• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif yang memperlihatkan kegunaan dan manfaat nilai ABI pada penderita Sindroma Koroner Akut (SKA) dalam mendeteksi jumlah arteri koroner yang mengalami stenosis yang dibuktikan dengan hasil angiografi koroner. Hasil angiografi koroner yang menunjukkan adanya stenosis > 70% didefinisikan sebagai stenosis yang bermakna. Jika stenosis hanya mengenai satu arteri koroner epikardial maka pasien dikelompokkan ke dalam kategori One vessel disease, tetapi jika dijumpai stenosis > 70% pada lebih dari satu arteri koroner epikardial atau pembuluh darah Left Main, maka pasien dikategorikan Mutivessel disease.

Disamping itu penelitian ini juga membuktikan bahwa penderita SKA dengan nilai ABI abnormal memiliki resiko / peluang untuk mengalami kejadian kardiovaskular (MACE) setelah 6 bulan yang lebih besar bila dibandingkan dengan nilai ABI normal dimana dilakukan follow-up setelah 6 bulan untuk mengetahui kejadian cardiac death, rawatan ulang di RS karena gagal jantung dan re-infark.

5.1 Hubungan Antara Nilai ABI Dengan Jumlah Arteri Koroner Yang Mengalami Stenosis

Pada penelitian ini dijumpai hubungan yang bermakna antara nilai ABI yang abnormal pada penderita Sindroma Koroner Akut dengan hasil angiografi koroner yang menunjukkan adanya stenosis pada lebih dari satu arteri koroner (multivessel disease ) dengan nilai p=0,049 (OR = 4,63, 95% IK = 1,007-21,29; lihat tabel 4.3). Sehingga dari penelitian ini menunjukkan bahwa subjek penelitian dengan nilai ABI abnormal bila kemudian dilakukan tindakan angiografi koroner, memiliki peluang untuk mendapat hasil multivessel disease sebanyak 4,63 kali lebih besar bila dibandingkan dengan subjek dengan nilai ABI yang normal.

Bila dikelompokkan berdasarkan diagnosis saat masuk RS, ditemukan hubungan yang signifikan antara jumlah stenosis pada kelompok pasien yang

didiagnosis awal saat masuk IMA-STE dengan nilai ABI abnormal (p=0,041, lihat tabel 4.10), sedangkan untuk kelompok pasien dengan IMA-NSTE dan APTS tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara jumlah stenosis dengan ABI (p>0,05).

Hasil dari penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nunez dkk pada tahun 2010 yang meneliti 1031 orang penderita SKA dan mendapatkan hasil bahwa dari 394 pasien dengan nilai ABI abnormal ternyata 246 orang (45,4%) dengan gambaran angiografi koroner berupa multivessel disease, dan secara statistik bermakna dengan nilai p<0,001. Studi PAMISCA yang dilakukan pada tahun 2010 membuktikan bahwa penderita sindroma koroner akut dengan nilai ABI abnormal memiliki penyakit arteri koroner yang lebih luas dengan prevalensi kejadian multivessel disease yang lebih besar (Nunez dkk,2010).

Penelitian yang dilakukan oleh Papamichael dkk pada tahun 2000 menyimpulkan bahwa nilai ABI ≤ 0,9 dihubungkan dengan luasnya penyakit jantung koroner, perubahan proses aterosklerosis pada pembuluh darah ekstra koroner serta dapat meramalkan pasien yang dicurigai penyakit jantung koroner yang menjalani prosedur angiografi koroner. ( Papamichael dkk, 2000 ).

Studi-studi yang dilakukan sebelumnya membuktikan bahwa merokok dan DM merupakan prediktor independen terhadap kejadian penyakit jantung koroner dan secara signifikan berhubungan dengan nilai ABI. Hubungan antara DM dan nilai ABI yang rendah dibuktikan dengan adanya bukti klinis bahwa DM menyebabkan proses aterosklerosis yang multisegmental dan menyebabkan lesi yang berlokasi lebih distal. Sementara merokok telah lama diketahui merupakan faktor resiko utama dalam kejadian penyakit arteri perifer. Namun kedua variabel tersebut dalam penelitian ini tidak terbukti secara signifikan memberikan gambaran angiografi koroner multivessel disease. Hal ini mungkin dikarenakan jumlah sampel yang relatif masih sedikit.

Chang dan kawan-kawan pada tahun 2006 menyimpulkan bahwa nilai ABI < 0,9 bermanfaat untuk meramalkan luasnya dan tingkat kompleksitas lesi koroner pada tindakan angiografi koroner. Penelitian ini juga menyebutkan tingginya angka kejadian stenosis pada level ostial dan segmen yang lebih proksimal, lesi

kalsifikasi yang difus dan irregular pada pasien dengan nilai ABI abnormal dibandingkan dengan nilai ABI normal. (Chang dkk, 2006).

Studi lain yang dilakukan telah berhasil memperlihatkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara nilai ABI yang abnormal dengan keterlibatan pembuluh darah kiri utama (left main) dan tingginya prevalensi kejadian stenosis pada ketiga arteri koroner.

5.2 Hubungan Antara Nilai ABI Abnormal Pada Pasien Sindroma Koroner Akut dengan MACE Setelah 6 Bulan.

Pada penelitian ini dijumpai perbedaan yang bermakna antara kejadian MACE pasien dengan nilai ABI normal terhadap pasien dengan nilai ABI abnormal dengan nilai p 0,0001 (lihat tabel 4.6). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Agnelli dkk pada tahun 2006 yang memperlihatkan hubungan yang linier antara nilai ABI yang abnormal dengan kejadian kardiovaskular (nilai p<0,001).(Agnelli dkk, 2006)

Bila diklasifikasikan berdasarkan MACE yang terjadi setelah follow-up 6 bulan, ditemukan hubungan yang signifikan antara nilai ABI dan kematian dengan nilai p=0,023 (lihat tabel 4.7). Hal yang sama didapati dimana ditemukan hubungan yang signifikan antara nilai ABI dan kejadian rawatan ulang di RS akibat gagal jantung dengan nilai p=0,012 (lihat tabel 4.9). Namun tidak dijumpai hubungan antara nilai ABI dengan kejadian re-infark karena nilai p=1,000 (lihat tabel 4.8).

Penelitian oleh Newman dkk pada tahun 1993 memperlihatkan hasil bahwa nilai ABI yang abnormal dihubungkan dengan meningkatnya kejadian kardiovaskular seperti reinfark, stroke dan gagal jantung kongestif (Newmann dkk, 1993).

Kemudian pada tahun 1999, Newmann dkk kembali melakukan penelitian dan mengevaluasi bahwa penurunan nilai ABI yang progresif berhubungan erat dengan peningkatan kejadian cardiac death, reinfark dan rawatan ulang di RS akibat gagal jantung (Newmann dkk, 1999).

Jika sampel dikelompokkan berdasarkan diagnosis awal saat masuk RS, terlihat hubungan yang signifikan antara kejadian MACE pada kelompok pasien yang didiagnosis dengan IMA-STE waktu masuk dengan nilai ABI yang abnormal dengan nilai p=0,005 (lihat tabel 4.11), sedangkan untuk kelompok pasien dengan IMA-NSTE dan APTS tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara MACE dengan ABI yang abnormal (p>0,05).

Setelah dilakukan analisis multivariat, tampak bahwa nilai ABI yang abnormal merupakan variabel prediktif yang kuat untuk kejadian MACE dengan OR 16,74 ;95% KI 3,769-74,33 dengan nilai p 0,0001; lihat tabel 4.5) . Hasil penelitian ini jauh lebih besar namun sesuai dengan yang didapat pada studi yang dilakukan oleh Agnelli dkk dimana nilai ABI yang abnormal memiliki OR 1,93; dengan 95% KI 1,24-3,01 dan nilai p 0,0034.

Sementara variabel-variabel lain yang turut mempengaruhi terjadinya MACE seperti usia (nilai p 0,015) dan darah tinggi (nilai p 0,014) juga dijumpai bermakna pada penelitian ini.

Dokumen terkait