• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini dimulai dengan mengumpulkan gigi premolar rahang atas yang telah diekstraksi untuk keperluan ortodonti sebanyak 30 sampel yang telah disetujui oleh Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KEPK) Fakultas Kedokteran USU Medan melalui Ethical Clearance. Gigi premolar rahang atas digunakan karena relatif mudah diperoleh. Pengumpulan sampel sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, yaitu tidak ada fraktur, belum pernah direstorasi, mahkota masih utuh dan tidak karies. Gigi-geligi premolar rahang atas direndam dalam larutan saline sehingga gigi tetap lembab dan tidak mengalami dehidrasi sampai diberikan perlakuan.17

Penelitian dilakukan untuk mengetahui perbedaan pengaruh teknik dry- bonding, water wet-bonding dan ethanol-wet bonding pada restorasi Klas II resin komposit nanohybrid terhadapcelah mikro. Evaluasi celah mikro dilakukan secara in vitro dengan melihat panjangnya penetrasi zat warna. Ini merupakan metode paling sering digunakan karena proses kerjanya yang mudah, sederhana, ekonomis, dan relatif cepat. Pada penelitian ini digunakan metode penetrasi zat warna Methylene

Blue 2% yang merupakan zat pewarna yang dapat berpenetrasi lebih baik

dibandingkan pewarna lainnya dan dapat berperan sebagai indikator yang adekuat karena memiliki berat molekul yang lebih kecil dari berat molekul toksin bakteri sehingga zat warna dapat masuk walaupun celah mikro yang terbentuk sangat kecil.2 Sampel direndam dalam Methylene Blue 2% selama 24 jam, kemudian dilakukan pembelahan sampel secara mesiodistal melalui bagian tengah restorasi. Sampel diamati dengan stereomikroskop pembesaran 20x dan dicatat dengan sistem penilaian standar dengan skor 0-3 seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Sahelangi et al. (2010).2 Nilai skor yang dihitung merupakan nilai skor rata-rata antara skor bukal dan palatal tanpa membandingkan hasil kedua skor.

Perkembangan resin komposit masih tidak berhasil secara klinis untuk mencegah terbentuknya celah mikro yang akan menimbulkan karies sekunder

ataupun terlepasnya bahan restorasi dari kavitas.5,8 Kebocoran mikro adalah salah satu masalah yang paling sering dijumpai pada restorasi resin komposit pada gigi posterior, khususnya pada tepi gingiva kavitas Klas II.1,4 Penelitian Simi et al. (2011) menyatakan tepi gingiva lebih rentan terhadap kebocoran mikro dibandingkan tepi okusal pada preparasi Klas II.5

Salah satu faktor penting dalam keberhasilan restorasi resin komposit adalah terbentuknya perlekatan bonding yang kuat antara resin komposit dan struktur gigi. Bonding akan membentuk mechanical interlocking dengan struktur gigi. Kegagalan sistem bonding sering terjadi karena terbentuknya celah antara resin komposit dan struktur gigi. Celah ini disebabkan karena kekuatan bonding yang kurang baik sehingga tidak mampu menahan tekanan shrinkage pada saat polimerisasi.2

Penggunaan teknik bonding yang berbeda akan mempengaruhi perlekatan restorasi. Terdapat dua teknik yang dapat dilakukan sebelum pengaplikasian bahan bonding untuk memperoleh hibridisasi yang adekuat yaitu: teknik dry-bonding dan

wet-bonding. Teknik dry-bonding akan membuat dentin mengalami dehidrasi. Selain

itu, matriks kolagen akan kolaps sehingga lapisan hybrid tidak terbentuk sempurna atau bahkan tidak terbentuk sehingga akan terbentuk celah mikro yang akan mempengaruhi ketahanan bahan restorasi dalam rongga mulut. Teknik wet-bonding yaitu membilas dentin yang telah dietsa dan membiarkan dentin tetap dalam keadaan lembab akan membantu dalam penetrasi resin komposit.6

Hasil penelitian berdasarkan tabel 2 terlihat bahwa celah mikro tetap akan terbentuk pada setiap kelompok perlakuan dan tingkat kebocoran mikro yang tertinggi ditunjukkan pada kelompok I karena perlekatan antara bahan restorasi dan struktur gigi dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti kemampuan operator, bahan yang digunakan, struktur gigi dan efektivitas bahan perekat.26 Menurut Arias et al. (2004) tidak ada bahan bonding yang dapat menghilangkan kebocoran mikro. Kebocoran mikro ini juga bisa disebabkan akibat polimerisasi, shrinkage, jenis resin komposit yang digunakan, beban kunyah yang di terima kavitas, lokasi dari margin yang dipersiapkan dan teknik insersi yang digunakan. Selain itu, hal ini kemungkinan disebabkan karena dalam penelitian ini sampel yang digunakan adalah gigi non vital

yang telah banyak kehilangan kandungan air, dan lamanya gigi semenjak pencabutan tidak terkendali, sehingga kemungkinan matriks kolagen pada permukaan dentin yang dapat membentuk lapisan hybrid sudah tidak dijumpai lagi menyebabkan perlekatan bahan bonding yang kurang optimal.

Hasil uji statistik Kruskal Wallis Test menunjukkan terdapat perbedaan celah mikro yang signifikan antara kelompok I, II dan III. Uji statistik Mann Whitney Test menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan dari kelompok perlakuan dry- bonding dan water wet-bonding dan juga pada kelompok dry-bonding dan ethanol wet-bonding. Tetapi, hasil uji ini tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan pada kelompok perlakuan water wet-bonding dan ethanol wet-bonding. Hal ini sesuai dengan penelitian Jayaprakash et al. (2010) yang melaporkan bahwa permukaan dentin yang dikeringkan, dapat mengurangi air dan kelembaban dari dentin. Penambahan air atau etanol mampu mengurangi tegangan permukaan dentin dan membiarkan dentin dalam keadaan lembab dapat membantu infiltrasi dari monomer resin sehingga meningkatkan kekuatan perlekatan dari restorasi.14 Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Huang et al (2011) dan Guimaraes et al (2012) yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dari perlekatan restorasi antara Ethanol wet-bonding (EWB) dan Water wet-bonding (WWB).19,25

Hasil penelitian pada tabel 5 menunjukkan bahwa nilai rata-rata skor celah mikro yang terbesar ditunjukkan pada kelompok I yaitu dengan teknik dry-bonding (1.70±1.059), kemudian kelompok II yaitu dengan teknik water wet-bonding (0.70±0.823), sedangkan nilai rata-rata skor celah mikro yang terkecil terdapat pada kelompok III yaitu dengan teknik ethanol wet-bonding (0.20±0.422).

Hosaka et al (2008) meneliti tentang lamanya resin komposit dapat bertahan dengan membandingkan teknik water wet-bonding dan ethanol wet-bonding secara in vitro. Hasil yang diperoleh adalah ethanol wet-bonding menghasilkan kekuatan perlekatan yang lebih tinggi daripada water wet-bonding setelah 1 tahun karena etanol dapat membantu penetrasi resin yang bersifat hidrofobik pada dentin.21

Guimaraes et al. (2012) melaporkan bahwa penggunaan ethanol wet-bonding menghasilkan diameter serabut kolagen yang lebih kecil daripada water wet-bonding dan memperbesar jarak antar serabut yang berhubungan dengan peningkatan kekuatan perlekatan.19

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, pembentukan celah mikro lebih tinggi pada kelompok I yang menggunakan teknik dry-bonding dibandingkan pada kelompok III yang menggunakan teknik ethanol wet-bonding. Hal ini disebabkan karena teknik dry-bonding dapat menyebabkan kolagen menjadi kolaps sehingga bahan bonding tidak dapat berpenetrasi dengan baik serta membuat ikatan dentin dan resin komposit menjadi lemah maka akan terbentuk celah-celah mikro yang akan mengganggu perlekatannya. Sedangkan teknik wet-bonding dapat meningkatkan kekuatan perlekatan dimana kondisi dentin yang lembab dapat membantu dalam pembentukan lapisan hybrid dan mencegah kolapsnya kolagen saat pengeringan dentin yang terdemineralisasi. Penggunaan ethanol wet-bonding dapat menggantikan air pada matriks kolagen yang membuatnya menjadi lebih hidrofobik sehingga dapat mendukung infiltrasi monomer resin seperti bis-GMA/TEGDMA ke dalam kolagen. Selain itu, penggunaan etanol dapat meningkatkan kekuatan perlekatan dari resin yang bersifat hidrofobik.26 Li et al.(2012) melakukan penelitian tentang infiltrasi resin yang menggunakan ethanol wet-bonding dan didapatkan hasil bahwa ethanol wet-bonding dapat membantu infiltrasi resin kedalam zona terdalam dari kolagen dan membentuk lapisan hibrid yang optimal. Selain itu, nilai positif dari penggunaan

ethanol wet-bonding pada dentin bonding dapat mempengaruhi ikatan kimiawi

komposit terhadap bahan bonding.22

Proses thermocycling bertujuan untuk mensimulasikan perubahan suhu pada gigi atau restorasi seperti yang terjadi di dalam rongga mulut.2,11 Pada penelitian ini proses thermocycling dilakukanperubahan temperatur yang ekstrim yaitu dari 50C ke 550C sebanding dengan yang terjadi di dalam rongga mulut, sehingga dapat mempengaruhi perbedaan ekspansi dan kontraksi antara bahan restorasi dan struktur gigi, sehingga permukaan restorasi menjadi lemah. Pada penelitian Rigsby et al (1992) cit Nunes et al (2005) yang membandingkan infiltrasi marginal antara

kelompok yang di thermocycling dan yang tidak, diperoleh hasil bahwa proses

thermocycling tidak berpengaruh terhadap pembentukan celah mikro. Tetapi beberapa

penelitian lainnya menunjukkan proses thermocycling dapat mempengaruhi secara langsung terhadap peningkatan kebocoran mikro.11 Pada penelitian ini dikarenakan keterbatasan alat thermocycling, maka dilakukan secara manual dengan menggunakan waterbath sebagai alternatif. Perlakuan ini tidak sesuai dengan prosedur kerja, sehingga proses ini mungkin dapat mempengaruhi kebocoran mikro yang terjadi.

Dokumen terkait