• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Masalah

Berdasarkan pengamatan selama kegiatan praktik lapang, proses pemindangan yang dilakukan pengolah pindang ternyata kurang memperhatikan aspek kebersihan dan cara pengolahan yang baik. Ikan yang diperoleh dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) ditempatkan dalam keranjang besar yang terbuat dari anyaman bambu. Keranjang ini kemudian diberi es dan dipikul menggunakan bambu oleh dua orang menuju ke mobil bak terbuka. Ikan kemudian dibawa ke tempat pengolahan yang biasanya tidak jauh dari tempat pelelangan ikan.

Ikan yang sudah berada di tempat pengolahan pindang diletakkan di lantai kemudian ditata dalam wadah besek. Masing-masing wadah besek terdiri dari 2 ekor pindang. Setiap 10 wadah besek diikat menggunakan tali rafia. Biasanya setiap dua ikatan tali rafia akan diikat kembali dengan tali rafia, sehingga terdapat 20 wadah besek. Selanjutnya, dilakukan pencucian dengan mencelupkan wadah besek yang telah diikat ke dalam bak yang berisi air. Kondisi air yang digunakan untuk pencucian tidak selalu bersih.

Ikan dalam wadah besek yang sudah diikat tali rafia (20 wadah besek) dimasukkan selama ± 30 menit ke dalam panci perebusan berukuran 1 m2. Ikan tersebut dimasukkan ketika air garam telah mendidih (suhu ± 80 C). Menurut Eko dan Indriyono (2007) pemindangan dengan metode air garam ini memiliki waktu yang relatif lebih singkat jika dibandingkan dengan pemindangan dengan metode garam. Lama waktu perebusan bergantung pada ukuran ikan yang digunakan. Semakin besar ukuran ikan semakin lama waktu perebusannya. Setelah itu, pindang diangkat dan diletakkan di lantai, kemudian disiram menggunakan air dingin agar proses pemasakan berhenti dan ikan cepat dingin. Ikan yang telah dingin didistribusikan menggunakan mobil bak terbuka. Penataan pindang dalam mobil bak terbuka ini dengan cara menumpuk pindang hingga seluruh pindang terangkut. Pindang yang telah ditumpuk ditutup kemudian menggunakan plastik lebar dan tebal yang kemudian diikat menggunakan tali. Kondisi pendistribusian ini membuat ikan tertumpuk dan rusak.

Permasalah yang dirasakan oleh konsumen, hasil wawancara langsung dengan 50 panelis ibu rumah tangga diperoleh 3 masalah utama yang menjadi kekurangan pindang tradisional. Permasalahan ini tersaji pada Lampiran 3. Permasalahan pertama yaitu pindang dianggap kurang higienis dan tidak memiliki kemasan. Kemasan yang digunakan saat ini adalah wadah besek atau kertas bekas. Kedua, pindang tidak tahan lama dan yang ketiga pindang menyebabkan rasa gatal. Permasalahan kedua dan ketiga dapat disebabkan kualitas bahan baku yang kurang segar dan proses pemindangan yang kurang baik seperti pada penjelasan sebelumnya.

7 Beberapa cara perbaikan permasalahan pemindangan yaitu pada proses penanganan bahan baku di tempat pelelangan ikan, perlu digunakan wadah tertutup yang terbuat dari bahan seperti stainless steel atau menggunakan cooler box dengan menambahkan es, sehingga dapat mencegah pertumbuhan mikroba. Kow et al. (1998) menyatakan bahwa setelah ikan didaratkan potensi pertumbuhan mikroba menjadi tinggi oleh karena itu perlakuan yang baik dengan tetap mempertahankan suhu ikan di bawah 5 C sangat diperlukan. Selanjutnya pada proses penurunan ikan di tempat produksi sebaiknya tidak diletakkan di lantai. Lantai juga dapat menyebabkan pertumbuhan mikroba seperti E. coli. Penurunan ikan seharusnya diletakkan pada meja bersih.

Pindang tradisional biasanya tidak membuang isi perut ikan, padahal isi perut juga menjadi salah satu faktor pertumbuhan mikroba. Menurut Ilyas (1983) ikan pada saat ditangkap dalam kondisi steril, namun ketika ikan sudah mati beberapa mikroba yang terpusat pada lendir kulit, insang dan isi perut akan menyebar ke seluruh tubuh ikan sehingga terjadi pembusukan. Oleh karena itu, sebaiknya dilakukan pembersihan insang dan isi perut sehingga kondisi ikan menjadi bersih dan terjaga dari adanya kemungkinan proses pembusukan secara internal.

Wadah besek yang biasa digunakan sebagai wadah perebusan sangat berguna dalam menjaga kerusakan pindang saat direbus, namun seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa wadah ini dapat menjadi salah satu penyebab kontaminasi. Terdapat kemungkinan adanya bakteri psikrofilik pada wadah bambu tersebut dan tidak mati pada saaat perebusan. Bakteri psikrofilik biasanya dapat hidup hingga suhu 75 C (Tampubolon 2008), sehingga pada saat perebusan kemungkinan bakteri ini hanya ternonaktifkan saja dan dapat aktif kembali saat suhu pindang mencapai kondisi maksimum pertumbuhan. Proses pengolahan pindang secara tradisional biasanya menggunakan wadah ini sebagai kemasan distribusi. Kondisi ini membuat kerusakan fisik pindang saat distribusi menjadi tinggi dilihat dari cara pendistribusian pindang seperti pada Gambar 4 dengan kemungkinan adanya kontaminasi mikroba (Ariyani et al. 2010).

Gambar 4 Kondisi pendistribusian pindang yang dilakukan oleh pengolah pindang tradisional

Kemungkinan terjadinya kerusakan dan kontaminasi pertumbuhan mikroba ini dapat diatasi dengan pengemasan plastik vakum. Plastik vakum yang digunakan berwarna bening dan transparan dengan komponen pembentuk nilon 6 dan PET. Kelebihan plastik vakum ini antara lain, inert, tidak berbau dan berasa

8

sehingga aman. Plastik vakum ini juga tahan terhadap suhu ekstrim (-70-100 C), tidak terjadi kontak antara produk dengan udara sehingga membuat produk yang dikemas tahan lama. Kekuatan elongisitas plastik vakum juga baik sehingga tidak mudah rusak saat penyimpanan. Kekuatan tarik sebesar 5 800 psi dengan nilai melting poit 216 C. Titik leleh ini erat kaitannya dengan nilai karbon pada nilon. Semakin besar atom karbon, semakin kecil amida, titik lelehnya pun semakin rendah (Mujiarto 2005). Kelebihan tersebut membuat kemasan ini aman karena tidak menyebabkan migrasi plastik ke produk. Selain kemasan primer, kemasan sekunder juga dibutuhkan untuk mempermudah handling saat pendistribusian produk. Kemasan sekunder yang sesuai yaitu corrugated paper dengan tipe RSC (regular slotted container) no 0201. Kemasan sekunder ini memiliki kekuatan dan ukuran yang sesuai untuk pendistribusian produk berbahan ikan dengan harga yang relatif terjangkau.

Pengembangan Produk dan Kemasan

Berdasarkan hasil pemindangan yang telah dilakukan menggunakan cara perbaikan tersebut diperoleh hasil karakteristik pindang seperti pada Tabel 2. Kualitas pindang diuji cemaran mikroba berupa angka lempeng total (ALT), E. coli dan Salmonella. Pengujian angka lempeng total diperoleh 92 x 103 koloni/g dimana jumlah ini berada dibawah standar yang ditetapkan oleh SNI 2717.1:2009 yakni sebesar 5  105

koloni/g. Bahan baku yang digunakan tidak mengandung E. coli maupun Salmonella yang merupakan bakteri penyebab penyakit dan mengindikasikan penanganan dan pengolahan yang buruk. Nilai kadar garam pindang sebesar 0.58 % fraksi massa (basis basah) dan kadar air sebesar 66 % fraksi massa yang melebihi standar SNI 2717.1:2009 yakni dibawah 60 %.

Tabel 2 Syarat mutu produk pindang berdasarkan Standar Nasional Indonesia 2717.1:2009 tentang pindang

Jenis Uji Satuan Persyaratan

Mutu

Hasil Pengujian a. Organoleptik

Nilai minimum Angka (1-9) 7 7.6

b. Cemaran mikroba

Angka Lempeng Total Koloni/g 5  105 92  103

E. coli APM/g <3 0

Salmonella APM/25g Negatif Negatif c. Kimia

Kadar air % fraksi massa Maks 60 66

Garam % fraksi massa Maks 10 0.58

Nasran et al. (1984) menyatakan bahwa kadar air pindang yang diolah dengan metode air garam memiliki kadar air berkisar 65-66 % yang terbilang tinggi jika dibandingkan dengan pindang garam, namun pindang air garam dapat menghasilkan produk yang lebih menarik. Pindang yang diolah dengan cara pindang garam menghasilkan warna yang lebih kusam dengan rasa yang terlalu

9 asin. Oleh karena itu, metode pemindangan air garam akan tetap dipakai karena produk yang dihasilkan memiliki kenampakan lebih baik.

Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini seperti penggunaan blower. Penggunaan blower dapat mempercepat proses penirisan, namun biaya yang digunakan tidak sedikit. Proses ini juga dapat membuat pencemaran mikroba dari udara jika ruang pengeringan tidak bersih. Cara yang kedua yaitu merubah sedikit proses perebusan. Jika pada pindang garam diperoleh hasil kadar air yang rendah namun warna kusam akibat terjadinya proses pencoklatan kristal garam, maka teknik lain yang dapat diterapkan yaitu perebusan dengan teknik pindang garam namun penggunaan garam dilakukan sebelum perebusan.

Langkah yang dilakukan yaitu pindang direndam dalam bak berisi air garam dengan konsentrasi 30 % (b/b) kemudian didiamkan selama 2 jam. Setelah itu ikan ditata pada panci pengukusan dan dimasak selama ± 2 jam. Perlakuan ini menghasilkan pindang dengan tekstur lebih kering dengan rasa yang tidak terlalu asin. Cara inilah yang sebaiknya diterapkan karena selain biaya yang dibutuhkan lebih rendah, kualitas pindang yang dihasilkan juga sesuai.

Produk kemudian dikemas dengan beberapa ukuran kemasan plastik vakum yang memungkinkan untuk digunakan, namun dalam menentukan ukuran kemasan yang akan digunakan perlu diketahui dimensi rata-rata pindang. Hasil pengukuran dimensi ikan pindang tersaji pada Tabel 3. Berdasarkan hasil tersebut, maka terdapat 3 ukuran kemasan yang memungkinkan untuk digunakan. Penentuan ukuran dilihat dari panjang plastik yang harus lebih panjang dari pindang, serta lebar plastik yang dilihat dari tinggi serta lebar pindang. Perbedaan ketiga plastik vakum ini hanya pada dimensi panjang dan lebarnya saja, sedangkan jenis plastiknya sama. Ukuran ketiga plastik vakum tersebut tersaji pada Tabel 4.

Tabel 3 Dimensi ikan yang digunakan

Dimensi Satuan Nilai*

Panjang cm 22.08 ± 0.10

Lebar cm 4.11 ± 0.35

Tinggi cm 2.70 ± 0.23

Berat g 106 ± 18

*Berdasarkan 100 ekor ikan

Kemasan plastik vakum ukuran 1 yang terlihat pada Gambar 5a pada ukuran panjang tidak terjadi kekurangan atau kelebihan ruang, namun pada ukuran lebar terdapat ruang kosong pada sisi kanan 5 cm dan kiri 5 cm. Ruang kosong pada kemasan ini dapat menyebabkan produk menjadi kurang menarik, dan kurang ergonomis karena dapat memungkinkan kemasan bocor. Hal ini juga dapat membuat produk terlalu kamba saat penyusunan dalam kardus. Jika terjadi kebocoran dalam kemasan, udara dari luar akan masuk ke dalam kemasan. Udara ini dapat mempercepat proses oksidasi ikan dan membuat mikroorganisme pembusuk menjadi lebih aktif sehingga daya tahan ikan tidak dapat dijaga (Yenny

10

2013). Jika diamati, kemasan ini cocok diaplikasikan untuk isi tiga ekor pindang dan tidak cocok untuk isi dua ekor pindang.

Tabel 4 Dimensi desain kemasan yang digunakan Kemasan plastik vakum Lebar (cm) Panjang (m)

Ukuran 1 20.0 26.0

Ukuran 2 16.6 23.0

Ukuran 3 13.0 26.0

Gambar 5 Kenampakan produk dalam kemasan plastik vakum saat diaplikasikan (a) ukuran 1 (b) ukuran 2 (c) ukuran 3

Kemasan ukuran 2 (Gambar 5b) masih terdapat ruang kosong di sisi kanan dan kiri produk sebesar 3 cm. Dimensi panjang kemasan ini kurang karena jarak antara seal dengan ekor hampir tidak ada. Kemungkinan besar ekor ikan terkena seal, sehingga kemasan ini tidak dapat diaplikasikan.

Ruang kosong pada kemasan pertama dan kedua membuat penataan dalam kardus tidak teratur. Kondisi ini dapat menyebabkan produk mudah berpindah

a

11 ketika mendapat guncangan pada saat ditransportasikan sehingga kemungkinan terjadi kerusakan lebih besar. Kedua kemasan tersebut kurang efisien dalam pengepakan, sedangkan menurut Buckle (1987) dalam Chayati (2010) salah satu syarat sebuah kemasan adalah harus berfungsi secara benar, efisien dan ergonomis dalam pengepakan. Oleh karena itu, kedua kemasan ini tidak sesuai untuk diaplikasikan pada produk.

Kemasan ukuran 3 (Gambar 5c) diperoleh hasil yang sesuai. Panjang ikan dengan seal tidak dekat, lebar kemasan tidak berlebih dan tidak ada ruang kosong. Tidak adanya ruang kosong antara ikan dengan kemasan membuat kemasan ukuran 3 ini lebih enak dilihat, penataan dalam kemasan sekunder lebih mudah dan tidak terjadi penumpukan, sehingga kemasan ketiga ini menjadi yang paling tepat dari kedua kemasan lainnya.

Simulasi distribusi yang dilakukan pada meja getar menghasilkan nilai rataan amplitudo 4.64, frekuensi 3.87, dan kondisi lain tersaji pada Tabel 5. Perhitungan kesetaraan simulasi transportasi tersaji pada Lampiran 4. Hasil perhitungan menunjukkan kesetaraan jarak tempuh sebesar 160.96 km. Tingkat kerusakan produk pindang yang dikemas dalam wadah besek sebesar 38 % (memiliki nilai di bawah 7 (Gambar 6)). Kerusakan terjadi berupa ekor patah sebesar 25 % dan perut pecah akibat benturan antar besek sebesar 13 %. Kondisi kerusakan terlihat pada Gambar 7.

Kondisi pindang yang dikemas secara vakum memiliki nilai kerusakan 0 %, yang artinya 100 % pindang memperoleh nilai di atas 7. Kondisi pindang utuh kulit sangat rapi (nilai 9) adalah sebesar 80 % dan utuh kulit rapi (nilai 8) sebesar 20 %. Berdasarkan hasil penilaian tersebut menggambarkan bahwa kemasan plastik vakum dapat menjaga pindang selama proses distribusi.

Tabel 5 Nilai kesetaraan simulasi transportasi menggunakan meja getar selama 2 jam

Nilai Kesetaraan Simulasi Transportasi Satuan Nilai

Frekuensi Hz 3.87

Amplitudo cm 4.64

Periode (T) detik/getaran 0.26

Kecepatan sudut (ω) getaran/detik 24.2

Luas satu siklus getaran vibrator cm2/jam 1.155 x 10-3

Lama getaran Jam 2

Jumlah luas seluruh getaran vibrator

selama 1 jam cm

2

/jam 16.091

Jumlah luas seluruh getaran truk luar kota

selama 0.5 jam cm

2

/jam 2.99

12

Gambar 6 Persentase Tingkat Kerusakan produk pindang saat simulasi transportasi dengan menggunakan kemasan besek dan plastik vakum

Gambar 7 Kerusakan setelah transportasi berupa (a) kulit mengelupas (b) ekor patah

Penyimpanan pindang dengan wadah besek mengalami penurunan bobot (Gambar 8) dengan laju penurunan yang berbeda pada setiap suhu penyimpanan. Penyimpanan dengan wadah besek suhu 4 C mengalami penyusutan bobot lebih besar pada setiap harinya dibandingkan dengan pindang yang disimpan pada suhu -11 C. Perbedaan kecepatan penyusutan bobot ini dapat disebabkan perbedaan Relative Humidity (RH) ruang penyimpanan. RH pada kondisi penyimpanan suhu 4 C sebesar 75 % dan suhu -11 C sebesar 30 %. RH yang tinggi pada penyimpanan suhu 4 C membuat ruang penyimpanan lebih kering sehingga

13% 25% 46% 17% 20% 80% 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

kemasan besek kemasan plastik vakum T ing kat Ker us akan (%) Jenis Kemasan nilai 9 nilai 8 nilai 7 nilai 6 nilai 5 b a

13 terjadi penguapan air di permukaan pindang yang lebih cepat dibandingkan dengan RH 30 %.

Kenampakan susut bobot pindang tersebut tersaji pada Gambar 9. Kulit pindang mengalami perubahan dan menjadi retak yang ditunjukkan pada Gambar 9a, sedangkan Gambar 9b memperlihatkan penyusutan yang drastis hingga ukuran pindang menjadi kecil. Kenampakan pindang dari hari ke hari menjadi kurang menarik. Dampak yang terjadi akibat penurunan susut bobot ini adalah sistem penjualan harus dalam jangka waktu cepat. Sistem penjualan cepat membuat jangkauan pemasaran menjadi sempit.

Gambar 8 Persentase penurunan berat pindang selama penyimpanan * K2T2 : Kemasan plastik vakum penyimpanan suhu -11 C

K1T1 : Wadah besek penyimpanan suhu 4 C

K2T1 : Kemasan plastik vakum penyimpanan suhu 4 C K1T2 : Wadah besek penyimpanan suhu -11 C

Gambar 9 Kondisi pindang setelah penyimpanan 13 hari (a) wadah besek suhu -11 C (b) wadah besek suhu 4 C (c) kemasan plastik vakum suhu -11 C (d) kemasan plastik vakum suhu 4 C

0 20 40 60 80 100 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 P enurun an be ra t (% )

Lama penyimpanan (Hari)

K2T2 K1T1 K2T1 K1T2 a d c b

14

Berbeda halnya dengan penyimpanan pindang dalam wadah besek, penyimpanan menggunakan kemasan plastik vakum menunjukkan bobot yang tetap hingga pengamatan hari ke-13. Kemasan plastik vakum yang menutup seluruh bagian pindang menjaganya dari penguapan sehingga bobot pindang tidak menurun. Bobot pindang yang tidak menurun membuat sistem penjualan dapat dilakukan dalam jangka waktu yang lama. Sistem distribusi produk pun dapat dilakukan dengan jangkauan pasar yang lebih luas.

Hasil pengujian organoleptik pindang yang disimpan dengan wadah besek pada suhu 4 C tersaji pada Gambar 10. Parameter kenampakan, bau, rasa dan tekstur mengalami penurunan persentase panelis yang menilai kualitas pindang di atas 7, sedangkan pada parameter lendir hingga hari keenam tidak mengalami penurunan.

Hari pertama pengamatan, sebesar 90 % panelis menyatakan pindang memiliki kenampakan utuh, rapi, bersih dan warna kurang cemerlang. Hari kedua dan ketiga jumlah tersebut menurun menjadi 70 % dan pada hari keenam hanya 50 % panelis yang menyatakan hal tersebut. Kenampakan pindang ditolak oleh 50 % panelis pada hari keenam. Penolakan ini erat kaitannya karena proses penyusutan bobot ikan yang membuat kenampakan menjadi kering dan kusam.

Sebesar 100 % panelis menyatakan pindang memiliki bau segar dan kurang harum pada pengamatan hari pertama dan kedua. Kemudian jumlah tersebut menurun 20 % pada hari ketiga hingga kelima. Pengamatan hari keenam, sebesar 70 % panelis yang masih menerima pindang dari parameter bau.

Pengamatan hari pertama dan kedua untuk parameter rasa menunjukkan 100 % panelis yang menyatakan rasa pindang enak dan kurang gurih. Persentase tersebut menurun 10 % pada pengamatan hari ketiga hingga kelima. Pengamatan hari keenam menunjukkan 50 % panelis telah menolak karena rasa pindang menjadi hambar dan mendekati netral.

Tekstur pindang pada hari pertama hingga keempat menurut 100 % panelis masih padat dan kurang kompak. Tekstur menjadi agak lembek dinyatakan oleh 20 % panelis pada hari kelima dan keenam. Parameter lendir, 100 % panelis menyatakan pindang tidak berlendir hingga hari keenam.

Meskipun hanya pada parameter kenampakan dan rasa yang mengalami penolakan oleh 50 % panelis pada hari keenam, pengamatan tidak dapat dilanjutkan pada hari selanjutnya. Hal ini disebabkan karena terdapat 6 sampel yang tumbuh kapang seperti pada Gambar 11. Tumbuhnya kapang menunjukkan bahwa wadah besek tidak mampu menjaga produk saat penyimpanan dari pertumbuhan mikroba.

Kemunduran kualitas terjadi pada parameter kenampakan, bau, rasa dan tekstur. Kemunduran dari parameter kenampakan dapat disebabkan proses penguapan yang menyebabkan dehidrasi pindang. Penurunan kualitas dari parameter bau, rasa dan tekstur dapat disebabkan terjadinya degradasi protein dan lemak oleh mikroba penghasil enzim protease. Penguraian protein menjadi senyawa yang lebih sederhana seperti asam amino, nitrogen dan sebagainya dapat membuat bau dan rasa menjadi asam serta tekstur menjadi kurang kompak dan mampu memacu terbentuknya histamin. Menurut Fuji (1994), terdapat beberapa mikroba pembentuk histamin yang mampu tumbuh pada suhu rendah yaitu Photobacterium phosphoreum dan Photobacterium histaminum, namun demikian

15

kondisi maksimum pembentukan histamin pada suhu 28-32 C (Fletcher et al. 1996). Maka dari itu, kemunduran produk akan tetap terjadi dalam jangka waktu yang lebih lama dibandingkan penyimpanan suhu ruang.

Gambar 10 Persentase penilaian panelis terhadap produk pindang yang dapat diterima (skor min. 7) pada kemasan besek selama penyimpanan suhu 4 C

Gambar 11 Kondisi pindang saat disimpan menggunakan wadah besek pada suhu 4 C beberapa sampel tumbuh kapang saat penyimpanan 14 hari Penyimpanan pindang pada suhu -11 C dengan wadah besek (Gambar 12) mengalami penurunan penerimaan pada semua parameter kecuali parameter lendir yang masih diterima oleh 100 % panelis hingga minggu keenam. Penurunan paling tajam terjadi pada parameter kenampakan, sebesar 50 % panelis menolak pada minggu keenam. Penolakan ini menunjukkan kenampakan pindang sudah mulai kusam. Parameter bau mulai ditolak oleh 20 % panelis pada minggu ketiga dan 30 % panelis menolak pada minggu keenam. Rasa pindang mulai agak hambar pada minggu keempat dinyatakan oleh 10 % panelis. Tekstur pindang menjadi lembek pada minggu kelima dan keenam menurut 20 % panelis.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

kenampakan bau rasa tekstur lendir

Pener im aa n Panel is (% ) Parameter hari 1 hari 2 hari 3 hari 4 hari 5 hari 6

16

Gambar 12 Persentase penilaian panelis terhadap produk pindang yang dapat diterima (skor min. 7) pada kemasan besek selama penyimpanan suhu -11 C

Penyimpanan dengan kemasan plastik vakum pada suhu 4 C (Gambar 13) menunjukkan penurunan yang lebih lama pada parameter kenampakan. Sebanyak 10 % panelis menolak pada minggu kelima dan keenam pada parameter ini. Penolakan panelis juga terjadi di minggu keempat dan kelima pada parameter bau sebesar 10 %. Sebesar 50 % panelis menolak di minggu keenam. Penolakan ini menunjukkan bau ikan tidak harum atau mendekati netral. Parameter tekstur mengalami penolakan sebesar 10 % pada minggu keenam. Penolakan tidak terjadi pada parameter rasa dan lendir hingga pengamatan minggu keenam.

Gambar 13 Persentase penilaian panelis terhadap produk pindang yang dapat diterima (skor min. 7) pada kemasan vakum selama penyimpanan suhu 4 C

Penyimpanan pindang dengan kemasan vakum pada suhu -11 C memperlihakan kondisi yang lebih baik daripada penyimpanan suhu 4 C (Gambar 14). Penurunan penerimaan hanya terjadi pada minggu keenam pada

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

kenampakan bau rasa tekstur lendir

Pe ne ri m aa n Pa ne li s (% ) Parameter minggu 1 minggu 2 minggu 3 minggu 4 minggu 5 minggu 6 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

kenampakan bau rasa tekstur lendir

Pener im aa n Panel is (% ) Parameter minggu 1 minggu 2 minggu 3 minggu 4 minggu 5 minggu 6

17 parameter kenampakan, bau, rasa dan tekstur dengan persentase penerimaan masih diatas 70 %. Berdasarkan penilaian tersebut, dapat dikatakan bahwa kondisi pindang memiliki kenampakan utuh, rapi, bersih warna kurang cemerlang, bau segar kurang harum, rasa enak kurang gurih dan tekstur padat kurang kompak hingga minggu kelima. Pindang juga tidak berlendir hingga minggu keenam.

Gambar 14 Persentase penilaian panelis terhadap produk pindang yang dapat diterima (skor min. 7) pada kemasan vakum selama penyimpanan suhu -11 C

Kondisi pindang pada semua penyimpanan tidak terjadi pembentukan lendir seperti pada penyimpanan suhu ruang, dimana terbentuknya lendir mencerminkan penurunan kualitas akibat pembusukan. Kemungkinan besar lendir tidak terjadi karena kondisi pindang kering, tidak menghasilkan rasa asam, bau busuk dan tekstur lembek (Heruwati et al. 1985).

Analisis Biaya Produksi

Pengemasan dengan plastik vakum mampu menjaga produk dari kerusakan selama transportasi. Menjaga produk dari penguapan dan kontaminasi selama penyimpanan dengan persentase penerimaan yang tinggi. Perubahan teknologi proses dan pengemasan dapat menambah biaya produksi sehingga harga jual produk lebih tinggi.

Berdasarkan perhitungan finansial pada Lampiran 5 diperoleh biaya pokok produksi per kemasan untuk produk yang dikemas plastik vakum dengan nilai sebesar Rp 4 955 dan wadah besek Rp 3 815. Perbedaan harga pokok produksi tidak terlalu tinggi. Apabila harga jual pindang yang dikemas dengan plastik vakum sebesar Rp 8 000, maka keuntungan yang akan diperoleh adalah Rp 3 045 per kemasan dengan total keuntungan untuk produksi 26 ton (104 000 kemasan) dalam jangka waktu 1 bulan adalah Rp 316 680 000. Sementara keuntungan yang akan diperoleh apabila menjual pindang dengan wadah besek adalah sebesar Rp 2 185, apabila harga jualnya sebesar Rp 6 000 (harga jual di pasar tradisional saat ini) dengan total keuntungan selama 1 bulan sebesar Rp 227 240 000 dengan jumlah produksi yang sama. Keuntungan ini lebih rendah, sehingga kondisi lapang membuat pengolah pindang tradisional mengatasinya dengan penggunaan

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

kenampakan bau rasa tekstur lendir

Pener im aa n Panel is (% ) Parameter minggu 1 minggu 2 minggu 3 minggu 4 minggu 5 minggu 6

18

bahan baku berkualitas rendah (ikan sudah tidak segar) dan harga lebih murah.

Dokumen terkait