• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter tingkat kerentanan tsunami

Elevasi daratan

Hasil pemetaan topografi menunjukkan bahwa wilayah penelitian sebagian besar merupakan dataran rendah dengan ketinggian daratan antara 10 – 25 m di sepanjang pantai Pangandaran, terutama di Kecamatan Sidamulih dan Pangandaran. Dataran tinggi di wilayah penelitian terdapat di daerah utara pesisir Pangandaran, dengan ketinggian daratan antara 100 – 350 m. Dataran tinggi juga terdapat di desa Pangandaran (Kec. Pangandaran), dimana pada daerah tersebut merupakan kawasan perbukitan yang membentuk tanjung dan merupakan kawasan Cagar Alam. Pemetaan kelas elevasi di wilayah pantai Pangandaran ditunjukkan oleh Gambar 4.

Gambar 4 menunjukkan kerentanan tsunami untuk kelas elevasi daratan (topografi) terbagi menjadi lima kelas yaitu kelas kerentanan sangat tinggi (1- 10 m), tinggi (10 – 25 m), sedang (25 – 50 m), rendah (50 – 100 m), dan sangat rendah (100 – 350 m). Luasan masing-masing kelas kerentanan disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 menunjukkan bahwa daerah yang memiliki ketinggian daratan antara 1 – 10 m termasuk kelas kerentanan sangat tinggi. Daerah tersebut mempunyai luas sebesar 1559.422 Ha berada di desa Pajaten, Sukaresik, Cikembulan (Kec. Sidamulih) dan desa Wonoharjo, Pananjung, Babakan (Kec. Pangandaran). Daerah dengan ketinggian 10 – 25 m memiliki luas wilayah sebesar 3911.379 Ha dan termasuk dalam kelas kerentanan tinggi, dominan di daerah utara Kecamatan Pangandaran dan Sidamulih yang memiliki jarak sangat dekat dengan laut.

10

Gambar 4 Peta elevasi daratan di wilayah pantai Pangandaran Tabel 4 Luasan (Ha) kelas elevasi daratan

No Tingkat Kerentanan Elevasi (m) Luas (Ha)

1 Sangat tinggi 1 - 10 m 1559.422 2 Tinggi 10 - 25 m 3911.379 3 Sedang 25 - 50 m 2173.124 4 Rendah 50 - 100 m 2320.955 5 Sangat rendah 100 - 350 m 4236.830 Total 14201.710

Secara umum wilayah utara pesisir pantai Pangandaran yang berjarak dekat dengan laut dan berelevasi rendah membuat tingkat kerentanan tsunami di wilayah ini lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya yang berjarak jauh dari laut. Semakin rendah elevasi daratan suatu wilayah, tingkat kerentanan terhadap bahaya tsunami semakin besar (Oktariadi 2009). Semakin besar tingkat kerentanan, semakin besar resiko, dan sebaliknya. Rendahnya elevasi daratan suatu wilayah berkaitan erat dengan besarnya masukan limpasan tsunami ke daratan.

Kemiringan daratan

Kemiringan daratan merupakan ukuran kemiringan lahan relatif terhadap bidang datar yang secara umum dinyatakan dalam persen (%) atau derajat (0). Pada penelitian ini, satuan kemiringan yang digunakan adalah persen (%). Kemiringan daratan akan mempengaruhi tinggi gelombang tsunami (run up) yang terjadi. Semakin curam suatu daratan, maka tinggi gelombang tsunami akan semakin rendah (Sengaji 2009).

11 Pemetaan kemiringan daratan (Gambar 5), menunjukkan bahwa kemiringan daratan di wilayah Pangandaran cukup bervariasi yaitu antara 2 – 40 %. Pada Kecamatan Sidamulih (Desa Sukaresik, Pajaten, Cikembulan) dan Kecamatan Pangandaran (Desa Wonoharjo, Pananjung, Babakan) kemiringan daratan relatif datar yaitu sekitar 0 – 2% dan tergolong dalam kelas lereng 1 (datar) (Arifianti 2011), sedangkan untuk Kecamatan Kalipucang kemiringan daratan relatif landai dan bergelombang yaitu 5 – 15% dan tergolong dalam kelas lereng III (bergelombang) (Arifianti 2011).

Kemiringan daratan di lokasi penelitian sebagian besar didominasi oleh kelas lereng 1 dengan kemiringan lereng berkisar 0 – 2% yang mempunyai luas mencapai 5.686,725 Ha dan tergolong dalam tingkat kerentanan sangat tinggi terhadap bencana tsunami (Tabel 5). Hal tersebut, jelas terlihat bahwa wilayah pesisir pantai Pangandaran (Kecamatan Sidamulih dan Pangandaran) memiliki tingkat kerentanan sangat tinggi terhadap bencana tsunami dilihat dari faktor kemiringan daratan.

Tabel 5 Luasan (Ha) kelas kemiringan daratan (%)

No Tingkat Kerentanan Slope (%) Luas (Ha)

1 Sangat tinggi 0 - 2% 5685.725 2 Tinggi 2 - 5% 3203.709 3 Sedang 5 - 15% 5308.910 4 Rendah 15 - 40% 10.011 5 Sangat rendah > 40% 0 Total 14208.356

12

Penggunaan lahan

Penggunaan lahan merupakan suatu penggunaan yang kompleks secara alamiah atau campur tangan manusia sesuai dengan keperluannya untuk memenuhi kebutuhan jasmani secara finansial (Vink 1975). Wilayah sekitar pantai Pangandaran yaitu Kecamatan Kalipucang, Pangandaran, dan Sidamulih terdiri dari 8 jenis penggunaan lahan yaitu hutan, hutan rawa, ladang, lahan kosong, pemukiman, sawah irigasi, semak belukar, dan vegetasi darat (Gambar 6). Jenis penggunaan lahan yang dominan di tiga kecamatan tersebut adalah vegetasi darat dengan luasan sebesar 9292 Ha, sawah irigasi seluas 2087 Ha, dan pemukiman seluas 1352 Ha (Tabel 7). Penggunaan lahan berupa pemukiman terlihat cukup padat di Kecamatan Sidamulih (Desa Cikalong, Sidamulih, Pajaten) dan Kecamatan Pangandaran (Desa Babakan, Pananjung, Pangandaran). Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa jenis penggunaan lahan untuk wilayah pantai Pangandaran tidak mengalami banyak perubahan bila dibandingkan dengan kondisi yang tergambar pada peta penggunaan lahan Kabupaten Ciamis tahun 2006.

Gambar 6 Peta penggunaan lahan di wilayah Pangandaran

Dampak yang ditimbulkan tsunami terhadap masing-masing jenis penggunaan lahan tidak sama. Hal ini disebabkan masing-masing penggunaan lahan memiliki tingkat reduksi tertentu saat terkena gelombang tsunami. Jenis penggunaan lahan seperti pemukiman, sawah irigasi, dan vegetasi darat (kebun) merupakan jenis penggunaan lahanyang memiliki nilai ekonomi yang tinggi, akan tetapi memiliki tingkat reduksi yang rendah dari terpaan gelombang tsunami. Sawah irigasi apabila terkena limpasan gelombang tsunami, maka sawah tersebut akan tergenang air laut dan tanahnya akan mati, sehingga sawah tersebut tidak bisa lagi digunakan untuk bercocok tanam dan menimbulkan kerugian yang besar serta akan menyebabkan perubahan lahan. Selain sawah irigasi, pemukiman juga

13 termasuk jenis penggunaan lahan dengan tingkat reduksi rendah terhadap limpasan tsunami.

Apabila pemukiman terkena limpasan tsunami, maka akan menimbulkan kerugian jiwa dan harta benda dengan jumlah yang sangat besar. Luasan dari masing-masing jenis penggunaan lahan disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Luasan (Ha) jenis penggunaan lahan

No Jenis Penggunaan Lahan Luas (ha)

1 Hutan 927 2 Hutan rawa 36 3 Ladang 305 4 Lahan kosong 19 5 Pemukiman 1352 6 Sawah irigasi 2087 7 Semak belukar 127 8 Vegetasi darat 9292 Total 14145

Bencana tsunami yang melanda suatu wilayah tertentu dapat menyebabkan terjadinya perubahan lahan di wilayah tersebut. Oleh karena itu, perlu dilihat tingkat kerentanan penggunaan lahan terhadap tsunami. Pemetaan tingkat kerentanan penggunaan lahan di wilayah pantai Pangandaran ditunjukkan oleh Gambar 7.

14

Gambar 7 menunjukkan bahwa wilayah lokasi penelitian tergolong memiliki tingkat kerentanan yang tinggi terhadap tsunami yang ditinjau dari jenis penggunaan lahan. Hal tersebut disebabkan jenis penggunaan lahan di wilayah tersebut sebagian besar vegetasi darat (kebun). Wilayah yang termasuk ke dalam kerentanan sangat tinggi berada pada Kecamatan Sidamulih dan Pangandaran. Hal ini karena pada daerah tersebut banyak dimanfaatkan sebagai daerah pemukiman dan sawah irigasi. Sebagian besar daerah pemukiman berada di daerah pesisir dan dekat dengan laut sehingga berpotensi tinggi terhadap bahaya tsunami. Luas dari masing-masing kelas kerentanan dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Luasan (Ha) tingkat kerentanan landuse terhadap tsunami

No Tingkat Kerentanan Jenis Penggunaan Lahan Luas (Ha) 1 Sangat tinggi Pemukiman, sawah irigasi, hutan rawa 3475.569

2 Tinggi Vegetasi darat 9295.096

3 Sedang Ladang 307.543

4 Rendah Lahan kosong, semak belukar 144.836

5 Sangat rendah Hutan 928.670

Total 14151.714

Tabel 7 di atas menunjukkan bahwa luasan tingkat kerentanan tinggi dan sangat tinggi berturut-turut adalah 9295.096 Ha dan 3475.569 Ha. Pada daerah ini tingkat resikonya akan semakin besar, sehingga diperlukan adanya konsep penataan ruang dalam penggunaan lahan pada kawasan pesisir.

Jarak dari garis pantai (sempadan pantai)

Bencana tsunami bersifat merusak, oleh karena itu diperlukan adanya kawasan penyangga (buffer zone) dalam penataan ruang. Dalam hal ini, penataan ruang dengan menerapkan kawasan penyangga pada lokasi penelitian dilakukan dengan membuat jarak dari garis pantai. Pembuatan jarak dari garis pantai dilakukan untuk mengetahui wilayah mana saja yang aman dari terpaan gelombang tsunami jika ditinjau dari segi lahan terbangun yang terukur dari jarak garis pantai. Jarak dari garis pantai atau biasa disebut dengan sempadan pantai merupakan daratan sepanjang tepian pantai yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 m dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Pada peneilitian ini, sempadan pantai dibuat pada jarak minimal 500 m ke arah darat. Penentuan sempadan pantai 500 m ke arah darat ini mengacu pada Rencana Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten (RPBD) Ciamis. Pemetaan jarak dari garis pantai ditunjukkan pada Gambar 8.

Gambar 8 menunjukkan bahwa daerah yang berwarna merah muda menunjukkan daerah yang paling rentan terhadap tsunami yang berada pada jarak 500 m dari garis pantai. Semakin dekat suatu wilayah terhadap laut semakin tinggi tingkat kerentanan dan resiko wilayah tersebut terhadap tsunami (Diposaptono dan Budiman 2006).

20

Pengamatan di lapangan menunjukkan pemukiman yang sangat rentan terhadap tsunami yaitu pemukiman di desa Wonoharjo, Pananjung, dan Babakan karena berada pada dataran sempit diantara dua teluk (Teluk Pangandaran dan Teluk Parigi). Pada umumnya sarana-sarana penting seperti pemukiman di lokasi tersebut memiliki jarak yang relatif dekat dengan garis pantai, yaitu pada jarak 100 – 200 m dari garis pantai. Hal ini yang menjadikan pemukiman di wilayah tersebut tergolong sangat rentan terkena gelombang tsunami. Oleh karena itu, perlu adanya penataan ruang yang baik untuk mengurangi resiko tsunami.

Jarak dari sungai (sempadan sungai)

Selain jarak dari garis pantai, jarak dari sungai (sempadan sungai) juga merupakan parameter penting dalam penentuan tingkat resiko tsunami. Sempadan sungai minimal 50 m kanan dan kiri sepanjang aliran sungai. Sempadan sungai pada penelitian ini berjarak minimal 100 m sepanjang aliran sungai. Pada umumnya tsunami yang melewati sungai akan menimbulkan kerusakan yang besar. Saat tsunami melewati daerah yang sempit seperti sungai, akan terjadi peningkatan kecepatan dan ketinggian muka air karena debit massa air yang sama harus menjalar melalui celah yang sempit dalam waktu yang bersamaan (Pedersen and Glimsdal 2010). Berdasarkan hal tersebut, penempatan daerah yang aman dari tsunami harus berada jauh dari sungai. Pemetaan jarak dari sungai disajikan oleh Gambar 9.

Gambar 9 memperlihatkan bahwa wilayah Pangandaran yang mencakup Kecamatan Kalipucang, Sidamulih, dan Pangandaran memiliki 4 sungai besar, yaitu Sungai Cikidang bagian barat dan timur, Sungai Cikembulan, serta Sungai Ciambulungan. Desa Sukaresik dan Cikembulan (Kecamaatan Sidamulih) merupakan wilayah yang memiliki tingkat kerentanan sangat tinggi terhadap tsunami, karena pada daerah tersebut terdapat dua sungai besar (Sungai Cikembulan dan Ciambulungan) yang dekat dengan muaranya (muara Citonjong), dimana kedua sungai tersebut saling berhadapan. Kondisi seperti itulah yang menyebabkan daerah tersebut memiliki tingkat kerentanan sangat tinggi. Saat limpasan tsunami ke daratan, jika jarak antara dua sungai saling berdekatan akan menimbulkan kerusakan yang besar karena terjadi akumulasi energi gelombang tsunami dan massa air (Pedersen and Glimsdal 2010). Hal tersebut mengakibatkan tsunami dapat masuk ke daratan lebih jauh pada daerah yang dekat dengan sungai, dibandingkan dengan daerah yang jauh dari sungai (Mardiyanto B et al

2013). Oleh karena itu, penempatan area pemukiman padat penduduk dan area ekonomi penting sebaiknya dibangun pada jarak yang relatif jauh dari sungai yaitu sekitar > 500 m dari sungai.

20

Gambar 8 Peta jarak dari garis pantai di wilayah Pantai Pangandaran

Gambar 9 Peta jarak dari sungai di wilayah Pantai Pangandaran

18

Faktor pendukung tingkat kerentanan tsunami Batimetri

Batimetri perairan merupakan salah satu faktor pendukung yang bersifat penting dalam analisis kerentanan tsunami di suatu wilayah, karena mempengaruhi pembelokan atau penerusan gelombang tsunami yang menjalar ke pantai dan tinggi gelombang tsunami. Semakin dalam suatu perairan, kecepatan dan energi gelombang tsunami akan meningkat, akan tetapi tinggi gelombang tsunami semakin menurun (Sengaji 2009). Kondisi batimetri di lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10 Peta 3D batimetri wilayah pantai Pangandaran

Gambar 10 secara umum menunjukkan bahwa batimetri di wilayah pantai Pangandaran termasuk dalam perairan dangkal. Kedalaman di perairan tersebut berkisar antara 0 – 160 m. Kedalaman perairan dekat pantai cenderung dangkal yaitu sekitar 20 – 80 m, dan semakin ke arah lepas pantai kedalaman perairannya semakin meningkat. Pada daerah yang dekat dengan pantai seperti Desa Sukaresik, Cikembulan, Wonoharjo, Pananjung, dan Babakan merupakan daerah yang lebih beresiko mengalami kerusakan yang lebih parah karena gelombang tsunami yang menerjang daerah tersebut lebih tinggi, dimana kedalaman perairan di wilayah tersebut tergolong dangkal ( 20 – 80 m). Pada saat memasuki perairan dangkal, gelombang mengalami gesekan dengan dasar laut. Hal ini menyebabkan kecepatan dan energi gelombang menurun drastis dengan berkurangnya kedalaman tetapi tinggi gelombang akan semakin meningkat (Diposaptono dan Budiman 2006).

Faktor pendukung tingkat kerentanan tsunami selain batimetri adalah tinggi gelombang tsunami. Ketinggian gelombang tsunami (run up) di Pangandaran berkisar antara 1,6 – 7,6 m. Gelombang tsunami minimum berada

pada wilayah yang berjarak jauh dari laut dan gelombang tsunami maksimum berada pada wilayah yang jaraknya berdekatan dengan laut. Semakin menjauhi pantai, tinggi tsunami akan semakin berkurang (Rahmawan 2012). Ketinggian gelombang tsunami di wilayah pesisir Pangandaran ditunjukkan pada Gambar 11. Analisis ketinggian gelombang tsunami di wilayah Pangandaran dikaji dengan menggunakan tools 3D Analysis (water level) pada perangkat lunak Global Mapper yang dispasialkan dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS 10.

Gambar 11 Peta limpasan gelombang tsunami 7.6 m di wilayah Pangandaran

Gambar 12 Wilayah rendaman tsunami 7.6 m di Kec. Sidamulih dan Pangandaran

20

Ketinggian gelombang tsunami di suatu wilayah perlu diketahui karena merupakan ancaman di wilayah tersebut. Wilayah dengan tingkat ancaman tinggi terhadap tsunami merupakan wilayah dengan tingkat kerentanan dan resiko tinggi terhadap tsunami, dan sebaliknya. Analisis limpasan dan ketinggian gelombang tsunami di wilayah Pangandaran yang dikaji dalam penelitian ini menggunakan input utama berupa data topografi (DEM). Tinggi gelombang tsunami yang dijadikan contoh pada penelitian ini adalah 7.6 m. Hal tersebut berdasar pada ketinggian gelombang tsunami maksimum yang terjadi di Pangandaran.

Gambar 12 menunjukkan bahwa wilayah Pangandaran yang terkena limpasan gelombang tsunami 7.6 m adalah daerah Kecamatan Sidamulih dan Kecamatan Pangandaran, yang ditunjukkan oleh warna biru pada gambar. Kecamatan Kalipucang merupakan daerah yang relatif aman dari gelombang tsunami 7.6 m karena topografi di wilayah tersebut relatif tinggi (100 – 350 m). Morfometri pantai

Bentuk morfometri pantai sangat mempengaruhi tingkat energi gelombang tsunami yang akan terhempas ke daratan. Namun dalam hal ini, morfometri pantai tidak dikaji dalam penelitian ini disebabkan kondisi morfometri pantai di lokasi penelitian cenderung homogen, jika ditinjau dari cakupan wilayah penelitian yang relatif sempit (skala kecamatan).

Wilayah pesisir pantai Pangandaran memiliki bentuk garis pantai yang unik karena adanya daratan tinggi yang termasuk kawasan cagar alam yang mengarah ke Samudera Hindia. Selain itu wilayah ini diapit oleh dua teluk yaitu Teluk Pangandaran di sebelah Timur dan Teluk Parigi di sebelah Barat Desa Pangandaran. Keberadaan teluk di wilayah tersebut akan mempengaruhi ketinggian gelombang tsunami yang mengarah ke daratan, karena dengan adanya teluk akan memfokuskan gelombang tsunami yang sedang berjalan ke arah teluk tersebut, sehingga energi gelombang akan terakumulasi pada cekungan teluk dan mampu meningkatkan ketinggian gelombang tsunami yang sampai di pantai (Diposaptono dan Budiman 2006).

Karakteristik pantai di wilayah Pangandaran sebagian besar merupakan pantai landai berpasir yang terdapat disepanjang garis pantai Kecamatan Sidamulih dan Pangandaran. Pantai dengan karakteristik curam berbatu terdapat di Kecamatan Kalipucang. Wilayah dengan karakteristik pantai landau berpasir lebih beresiko mengalami kerusakan paling tinggi dibandingkan pantai curam berbatu, karena memiliki morfologi landau dengan relief rendah hingga menengah serta memiliki pedataran pantai yang cukup luas sehingga gelombang tsunami yang mencapai daratan akan semakin tinggi (Yudhicara 2008).

Ekosistem pesisir

Ekosistem pesisir merupakan ekosistem penting yang berperan sebagai peredam energi gelombang tsunami sehingga dapat meminimalisir dampak bencana tsunami. Penelitian ini telah dilakukan pengolahan ekstraksi data citra untuk mengetahui ekosistem pesisir yang ada di wilayah pantai Pangandaran. Namun, hasil pengolahan dari data Citra Landsat 7/ETM+ dan Citra Alos, tidak ditemukan adanya ekosistem pesisir baik itu berupa mangrove, lamun, maupun terumbu karang. Hal ini sesuai dengan pengamatan survei lapang bahwa tidak ditemukan adanya mangrove, lamun, dan terumbu karang.

Analisis tingkat kerentanan tsunami Peta kerentanan tsunami

Klasifikasi tingkat kerentanan tsunami di wilayah pantai Pangandaran terbagi menjadi lima kelas berdasarkan tingkat kerentanan wilayahnya terhadap tsunami. Klasifikasi tersebut terdiri dari kelas kerentanan sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Wilayah dengan kerentanan rendah dan sangat rendah dominan berada di bagian utara Pangandaran, namun daerah dengan resiko rendah juga terdapat di Desa Pangandaran lebih tepatnya berada pada daerah yang merupakan Cagar Alam di wilayah tersebut. Hal ini dikarenakan wilayah Cagar Alam memiliki topografi tinggi (100 – 350 m) dan kemiringan daratan yang besar sehingga wilayah tersebut termodelkan sebagai daerah yang tingkat kerentanan rendah.

Wilayah dengan tingkat kerentanan sedang dominan berada pada bagian tengah wilayah penelitian. Zona tersebut berada pada jarak 2000 – 3000 m dari garis pantai. Akan tetapi di sebelah utara Desa Cibuluh, Banjarharjo, dan Kalipucang serta dipinggiran kawasan Cagar Alam juga terdapat warna kuning yang menunjukkan daerah resiko sedang. Hal ini disebabkan oleh topografi di daerah tersebut tergolong rendah (10 - 25 m) sehingga daerah tersebut termodelkan sebagai daerah dengan tingkat kerentanan sedang.

Wilayah dengan tingkat resiko tinggi dan sangat tinggi berada di sebelah selatan Pangandaran, yaitu Desa Cikembulan, Pananjung, Babakan, Wonoharjo, dan Sukaresik. Daerah tersebut berbatasan langsung dengan laut dan berada pada zona 500 – 1000 m dari garis pantai. Selain itu, daerah tersebut merupakan daerah terkena limpasan tsunami ke daratan sejauh 400 m dengan ketinggian gelombang tsunami yang terukur di wilayah tersebut sebesar 4 – 6 m (Fritz 2007).

Keberadaan sungai atau muara di daerah tersebut memberikan pengaruh terhadap terpaan gelombang tsunami, dimana gelombang tsunami akan masuk ke daratan lebih jauh. Terlihat bahwa di Desa Cikembulan dan Sukaresik terdapat dua sungai besar yaitu sungai Cikembulan dan Ciambulungan, serta di Desa Babakan terdapat sungai Cikidang. Sebaran spasial tingkat resiko tsunami di wilayah pantai Pangandaran disajikan pada Gambar 13.

Daerah dengan tingkat kerentanan tinggi dan sangat tinggi terhadap tsunami merupakan daerah yang berpotensi paling besar dalam hal kerusakan, baik itu dari segi kerusakan fisik lingkungan, kerusakan infrastruktur, serta korban jiwa. Wilayah tersebut memiliki karakteristik pantai dan pesisir dengan kemiringan daratan yang landai, elevasi daratan rendah, vegetasi lahan berupa vegetasi darat (kebun), semak belukar, sawah, jarak dari garis pantai yang relatif dekat, adanya sungai, serta jumlah pemukiman yang tergolong padat.

Daerah dengan tingkat kerentanan rendah dan sangat rendah merupakan daerah yang aman dari terpaan gelombang tsunami, yaitu berada di sebelah utara wilayah Pangandaran tepatnya di Desa Putrapinggan, Pagergunung, dan Kersaratu. Daerah ini memiliki karakteristik dengan topografi tinggi, kemiringan daratan yang besar, jarak dari pantai dan sungai yang relatif jauh, vegetasi lahan berupa hutan dan lahan kosong, serta pemukiman yang tidak terlalu padat.

22

Gambar 13 Peta tingkat kerentanan tsunami di wilayah pantai Pangandaran Desa Babakan, Pangandaran, Pananjung, Sukaresik, Cikembulan merupakan daerah kerentanan sangat tinggi yang termasuk ke dalam Zona Bahaya Tsunami I. Desa Pajaten, Wonoharjo, dan sebagian wilayah utara di Desa Babakan serta Pananjung merupakan daerah kerentanan tinggi terhadap tsunami yang termasuk dalam Zona Bahaya Tsunami II. Wilayah ini berpotensi mengalami kerusakan paling besar terhadap terpaan gelombang tsunami karena wilayahnya yang dekat dengan laut serta daerah padat pemukiman. Desa Cikalong, Purbahayu, Sidomulyo, Sukahurip serta daerah lain yang memiliki tingkat kerentanan sedang digolongkan pada Zona Bahaya Tsunami III dengan tingkat kerusakan sedang atau tidak terlalu parah.

Luasan wilayah tingkat kerentanan tsunami di pesisir pantai Pangandaran disajikan pada Tabel 8. Terlihat bahwa wilayah dengan tingkat kerentanan sangat tinggi mempunyai luasan sebesar 737.703 Ha. Wilayah dengan tingkat kerentanan sedang mempunyai luasan wilayah sebesar 4875.773 Ha, dan wilayah dengan tingkat kerentanan rendah seluas 4816.204 Ha. Walaupun wilayah dengan kerentanan sangat tinggi mempunyai luasan yang relatif kecil dari total wilayah kajian yang terdiri dari tiga kecamatan, namun lokasi tersebut berada pada wilayah yang padat penduduk serta pembangunan infrastruktur di wilayah tersebut masih dekat dengan pantai, serta topografi yang relatif rendah (1 – 10 m) sehingga wilayah tersebut tergolong memiliki tingkat kerentanan tinggi terhadap bencana tsunami. Oleh karena itu diperlukan strategi dan kebijakan yang mengatur hal tersebut agar kerusakan maupun korban jiwa yang ditimbulkan akibat bencana tsunami dapat diminimalisir.

Tabel 8 Luasan (Ha) daerah tingkat kerentanan tsunami

No Kelas Kerentanan Luas (Ha)

1 R1 Sangat rendah 0.654 2 R2 Rendah 4816.204 3 R3 Sedang 4875.773 4 R4 Tinggi 4395.755 5 R5 Sangat tinggi 737.703 Total 14826.090

Gelombang tsunami yang menerpa suatu wilayah akan berakibat pada kerusakan sarana dan prasarana (infrastruktur) penting yang berada di wilayah tersebut. Dalam penelitian ini, untuk mengetahui tingkat kerentanan tsunami terhadap infrastruktur, maka dilakukan tumpang susun layer peta kerentanan tsunami dengan data infrastruktur yang ada di wilayah Pangandaran. Infrastruktur penting yang dipetakan antara lain kantor pemerintahan, sarana ekonomi, sarana kesehatan, sarana pendidikan, sarana peribadatan, dan tempat wisata. Peta kerentanan infrastruktur terhadap tsunami ditunjukkan oleh Gambar 14.

Gambar 14 Peta kerentanan infrastruktur terhadap tsunami

Gambar 14 menunjukkan infrastruktur penting seperti sarana peribadatan, sarana pendidikan, sarana kesehatan, serta tempat wisata berada pada daerah yang memiliki tingkat kerentanan tinggi terhadap bahaya tsunami. Infrastruktur penting di wilayah Pangandaran masih dibangun pada daerah yang dekat dengan pantai dan berbatasan langsung dengan laut yaitu pada zona 500 m dari garis pantai, sehingga ketika gelombang tsunami menerpa wilayah tersebut maka tingkat kerusakan infratruktur akan tergolong tinggi. Dampak bencana tsunami berupa kerusakan infrastruktur merupakan kerusakan langsung (Direct Damage) yang ditimbulkan oleh terpaan gelombang tsunami. Kerusakan langsung didefinisikan sebagai kerusakan atau kehilangan fisikal yang dapat dihitung kuantitasnya, 23

24

misalnya korban jiwa, kerusakan bangunan, lahan perkebunan, dan lahan pertanian (Julkarnaen 2008). Penelitian ini tidak menghitung jumlah (kuantitas) dari kerusakan infrastruktur karena keterbatasan data sehingga hanya dilakukan pemetaan spasial resiko infrastruktur terhadap tsunami. Dengan demikian, hasil pemetaan di atas diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan bagi para pengambil kebijakan dalam mengambil upaya mitigasi dan strategi pembangunan

Dokumen terkait