• Tidak ada hasil yang ditemukan

Trauma pada gigi merupakan hal yang umum terjadi pada semua lapisan

masyarakat,22-24 termasuk seorang anak dan akan menjadi masalah kesehatan gigi

masyarakat secara klinis di masa depan.22,23,25 Trauma pada gigi sulung ini dapat

menyebabkan rasa sakit, hilangnya fungsi gigi bahkan mempengaruhi pertumbuhan

dan perkembangan gigi permanen.25

Pada penelitian ini, usia kejadian trauma gigi anak didapatkan dari riwayat trauma gigi anak yang ditanyakan dari wawancara dengan orang tua, sehingga didapat dari 362 anak usia 2-4 tahun dijumpai 4 anak diantaranya mengalami trauma pada usia 1 tahun. Penelitian ini akan menggunakan pembagian kelompok usia anak berdasarkan usia kejadian trauma.

Berdasarkan data hasil penelitian ini diperoleh prevalensi trauma gigi sulung anterior pada anak usia 1-4 tahun di Kecamatan Medan Barat dan Medan Sunggal adalah sebesar 19,1%. Hasil penelitian ini sesuai dengan beberapa literatur yang melaporkan bahwa prevalensi trauma gigi terjadi pada usia 2-4 tahun sekitar 11-

30%.26 Namun, hasil penelitian di Nigeria pada anak usia 3-5 tahun mendapatkan

prevalensi trauma sebesar 23,2%. Variasi jumlah sampel dan kelompok usia subjek penelitian serta perbedaan dalam metodologi penelitian yang mungkin menyebabkan adanya perbedaan temuan dalam hasil.27

Anak laki-laki berisiko lebih tinggi mengalami trauma gigi daripada anak perempuan.26,28 Pada penelitian ini didapati presentase prevalensi trauma gigi pada anak laki-laki (55,1%) lebih tinggi daripada anak perempuan (44,9%). Hasil penelitian ini didukung dengan penelitian Aseel, dkk di Baghdad pada tahun 2010 yang mendapatkan prevalensi trauma pada anak laki-laki (61,3%) lebih tinggi

daripada anak perempuan (38,7%).22 Tingginya prevalensi trauma pada anak laki-laki

yang dilakukan oleh anak laki-laki dan perempuan,26 dimana anak laki-laki lebih tertarik memilih aktivitas yang bersemangat dan kuat, serta cenderung melibatkan

fisik.22,23,25,27 Pada penelitian saya, hasil prevalensi pada anak laki-laki dan

perempuan tidak begitu jauh berbeda (tabel 8), kemungkinan disebabkan oleh jenis dan lingkungan bermain anak yang tidak berbeda jauh antara anak laki-laki dan perempuan, dimana jenis dan lingkungan bermain dapat lebih mempengaruhi risiko

terjadinya trauma gigi pada anak daripada jenis kelamin.16 Hal ini didukung oleh

penelitian Traebert, dkk yang mendapati bahwa anak perempuan memiliki risiko yang

sama dengan anak laki-laki dikarenakan kehidupan sosial yang lebih modern.16

Beberapa literatur menyebutkan bahwa trauma gigi umumnya terjadi pada usia 1-4 tahun, dimana hasil yang sama juga dilaporkan terjadi pada anak-anak di

Australia, India, dan Korea Utara.29 Andreasen melaporkan bahwa puncak trauma

gigi akan terjadi pada usia 4 tahun, dikarenakan terjadinya peningkatan risiko trauma akibat meningkatnya aktivitas fisik anak.2,26 Penelitian di Nigeria melibatkan 600 orang anak usia 3-5 tahun dengan persentase trauma terbesar pada kelompok usia 5

tahun.27 Penelitian di Turkey mendapati persentase trauma yang lebih tinggi pada

anak usia 1-2 tahun (39,2%) daripada usia 4 tahun (23,5%).26 Hasil penelitian ini

mendukung penelitian Turkey, penelitian ini mendapatkan prevalensi trauma terbesar terjadi pada usia 2 tahun (52,2%). Tingginya persentase trauma pada usia 2 tahun dikarenakan keadaan psikomotor anak belum stabil dan anak mulai mempelajari lingkungannya dengan berjalan sendiri sehingga besar kemungkinan anak akan mendapatkan trauma pada tubuhnya.21,26,29,30

Penelitian ini menemukan bahwa terjatuh merupakan penyebab terbesar terjadinya trauma gigi pada anak usia 1-4 tahun, sebesar 62,3%. Penelitian Adekoya,

dkk juga mendapati 80,4% kasus trauma gigi disebabkan karena terjatuh.27 Hasil ini

dapat dihubungkan dengan kurangnya kemampuan anak mengkoordinasikan ototnya di usia dini.27

Berdasarkan jenis kelamin, anak laki-laki umumnya akan lebih tertarik untuk mengikuti aktivitas di luar rumah yang lebih berat, berbeda dengan anak perempuan

penelitian ini perbedaan etiologi trauma gigi antara anak laki-laki dan anak perempuan tidak terlalu berbeda. Trauma gigi yang disebabkan terjatuh dialami oleh 63,2% anak laki-laki dan 61,3% anak perempuan; kegiatan bermain menyebabkan trauma sebesar 28,9% pada anak laki-laki dan 25,8% anak perempuan; kegiatan bersepeda yang menyebabkan trauma gigi hanya dimiliki oleh anak perempuan sebesar 3,2%. Terjadinya trauma gigi pada anak laki-laki maupun perempuan yang disebabkan aktivitas bermain yang melibatkan fisik (berisiko menyebabkan trauma

gigi) maupun bersepeda dapat dihindari dengan menggunakan alat pelindung. Salah

satu perlindungan dari trauma gigi yang dapat diberikan adalah menggunakan

pelindung khusus (mouth guards) yang dapat membantu mendistribusikan kekuatan

dari trauma yang terjadi.31 Tindakan perlindungan ini diharapkan dapat mengurangi

kemungkinan trauma serius pada gigi maupun tulang pendukung akibat jenis permainan yang melibatkan fisik anak.32

Penyebab trauma gigi juga dapat berhubungan dengan usia anak, namun demikian kemungkinan usia mempengaruhi kejadian trauma gigi pada anak tidak

terlalu berarti.22 Seluruh kelompok usia di dalam penelitian ini umumnya mengalami

trauma karena terjatuh, diikuti dengan trauma akibat bermain. Pada anak usia 1 tahun trauma akibat terjatuh 50%; usia 2 tahun 69,4%; usia 3 tahun 59%; usia 4 tahun 42,9% (tabel 9). Bila dilihat semakin tingginya usia anak, trauma gigi akibat terjatuh semakin rendah; hal ini mungkin disebabkan koordinasi motorik anak yang lebih tua lebih baik dibanding anak yang muda usia. Hasil penelitian ini didukung dengan penelitian Asell, dkk yang mendapati bahwa terjatuh adalah penyebab terbesar anak

mengalami trauma yang kemudian diikuti akibat bermain.22 Pada anak-anak yang

lebih aktif dalam bermain dapat diberikan perlindungan terhadap risiko trauma gigi.22,32

Sebesar 92,8% kasus trauma gigi pada anak usia 1-4 tahun di Kecamatan Medan Barat dan Medan Sunggal terjadi di rumah, mengingat bahwa usia subjek penelitian adalah anak usia prasekolah yang aktivitasnya lebih banyak dilakukan di rumah. Lokasi lainnya seperti jalan (3%), sekolah (1,4%), kolam renang (1,4%), dan kantor (1,4%) juga dilaporkan menjadi tempat terjadinya kasus trauma pada gigi

sulung anterior. Hasil ini didukung oleh penelitian Hasan yang menemukan bahwa dari 56 anak yang mengalami trauma, 49 diantaranya mendapatkan trauma gigi

sulung di rumahnya (87,5%).2

Fraktur enamel merupakan jenis fraktur yang sering terjadi pada kasus trauma.25,27,32 Pada penelitian ini, fraktur enamel terjadi 43,4% diikuti dengan fraktur enamel-dentin 23,9%, dan kasus luksasi terjadi sekitar 15,9% Hasil ini sesuai dengan penelitian Adekoya dkk (2007) pada anak usia 3-5 tahun yang menemukan kejadian

fraktur enamel lebih tinggi (53,9%) daripada luksasi (4,5%).27 Menurut Cameron,

kasus fraktur enamel pada gigi sulung adalah akibat dari mekanisme terjatuh anak.33

Penelitian lain mendapatkan prevalensi luksasi yang lebih tinggi terjadi gigi sulung anak. Penelitian Volkan dkk, mendapatkan kasus lateral luksasi (33,3%) yang lebih tinggi dari kasus lainnya.26

Beberapa kasus trauma gigi pada seorang anak tidak hanya dapat melibatkan satu gigi, namun dapat melibatkan 1-3 gigi dengan variasi dampak yang dapat berbeda pada masing-masing gigi. Hal ini sesuai dengan penelitian Adekoya, dkk

yang mendapati sekitar 58,8% kasus trauma melibatkan lebih dari satu gigi.27 Dalam

penelitian ini, 43 orang anak (62,3%) mengalami trauma gigi dengan melibatkan lebih dari satu gigi dalam waktu kejadian trauma yang sama. Sebagian besar kasus trauma gigi pada penelitian ini melibatkan gigi sentralis atas sulung sebesar 70,8%; diikuti dengan gigi lateralis atas sulung (22,1%); dan gigi anterior yang memiliki risiko terkecil mengalami trauma adalah gigi kaninus sulung. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Adekoya, dkk yang mendapatkan 76,9% trauma gigi melibatkan gigi insisivus sentralis atas sulung, diikuti 16% trauma pada gigi insisivus lateralis atas sulung.27 Tingginya risiko trauma yang dialami gigi insisivus sentralis atas dikarenakan posisi gigi sentralis atas yang paling protrusi di dalam rongga mulut sehingga lebih berisiko mengalami trauma setelah terjatuh maupun terbentur.25 Tidak hanya itu, insisivus sentralis atas yang erupsi lebih cepat daripada gigi lateralis atas memiliki waktu yang lebih lama berisiko mengalami trauma dan morfologi serta

lokasinya di rongga mulut lebih rentan terhadap trauma.23 Faktor lainnya yang

yang memiliki overjet yang lebih besar serta ketidakmampuan bibir menutup secara sempurna.23,25

Trauma gigi pada anak tidak hanya akan menyita biaya perawatan, namun juga waktu orang tua untuk memberikan perhatian terhadap perawatan yang tepat untuk anak. Anak-anak dengan trauma gigi mungkin saja akan kehilangan waktu bermain karena perawatan yang akan didapatkannya akibat trauma, serta kehilangan keberanian karena rasa takut akan mengalami trauma pada gigi.28,29 Kasus trauma gigi anak seharusnya diperlakukan sebagai keadaan darurat, sehingga harus dilihat sesegera mungkin pada hari yang sama dikarenakan hasil perawatan darurat yang

optimal dapat mempengaruhi perawatan selanjutnya.12 Pada penelitian ini, 62,8%

kasus trauma gigi anak tidak mendapatkan perawatan dan hanya dibiarkan saja oleh orang tua, hal ini menunjukkan bahwa orang tua kurang perhatian terhadap kasus trauma gigi yang dialami anak. Sikap orang tua ini kemungkinan disebabkan oleh faktor biaya, waktu, serta kurangnya pengetahuan tentang dampak trauma gigi sulung yang dapat mengganggu gigi permanen anak nantinya. Pada penelitian ini, dari 49 kasus fraktur enamel ditemukan 41 kasus fraktur enamel diantaranya tidak mendapatkan perawatan dan hanya dibiarkan saja, dalam literatur lain dikatakan kemungkinan fraktur enamel tidak dilakukan perawatan karena anak tidak pernah mengeluhkan rasa sakit atau menimbulkan komplikasi, sehingga banyak ditemukan kasus fraktur enamel tanpa perawatan oleh peneliti tersebut.22

Pada penelitian ini terdapat 13 kasus fraktur mahkota kompleks yang terjadi pada anak, namun 6 kasus fraktur mahkota kompleks tidak ada yang mendapatkan perawatan saluran akar. Hasil penelitian tersebut sungguh disayangkan karena gigi tersebut dapat menjadikan sumber infeksi dalam mulut anak apabila tidak dilakukan perawatan, bahkan anak tersebut dapat kehilangan gigi secara dini. Berdasarkan penelitian Aseel dkk, yang menyatakan bahwa anak-anak yang mengalami trauma akan datang ke klinik gigi jika mereka merasakan membutuhkan pengobatan akibat

gejala akut/inflamasi maupun adanya masalah estetik yang mengganggu.22

Pengetahuan tentang pertolongan pertama serta tindakan penanganan yang tepat pada kasus trauma gigi juga sangat diperlukan oleh orang-orang terdekat anak

seperti orang tua dan guru di sekolah, hal tersebut merupakan faktor penting dalam

meningkatkan prognosis gigi di dalam rongga mulut anak.24 Pada penelitian ini,

terdapat orang tua yang membawa kasus trauma gigi anak kepada dokter umum maupun bidan (Tabel 13), kemungkinan dikarenakan anak mengalami luka di bagian tubuh lainnya. Kurangnya biaya untuk membawa anak ke tenaga kesehatan agar mendapatkan perawatan yang tepat juga menjadi alasan orang tua hanya melakukan tindakan-tindakan minimal seperti membersihkan area trauma maupun mengobatinya sendiri (8,9%). Pada penelitian Asell, didapatkan sebesar 53,2% perawatan pada anak yang mengalami trauma dilakukan setelah 1 bulan trauma terjadi. Sikap orang tua ini dikarenakan sosial ekonomi yang rendah dan perhatian dan pengetahuan pada kasus trauma anak.22

Sikap orang tua juga menjadi berbeda dalam menyikapi kasus-kasus trauma berdasarkan tingkatan usia anak. Orang tua terlihat lebih perhatian terhadap trauma pada anak usia 2 tahun dibanding usia lebih tua, karena persentase adanya tindakan orang tua terhadap trauma pada anak usia 2 tahun yang mengalami trauma cukup besar (44,4%). Pada usia 2 tahun juga didapati prevalensi yang tinggi mengenai sikap orang tua membawa kasus trauma gigi anak kepada tenaga kesehatan, dimana sekitar 5,6% dibawa ke dokter umum/dokter spesialis anak dan 2,8% dibawa ke bidan oleh orang tua. Kemungkinan sikap orang tua ini dikarenakan trauma pada gigi anak sering disertai dengan luka terbuka dari jaringan mulut, abrasi jaringan wajah atau bahkan luka tusukan.8 Setelah luka jaringan lunak dijahit anak seharusnya dirujuk ke

dokter gigi untuk dievaluasi trauma giginya,4 namun sangat disayangkan pada

penelitian ini 25,1% kasus trauma dibawa ke tenaga kesehatan lain tetapi hanya sedikit kasus trauma yang dibawa ke dokter gigi (8,3%), kondisi ini menandakan kemungkinan tenaga kesehatan lain tidak mengkonsulkan kasus trauma gigi anak kepada dokter gigi.

Semakin bertambahnya usia anak, kekhawatiran orang tua terhadap kasus trauma pada gigi anak berkurang, hal ini ditunjukkan oleh hasil penelitian yang mendapati 77,2% kasus trauma gigi pada anak usia 3 tahun hanya dibiarkan saja oleh orang tuanya dan 4,6% kasus trauma yang dibawa ke dokter gigi. Pada anak usia 4

tahun persentase orang tua yang membiarkan kasus trauma gigi anak meningkat menjadi 85,7% dan tidak ada orang tua yang membawa anak dengan trauma gigi kepada tenaga kesehatan untuk mendapatkan perawatan.

Tindakan orang tua terhadap kasus trauma gigi pada anak juga terlihat berbeda pada anak laki-laki daripada anak perempuan, dimana didapati sekitar 76,3% kasus trauma pada anak laki-laki dan 54,8% kasus trauma pada anak perempuan yang dibiarkan saja. Hal ini menunjukkan bahwa orang tua lebih mengkhawatirkan kasus trauma yang menimpa anak perempuan, kemungkinan besar karena kasus trauma pada anak ini akan mempengaruhi estetik gigi anak perempuannya dimasa depan.

Dapat disimpulkan bahwa cukup tingginya prevalensi trauma gigi sulung anterior pada anak usia 1-4 tahun di Kecamatan Medan Barat dan Medan Sunggal, sehingga perlu menjadi perhatian tenaga kesehatan, orang tua, maupun guru. Namun, tidak semua orang tua maupun guru mengerti tentang tindakan tepat dalam menghadapi kasus trauma gigi anak, untuk itu perlu diinformasikan kepada orang tua baik melalui program-program puskesmas seperti posyandu maupun diadakannya penyuluhan kepada orang tua di sekolah-sekolah oleh tenaga kesehatan dari puskesmas dan dokter gigi tentang biaya yang dapat diminimalkan dengan mendatangi dokter gigi puskesmas, waktu kunjungan perawatan yang dapat dijadwalkan, dan alasan orang tua harus memperdulikan trauma gigi yang terjadi pada anak seperti dampak trauma yang dapat mengganggu gigi permanen anak nantinya serta tindakan pencegahan trauma gigi pada anak yang aktif. Hal-hal seperti itu diharapkan dapat rutin dilakukan oleh tenaga kesehatan dengan harapan kesadaran orang tua bahwa trauma gigi anak membutuhkan perawatan akan lebih meningkat, karena dalam menangani trauma pada anak tidak hanya dibutuhkannya tenaga kesehatan seperti dokter gigi, perawat gigi dan tenaga kesehatan lainnya tetapi juga dibutuhkannya dukungan dari orang tua anak.29

Dokumen terkait