny. N

didapatkan hasil, inspeksi dada terlihat simetris antara kanan dan kiri, pengembangan dada kanan dan kiri sama. Palpasi didapatkan hasil

vocal premitus kanan kiri depan belakang sama. Perkusi terdengar bunyi paru sonor. Auskultasi terdengar suara nafas wheezing.

Dalam teori pada kasus asma ditemukan hasil pemeriksaan fisik palpasi taktil fremitus meningkat, menurun atau menetap. Perkusi resonan meningkat atau melemah. Auskultasi terdengar suara wheezing (Priharjo, 2006). Berdasarkan pengkajian dengan teori tidak ada kesenjangan. Pada pasien asma wheezing ditimbulkan karena spasme bronkus sehingga membuat pernafasan menjadi sulit dan menimbulkan bunyi tersebut (Asih dan Effendy, 2003).

Pemeriksaan mata, pada Ny. N didapatkan bentuk simetris, pupil isokor, konjungtiva anemis, sklera tidak icterik, tidak menggunakan alat bantu penglihatan. Teori menyebutkan bahwa konjungtiva yang anemis disebabkan oleh anemia, pada kasus ditemukan pemeriksaan hemoglobin pada hasil laboratorium adalah 8,5 gr/dl yang normalnya adalah 12,0-15,6 gr/dl, sehingga ada persamaan penyebab konjungtiva yang anemis antara pengkajian penulis dengan teori.

c. Pemeriksaan Penunjang

Pengkajian yang didapat pada hasil pemeriksaan radiologi foto thorak pada Ny. N menunjukkan cardiomegali dengan odema pulmonum grade I – II. Pada kasus asma ditemukan foto thorak

kardiomegali karena suplai oksigen yang dibawa darah kurang sehingga memaksa jantung untuk bekerja lebih keras dan dapat menimbulkan perubahan-perubahan pada otot jantung sehingga jantung menjadi membesar. Kemudian terjadi edema pulmo. Edema pulmo merupakan akumulasi cairan di paru-paru secara tiba-tiba akibat peningkatan tekanan intravaskular. Ini secara khas terjadi ketika cairan dari bagian dalam pembuluh-pembuluh darah merembes keluar pembuluh darah kedalam jaringan-jaringan sekelilingnya yang menyebabkan pembengkakan. Hal ini dapat terjadi karena terlalu banyak tekanan dalam pembuluh-pembuluh darah. Edema pulmo terjadi ketika alveoli dipenuhi dengan kelebihan cairan yang merembes keluar dari pembuluh-pembuluh darah dalam paru sebagai gantinya udara.

Hasil pemeriksaan hemoglobin yaitu yang normalnya 12,0-15,6 g/dl didapatkan hasil 8,5 gr/dl, dalam teori disebutkan bahwa pasien dengan anemia dapat menurunkan kapasitas darah yang membawa oksigen, sehingga pasien terjadi sesak nafas (Potter dan Perry, 2005).

2. Diagnosa

Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang menggambarkan respon aktual atau potensial klien terhadap masalah kesehatan yang perawat mempunyai lisensi dan kompeten untuk mengatasinya (Potter & Perry, 2005 : 165). Diagnosa yang muncul pada masalah Ny. N

berdasarkan prioritas adalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan bronkospasme.

Ketidakefektifan bersihan jalan nafas adalah ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi atau obstruksi dari saluran nafas untuk mempertahankan bersihan jalan nafas (NANDA 2009 : 356). Dibuktikan, batasan karakteristik ketidakefektifan bersihan jalan nafas adalah ada suara nafas tambahan, perubahan frekwensi nafas, sianosis, kesulitan berbicara, penurunan bunyi nafas, dispnea, sputum dalam jumlah yang berlebihan, batuk yang tidak efektif, dan gelisah.

Data yang menurut teori ada dalam kasus Ny. N adalah adanya sesak nafas, nafas tambahan yaitu wheezing, perubahan frekwensi nafas, ada nafas cuping hidung, batuk yang tidak efektif, gelisah. Diagnosa keperawatan ini penulis prioritaskan karena pemenuhan kebutuhan oksigen adalah bagian dari kebutuhan fisiologis menurut hierarki Maslow.

Penulis mengambil etiologi bronkospasme, karena selama asma dinding otot jalan nafas yaitu bronkus dan bronkeolus berkontraksi, sehingga diameter bagian dalamnya menyempit. Meningkatnya pengeluaran lendir dan peradangan dibagian jalan nafas mengakibatkan jalan nafas menjadi lebih sempit lagi (Ayres, 2003).

Dalam teori pada kasus asma disebutkan diagnosa keperawatan utama yang muncul adalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan bronkospasme (Muttaqin, 2008). Jadi antara diagnosa penulis dengan teori sudah sesuai.

3. Intervensi

Intervensi adalah kategori dari perilaku keperawatan dimana tujuan yang berpusat pada klien dari hasil perkiraan ditetapkan dan intervensi keperawatan dipilih untuk mencapai tujuan tersebut (Potter dan Perry, 2005 : 180). Penulis mencantumkan diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan bronkospasme, dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 kali 24 jam bersihan jalan nafas dapat kembali efektif, dalam teori juga disebutkan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 kali 24 jam bersihan jalan nafas dapat kembali efektif (Muttaqin, 2008). Kriteria hasil menunjukkan bersihan jalan nafas yang efektif, sesak nafas berkurang, dapat batuk efektif, irama dan frekwensi pernafasan dalam rentang normal yaitu 16 – 24 kali per menit, wheezing berkurang.

Intervensi keperawatan yang dilakukan yaitu observasi tanda-tanda vital, auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas tambahan, pantau frekwensi pernafasan, catat rasio inspirasi, ekspirasi, beri klien posisi yang nyaman semi fowler, ajarkan dan berikan dorongan penggunaan teknik pernafasan diafragma dan batuk, berikan terapi oksigen sesuai program.

Menurut teori intervensi yang diberikan pada pasien asma dengan diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan bronkospasme adalah kaji warna, kekentalan, dan jumlah sputum, atur posisi semi fowler, ajarkan cara batuk efektif, bantu klien latihan nafas dalam, pertahankan intake cairan sedikitnya 2500 ml per hari kecuali tidak

diindikasikan, lakukan fisioterapi dada dengan teknik postural drainase, perkusi, dan fibrilasi, kolaborasi pemberian obat, nebulizer via inhalasi, intravena sebagai pemeliharaan agar dilatasi jalan nafas optimal, agen mukolitik untuk menurunkan kekentalan dan perlengketan sekret paru, dan agen ekspetoran akan memudahkan sekret lepas dari perlengketan jalan nafas dan pemberian kortikosteroid (Muttaqin, 2008).

Pada intervensi antara penulis dengan teori ada sedikit perbedaan, yaitu penulis merencanakan auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas tambahan, pantau frekwensi pernafasan, catat rasio inspirasi, ekspirasi, berikan terapi oksigen sesuai program. Penulis menyusun intervensi tersebut berdasarkan pada kasus yang ditemukan oleh penulis dan berdasarkan tingkat kebutuhan dan respon pasien. Pada intervensi kolaborasi dengan medis dalam pemberian obat untuk asma (bronkodilator, kortikosteroid, teofilin, kromolin) tidak dilakukan, karena pasien sudah mendapatkan nebulizer sebelum penulis melakukan pengkajian.

4. Implementasi

Implementasi adalah kategori dari perilaku keperawatan dimana tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan dilakukan dan diselesaikan (Potter dan Perry, 2005 : 203). Diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan bronkospasme pada tanggal 3, 4, dan 5 April 2012 dilakukan implementasi yaitu mengobservasi tanda tanda vital untuk

mengetahui perubahan tanda-tanda vital pasien. Melakukan auskultasi bunyi nafas dan mencatat adanya bunyi nafas tambahan, dilakukan untuk mengetahui adanya penurunan atau tidaknya ventilasi dan ada tidaknya bunyi tambahan seperti wheezing. Hasil auskultasinya pada pasien terdengar suara wheezing. Pada pasien asma wheezing ditimbulkan karena spasme bronkus sehingga membuat pernafasan menjadi sulit dan menimbulkan bunyi nafas tersebut (Asih dan Effendy, 2003).

Memantau frekwensi pernafasan, mencatat rasio inspirasi ekspirasi, dilakukan untuk mengetahui tanda stress pernafasan dilakukan selama 3 hari. Hasil ekspirasi lebih panjang dari inspirasi, frekwensi pernafasan lebih dari 20 kali per menit disebabkan karena penyempitan jalan nafas dan perangkap udara karena bronkospasme.

Mengajarkan klien posisi semi fowler dilakukan pada tanggal 4 April 2012 untuk meningkatkan ekspansi paru dengan rasionalnya sekresi bergerak sesuai gaya grafitasi akibat perubahan posisi dan meningkatkan kepala tempat tidur akan memindahkan isi perut menjadi diafragma sehingga memungkinkan diafragma untuk berkontraksi (Muttaqin, 2008). Memberikan dorongan penggunaan teknik pernafasan diafragma dan batuk efektif dilakukan pada tanggal 4 April 2012 rasionalnya yaitu mengeluarkan sekret dan meningkatkan potensi jalan nafas.

Memberikan terapi oksigen 2 liter per menit melalui selang kanul dilakukan pada tanggal 4 dan 5 April 2012. Penulis memberikan terapi oksigen karena pasien merasa sesak nafas, pasien merasa lebih nyaman

dengan diberi terapi oksigen. Nasal kanula diberikan dengan kontinu aliran 1-6 liter per menit dengan konsentrasi oksigen 24-44 % (Tarwoto, 2010). Pemenuhan kebutuhan oksigen adalah bagian dari kebutuhan fisiologis menurut hierarki Maslow. Oksigen sangat berperan dalam proses metabolisme tubuh. Kebutuhan oksigen dalam tubuh harus terpenuhi karena apabila kebutuhan oksigen dalam tubuh berkurang maka akan terjadi kerusakan pada jaringan otak dan apabila hal tersebut berlangsung lama akan terjadi kematian (Hidayat : 2004).

5. Evaluasi

Evaluasi adalah mengukur respon klien terhadap tindakan keperawatan dan kemajuan klien kearah pencapaian tujuan (Potter & Perry, 2005 : 216). Diagnosa keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan bronkospasme pada tanggal 3, 4, 5 April 2012 dilakukan evaluasi keperawatan dengan evaluasi subjektif yaitu pasien mengatakan masih sesak nafas, batuk terkadang keluar sputum. Evaluasi objektif pasien auskultasi terdengar bunyi nafas wheezing dan hasil tanda-tanda vital tanggal 3 April 2012 adalah tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 80 kali per menit, frekwensi pernafasan 26 kali per menit, suhu 36,8 derajat celcius. Tanggal 4 April 2012 adalah 160/100 mmHg, nadi 80 kali per menit, pernafasan 28 kali per menit, suhu 36,5 derajat celcius. Tanggal 5 April 2012 didapatkan hasil tekanan darah 150/90 mmHg, nadi 120 kali per menit, frekwensi pernafasan 28 kali per menit, suhu 36,8 derajat celcius. Disimpulkan masalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas belum

teratasi. Masalah yang belum teratasi yaitu pasien masih mengeluh sesak nafas, frekwensi pernafasan masih belum normal yaitu lebih dari 24 kali per menit, yang normalnya adalah 16 – 24 kali per menit, pasien belum bisa batuk secara efektif, dan pada auskultasi masih terdengar suara

wheezing. Rencana tindakan keperawatan dilanjutkan, yaitu auskultasi bunyi nafas, catat bunyi nafas tambahan, pantau frekwensi pernafasan, dan kolaborasi pemberian terapi oksigen.

Dokumen terkait