• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa kegiatan mengunyah sirih masih dilakukan oleh penduduk pada masyarakat Batak Karo di Desa Durin Simbelang Kecamatan Pancur Batu terutama wanita yang sudah berumah tangga. Kegiatan menyirih di Desa Durin Simbelang dilakukan untuk mengisi waktu santai serta adanya beberapa responden yang masih memiliki kepercayaan kegiatan menyirih dapat menguatkan gigi geligi.

Pada penelitian ini, didapatkan 11 subyek mengalami perubahan nucleus yakni karyorrhexis di mana inti sel pecah dan kromatinnya hancur menjadi granul- granul yang tidak berbentuk dan 24 subyek memiliki sel normal di mana sel normal memiliki sitoplasma yang besar, satu nucleus, satu nucleolus dan bentuk kromatin yang baik.

Temuan lain dalam penelitian ini adalah adanya ciri khas pada subyek yang memiliki kebiasaan menyirih yakni adanya pewarnaan merah hingga kecoklatan pada bibir, lidah dan mukosa pipi, adanya warna kehitaman pada gigi geligi, banyaknya lesi mukosa penyirih yang ditemukan pada satu sisi terutama sisi kanan dan lesi tersebut terbatas pada sisi di mana campuran sirih tersebut dikunyah dan diletakkan. Terjadinya lesi mukosa menyirih pada satu sisi dapat disebabkan karena adanya iritasi terus menurus dari campuran sirih tersebut dengan mukosa.

Umumnya kebiasaan menyirih dilakukan dengan komposisi yang terdiri dari daun sirih, pinang, gambir dan kapur sebagai komposisi utamanya. Tidak ada subyek

yang menambahkan tembakau ataupun unsur-unsur yang lain ke dalam ramuan tersebut. Hal ini berbeda dengan subyek yang memiliki kebiasaan menyirih di Kamboja, Thailand dan India yang selalu menambahkan tembakau ke dalam ramuannya dan dikunyah bersama-sama.1

Pada penelitian ini, tidak ditemukan subyek yang melakukan kegiatan menyuntil dengan tembakau setelah kegiatan sirih dilakukan. Hal ini berbeda dengan subyek yang memiliki kebiasaan menyirih di Purwakarta yang menggunakan tembakau setelah selesai melakukan kegiatan menyirih.1

Faktor-faktor yang memiliki hubungan yang bermakna dengan perubahan pola sitologi adalah lamanya kebiasaan menyirih dilakukan di mana nilai p pada uji statistik dengan uji chi square pada p<0,05 adalah 0,000. Pada penelitian ini, 11 subyek dengan kebiasaan menyirih yang dilakukannya selama 18 hingga 30 tahun mengalami perubahan pola sitologi yakni karyorrhexis, sedangkan 24 subyek yang memiliki kebiasaannya menyirih dari 5 hingga 13 tahun belum mengalami perubahan pola sitologi atau masih memiliki sel normal. Pada penelitian yang dilakukan terhadap 102 wanita suku Kamboja, ditemukan 64 wanita dengan kebiasaan menyirih yang dilakukan selama 5 hingga 35 tahun mempunyai lesi mukosa penyirih di rongga mulutnya.5

Faktor-faktor lain yang memiliki hubungan yang bermakna dengan perubahan pola sitologi adalah waktu yang diperlukan untuk melakukan kegiatan satu kali menyirih di mana nilai p pada uji statistik dengan uji chi square pada p<0,05 adalah 0,004. Pada penelitian ini, 11 subyek yang memiliki perubahan pola sitologi yakni

sedangkan pada 24 subyek yang tidak mengalami perubahan pola sitologi atau memiliki sel normal, melakukan kegiatan menyirihnya satu kali dalam waktu 10 – 20 menit.

Faktor-faktor lain seperti frekuensi menyirih tidak menghasilkan hubungan yang bermakna dengan perubahan pola sitologi di mana nilai p pada uji statistik dengan uji chi square pada p<0,05 adalah 0,097. Pada penelitian ini, 2 subyek yang memiliki perubahan pola sitologi yakni karyorrhexis memiliki frekuensi menyirih antara 1 hingga 10 kali, dan 9 subyek yang memiliki perubahan pola sitologi yakni

karyorrhexis memiliki frekuensi menyirih antara 11 hingga 20 kali. Sedangkan pada

11 subyek yang memiliki sel normal memiliki frekuensi menyirih antara 1 hingga 10 kali, dan 13 subyek yang memiliki sel normal memiliki frekuensi menyirih antara 11 hingga 20 kali. Pada penelitian yang dilakukan terhadap 102 wanita suku Kamboja, ditemuka n 64 wanita dengan kebiasaan menyirih yang dilakukan dengan frekuensi menyirih sebanyak 4 hingga 10 kali memiliki lesi mukosa penyirih di rongga mulutnya.5

Komposisi menyirih tidak menghasilkan hubungan yang bermakna dengan perubahan pola sitologi di mana nilai p pada uji statistik dengan uji chi square pada p<0,05 adalah 0,709. Pada penelitian ini, 7 subyek dengan komposisi menyirih berupa daun sirih, pinang dan kapur dan 4 subyek dengan komposisi menyirih berupa daun sirih, pinang, kapur dan gambir memiliki sel yang mengalami karyorrhexis, sedangkan 17 subyek dengan komposisi menyirih berupa daun sirih, pinang dan kapur dan 7 subyek komposisi menyirih berupa daun sirih, pinang, kapur dan gambir memiliki sel normal. Pada penelitian ini juga tidak ditemukan satupun subyek yang

menambahkan tembakau ataupun unsur-unsur lain ke dalam ramuan sirihnya. Hal ini berbeda dengan subyek yang memiliki kebiasaan menyirih di Kamboja, Thailand dan India yang selalu menambahkan tembakau ke dalam ramuannya dan dikunyah bersama-sama.1

Faktor-faktor lain seperti kebiasaan memakan buah tidak menghasilkan hubungan yang bermakna dengan perubahan pola sitologi di mana nilai p pada uji statistik dengan uji chi square pada p<0,05 adalah 0,973. Pada penelitian ini, 11 subyek yang memiliki sel yang mengalami karyorrhexis memiliki kebiasaan memakan buah jambu, pisang dan papaya. Begitu juga dengan 24 subyek yang memiliki sel normal mempunyai kebiasaan memakan buah jambu, pisang dan papaya. Hal ini mungkin dikarenakan subyek di Desa Durin Simbelang lebih mudah untuk mendapatkan buah-buah tersebut dibandingkan dengan buah yang lain. Dilakukannya pemeriksaan terhadap subyek mengenai kebiasaan memakan buah adalah untuk melihat apakah subyek memiliki kebiasaan mengkonsumsi buah-buahan yang mengandung vitamin A, vitamin C dan vitamin-vitamin lainnya yang dapat membantu pembentukan mukosa.

Pada penelitian ini, seluruh subyek yang diteliti memiliki kebiasaan yang sama yakni membersihkan rongga mulut dengan cara kumur-kumur dengan menggunakan air setelah kegiatan sirih dilakukan dan memiliki cara membuat campuran sirih yang sama, yakni dibungkus menjadi satu dan kemudian dikunyah. Tidak ada satu subyek pun yang menumbuk ramuan sirih terlebih dahulu sebelum dikunyah karena subyek di Desa Durin Simbelang telah terbiasa membungkus

campuran sirih tersebut menjadi satu dan kemudian dikunyah dan hal ini telah dilakukan oleh subyek sejak lama.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin lama seseorang melakukan kebiasaan menyirih dan waktu seseorang melakukan kegiatan satu kali menyirih maka semakin tinggi resiko mukosa rongga mulut seseorang mengalami perubahan pola sitologi.

Dokumen terkait