• Tidak ada hasil yang ditemukan

Trauma gigi telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang cukup serius pada anak disebabkan prevalensi yang tinggi di berbagai negara terutama pada gigi permanen. Trauma yang mengenai gigi anterior juga akan membuat anak susah untuk menggigit, kesulitan dalam mengucapkan kalimat yang jelas dan akan merasa malu untuk memperlihatkan giginya.3,5,23

Pada penelitian ini, usia kejadian trauma gigi anak didapatkan dari riwayat trauma gigi anak berdasarkan hasil wawancara dengan subjek penelitian dan orangtua, sehingga didapat sampel 280 anak usia 8-12 tahun yang secara kebetulan usia kejadian trauma juga sama yaitu usia 8-12 tahun. Penelitian ini akan menggunakan pembagian kelompok usia anak berdasarkan usia kejadian trauma.

Trauma gigi permanen kebanyakan terjadi antara usia 8-12 tahun.Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada orangtua sampel dan pemeriksaan langsung pada anak didapatkan hasil prevalensi trauma gigi permanen anterior pada penelitian ini adalah sebanyak 19,2%. Berbeda dengan hasil penelitian di Kota Vadodara (India) yang mendapatkan hasil sebanyak 8,79%. Perbedaan hasil penelitian ini mungkin dikarenakan jumlah sampel dan perbedaan usia sampel penelitian di Kota Vadodara yang lebih banyak yaitu 3708 sampel pada anak usia 8-13 tahun.11

Anak laki-laki berisiko lebih tinggi mengalami trauma gigi daripada anak perempuan. Pada penelitian ini didapati persentase prevalensi trauma gigi pada anak laki-laki (66,7%) lebih tinggi daripada anak perempuan (33,3%). Hasil penelitian ini didukung dengan penelitian di Spanyol pada tahun 2011 yang mendapatkan, prevalensi trauma pada anak laki-laki (51,2%) lebih tinggi daripada anak perempuan (48,8%).7 Tingginya prevalensi trauma pada anak laki-laki daripada anak perempuan mungkin berhubungan dengan perbedaan jenis aktivitas yang dilakukan oleh anak laki-laki dan perempuan, dimana anak laki-laki lebih tertarik memilih aktivitas yang bersemangat dan agresif, serta cenderung melibatkan fisik.10

Beberapa penelitian melaporkan bahwa prevalensi trauma gigi permanen anterior lebih banyak terjadi pada usia yang lebih tua karena aktivitas yang tinggi. Hal ini dibuktikan pada penelitian yang dilakukan di Syria dimana prevalensi trauma gigi pada anak usia 9 tahun adalah 13% yang dibandingkan dengan anak berusia 10 dan 11 tahun yang mengalami trauma sebanyak 23% dan 32%.5 Hasil penelitian tersebut sesuai dengan penelitian ini yang mendapatkan semakin tinggi usia semakin tinggi prevalensi berlakunya trauma gigi (Tabel 5).

Hasil penelitian ini mendapatkan persentase etiologi trauma gigi permanen anterior paling tinggi disebabkan jatuh sebanyak 48,1% orang. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan selama dua setengah tahun di India yang mendapatkan jatuh adalah penyebab utama trauma gigi permanen anterior sebanyak 44,9%.10

Penyebab trauma gigi juga dapat dihubungan dengan usia anak, pada penelitian ini semakin tinggi usia anak etiologi akibat jatuh semakin rendah, namun etiologi disebabkan olahraga, kecelakaan dan berkelahi semakin meningkat. Hal ini menggambarkan bahwa semakin tinggi usia anak maka aktifitas anak semakin beragam.

Berdasarkan jenis kelamin, anak laki-laki umumnya akan lebih tertarik untuk mengikuti aktivitas di luar rumah yang lebih berat, berbeda dengan anak perempuan yang cenderung mendapatkan trauma karena aktivitas di dalam rumah.6,7 Pada penelitian ini etiologi trauma gigi yang disebabkan terjatuh paling banyak dialami oleh anak laki-laki yaitu sebanyak 14 orang (45,2%) dan pada anak perempuan sebanyak 12 orang (52,2%) ; kegiatan bermain menyebabkan trauma sebanyak 5 orang (16,1%) pada anak laki-laki dan 9 orang (39%) pada anak perempuan; kegiatan olahraga yang menyebabkan trauma gigi hanya dimiliki oleh anak laki-laki sebesar 16,1%. Terjadinya trauma gigi pada anak laki-laki maupun perempuan yang disebabkan aktivitas bermain atau berolah raga yang berisiko menyebabkan trauma gigi atas dapat dihindari dengan menggunakan alat pelindung.Salah satu perlindungan dari trauma gigi yang dapat diberikan adalah menggunakan pelindung khusus (mouth guards) yang dapat membantu mendistribusikan kekuatan dari trauma yang

terjadi.Tindakan perlindungan ini diharapkan dapat mengurangi kemungkinan trauma serius pada gigi maupun tulang pendukung akibat jenis permainan yang melibatkan fisik anak.13,14

Lingkungan dan aktivitas anak merupakan faktor penting terjadinya trauma.Lokasi yang paling umum terjadinya trauma adalah di rumah dan sekolah. Hal ini disebabkan anak pada usia ini lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dan sekolah. Hasil penelitian ini mendapatkan 38,9% orang anak mengalami trauma gigi permanen di lingkungan rumah dan 29,6% orang di sekolah. Hasil penelitian ini didukung penelitian di India (2013), berdasarkan hasil wawancara ditemukan sebanyak 49% orang mengalami trauma gigi kebanyakan terjadi di rumah dan sekolah.10

Fraktur enamel merupakan klasifikasi yang paling sering ditemukan yaitu sebanyak 28 kasus (42,4%), diikuti oleh fraktur enamel dentin yaitu sebanyak 13 kasus (19,7%), lateral luksasi 11 kasus (16,7%), fraktur mahkota kompleks 3 kasus (4,6%), luksasi intrusi 2 kasus (3%), luksasi ekstrusi 1 kasus (1,5%) dan avulsi 5 kasus (7,6%). Persentase fraktur enamel pada penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di Kota Vadodara (India) yang mendapatkan hasil sebanyak 46,7 % kasus.11 Pada penelitian lain ditemukan bahwa fraktur enamel-dentin merupakan klasifikasi trauma yang sering ditemukan pada anak.15

Kebanyakan kasus trauma gigi pada seorang anak hanya dapat melibatkan satu gigi, namun dapat juga melibatkan lebih dari satu gigi dengan variasi dampak yang dapat berbeda pada masing-masing gigi. Hal ini sesuai dengan penelitian di Brazil yang mendapati sekitar 71,3% kasus trauma melibatkan hanya satu gigi.23 Hasil penelitian ini didapatkan 42 orang anak (77,7%) mengalami trauma gigi yang hanya melibatkan satu gigi dalam waktu kejadian trauma yang sama, sedangkan anak yang lain mengalami trauma pada dua gigi. Sebagian besar kasus trauma gigi pada penelitian ini melibatkan gigi sentralis atas permanen yaitu sebesar 53%, diikuti dengan gigi lateralis atas permanen sebanyak 19,7% dan gigi anterior yang memiliki risiko terkecil mengalami trauma adalah gigi kaninus permanen. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian di Brazil yang mendapatkan 72,4% trauma gigi melibatkan

gigi insisivus sentralis atas permanen, diikuti 10,2% trauma pada gigi permanen insisivus lateralis atas.23 Tingginya risiko trauma yang dialami gigi insisivus sentralis atas dikarenakan posisi gigi sentralis atas yang paling protrusi di dalam rongga mulut sehingga lebih berisiko mengalami trauma setelah terjatuh maupun terbentur.Tidak hanya itu, insisivus sentralis atas yang erupsi lebih cepat daripada gigi lateralis atas memiliki waktu yang lebih lama berisiko mengalami trauma dan morfologi serta lokasinya di rongga mulut lebih rentan terhadap trauma. Faktor lainnya yang mendukung risiko yang lebih besar pada gigi anterior rahang atas terjadi pada anak yang memiliki overjet yang lebih besar serta ketidakmampuan bibir menutup secara sempurna.5

Trauma gigi yang tidak dirawat akan berdampak negatif pada kualitas hidup anak, dimana anak sulit untuk makan, berbicara dengan jelas, kurang bersosialisasi dan juga berkurangnya estetik.1 Kasus trauma gigi anak seharusnya diperlakukan sebagai keadaan darurat, sehingga harus ditangani sesegera mungkin pada hari yang sama dikarenakan hasil perawatan darurat yang optimal dapat mempengaruhi perawatan selanjutnya.13 Pada penelitian ini, 89,4% kasus trauma gigi anak tidak mendapatkan perawatan dan hanya dibiarkan saja oleh orangtua, hal ini menunjukkan bahwa orangtua kurang perhatian terhadap kasus trauma gigi yang dialami anak. Sikap orangtua ini kemungkinan disebabkan oleh faktor biaya, waktu, serta kurangnya pengetahuan dan kesadaran akan kesehatan gigi.13,24 Pada penelitian ini, dari 28 kasus fraktur enamel ditemukan 26 kasus fraktur enamel diantaranya tidak mendapatkan perawatan dan hanya dibiarkan saja, dalam literatur lain dikatakan kemungkinan fraktur enamel tidak dilakukan perawatan karena anak tidak pernah mengeluhkan rasa sakit atau menimbulkan komplikasi, sehingga banyak ditemukan kasus fraktur enamel tanpa perawatan oleh peneliti. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil penelitian di Syria, diantara semua anak yang mengalami trauma gigi didapati 93,1 % tidak melakukan perawatan karena trauma yang dialami anak hanya mengenai bagian enamel saja.5

Pada penelitian ini terdapat 5 kasus avulsi yang terjadi pada anak, namun hanya satu kasus avulsi yang dibawa ke dokter gigi. Hal ini sungguh disayangkan

karena penatalaksanaan gigi avulsi harus dilakukan dalam waktu sesingkat mungkin untuk menjaga ligament periodontal karena bila ligament periodontal masih baik, derajat dan ketepatan waktu resorpsi akan terjaga dan kemungkinan terjadinya ankilosis akan berkurang.21

Pada penelitian ini mendapatkan 80% kasus trauma gigi pada anak usia 8 tahun hanya dibiarkan saja oleh orangtua dan hanya 1 kasus (20%) trauma yang dibawa ke dokter gigi, namun semakin tinggi usia anak maka tindakan orangtua yang membiarkan gigi trauma tanpa perawatan juga semakin tinggi, kecuali anak usia 12 tahun (81%). Pada anak usia 12 tahun tersebut, sebanyak 3 kasus (14,28%) dilakukan perawatan tambalan. Hal ini kemungkinan karena semakin anak mendekati usia remaja, maka orangtua maupun anak sendiri semakin mementingkan estetis.

Pada anak laki-laki yang tidak melakukan tindakan/ dibiarkan setelah trauma gigi adalah sebanyak 45 kasus (90%) dan pada anak perempuan adalah sebanyak 14 kasus (87,5%), disini terlihat tidak terlalu berbeda perhatian orangtua terhadap anak laki-laki dan perempuan. Hal ini mungkin disebabkan karena kurangnya kesadaran orangtua akan kesehatan gigi, disamping itu mungkin juga dalam penelitian ini didominasi oleh fraktur enamel dan fraktur enamel-dentin yang menurut orangtua tidak terlalu berpengaruh pada kualitas hidup anak atau mengganggu fungsi dan estetis gigi sehingga mereka enggan untuk memeriksakannya ke dokter gigi.5

Dapat disimpulkan bahwa cukup tingginya prevalensi trauma gigi permanen anterior pada kecamatan Medan Johor dan Medan Selayang, namun yang mendapatkan perawatan hanya sedikit sekali. Saat anak mengalami fraktur enamel-dentin maka seharusnya orangtua melakukan tindakan penambalan mahkota gigi untuk melindungi pulpa gigi.9 Berdasarkan keadaan tersebut dapat menjadi masukan untuk tenaga kesehatan kota Medan khususnya pada Kecamatan Medan Johor dan Medan Selayang untuk mengadakan penyuluhan mengenai trauma gigi permanen anterior ke sekolah dasar negeri ataupun mengadakan penyuluhan melalui pertemuan dengan orangtua untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang risiko trauma gigi permanen serta masalah kesehatan lainnya. Tenaga kesehatan dapat menjelaskan

kepada orangtua dan guru dampak dari trauma gigi permanen dan bagaimana cara penanganan darurat menghadapi anak yang mengalami trauma gigi permanen.

Dokumen terkait