Berdasarkan hasil uji (Tabel 5) sampel Rajungan kaleng dengan kode B (sesudah pasteurisasi) dinyatakan positif, hal ini dapat dilihat dari uji koagulasi dimana pada sampel kode B hasil uji koagulasi adalah 4+ sehingga sudah dapat dipastikan bahwa sampel tersebut positif S. aureus dan tidak perlu dilakukan uji lanjutan. Sedangkan untuk sampel dengan kode A uji koagulasi dihasilkan 2+ sehingga perlu dilakukan uji lanjutan untuk penegasan. Akan tetapi dalam PKL ini semua sampel tetap dilakukan semua uji lanjutan sebagai pembuktian bahwa benar atau tidaknya hasil pengujian tersebut dan menghindari dari kontaminasi fisik dari analis.
Setelah dilakukan uji lanjutan untuk sampel dengan kode A dan B diperoleh seluruh uji menghasilkan reaksi positif kecuali untuk sampel B pada uji Nuklease hasilnya negatif yaitu dengan reaksi tidak terbentuk lingkaran merah muda di sekeliling lubang agar. Pada uji katalase kebanyakan bakteri khususnya bakteri genus Staphylococcus sp memproduksi enzim katalase yang dapat menguraikan Hidrogen Peroksida (H2O2) menjadi air (H2O) dan oksigen (O2) sehingga jika koloni bakteri dicampurkan dengan H2O2 akan menghasilkan gelembung-gelembung gas yang berarti katalase positif (Wahyuni, 2015). Uji Fermentasi anaerob Glukosa dan Manitol menghasilkan reaksi yang positif jika terdapat perubahan warna dari ungu menjadi kuning. Hal ini menandakan bahwa bakteri tersebut dapat memfermentasikan Glukosa dan Manitol serta terjadi penurunan pH media sehingga menjadi asam.
Berdasarkan hasil uji menunjukkan reaksi positif maka untuk kedua sampel tersebut dinyatakan positif S. aureus dengan sampel kode A sebanyak 2.300 koloni/gram dan kode B 300 koloni/gram. Ketentuan syarat mutu bahan baku rajungan kaleng terdapat pada SNI 6929:2016 Syarat Mutu Keamanan Pangan pada Daging Rajungan Pateurisasi dalam Kaleng tertulis maksimum cemaran S. aureus adalah antara 102 koloni/gram dan SNI tentang Syarat Mutu Keamanan Pangan pada
30
Daging Rajungan Sterilisasi dalam Kaleng tertulis maksimum cemaran S. aureus adalah 103 koloni/gram.
Regulasi Pangan BPOM No HK.00.06.1.52.4011 dan SNI 738:2009 juga menetapkan Ikan dan produk perikanan termasuk moluska, krustase dan ekinodermata yang dikukus atau rebus dan atau goreng batas maksimum cemaran bakteri S. aureus adalah 103 koloni/gram. Mengacu pada SNI dan BPOM hasil uji sampel Rajungan Kaleng dengan kode B meski positif bakteri S. aureus namun tetap aman untuk di konsumsi karena tidak melebihi batas yang sudah ditentukan SNI namun untuk sampel A tidak dapat dikonsumsi karena melebihi batas maksimum yang sudah ditentukkan. Mikroba yang terkandung dalam makanan bisa menyebabkan terjadinya kerusakan mikrobiologis pada makanan sehingga tidak layak untuk dikonsumsi (Aditia, 2014). Bahaya yang ditimbulkan oleh produk perikanan yang mengandung S. aureus melebihi batas maksimum akan mengakibatkan gejala umum seperti mual, pusing, muntah-muntah, diare, sakit perut, badan berkeringat dan nafas pendek, gejala ini akan hilang sendirinya dalam wakru 24 - 48 jam (Badan Standardisasi Nasional Indonesia, 2015).
Berdasarkan hasil pengujian S. aureus selama PKL dapat diketahui bahwa produk Rajungan kaleng sebelum pasteurisasi memiliki jumlah koloni terduga lebih banyak dibandingkan Rajungan kaleng sesudah pasteurisasi. Hal ini terjadi karena proses pasteurisasi adalah tahapan pemanasan komersial, dimana proses pemanasan yang dijalankan akan membunuh mikroba patogen. Seluruh mikroba dipastikan telah tereliminasi dalam proses pasteurisasi, mikroba yang dimusnahkan hanya mikroba patogen seperti Salmonella, S. aureus, E. coli , dan Vibrio C .
Batas kendali operasional yang diperhatikan dalam tahapan proses pasteurisasi adalah temperatur dan waktu namun, mengingat tahapan proses ini adalah tahapan pemanasan komersial, maka bisa dipastikan masih terdapatnya mikroba lainnya yang dapat mengganggu kesehatan ataupun masih adanya dorman dari mikroba patogen yang tidak
sepenuhnya hilang dari produk yang dimaksud. Tahapan pasteurisasi mampu mengurangi tingkat kontaminasi secara keseluruhan dan memberikan pengaruh yang positif terhadap mutu mikrobiologi produk akhir. Prosedur sanitasi dan higienis yang benar merupakan cara yang sangat penting untuk mengurangi tingkat kontaminasi mikroba. Sedangkan dalam proses sterilisasi tanpa pasteurisasi hanya membunuh mikroba non patogen saja sehingga mikroba patogen tetap ada dan m akin berkembangbiak sebagaimana karakteristiknya. S. aureus akan berkembangbiak dengan optimal jika bakteri lain mati, maka dari itu pada proses sterilisasi sangat memungkinkan bakteri ini tumbuh dengan bebas.
Hasil uji S. aureus pada produk Fillet ikan Lemadang dari 5 kode sampel diperoleh 2 sampel yang di duga positif S. aureus. Dugaan ini dapat terlihat dari koloni yang tumbuh dengan ciri-ciri terdapat halo (lingkaran putih/bening) pada koloni. Sampel yang di duga positif adalah sampel dengan kode B dan C jumlah koloni terduga S. aureus kode B sebanyak 20 koloni/gram dan C 100 koloni/gram. Sampel dengan kode B dan C harus dilakukan uji lanjutan sebagai penegasan, sedangkan sampel lainnya tidak memerlukan uji lanjutan karena media tanam tidak ditumbuhi bakteri terduga. Uji lanjutan yang dilakukan untuk sampel kode B pada uji koagulasi menghasilkan reaksi 4+, artinya gumpalan tersebut jika dibalik tidak tumpah. Sedangkan untuk kode C menghasilkan reaksi negatif, artinya tidak terdapat gumpalan pada media koagulase. Produksi enzim koagulase menjadi faktor patogenitas dari bakteri Staphylococcus aureus yang membedakan dengan bakteri Staphylococcus lainnya). Enzim koagulase dapat dihasilkan oleh Staphylococcus aureus mampu menggumpalkan plasma darah. Kerja enzim ini menyerupai protrombin yang dapat mengubah fibrinogen menjadi fibrin (Wahyuni, 2015).
Uji Nuklease pada sampel fillet ikan Lemadang menghasilkan reaksi yang negatif karena tidak ada perubahan warna dari biru menjadi merah muda. Kemudian dilanjutkan uji fermentasi glukosa secara anaerob sampel B dan C menghasilkan reaksi yang positif dengan menunjukkan
32
perubahan warna dari ungu menjadi kuning, artinya bakteri S. aureus berhasil memfermentasi glukosa yang terkandung dalam media. Akan tetapi pada uji fermentasi manitol secara anaerob sampel C mengasilkan reaksi yang negatif sedangkan sampel B menghasilkan reaksi yang positif. Artinya sampel C bakteri yang terdapat dalam media tidak mampu
memfermentasi manitol yang terkandung dalam media. Jika dilihat pada tabel karakteristik yang khas dari S. aureus, S. epidermidis dan Micrococci (Tabel 3), karakteristik sampel dengan kode C mirip dengan karakteristik Staphylococcus epidermidis. Sebab pada uji fermentasi manitol secara anaerob untuk bakteri S. epidermidis menghasilkan reaksi yang negatif, begitupula dengan uji koagulase menghasilkan reaksi yang negatif.
Sampel dengan kode B sudah dapat dipastikan bahwa bakteri yang terkandung dalam sampel adalah Staphylococcus aureus, hal ini dapat terlihat pada karakteristik paling khas dari bakteri ini yaitu pada uji koagulasi yang menghasilkan reaksi 4+ dan uji fermentasi manitol secara aerob yang menghasilkan reaksi positif. Sebab karakteristik bakteri Staphylococcus epidermidis dan Micrococci untuk kedua uji ini menghasilkan reaksi yang negatif.
Batas maksimum cemaran Staphylococcus aureus pada produk perikanan segar tidak terstandarisasi dalam SNI karena memang uji bakteri ini tidak dilakukan pada produk ikan segar. Akan tetapi jika buyer (perusahaan) menginginkan uji mikrobiologi Staphylococcus aureus maka di BPPMHP Cirebon tetap dilayani sesuai dengan prosedur pelayanan. Biasanya yang meminta uji ini adalah importir.
Jika dibandingkan dengan sampel Rajungan kaleng dapat terlihat bahwa produk perikanan yang sudah mengalami penanganan dan pengolahan lebih rentan terkontaminasi bakteri S. aureus dibandingkan produk perikanan segar yang belum mengalami proses pengolahan. Hal ini dapat terjadi karena karakteristik dari bakteri ini tidak dapat tumbuh dengan baik pada makanan yang belum diolah dan mengandung banyak bakteri lain. Ketidakmampuan bersaing dengan bakteri lain ini
menyebabkan keracunan makanan akibat S. aureus jarang ditemukan pada produk makanan yang belum diolah (Badan Standardisasi Nasional Indonesia, 2015). Selain itu bakteri S. aureus dapat menyebar melalui tangan pekerja dan peralatan merupakan sumber kontaminan primer, sedangkan udara lingkungan merupakan sumber kontaminan sekunder.
34 BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan kegiatan yang sudah dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa Balai Pengujian dan Pembinaan Mutu Hasil Perikanan (BPPMHP) Cirebon sudah melakukan pengujian sesuai SNi dan mampu melakukan pengujian dengan baik dan benar. Hasil uji Laboratorium Mikrobiologi tentang pengujian Staphylococcus aureus produk Rajungan kaleng sebelum pasteurisasi terdapat 2.300 koloni/gram dan Rajungan kaleng sesudah pasteurisasi terdapat 300 koloni/gram. Rajungan kaleng sesudah pasteurisasi lebih sedikit terkontaminasi S. aureus dan memiliki daya simpan lebih lama dibandingkan sebelum pasteurisasi. Fillet Lemadang ditemukan lebih sedikit S. aureus dibandingkan dengan Rajungan kaleng. Produk olahan perikanan lebih memiliki kecenderungan tinggi terkontaminasi bakteri S. aureus dibandingkan produk segar.