• Tidak ada hasil yang ditemukan

Performa atlet pada berbagai cabang olahraga di Indonesia masih mengalami fluktuasi yang kurang menggembirakan. Salah satu cabang olahraga yang belum menunjukkan prestasi optimal adalah lari 5 km. Olahraga lari merupakan cabang olah raga yang cukup populer di kalangan masyarakat. Performa atlet lari ditentukan dengan mengukur waktu yang dapat diempuh dalam jarak tertentu. Semakin cepat waktu tempuh atlet menunjukkan semakin baik performa yang dicapai. Faktor yang berperan pada performa atlet antara lain yaitu kemampuan ambilan oksigen maksimal (VO2maks), kadar hemoglobin, persen lemak tubuh dan indeks massa tubuh. Dalam penelitian ini karakteristik subjek yang diduga akan berpengaruh terhadap variavel performa daya tahan lari, tidak berbeda nyata antara kelompok indeks glikemik (IG) rendah dan indeks glikemik (IG) tinggi. Dengan demikian hasil penelitian ini diharapkan bahwa performa daya tahan lari pada subjek diyakini hanya di pengaruhi oleh faktor perlakuan indeks glikemik. Faktor penting yang mempengaruhi performa daya tahan lari pada atlet adalah terpenuhinya zat gizi yang memadai untuk melakukan aktifitas olahraga.

Hasil penelitian ini menunjukkan ada pengaruh pangan dengan IG berbeda terhadap performa daya tahan lari 5 km pada atlet yang diukur dengan waktu yang diperlukan subjek menyelesaikan lari 5 km. Performa daya tahan lari 5 km pada kelompok IG rendah lebih baik daripada kelompok IG tinggi baik sebelum maupun setelah intervensi. Lebih singkatnya waktu tempuh lari 5 km (performa lebih baik) pada subjek kelompok IG rendah bila dibandingkan dengan subjek kelompok IG tinggi diduga karena pada subjek yang mengonsumsi makanan IG rendah ketersediaan glukosa sebagai sumber energi relatif lebih stabil bila dibandingkan dengan subjek yang mengonsumsi makanan IG tinggi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wong et al. (2008) yang memberikan makanan IG tinggi dan IG rendah kepada 8 orang pelari sebelum lari 21 km pada treadmill. Subjek yang mengonsumsi makanan IG rendah menunjukkan waktu mencapai finish lebih cepat bila dibandingkan dengan subjek yang mengonsumsi makanan IG tinggi (IG rendah=98.7 menit dan IG tinggi=101.5 menit). Hasil penelitian yang senada juga didapatkan oleh Wu dan

Williams (2006) yang menyimpulkan bahwa kapasitas daya tahan subjek yang mengonsumsi makanan IG rendah tiga jam sebelum berlari pada treadmill lebih besar dibandingkan kapasitas daya tahan subjek yang mengonsumsi makanan IG tinggi. Moore et al. (2009) juga menyimpulkan bahwa performa pesepeda meningkat secara signifikan pada perlakuan IG rendah (92.5+5.2 menit) dibandingkan dengan perlakuan IG tinggi (95.6+6.0 menit).

Selain itu kelompok IG rendah mencapai finis lebih cepat bila dibandingkan kelompok IG tinggi kemungkinan disebabkan oleh jumlah karbohidrat yang belum teroksidasi masih banyak dalam usus halus pada awal olahraga dan kemudian dilepaskan ke dalam sirkulasi darah secara perlahan (Burke et al. 1998; Thorne et al. 1983). Sebaliknya makanan dengan IG tinggi mengalami pencernaaan dan penyerapan serta pengangkutan glukosa yang lebih cepat ke dalam sistem sirkulasi, sehingga menyebabkan fluktuasi glukosa darah per unit karbohidrat lebih besar daripada makanan dengan nilai IG yang lebih rendah. Pada makanan IG tinggi, glukosa darah akan disimpan secara optimal sebagai glikogen otot seiring dengan berkurangnya glukosa untuk olahraga. Hal ini sejalan dengan temuan Wong et al. (2008) bahwa konsentrasi glukosa darah tetap lebih tinggi selama olahraga setelah mengonsumsi makanan IG rendah, sebaliknya turun drastis ke nilai sebelum olahraga setelah mengonsumsi makanan IG tinggi. Temuan penelitian Moore et al. ((2009) juga menyimpulkan bahwa level glukosa darah pada titik lelah setelah olahraga sepeda lebih tinggi pada perlakuan IG rendah (5.2+0.6 mmol/L) dibandingkan perlakuan IG tinggi (4.7+ 0.7 mmol/L).

Glukosa dalam sirkulasi berasal dari tiga sumber yaitu penyerapan dari usus selama kondisi makan, glikogenolisis dan glukoneogenesis. Glikogenolisis dan glukoneogenesis diatur oleh hormon glukagon yang dihasilkan oleh sel α pankreas. Selain glukagon hormon yang mengatur glukosa (glucoregulatory) adalah insulin, amylin, GLP-1, glucose-dependent insulinotropic peptide (GIP), epineprin, cortisol dan hormon pertumbuhan. Hormon pengatur glukosa ini dirancang untuk menjaga konsentrasi glukosa darah dalam kondisi normal (Aronoff et al. 2004). Pada individu normal glukosa yang berasal dari pencernaan makanan sumber karbohidrat akan dibawa dari usus halus menuju sirkulasi darah,

peningkatan kadar glukosa dalam darah akan merangsang sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon pada sel beta pankreas. Faktor utama yang berperan dalam mengatur kadar glukosa darah adalah konsentrasi glukosa darah itu sendiri dan hormon terutama insulin dan glucagon (Marks et al. 2000). Insulin mempermudah glukosa masuk ke dalam sel dengan meningkatkan jumlah transporter glukosa di membran sel. Menurut Gropper et al. (2009) setelah berada dalam sirkulasi, glukosa akan dibawa ke dalam hati, otot dan sel lainnya. Di dalam hati dan otot glukosa akan dirubah menjadi glikogen sebagai cadangan energi. Kondisi homeostasis glukosa darah dapat dilihat pada Gambar 17.

Gambar 17 Homeostasis kadar glukosa (Aronoff et al. 2004)

Hasil pengukuran glukosa darah subjek selama dua jam (postprandial) setelah mengonsumsi makanan intervensi pada waktu awal dan akhir intervensi menunjukkan kecenderungan pada subjek kelompok IG tinggi rata-rata glukosa darahnya lebih tinggi dibandingkan dengan subjek kelompok intervensi IG rendah. Puncak kenaikan glukosa darah pada kedua kelompok intervensi adalah sama yaitu pada menit ke 15 hingga 30, kenaikan tertinggi pada kelompok IG tinggi. Secara statistik ada perbedaan yang sangat signifikan antara puncak kenaikan glukosa darah tersebut pada kedua kelompok perlakuan (p<0.01). Hasil penelitian Stevenson et al. (2009) juga menunjukkan bahwa konsentrasi glukosa plasma meningkat dengan cepat dan puncaknya pada menit ke 30. Konsentrasi pada puncak lebih tinggi pada perlakuan IG tinggi dibandingkan perlakuan IG rendah.

Kadar glukosa darah meningkat seiring dengan pencernaan dan penyerapan glukosa dari makanan. Pada individu sehat dan normal, kadar glukosa tidak melebihi sekitar 140 mg/dl karena jaringan akan menyerap glukosa dari darah, menyimpannya untuk kemudian dioksidasi menghasilkan energi. Setelah makanan dicerna dan diserap, kadar glukosa darah menurun karena sel memetabolis glukosa. Bila konsentrasi glukosa darah mendekati rentang puasa normal yaitu 80-100 mg/dL sekitar 2 jam setelah makan, terjadi pengaktifan proses glikogenolisis di hati (Marks et al. 2000).

Setelah mengonsumsi makanan IG tinggi konsentrasi insulin serum selama postprandial lebih tinggi sehingga berperan dalam penurunan produksi glukosa dalam hati dan meningkatkan pengangkutan glukosa ke otot (Marmy-Conus et al. 1996). Pengaruh konsentrasi insulin terhadap jaringan peripheral bertahan lebih lama, meskipun konsentrasi insulin akan kembali ke nilai puasa (Coyle 1991; Montain et al. 1991). Pengaruh menetapnya hiperinsulinemia memungkinkan peningkatan ambilan glukosa selama konsumsi IG tinggi lebih besar daripada konsumsi IG rendah (Wee et al. 1999). Pada perlakuan IG tinggi, ketersediaan simpanan glikogen hati sudah memadai, kemungkinan latihan olahraga menyebabkan peningkatan pengeluaran glukosa hepatik sejalan dengan peningkatan ambilan glukosa oleh otot selama latihan olahraga. Bila latihan olahraga berlanjut, simpanan glikogen hati tidak mencukupi untuk memenuhi peningkatan ambilan glukosa oleh otot yang mengakibatkan penurunan konsentrasi glukosa secara drastis hingga latihan berakhir. Hal ini dapat menerangkan bahwa kenapa konsentrasi glukosa darah lebih stabil pada perlakuan IG rendah, tetapi turun ke nilai puasa pada akhir latihan pada perlakuan IG tinggi (Wong et al. 2008). Penurunan cadangan karbohidrat merupakan salah satu penyebab utama yang memperburuk performa dan peningkatan kelelahan selama olahraga jangka panjang pada lari submaksimal (Tsintzas et al. 1996;Wong & Williams 2000).

Pada subjek kelompok makanan IG rendah sumber energi selama lari kemungkinan juga didukung oleh keberadaan asam lemak bebas. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa ada kecenderungan konsentrasi asam lemak bebas (FFA) postprandial dan setelah lari 5 km lebih tinggi pada kelompok IG rendah dibandingkan kelompok IG tinggi. Menurut Wu dan Williams (2006) serta Spark et al. (1998) lebih besarnya kapasitas daya tahan lari pada kelompok IG rendah kemungkinan karena meningkatnya kompensasi sumber energi dari lemak yang mampu mempertahankan produksi energi yang dibutuhkan daripada kelompok IG tinggi. Sebaliknya lebih tingginya oksidasi karbohidrat dan rendahnya oksidasi lemak pada kelompok IG tinggi mengakibatkan kompensasi “up regulation of fat metabolism” tidak mampu menutupi penurunan ketersediaan glikogen otot. Temuan Trenell et al. (2008) juga menyebutkan bahwa

ketersediaan lipid sirkulasi 34% lebih besar setelah mengonsumsi makanan IG rendah dibandingkan IG tinggi. Konsumsi makanan IG rendah menurunkan ketergantungan pada simpanan lipid intramuskular dan peningkatan penggunaan asam lemak bebas sebagai sumber energi. Dengan demikian pada olahraga kompetitif, mengonsumsi makanan IG rendah lebih meningkatkan performa akhir. Lebih lanjut Trenell et al. (2008) menyebutkan bahwa mengonsumsi makanan IG tinggi menyebabkan terjadinya hiperinsulinemia postprandial yang diiringi dengan penurunan laju oksidasi lemak, dan peningkatan ketergantungan terhadap oksidasi glikogen selama olahraga. Meskipun tingginya kadar insulin postprandial meningkatkan simpanan glikogen, penghambatan perombakan lipid perifer akan meningkatkan ketergantungan pada simpanan glikogen intramuskular dan lipid selama olahraga akibatnya akan menurunkan penampilan. Mondazzi et al. (2009) juga mengungkapkan bahwa pemberian makanan IG rendah sebelum olahraga menyebabkan lebih rendahnya kadar glukosa darah dan kadar insulin serta lebih rendahnya penekanan terhadap plasma asam lemak bebas, laju oksidasi lipid lebih tinggi, ketersediaan sumber glukosa selama olahraga lebih lama sehingga menyebabkan kapasitas daya tahan lebih besar. Menurut Kather et al. (1985) hasil studi in vitro menemukan bahwa lipolisis pada manusia dihambat oleh kerja beberapa hormon dan para hormon seperti insulin, prostaglandin, adenosine, asam nikotin dan katekolamin.

Menurut Mougios (2006) konsentrasi asam lemak bebas selama olahraga sangat tergantung dengan intensitas latihan. Pada latihan dengan intensitas ringan (25% VO2maks) konsentrasi asam lemak bebas meningkat karena permintaan terhadap asam lemak bebas oleh otot rendah tapi proses lipolisis dalam jaringan adipose tinggi. Latihan dengan intensitas sedang (~ 65% VO2maks) dicirikan dengan asam lemak yang turun karena peningkatan pemecahan asam lemak lebih cepat dibandingkan dengan rangsangan lipolisis oleh hormon. Sebaliknya lipolisis menyusul penguraian asam lemak sehingga konsentrasi asam lemak meningkatkan dan dapat melebihi 2 mmol/L pada latihan olahraga yang lama. Pada latihan berat (≥ 85% VO2maks) mendorong konsentrasi asam lemak di bawah data dasar dan menetap pada kondisi tersebut. Hal ini disebabkan vasokontriksi yang mencegah asam lemak dialirkan ke dalam sirkulasi. Penurunan aliran darah

ke jaringan adipose, bersamaan dengan rendahnya aliran darah ke viscera untuk mengimbangi peningkatan aliran darah ke dalam otot yang aktif. Segera setelah latihan olahraga, konsentrasi asam lemak akan meningkat karena penggunaan asam lemak oleh otot sudah menurun, sebaliknya rangsangan lipolisis hormon tertunda beberapa saat.

Pengaturan proses lipolisis trigliserida jaringan adiposa dan penggunaannya selama latihan diaktivasi enzim hormone-sensitive lipase (HSL) melalui sinyal cascade selular. Fosforilasi HSL bergerak dari sitosol adiposit ke permukaan droplet lemak dalam sel. Fosforilasi kelompok protein ditempatkan pada permukaan droplet lipid (perilipin) juga dibutuhkan sebelum HSL dapat mengkatalisis hidrolisis trigliserida dalam droplet lemak. Perilipin yang belun terfosforilasi membuat penghambat antara HSL dan lemak selular dan mencegah lipolisis. Fosforilasi perilipin oleh protein kinase A memungkinkan HSL menambah akses ke trigliserida intraselular. Hasil kerja HSL terhadap trigliserida menghasilkan dua mol asam lemak belum teresterkan dan 1 mol monogliserida. Hidrolisis monogliserida menjadi 1 gliserida dan 1 asam lemak terjadi melalui kerja enzim monogliserol lipase, yang bukan dibawah kendali hormon secara langsung pada in vivo. Katekolamin (epineprin dan norepineprin) merupakan hormon utama yang mengatur lipolisis pada manusia (Horowitz 2003; Large et al. 2004). Gambaran proses pengaturan lipolisis dapat dilihat pada Gambar 18.

Sumber: Horowitz (2003) Keterangan : α2 = α2-adrenoceptor β = β-adrenoceptor Gi = protein G penghambat Gs = protein G stimulator HSL = hormone-sensitive lipase P = phosphate group Gambar 18 Proses pengaturan lipolisis

Pada olahraga jangka lama, setelah kondisi penyerapan (tidak terdapat glukosa dalam usus halus), glukosa plasma disediakan melalui proses glikogenolisis simpanan glikogen hati dan melalui proses glikoneogenesis hepatik. Substrat utama selama olahraga jangka panjang adalah laktat dan alanin, yang berasal dari pemecahan glikogen otot skelet dan dari gliserol yang berasal dari pemecahan trigliserida. Penyediaan glukosa melalui glukoneogenesis menunda hipoglikemi tapi tidak terjadi dengan cepat untuk mencegah hipoglikemi bila simpanan glikogen hati berkurang selama olahraga jangka lama.

Ada berbagai faktor yang menyebabkan kelelahan yang terjadi pada seorang yang melakukan aktifitas fisik. Salah satu faktor yang utama adalah terdapatnya asam laktat dalam darah. Menurut Westerblad et al. (2002) pada kondisi anaerobik akan menyebabkan penumpukan asam inorganik terutama laktat. Ion laktat hanya sedikit mempengaruhi kontraksi otot, tapi ion H+ adalah penyebab klasik kelelahan pada otot.

Selain faktor penumpukkan laktat darah, kelelahan selama kegiatan olahraga yang relatif lama dapat disebabkan karena menurunnya glikogen otot dan/atau hipoglikemi. Penurunan karbohidrat mengakibatkan ketidakmampuan otot menghasilkan kembali ATP seiring dengan penurunan laju ATP. Ketidakcukupan karbohidrat menyebabkan rendahnya piruvat dalam otot, sebagai substrat untuk membentuk acetyl CoA dan untuk reaksi asam trikarboksilat. Rendahnya pembentukan ATP dibandingkan penggunaannya mengakibatkan peningkatan kadar ADP dan AMP bebas, mengaktifkan myokinase dan AMP deaminase, sehingga kadar inosine monophosphate (IMP) meningkat (McConell

et al. 1999).

Berdasarkan temuan penelitian dapat disarikan bahwa olahraga lari 5 km yang dilakukan oleh subjek merupakan lari jarak jauh yang memerlukan energi yang tinggi. Pemberian makanan tinggi karbohidrat dengan indeks glikemik berbeda sebesar 1000 kkal sekali makan tiga jam sebelum latihan, sebagian besar energi disuplai dari glukosa. Tingginya kontribusi glukosa terhadap energi karena intensitas latihan yang tergolong tinggi. Suplai glukosa berasal dari pencernaan dan penyerapan glukosa setelah mengonsumsi makanan intervensi, serta dari hasil pemecahan glikogen hati yang sudah tersimpan selama proses penyerapan. Energi pada lari 5 km yang dilakukan subjek juga diduga sebagian berasal dari asam lemak bebas (FFA serum), karena terjadi penurunan kadar FFA setelah lari 5 km, terutama pada kelompok IG rendah. Pada kelompok IG tinggi terjadi penekanan pelepasan asam lemak bebas/FFA karena dipicu oleh tingginya pelepasan hormon insulin. Intensitas lari yang tinggi juga menyebabkan sistem energi anaerob lebih dominan yang ditandai oleh peningkatan kadar laktat darah baik pada kelompok IG tinggi maupun pada kelompok IG rendah. Namun intensitas latihan yang relatif tinggi ini belum sampai memicu kerusakan otot, hal

ini terlihat dari kadar creatine kinase yang masih di bawah nilai break point. Hal ini mengindikasikan bahwa lari 5 km tidak menyebabkan kerusakan/gangguan jaringan otot. Meskipun belum terjadi gangguan otot namun telah terjadi ketidak seimbangan radikal bebas yang terbentuk, terlihat dari peningkatan kadar MDA serum baik pada kelompok IG tinggi maupun kelompok IG rendah. Peningkatan MDA serum relatif lebih tinggi pada kelompok IG tinggi.

Stres oksidatif adalah ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dengan perlawanan antioksidan di dalam tubuh. Latihan olahraga berat meningkatkan konsumsi oksigen dan menyebabkan gangguan keseimbangan homeostasis prooksidan-oksidan intraselular. Ada beberapa sumber dan mekanisme pembentukan senyawa radikal selama latihan olahraga yang dihipotesiskan oleh para ahli adalah peningkatan konsumsi oksigen, peningkatan suhu tubuh yang menyebabkan kehilangan cairan (hipohidrasi), kenaikan kalsium sitosol, mobilisasi dan aktivasi leukosit, proses keradangan, pergeseran sirkulasi, paparan polutan udara selama latihan dan peningkatan sekresi adrenalin (Harjanto 2004). Menurut Belviranli dan Gokbel (2006) mekanisme pembentukan oksidan yang terkait latihan olahraga yaitu (1) selama latihan olahraga konsumsi oksigen meningkat tajam, menyebabkan kemungkinan kebocoran oksigen yang tinggi dari mitokondria sehingga menghasilkan anion superoksida; (2) xanthine

dehydrogenase mengoksidasi hypoxanthine menjadi xanthine dan xanthine

menjadi asam uric dengan menggunakan NAD+ sebagai elektron aseptor membentuk NADH. Selama iskemia pada otot aktif, xanthine dibentuk melalui metabolisme anaerobik dan xanthine dehydrogenase dirubah menjadi xanthine oksidase. Selama reperfusi yang mengakibatkan oksigen kembali banyak, xanthine oksidase masih merubah hypoxanthine menjadi asam uric, tetapi menggunakan oksigen sebagai elektron reseptor membentuk superoksida; (3) gangguan jaringan akibat latihan menginduksi aktivasi sel keradangan seperti neutrofil yang selanjutnya memproduksi radikal bebas dengan NADPH oksidase; (4) selama latihan olahraga konsentrasi katekolamin meningkat dan ROS menyebabkan autooksidasi; (5) dengan peningkatan suhu tubuh selama latihan olahraga mitokondria otot menjadi tidak berpasangan dan membentuk

superoksida; (6) terjadi autooksidasi oxyhemoglobin menjadi methemoglobin yang menghasilkan superoksida.

Kerusakan yang diakibatkan oleh radikal bebas dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung senyawa radikal bebas berikatan dengan membran lipid, protein struktural, enzim, RNA, dan DNA sel. Secara tidak langsung senyawa radikal bebas dapat mengakibatkan kerusakan tidak langsung karena malondialdehida (MDA) yang dihasilkan dari proses peroksidasi lipid menyerang gugus amino pada protein dan membentuk cross link intramolekul maupun antar molekul protein sehingga terjadi penurunan fungsi membran sel yang mengakibatkan kerusakan struktural dan fungsional sel (Suarsana 2009).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata kadar MDA dalam serum meningkat setelah subjek menyelesaikan lari 5 km baik pada subjek kelompok perlakuan IG rendah I dan II maupun pada kelompok IG tinggi. Namun peningkatan rata-rata kadar MDA serum pada kelompok IG tinggi cenderung lebih tinggi dari pada kelompok IG rendah I (komposisi vitamin antioksidan kedua kelompok setara). Sebaliknya peningkatan rata-rata kadar MDA serum cenderung lebih tinggi pada subjek kelompok IG rendah II (komposisi vitamin antioksidan lebih rendah pada kelompok IG rendah II). Temuan ini mengindikasikan bahwa radikal bebas dihasilkan pada aktifitas olahraga karena berbagai kondisi seperti terjadinya peningkatan konsumsi oksigen untuk proses produksi energi, peningkatan suhu tubuh dan peningkatan hormon. Pembentukan radikal bebas selama latihan olahraga dipengaruhi oleh perbedaan kebutuhan energi, konsumsi oksigen dan beban mekanik terhadap jaringan lunak (Mohlefi et al. 2012). Pengaruh pemberian pangan dengan IG berbeda berpengaruh secara signifikan terhadap stress oksidatif pada pengukuran hari ke 1. Hal ini menunjukkan bahwa ada efek jangka pendek dari terbentuknya MDA dari peningkatan kadar glukosa yang terjadi karena mengonsumsi pangan IG tinggi.

Pada perlakuan IG rendah II dengan IG tinggi (komposisi vitamin antioksidan tidak setara) terlihat bahwa peningkatan kadar MDA serum lebih tinggi pada kelompok IG rendah II (aktifitas antioksidan lebih rendah). Ada

pengaruh pemberian pangan dengan IG berbeda terhadap stress oksidatif (p<0.05). Setelah pemberian makanan intervensi, kemungkinan tingginya level MDA pada kelompok IG rendah II ini diduga karena ada peranan asupan vitamin antioksidan. Kandungan vitamin antioksidan (vitamin A dan vitamin E) pada kelompok IG rendah II lebih rendah dibandingkan kelompok IG tinggi, sedangkan vitamin C tidak jauh berbeda antara kelompok IG tinggi dengan kelompok IG rendah II. Sehingga menyebabkan aktifitas antioksidan kelompok IG tinggi lebih tinggi dibandingkan kelompok IG rendah.

Kandungan vitamin antioksidan yang lebih tinggi pada subjek kelompok IG tinggi memungkinkan terjadi pembersihan radikal bebas akibat stres fisik setelah lari lebih efektif dibandingkan dengan kelompok intervensi IG rendah II. Adanya efek vitamin antioksidan terhadap pembentukan MDA sesuai dengan temuan Kiyatno (2008) yang menyatakan bahwa ada penurunan kadar MDA pada subjek yang diberikan vitamin antioksidan (vitamin C dan vitamin E) sebelum dan sesudah melakukan aktifitas fisik waktu pendek (lari 800 m) dan waktu panjang (lari 1500 m). Pada penelitian ini (IG rendah II vs IG tinggi) kemungkinan proses pembersihan radikal bebas belum seimbang antara radikal bebas yang dihasilkan dari proses stres fisik (lari 5 km) dibandingkan dengan konsumsi vitamin antioksidan dari makanan, sehingga meskipun jumlah vitamin antioksidannya lebih tinggi pada kelompok IG tinggi tetapi kadar MDAnya masih mengalami peningkatan dari kadar MDA puasa. Mekanisme efek pembersihan oleh antioksidan juga kemungkinan mengurangi efek perbedaan IG pada makanan intervensi terhadap penghambatan produksi radikal bebas. Setelah masa intervensi diduga terjadi proses penyimpanan vitamin antioksidan yang cukup besar sehingga data menunjukkan level MDA pada kelompok IG tinggi tetap mengalami peningkatan namun persentase peningkatannya lebih rendah dibandingkan pada subjek kelompok IG rendah. Bila dibandingkan dengan IG rendah menu I dengan komposisi bahan pangan yang mengandung vitamin antioksidan yang relatif sama terlihat bahwa kenaikan kadar MDA lebih tinggi pada kelompok IG tinggi.

Sebagai antioksidan vitamin E merupakan scavenger antioksidan yang efisien dan mampu merubah superoxide, hydroxyl dan radikal lipid peroxyl

menjadi bentuk yang kurang reaktif. Vitamin E dapat memutus rantai lipid peroksida yang terjadi selama reaksi radikal bebas pada membran. Berbeda dengan vitamin E, vitamin C merupakan antioksidan hidrofilik yang berfungsi dengan baik pada lingkungan air. Vitamin C dapat secara langsung membersihkan superoxide, hydroxyl dan radikal lipid peroxyl. Vitamin C juga berperan dalam recycling vitamin E radikal (Powers et al. 2004). Suplementasi vitamin E dan vitamin C selama 6 minggu dapat mencegah peroksida lipid yang disebabkan oleh latihan daya tahan namun tidak berpengaruh terhadap marker peradangan (Belviranli & Gokbel 2006).

Menurut Poljsak (2011) penurunan stress oksidatif dapat tercapai pada tiga level (1) penurunan paparan polutan dari lingkungan, (2) meningkatkan level antioksidan endogen dan eksogen, atau (3) penurunan produksi stress oksidatif dengan menstabilkan dan mengefisienkan produksi energi mitokondria. Stres oksidatif endogen dapat dipengaruhi oleh dua cara yaitu dengan mencegah pembentukan ROS atau menurunkan ROS dengan antioksidan. Selain menghasilkan radikal bebas , latihan olahraga reguler juga meningkatkan level antioksidan endogenus seperti gluthation yang dapat berpotensi mengurangi efek negatif dari produksi radikal bebas selama berolahraga (Harris & Baer 2006). Enzim antioksidan dapat mempengaruhi pembentukan radikal bebas melalui

Dokumen terkait