• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kejadian Kematian Bayi di Indonesia

Secara umum, wilayah bagian timur dan tengah Indonesia memiliki peluang kematian bayi lebih tinggi dibandingkan wilayah bagian barat Indonesia. Propinsi di Indonesia dengan peluang kematian bayi terendah adalah Kalimantan Timur (2.1 persen), DKI Jakarta (2.2 persen), Riau (2.4 persen), DI Yogyakarta (2.5 persen), Sulawesi Selatan (2.5 persen.). Sedangkan propinsi dengan peluang kematian bayi tertinggi adalah Papua Barat (7.4 persen), Gorontalo (6.7 persen), Maluku Utara (6.2 persen), Sulawesi Barat (6.0 persen), dan Sulawesi Tengah (5.8 persen) (BPS 2013).

Sementara itu, berdasarkan penghitungan langsung pada data sampel

SDKI, diketahui bahwa rata-rata peluang kematian bayi di kabupaten/kota di Indonesia mencapai 5.6 persen. Peluang kematian bayi tertinggi terdapat di Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan, yaitu sebesar 26.9 persen. Peluang terendah ada di 24 kabupaten/kota sebesar 0.0. Sedangkan nilai terendah sebelum 0.0 adalah 0.7 persen terdapat di kabupaten Lampung Utara, Lampung. Sebaran nilai peluang ini disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Diagram kotak persentase kematian bayi di Indonesia Deskripsi Peubah Penjelas

Dari 83 650 anak yang disurvei, 51.66 persen adalah laki-laki dan 48.34 persen adalah perempuan. Kejadian kematian bayi lebih banyak terjadi pada anak laki-laki yaitu sekitar 6.79 persen dari total anak laki-laki yang lahir. Dan kematian bayi pada anak perempuan sebesar 5.17 persen dari total anal perempuan yang lahir.

Berdasarkan urutan kelahiran, persentase kematian bayi pada anak pertama adalah 5.98 persen. Kemudian menurun pada anak ke-2 dan ke-3. Hal ini terjadi karena anak pertama adalah pengalaman pertama seorang ibu menjadi orang tua sehingga ada beberapa hal yang belum diketahui mengenai cara merawat anak. Sedangkan pada saat melahirkan anak ke-2 dan ke-3, ibu telah berpengalaman dalam merawat anak pada kelahiran sebelumnya. Akan tetapi, persentase kematian bayi kembali menaik pada anak keempat, begitu seterusnya hingga

30 25 20 15 10 5 0 Pe rs en

16

mencapai puncak pada anak kesebelas dan kembali menurun pada anak ke-12. Bahkan mencapai 0.0 persen pada anak ke-13 dan ke-14. Penurunan ini berkaitan dengan sangat sedikitnya anak yang lahir pada urutan 12 ke atas.

Gambar 5. Persentase kematian bayi berdasarkan urutan kelahiran Pendidikan adalah faktor penting yang mempengaruhi cara berpikir dan mengambil keputusan. Meskipun demikian, hanya ada 8 persen dari total wanita yang pernah melahirkan yang menamatkan Sekolah Menengah Atas (SMA). Sebagian besar dari mereka hanya menamatkan Sekolah Dasar (SD) yaitu 44 persen. Kemudian disusul tamat Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebanyak 42 persen dan tidak menamatkan SD sebanyak 6 persen.

Berdasarkan pendidikan ibu, kematian bayi lebih banyak terjadi pada anak yang memiliki ibu yang tidak tamat SD. Kemudian menurun seiring meningkatnya jenjang pendidikan ibu.

Gambar 6. Persentase kematian bayi berdasarkan pendidikan ibu

Umur ibu ketika melahirkan anak berada pada rentang 10-49 tahun. 82 persen diantaranya melahirkan pada saat berumur 20-39 tahun. Dari keseluruhan anak yang dilahirkan pada masing-masing rentang umur ibu ketika melahirkan, kematian bayi terjadi sekitar 9.50 persen pada rentang umur ibu 10-19 tahun, 5.0 persen pada rentang umur ibu 20-39 tahun dan 10.0 persen pada rentang umur 40 tahun ke atas.

Berdasarkan IK, sebagian besar bayi yang meninggal berasal dari rumah tangga menengah ke bawah yaitu 44.7 persen berasal dari rumah tangga sangat miskin, 21.3 persen dari rumah tangga miskin, dan 14.9 persen dari rumah tangga

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Pe rs en ta se K em at ia n Ba yi (% ) Urutan Kelahiran 12,25% 7,90% 3,98% 2,27% Tidak

17 menengah. Sebagaimana yang telah diketahui bersama, bahwa IK sangat mempengaruhi asupan gizi, kebersihan lingkungan, dan penangan ketika terjadi penyakit.

Gambar 7. Persentase kematian bayi berdasarkan IK

Rasio tenaga kesehatan per penduduk belum merata di seluruh Indonesia. Wilayah bagian timur Indonesia cenderung memiliki rasio tenaga kesehatan per penduduk yang lebih tinggi dibandingkan wilayah tengah dan barat Indonesia. Kabupaten Yalimo, Provinsi Papua, memiliki rasio tenaga kesehatan per penduduk sangat tinggi. Jumlah tenaga kesehatan di Kabupaten Yalimo hanya 11 orang perawat dengan jumlah penduduk 50 763. Hal ini dipengaruhi oleh keadaan ekonomi dan kondisi geografis wilayah tersebut. Tidak banyak petugas medis yang bersedia bertugas di daerah terpencil dengan medan yang berat dan gaji yang sama dengan wilayah lain. Hal ini tentu saja berdampak besar pada kematian bayi.

Korelasi Antar Peubah

Peubah respon dalam penelitian ini adalah proporsi anak yang mati ketika

masih bayi. Metode regresi logistik menggunakan OLS mengharuskan kita mentransformasi peubah respon tersebut dalam bentuk logaritma dari odd. Jika berdasarkan data sampel SDKI tahun 2012 ada kabupaten/kota yang memiliki peluang kematian bayi sama dengan nol, maka log odd tidak dapat diidentifikasi. Untuk mengatasi hal ini, pada kabupaten/kota yang peluang kematian bayinya sama dengan 0, maka peluangnya ditambahkan dengan bilangan yang kecil yaitu 0.01 sebagai bentuk intervensi agar hasil log odd dapat diidentifikasi. Penambahan ini tidak merubah substansi data, karena pada kenyataannya hampir tidak mungkin ada kabupaten/kota yang peluang kematian bayinya 0.

Log odd kematian bayi memiliki korelasi yang sangat rendah dengan peubah-peubah bebas. Statistik korelasi Pearson antara peubah-peubah bebas dengan log odd kematian bayi tidak ada yang mencapai 0.50. Korelasi tertinggi terdapat pada hubungan dengan persentase bayi yang lahir dengan urutan kelahiran empat atau lebih yaitu 0.42. Sedangkan korelasi terendah terdapat pada hubungan dengan rasio jenis kelamin yaitu -0.06. Matriks korelasi selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1.

Rendahnya korelasi antara log odd kematian bayi dengan peubah-peubah bebas tidak berarti bahwa peubah-peubah bebas tersebut tidak berpengaruh. Jika

Sangat Miskin; 44,7% Miskin; 21,3% Menengah; 14,9% Kaya; 11,8% Sangat Kaya; 7,2%

18

dianalisis secara bersama-sama dalam suatu model, maka ada kemungkinan peubah-peubah bebas tersebut secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap log odd kematian bayi.

Regresi Bertatar dan Regresi Himpunan Bagian Terbaik

Model regresi logistik menghasilkan model yang fit dengan R kuadrat 32.11 persen dan 6 peubah bebas yang tidak signifikan pada taraf nyata 0.05. Estimasi parameter dapat dilihat pada Lampiran 2. Karena ada banyak peubah yang tidak signifikan, maka akan dilakukan pemilihan model terbaik dengan menggunakan regresi bertatar dan regresi himpunan bagian terbaik.

Model regresi himpunan bagian terbaik memberikan tiga kandidat model terbaik. Ketiga kandidat ini terpilih karena nilai R kuadrat yang tinggi dan nilai

Cp Mallow mendekati jumlah peubah. Akan tetapi, dalam model ini ada peubah yang tidak signifikan masuk ke dalam model. Kandidat model pertama mengandung jumlah peubah tidak signifikan yang paling kecil, maka model ini dipilih menjadi model terbaik dari regresi himpunan bagian terbaik.

Sementara itu, model terpilih dari regresi bertatar terdiri dari lima peubah dengan R kuadrat yang lebih kecil jika dibandingkan dengan model regresi

himpunan bagian terbaik dan nilai Cp Mallow –nya berbeda dengan jumlah

peubah. Akan tetapi karena semua peubah penjelas yang masuk ke dalam model memberi pengaruh yang signifikan maka model terbaik yang akan digunakan dalam analisis selanjutnya adalah model regresi bertatar. Proses pemilihan model regresi himpunan bagian terbaik dan regresi bertatar dapat dilihat pada Lampiran 3.

Tabel 2. Kandidat model terbaik dari regresi bertatar dan regresi himpunan bagian terbaik

Model Jumlah Peubah Peubah Penjelas Mallows Cp Peubah Tidak

Sig.

RHBT 1 6 X1. X2. X4. X5. X8. X10 31.4 30.5 6.8 X1

RHBT 2 7 X1. X2. X4. X5. X7. X8. X10 31.6 30.6 7.4 X1 dan X7

RHBT 3 7 X1. X2. X4. X5. X8. X10. X11 31.6 30.5 7.5 X1 dan X11

RB 5 X2. X4. X5. X8. X10 30.9 30.1 8.3 -

Masalah Keheterogenan Ragam

Hasil uji Park dan uji White tidak menunjukkan adanya ketidaksamaan ragam. Akan tetapi, kedua uji ini digunakan pada unit analisis individu sehingga hasilnya tidak dapat digunakan dalam penelitian dengan unit analisis kabupaten/kota.

Seprti disebutkan pada persamaan (3), sisaan memiliki ragam sama dengan

19 dan adalah jumlah anak yang dilahirkan di kabupaten/kota ke-j. Sehingga.

secara teori, ragam berhubungan terbalik dengan . Semakin besar semakin

kecil ragam, semakin kecil semakin besar ragam.

Plot antara sisaan dan nilai dugaan adalah plot yang biasa digunakan untuk mendeteksi ketidaksamaan ragam pada data dengan unit analisis individu. Dalam Gambar 8(a) tidak terlihat adanya pola khusus dari sisaan. Sebaliknya. jika diperhatikan plot antara sisaan dan jumlah pada Gambar 8(b) maka akan terlihat jelas pola mengerucut. Hal ini menandakan bahwa ketidaksamaan ragam

disebabkan oleh perbedaan jumlah .

(a) (b)

Gambar 8. Diagram pencar sisaan terhadap peluang duga dan jumlah contoh Uji kesamaan ragam sisaan dilakukan dengan uji Bartlet dengan tingkat kepercayaan 95 persen pada kondisi sebelum dan sesudah diboboti. Hasil pengujiannya disajikan pada Gambar 9(a) untuk data sebelum diboboti dan Gambar 9(b) untuk data setelah diboboti. Pada Gambar 9(a) dapat dilihat bahwa

p-value 0.000 yang berarti bahwa ada perbedaan ragam yang nyata pada beberapa kelompok. Selain itu, Gambar 9(a) juga memperlihatkan garis-garis yang menunjukkan selang kepercayaan pada tiap kelompok. Selang kepercayaan ragam kelompok 19 tidak beririsan dengan selang kepercayaan ragam kelompok 1, 3, dan 4. Sedangkan selang kepercayaan ragam kelompok 17 tidak beririsan dengan selang kepercayaan ragam kelompok 3 dan 4.

Untuk mengatasi masalah ketidaksamaan ragam sisaan, kabupaten/kota dikelompokkan ke dalam 19 kelompok berdasarkan rentang jumlah anak yang dilahirkan. Karakteristik masing-masing kelompok disajikan dalam Tabel 3.

P-value untuk uji Bartlet pada data yang telah diboboti adalah 0.093. Ini berarti bahwa tidak cukup data untuk mengatakan bahwa ada perbedaan ragam sisaan pada sembilan belas kelompok. Gambar 9(b) memperlihatkan selang kepercayaan ragam pada semua kelompok mempunyai nilai yang beririsan. Dengan demikian, model regresi logistik terboboti dianggap telah memperbaiki masalah keheterogenan ragam sisaan.

-1,0 -1,5 -2,0 -2,5 -3,0 -3,5 -4,0 2 1 0 -1 -2 -3 Dugaan Si sa an 900 800 700 600 500 400 300 200 1 00 0 2 1 0 -1 -2 -3 Jumlah contoh Si sa an

20

Tabel 3. Karakteristik kelompok yang disusun dalam model regresi terboboti

Kelompok Jumlah n Observasi Ragam Jumlah Simpangan Baku

1 26-37 17 0.71 0.84 2 38-50 21 0.45 0.67 3 51-62 25 0.89 0.94 4 63-75 27 0.76 0.87 5 76-86 33 0.47 0.68 6 87-100 39 0.39 0.62 7 101-113 27 0.46 0.68 8 114-125 23 0.57 0.76 9 126-137 24 0.40 0.63 10 138-150 26 0.29 0.54 11 151-175 39 0.35 0.59 12 176-200 23 0.20 0.44 13 201-225 26 0.21 0.46 14 226-250 16 0.15 0.39 15 251-275 17 0.37 0.61 16 276-300 16 0.21 0.46 17 301-400 32 0.15 0.39 18 401-500 12 0.16 0.40 19 > 500 23 0.09 0.30

Berikut adalah hasil uji pada kondisi sebelum dan sesudah diboboti.

(a) (b)

Gambar 9. Selang kepercayaan simpangan baku sisaan tiap kelompok pada model regresi logistik dan model regresi terboboti

Diskusi Hasil Pemodelan

Pemodelan dengan regresi logistik terboboti menghasilkan model yang fit dengan R kuadrat 54.80 persen. Model yang terbentuk tidak mengandung multikolinieritas antar peubah penjelas. Hal ini dapat dilihat dari nilai VIF yang

1 9 1 8 1 7 1 6 1 5 1 4 1 3 1 2 1 1 1 09 8 7 6 5 4 3 2 1 1 ,8 1 ,6 1,4 1,2 1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 P-Value 0,000 Bartlett’s Test Ke lo m po k

95% Bonferroni Confidence Intervals for StDevs

1 9 1 8 1 7 1 6 1 5 1 4 1 3 1 2 1 1 1 09 8 7 6 5 4 3 2 1 3,5 3,0 2,5 2,0 1,5 1 ,0 0,5 P-Value 0,093 Bartlett’s Test Ke lo m po k

21 tidak lebih dari 5 pada setiap peubah. Nilai VIF selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4.

Hasil pengujian asumsi kenormalan meunjukkan bahwa sisaan tidak menyebar normal. Namun hal ini tidak mengherankan karena besarnya jumlah contoh yang menyebabkan selang kepercayaan menjadi lebar dan peluang untuk menolak hipotesis nol dalam pengujian kenormalan menjadi besar. Ini berakibat

pada kecenderungan menolak H sehingga disimpulkan data tidak normal.

Model yang terbentuk adalah sebagai berikut:

= −2.1880 + 0.01376 + 0.01034 − 0.00154 − 0.01750

(p=0.000) (p=0.002) (p=0.068) (p=0.457) (p=0.000)

+ 0.5986 (6)

(p=0.000)

Dari persamaan (6) terlihat bahwa pada tingkat kepercayaan 90 persen.

pengaruh dari peubah . . . dan nyata. Sedangkan pengaruh dari peubah

tidak nyata. Interpretasi dari hasil ini adalah sebagai berikut.

Urutan kelahiran ( ) nyata berarti bahwa anak yang lahir pada urutan

ke-4, 5, dan seterusnya cenderung mati pada usia satu tahun ke bawah dengan rasio

odd sebesar , =1.10. Artinya semakin tinggi persentase anak yang lahir

dengan urutan ke empat atau lebih, semakin besar peluang terjadinya kematian bayi di suatu kabupaten/kota. Ini berimplikasi perlunya perhatian khusus pada anak urutan ke-4 dan seterusnya.

Sejalan dengan hasil penelitian Ashani (2010), usia ibu ( ) memiliki

pengaruh nyata. Ini berarti bahwa anak yang lahir pada saat ibu berusia dibawah 20 tahun dan 40 tahun keatas cenderung mati pada saat bayi dengan rasio odd

sebesar , = 1.01. Dengan demikian, kehamilan pada usia di bawah 20 tahun

dan 40 tahun ke atas perlu dihindari agar peluang kematian bayi menurun.

Peubah rasio fasilitas kesehatan ( ) belum pernah digunakan dalam

penelitian-penelitian sebelumnya dalam menganalisis kematian bayi. Model yang terbentuk memperlihatkan bahwa peubah ini berpengaruh nyata dengan rasio odd

sebesar , =0.98. Rasio odd seharusnya berada di atas 1.00 karena secara

logika penambahan fasilitas kesehatan akan membuat peluang kematian bayi semakin menurun. Oleh karena itu, agar terjadi penurunan kematian bayi, sangat perlu untuk menambah jumlah fasilitas kesehatan.

Pengaruh spasial dapat dilihat dari signifikansi koefisien regresi untuk

peubah . Jika Afri (2012), Winarno (2009), dan Pramono (2012)

menyimpulkan bahwa peubah spasial berpengaruh pada kematian bayi di Jawa Timur, maka penelitian ini menghasilkan kesimpulan yang sama untuk wilayah Indonesia. Semakin tinggi angka kematian bayi di suatu kabupaten/kota, maka semakin tinggi pula kematian bayi dikabupaten yang berdekatan dengannya

dengan rasio odd sebesar , =1.82. Ini menunjukkan bahwa program

penurunan angka kematian bayi tidak dapat berdiri sendiri pada setiap kabupaten/kota. Sehingga sangat diperlukan program-program kesehatan yang terintegrasi antara kabupaten/kota yang berdekatan.

Dilihat dari besarnya koefisien regresi, peubah log odd kematian bayi di kabupaten/kota terdekat adalah yang paling besar. Dalam analisis kematian bayi

22

selanjutnya, peubah ini tidak boleh diabaikan. Besar koefisien regresi selanjutnya disusul berturut-turut oleh rasio fasilitas kesehatan per 1000 penduduk dan persentase anak yang lahir dengan urutan ke-4 atau lebih. Oleh karena itu. rasio fasilitas kesehatan dan nomor urut kelahiran adalah dua hal yang penting untuk diperhatikan dalam analisis kematian bayi.

Pemanfaatan Model

Model yang terbentuk digunakan untuk menduga peluang kematian bayi pada setiap kabupaten/kota di Indonesia. Melalui pendugaan ini, kita dapat melihat wilayah mana yang baik kondisi kesehatannya dan wilayah mana yang rentan terhadap kematian bayi. Dengan demikian pemerintah dapat membuat rencana yang terbaik mengenai pemanfaatan anggaran dan sumber daya dalam menurunkan angka kematian bayi. Untuk memudahkan analisis dan memperjelas perbedaan antar daerah, dugaan peluang ini disajikan dalam sebuah peta tematik pada Gambar 10.

Rata-rata peluang dugaan kematian bayi di Indonesia adalah 4.95 persen dengan simpangan baku 2.77. Peluang terkecil terdapat di Kabupaten Sukoharjo sebesar 0.68 persen, diikuti oleh Kabupaten Blora sebesar 0.80 persen dan Kabupaten Bojonegoro 0.82 persen. Ini mencerminkan kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan di daerah tersebut sangat baik dan fasilitas kesehatan sangat memadai. Kondisi ini pastinya membawa pengaruh positif pada daerah-daerah lain yang ada disekitarnya.

Sangat jauh berbeda dengan tiga wilayah sebelumnya, Kabupaten Paser mempunyai peluang kematian bayi tertinggi yaitu 15.32 persen. Selanjutnya diikuti oleh Kabupaten Gorontalo sebesar 15.20 persen dan Kabupaten Maluku Tengah sebesar 14.79. Ketiga kabupaten/kota ini terdapat di wilayah tengah dan timur Indonesia. Ini memperlihatkan adanya perbedaan kondisi sosial ekonomi antara wilayah yang berada di Pulau Jawa dengan diluar Pulau Jawa.

Selain untuk pendugaan, model regresi logistik terboboti juga dapat dimanfaatkan dalam memprediksi peluang kematian bayi pada wilayah yang tidak ada datanya. Dalam SDKI tahun 2012, ada 37 kabupaten/kota yang tidak menjadi contoh sehingga tidak diketahui peluang kematian bayi di daerah-daerah tersebut.

Pengetahuan mengenai faktor resiko juga penting dalam rangka menurunkan angka kematian bayi. Pada intinya, semua faktor resiko harus dikendalikan. Akan tetapi, jika ada keterbatasan waktu, tenaga, dan biaya, maka pemerintah harus memutuskan faktor mana yang diprioritaskan untuk dikendalikan. Model yang dihasilkan dalam penelitian ini memperlihatkan peubah yang berpengaruh nyata terhadap kematian bayi. Peubah-peubah yang berpengaruh nyata ini adalah faktor resiko yang perlu diprioritaskan agar diperoleh hasil yang terbaik.

23

Gambar 10. Peta tematik peluang dugaan kematian bayi per provinsi di Indonesia

PASER 15,32 GORONTALO 15,20 SUKOHARJO 0,68 BLORA0,80 BOJONEGORO0,82 MALUKU TENGAH 14,79 Peluang dugaan 0,680 - 2,886 2,887 - 4,248 4,285 - 6,363 6,364 - 11,576 11,577 - 15,320

24

5 SIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait