• Tidak ada hasil yang ditemukan

5.1 Dinamika Sumberdaya Ikan Karang

Survei visual sensus ikan karang dilakukan pada tahun 2005 di 34 lokasi pengamatan, sedangkan pada tahun 2006, 2007, dan 2009 masing-masing dilakukan di 43 lokasi pengamatan tersebar di perairan Taman Nasional Karimunjawa, selama periode tersebut teridentifikasi sebanyak 385 spesies dari 115 genus dan 40 Famili. Survei hasil tangkapan nelayan pada tahun 2010 dan 2011 teridentifikasi sebanyak 137 spesies dari 68 genus dan 32 famili. Berdasarkan survei sensus visual ikan karang dan hasil tangkapan nelayan ditemukan 74 spesies dari 35 genus dan 20 famili, 3 spesies diantaranya merupakan ikan non komersial yaitu Chelmon rostratus, Hemigymnus melapterus, dan Abudefduf sexfasciatus dan ketiga jenis ikan tersebut memiliki nilai ekonomi yang rendah dengan harga Rp1000 hingga 2000 per kilogram.

Biomassa ikan karang tertinggi pada tahun 2005, 2006, dan 2007 adalah ikan ekor kuning (Caesio cuning) dari Famili Caesionidae masing-masing sebesar 3797,358 kg ha-1, 4181,666 kg ha-1, 3310,204 kg ha-1, sedangkan pada tahun 2009 adalah ikan todak (Tylosaurus crocodiles) dari Famili Belonidae sebesar 1400,219 kg ha-1 dan ekor kuning sebesar 999,896 kg ha-1. Kondisi ini menunjukkan bahwa terjadi penurunan biomassa ikan ekor kuning dari tahun ke tahun. Ikan ekor kuning merupakan ikan yang berasosiasi dengan terumbu karang yang paling banyak dimanfaatkan oleh nelayan di Taman Nasional Karimunjawa yakni sebesar 79% (Gambar 10).

Terdapat 15 spesies dari 74 spesies ikan karang terjadi penurunan biomassa ikan antar tahun pengamatan yaitu Abudefduf sexfasciatus, Caesio cuning, Cheilinus trilobatus, Chelmon rostratus, Chlorurus bowersi, Lutjanus carponotatus, Lutjanus decussatus, Plectropomus areolatus, Plectropomus oligacanthus, Pomacanthus sextriatus, Scarus ghobban, Scarus niger, Scarus rivulatus, Scolopsis margaritifer, dan Siganus virgatus, 2 spesies dari 74 spesies ikan karang terjadi peningkatan biomassa antar tahun pengamatan yaitu ikan

napoleon (Cheilinus undulatus) dan ikan payus (Elagatis bipinnulatus) dan 57 spesies lainnya terjadi fluktuasi antar tahun pengamatan.

Ikan napoleon (Cheilinus undulatus) dari Famili Labridae merupakan salah satu ikan yang mengalami peningkatan biomassa dan termasuk dalam status spesies rentan (vulnerable species) pada tahun 1996 (Sadovy et al, 2004), statusnya meningkat jadi spesies terancam punah (endangered species) pada tahun 2011 yang dikeluarkan oleh International Union for Conservation of Nature and Natural Resources – Redlist of threatened species (IUCN Redlist of thereatened species) (IUCN, 2011) dan resmi masuk dalam daftar Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) Appendiks II (dapat diperdagangkan tetapi dengan kontrol yang ketat) pada the conference of the parties (CoP) 13 di Bangkok pada tahun 2004 (http://www.cites.org/eng/app/index.php). Ikan napoleon dan ikan kerapu dari Famili Serranidae seperti Cromileptis altivelis, Plectropomus areolatus, P. maculatus, P. leopardus, dan Epinephelus fuscoguttatus) merupakan komoditas utama perdagangan internasional ikan karang hidup. Semakin ketatnya regulasi perdagangan ikan karang hidup di Indonesia, maka sejak tahun 2007 pihak pengelola Taman Nasional Karimunjawa sering melakukan pemeriksaan terhadap keramba-keramba yang ada. Hal ini berdampak terhadap menurunnya minat pedagang lokal untuk membeli atau menampung ikan napoleon dan menurunkan minat nelayan untuk menangkap ikan tersebut sehingga populasi di alam dapat pulih kembali.

Berdasarkan nilai indeks musim penangkapan (IMP) dan consecutive seasonal index (CSI) jenis ikan diketahui bahwa puncak musim penangkapan ikan berbeda-beda. Ikan yang ada di karimunjawa diduga bersifat musiman, terdapat tiga jenis ikan yang memiliki musim terpanjang yaitu Caesio cuning, Epinephelus ongus dan Scarus prasiognathos dan musim penangkapan dengan rata-rata IMP tertinggi terjadi pada Bulan November sebanyak sembilan jenis ikan, sedangkan jumlah spesies ikan terendah terjadi pada Bulan September hanya satu jenis ikan. Hal itu menunjukkan bahwa pada Bulan November merupakan waktu terjadinya panen ikan dan pada Bulan September merupakan waktu paceklik. Menurut Kartawijaya et al. (2010) terjadi puncak pemijahan ikan jenis kerapu pada Bulan

Oktober dan hasil tangkapan ikan kerapu ditemukan pada kondisi matang gonad khususnya pada jenis Plectropomus oligacanthus dan Plectropomus areolatus. Waktu terbaik nelayan melakukan penangkapan ikan kerapu yaitu pada tujuh hari sebelum dan sesudah bulan baru (new moon) sehingga meningkatkan hasil tangkapan pada bulan tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian lain mengenai musim penangkapan ikan yang dilakukan oleh Yanuar et al. 2008 menyatakan bahwa terdapat empat jenis ikan yang merupakan komoditi utama nelayan Karimunjawa yaitu teri (Stolephorus sp), tongkol (Auxis thazard), tenggiri (Scomberomerus sp), dan ekor kuning (Caesio cuning). Musim penangkapan ikan ekor kuning terjadi selama enam bulan yaitu pada Bulan Februari, Maret, April, Mei, September, dan Oktober. Musim penangkapan ikan ekor kuning pada penelitian ini terjadi empat kali musim yaitu pada Bulan Januari, Mei, Juli, dan Oktober hingga November. Secara umum terdapat perbedaan waktu musim penangkapan, hal ini disebabkan oleh perbedaan rentang waktu pada kedua penelitian yang cukup panjang (5 tahun) sehingga berpengaruh pada perubahan komposisi dan jumlah alat tangkap yang beroperasi khususnya alat tangkap muroami. Jumlah alat tangkap muroami yang beroperasi pada tahun 2001, 2002, 2003, 2004 dan 2005 masing-masing sebanyak 2 unit, 11 unit, 18 unit, 26 unit, dan 38 unit (PPP Karimunjawa 2006 dalam Irnawati 2008), sedangkan pada periode penelitian ini jumlah alat tangkap yang beroperasi pada tahun 2010 sebanyak 3 unit dan tahun 2011 terdapat 1 unit.

Peningkatan dan penurunan populasi ikan dipengaruhi oleh faktor natalitas, mortalitas, imigrasi dan emigrasi. Sebagaimana populasi, produktivitas stok ikan di suatu wilayah perikanan juga bersifat dinamis ditentukan oleh pertumbuhan, mortalitas dan rekrutmen (Appeldoorn 1996), bertambahnya stok ikan dipengaruhi oleh adanya pertumbuhan dan rekrutmen dan berkurangnya stok ikan dipengaruhi oleh mortalitas alami (M) dan mortalitas penangkapan (F).

Perhitungan mortalitas alami pada penelitian ini menggunkan rumus emperis Pauly (1980). Mortalitas penangkapan didapat dari persamaan tingkat eksploitasi (E=0,5 dan 0,1). Pada saat E=0,5 maka mortalitas penangkapan sama dengan mortalitas alami, dan diduga melebihi perkiraan MSY dan pada kenyataannya E optimum terjadi pada E mendekati 0,2 dimana mortalitas

penangkapan sekitar 1/3 dari mortalitas alami (Beddington and Cooke 1983; Samoilys 1997). Penelitian ini membandingkan dua nilai tingkat eksploitasi yang diusulkan oleh Samoilys (1997) yaitu E=0,5 mewakili tingkat eksploitasi tinggi dan E=0,1 mewakili tingkat eksploitasi rendah. Rata-rata nilai mortalitas penangkapan (E=0,1) lebih rendah dibandingkan dengan nilai mortalitas alami dan mortalitas penangkapan (E=0,5). Sebaran nilai M, F (E=0,5), dan F(E=0,1) disajikan pada Gambar 24.

Da ta F (E=0,1) F (E=0,5) M 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0

Gambar 24 Sebaran nilai M, F (E=0,5) dan F (E=0,1) sumberdaya ikan karang. Berdasarkan box plot diatas menunjukkan bahwa pada nilai E=0,5 maka nilai mortalitas penangkapan (F) sama dengan nilai mortalitas alami (M) menyebar dengan nilai pemusatan 0,68 (Q1=0,45 dan Q3=1,04) dengan kurva sebaran miring ke kiri dan pada E=0,1 maka nilai F menyebar dengan nilai pemusatan 0,08 (Q1=0,002 dan Q3=0,116) dengan kurva sebaran miring ke kiri. Semakin tinggi nilai total penangkapan (Z=F+M) mengindikasikan tingginya upaya penangkapan karena F=q.f dimana f adalah upaya (trip) dan q adalah koefisien daya tangkap.

Tingkat pemanfaatan lestari (MSY) pada masing-masing ikan karang yang dibandingkan dengan biomassa ikan karang pada kondisi tingkat eksploitasi tinggi disajikan pada Gambar 25. Hasil analisis regresi dan korelasi antara biomassa dan MSY ditemukan adanya hubungan erat antara keduanya,

ditunjukkan oleh nilai korelasi sebesar 0,985 atau mendekati 1. Koefisien determinasi (R2) adalah 0,969 berarti 96,9% keragaman biomassa ikan karang mampu dijelaskan oleh MSY sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor lain. Persamaan linear pada perbandingan tersebut menunjukkan bahwa nilai MSY pada tingkat eksploitasi tinggi berdasarkan data biomassa ikan karang dapat didekati dengan persamaan y = 0,724x + 10,15 dimana y = maximum sustainable yield (kg ha-1) dan x = biomassa ikan karang (kg ha-1).

Gambar 25 Hubungan linear MSY dan biomassa masing-masing jenis ikan karang pada kondisi tingkat eksploitasi tinggi (E=0,5).

Tingkat pemanfaatan lestari (MSY) pada masing-masing ikan karang yang dibandingkan dengan biomassa ikan karang pada kondisi tingkat eksploitasi rendah disajikan pada Gambar 26. Hasil analisis regresi dan korelasi antara biomassa dan MSY ditemukan adanya hubungan erat antara keduanya, ditunjukkan oleh nilai korelasi sebesar 0,984 atau mendekati 1. Koefisien determinasi (R2) adalah 0,969 berarti 96,9% keragaman biomassa ikan karang mampu dijelaskan oleh MSY sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor lain. Persamaan linear pada perbandingan tersebut menunjukkan bahwa nilai MSY pada tingkat eksploitasi rendah berdasarkan data biomassa ikan karang dapat didekati dengan persamaan y = 0,383x + 5,375 dimana y = maximum sustainable yield (kg ha-1) dan x = biomassa ikan karang (kg ha-1). Sehingga pada kondisi terbatasnya data hasil tangkapan ikan karang maka dapat menggunakan data

y = 0.724x + 10.15 R² = 0.969 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 MSY (k g ha -1) Biomassa (kg ha-1)

biomassa ikan karang untuk menghitung MSY dengan menggunakan masing- masing pendekatan pada persamaan tersebut.

Gambar 26 Hubungan linier MSY dan biomassa masing-masing jenis ikan karang pada kondisi tingkat eksploitasi rendah (E=0,1).

Berdasarkan hasil penelitian lain mengenai hubungan tingkat pemanfaatan lestari dan biomassa ikan karang yang dilakukan oleh Yulianto (2010), menyatakan bahwa kurva hubungan linier antara MSY dan biomassa ikan karang menghasilkan persamaan y = 0,6084x + 0,1412 dimana y = MSY (kg ha-1) dan x = biomassa (kg ha-1). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Herdiana (2012), menyatakan bahwa jumlah tangkapan lestari dan jumlah stok ikan karang menghasilkan persamaan y = 0,652x – 6248 dimana y = MSY (ind.) dan x = jumlah stok (ind.). Nilai yang dihasilkan pada kedua penelitian di atas berada pada kisaran nilai pada penelitian ini yaitu pada skenario kondisi tingkat eksploitasi rendah hingga tinggi bahkan mendekati kondisi tingkat eksploitasi tinggi, hal ini disebabkan perbedaan parameter yang digunakan dalam menghitung aktual maximum sustainalbe yield (MSY).

Hasil analisis regresi dan korelasi antara hasil tangkapan dan upaya penangkapan, ditemukan adanya hubungan erat antara keduanya, ditunjukkan oleh nilai korelasi sebesar 0,961 atau mendekati 1. Koefisien determinasi (R2) adalah 0,923 berarti 92,3% keragaman upaya penangkapan mampu dijelaskan oleh hasil

y = 0.383x + 5.375 R² = 0.969 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 MSY (k g ha -1) Biomassa (kg ha-1)

tangkapan sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor lain, disajikan pada Gambar 27.

Gambar 27 Hubungan linier antara hasil tangkapan (kg) dan upaya penangkapan (trip).

Berdasarkan hasil analisis MSY (Gambar 7) dan potensi hasil tangkapan (potential yields), yang disajikan pada Tabel 2 menunjukkan bahwa potensi hasil tangkapan pada tahun 2009 berada pada rentang 329,55 ton tahun-1 hingga 2965,94 ton tahun-1 dan berdasarkan pengambilan data contoh (sampling) total hasil tangkapan pada tahun 2010 sebesar 48248,63 kg atau 48,25 ton dan pada tahun 2011 sebesar 20874,40 atau 20,87 ton (Gambar 11), artinya total hasil tangkapan sampling belum menjelaskan produktivitas sesungguhnya dan jauh dibawah tingkat pemanfaatan lestari (MSY), hal ini diduga disebabkan oleh kecilnya sampling yang dilakukan atau rendahnya upaya penangkapan pada tahun tersebut. Jika ada penambahan upaya penangkapan sebesar satu satuan maka hasil tangkapan akan meningkat sebesar 411,6 kg (Gambar 27), tetapi kita tidak bisa langsung merekomendasikan penambahan upaya penangkapan. Berdasarkan alasan pendekatan kehati-hatian (precautionary approach) maka hasil perhitungan MSY yang dikembangkan oleh Garcia et al. (1989) diduga berada pada kondisi nilai yang tinggi (overestimate) sehingga dalam perhitungan MSY perlu mempertimbangkan luasan karang berdasarkan tipe habitat setiap jenis ikan, variabilitas waktu dan spasial, dan meminimalisasi bias pada saat pengambilan

y = 304.9x + 106.7 R² = 0.923 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 Hasil tangkapan (kg)

data ikan karang dengan menggunakan metode underwater visual census. Hal terbaik yang perlu dilakukan dalam pengelolaan perikanan adalah penutupan daerah larang ambil, penutupan secara periodik (periodic closure), pembatasan terhadap jenis ikan dan ukuran, pengaturan alat tangkap tertentu (specific gear restriction), dan pembatasan upaya penangkapan (McClanahan and Cinner 2012) serta penegakan hukum terhadap armada/alat tangkap yang tidak sesuai izin penangkapan ikan.

Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya alam yang bersifat dinamis, terjadi hubungan langsung maupun tidak langsung antara upaya penangkapan (effort) dengan hasil tangkapan (catch). Bertambah atau berkurangnya effort pada suatu wilayah perikanan akan bergerak dinamis mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi pada sumberdaya alam dan faktor ekternal lainnya. Ada hubungan timbal balik antara biomassa ikan dan upaya penangkapan (effort) sepanjang waktu. Biomassa ikan dan effort memiliki sifat keseimbangan stable focus dimana keseimbangan sistem akan dicapai melalui penyesuaian antara effort dan biomassa, artinya bahwa peningkatan biomassa hanya bisa dicapai jika effort dikurangi (Fauzi dan Anna 2008).

5.2 Dinamika Upaya Penangkapan

Survei hasil tangkapan nelayan dilakukan pada Bulan Januari 2010 hingga Bulan Desember 2011 dengan total pengambilan contoh sebanyak 351 hari. Upaya penangkapan tercatat sebanyak 1790 trip pada lima alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Taman Nasional Karimunjawa. Perikanan di Taman Nasional Karimunjawa dicirikan oleh keberagaman species (multi-species) dan keberagaman alat tangkap (multi-gear). Total hasil tangkapan tertinggi terjadi pada alat tangkap speargun, sedangkan total upaya penangkapan tertinggi terjadi pada alat tangkap handline baik pada tahun 2010 maupun pada tahun 2011 (Gambar 28). Terjadi penurunan hasil tangkapan antar tahun pengamatan berkorelasi dengan penurunan jumlah trip antar tahun pada semua alat tangkap, dimana upaya penangkapan terjadi fluktuasi setiap bulannya. Semua alat tangkap mengalami penurunan upaya penangkapan dari tahun 2010 ke tahun 2011, penurunan upaya penangkapan pada alat tangkap gillnet, handline, speargun dan

trap diduga lebih dipengaruhi oleh faktor eksternal (Gambar 20) seperti kondisi cuaca yang menjadi faktor pembatas dalam pengoperasian alat tangkap tersebut, akan tetapi pada alat tangkap muroami disebabkan oleh adanya perjanjian antara juragan muroami dengan pihak Balai Taman Nasional Karimunjawa untuk tidak mengoperasikan alat tangkap muroami di Taman Nasional Karimunjawa.

Hasil tangkapan per upaya penangkapan (CPUE) masing-masing alat tangkap sangat bervariasi baik pada tahun 2010 maupun pada tahun 2011. Terjadi peningkatan CPUE standard pada tahun 2010 ke tahun 2011 sebesar 16,22%, peningkatan tersebut disumbang oleh peningkatan CPUE standard pada alat tangkap speargun, handline dan gillnet. Penurunan CPUE standard pada alat tangkap muroami disebabkan oleh tidak beroperasinya nelayan muroami sejak Juni 2011, sedangkan penurunan hasil tangkap trap disebabkan oleh minimnya waktu pengoperasian dan digunakan sebagai alat tangkap sampingan (Tabel 8).

Berdasarkan nilai indek musim penangkapan (IMP) dan consecutive seasonal index (CSI) alokasi alat tangkap, diketahui bahwa puncak musim alokasi penangkapan ikan berbeda-beda. Alat tangkap di Taman Nasional Karimunjawa dioperasikan sepanjang waktu, namun pada Bulan Maret alat tangkap trap tidak dioperasikan dan ketiga alat tangkap tersebut (alat tangkap handline, speargun dan trap) jarang dioperasikan pada Bulan September. Hal ini diduga terkait musim ikan, dimana jumlah spesies yang mencapai musim penangkapan pada bulan tersebut sedikit (Tabel 4).

Gambar 28 Hasil tangkapan dan upaya penangkapan setiap alat tangkap pada tahun 2010 dan 2011.

Hasil tangkapan tertinggi terjadi pada alat tangkap speargun, jika dilihat dari tingkat hasil tangkapan maka alat tangkap muroami merupakan alat tangkap dengan hasil tangkapan per orang per trip tertinggi. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kemampuan setiap alat tangkap, dimana alat tangkap muroami lebih efektif dalam menangkap ikan yang bergerombol (ikan ekor kuning) dibandingkan dengan alat tangkap lainnya sehingga memberikan kontribusi tekanan penangkapan yang besar terhadap sumberdaya perikanan karang.

Selain dilihat dari sisi hasil tangkapan dan jumlah upaya penangkapan, untuk mengetahui tekanan terhadap sumberdaya perikanan karang, juga dilihat dari analisis selektivitas alat tangkap berdasarkan keragaman jenis ikan yang ditangkap. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa semua alat tangkap yang digunakan di Taman Nasional Karimunjawa memiliki nilai indeks keanekaragaman yang tinggi atau selektivitas yang rendah terhadap hasil tangkapan, akan tetapi hasil tangkapan pada alat tangkap muroami dan speargun didominasi oleh spesies tertentu. Hasil tangkapan pada alat tangkap handline, gillnet dan trap cenderung tidak didominasi oleh spesies tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa alat tangkap muroami dan speargun memiliki preferensi terhadap jenis tertentu dan alat tangkap gillnet, handline dan trap tidak memiliki

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 0 5000 10000 15000 20000 25000 30000

Gill Net Handline Muro

ami

Speargun

Tr

ap

Gill Net Handline Muro

ami Speargun Tr ap 2010 2011 U pa y a p ena ng ka pa n ( tr ip) H as il ta ng ka pa n (k g ) Hasil tangkapan Upaya penangkapan

preferensi terhadap jenis tertentu. Hal ini dikarenakan ketiga alat tangkap tersebut memiliki peluang yang sama untuk menangkap semua jenis ikan dan jika dilihat dari cara pengoperasiannya termasuk pada alat tangkap pasif.

Komposisi rata-rata jenjang rantai makanan (trophic level) hasil tangkapan pada penelitian ini ditemukan bahwa hanya alat tangkap handline yang memiliki nilai rata-rata trophic level tinggi (4,0) yang membedakan dengan alat tangkap lainnya. Hal ini dikarenakan pada saat pengoperasian alat tangkap ini menggunakan umpan dari daging ikan sehingga lebih banyak menangkap ikan pemakan daging (carnivore) seperti dari Famili Serranidae, Carangidae, Lutjanidae, Lethrinidae, Nemipteridae, Sphyraenidae dan Haemulidae. Alat tangkap lainnya memiliki rata-rata trophic level rendah hingga sedang (2,8 - 3,4) yang menangkap ikan pada semua jenjang rantai makanan diantaranya herbivore, omnivore, planktivore dan benthic invertivore seperti Famili Scaridae, Siganidae, Acanthuridae, Balistidae, Caesionidae dan Labridae (Gambar 29). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh McClanahan and Mangi (2004) menyatakan bahwa rata-rata trophic level pada alat tangkap handline lebih tinggi (3,6) dibandingkan dengan alat tangkap lainnya (2,6 - 2,9).

Komposisi jenjang rantai makanan hasil tangkapan terdistribusi pada berbagai kelompok jenjang rantai makanan, akan tetapi alat tangkap handline mempunyai potensi untuk mempengaruhi jenjang rantai makanan yang tinggi dan dapat mengakibatkan penurunan jejaring makanan (fishing down the food web) (Pauly et al. 2001). Lebih lanjut Pauly et al. (2001) berpendapat bahwa rata-rata jenjang rantai makanan dari hasil pendaratan ikan dapat digunakan sebagai indek keberlanjutan dalam perikanan multi-species. Salah satu tujuan dari pengelolaan ekosistem adalah mempertahankan tingkat rata-rata jenjang rantai makanan pada kondisi tetap dari kegiatan perikanan tangkap.

Pengelolaan untuk menjaga tingkat keberlanjutan dan mempertahankan jejaring makanan dapat melalui penentuan jenjang rantai makanan ikan yang ditangkap oleh berbagai jenis alat tangkap dan menyesuaikan komposisi alat tangkap untuk menjaga komposisi jejaring makanan perikanan. Selain alat tangkap handline, alat tangkap lain umumnya menangkap ikan pada jenjang rantai

makanan yang cukup rendah dan ini mungkin mencerminkan sejarah penangkapan ikan yang berlebih (McClanahan and Mangi 2004).

Gambar 29 Rata-rata (±SE) trophic level ikan hasil tangkapan masing-masing alat tangkap.

5.3 Strategi Operasi Penangkapan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa strategi operasi penangkapan dipengaruhi oleh faktor eksternal antara lain kondisi cuaca (62%), stok ikan (14%) dan harga ikan (5%), dan faktor internal yang mempengaruhi adalah biaya operasional (9%). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wiyono et al. 2006 menyatakan bahwa dalam mengalokasi alat tangkap nelayan di Teluk Palabuhan ratu dipengaruhi oleh kondisi iklim seperti kondisi curah hujan.

Nelayan responden menyatakan bahwa dalam melakukan operasi penangkapan terdapat 81% responden menggunakan alat tangkap tunggal, dimana speargun dan handline dioperasikan sepanjang bulan dan sebanyak 19% responden menggunakan alat tangkap kombinasi (alat tangkap utama dan sampingan). Hampir semua alat tangkap sampingan dioperasikan mulai Bulan Juni hingga Desember kecuali pada alat tangkap trap yang dioperasikan pada Bulan Februari hingga April. Minimnya penggunaan alat tangkap kombinasi diduga karena tipe nelayan di Taman Nasional Karimunjawa adalah nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan pulang dan pergi dalam satu hari (one day trip),

0 1 2 3 4

Gill Net Handline Muroami Speargun Trap

Rata- rata tro p h ic lev el

sedangkan nelayan yang menggunakan alat tangkap kombinasi diduga karena untuk memaksimalkan pendapatan dengan cara menambah pengoperasian alat tangkap lainnya.

Nelayan dalam beradaptasi terhadap perubahan faktor eksternal (lingkungan), akan menerapkan strategi penangkapan ikan tertentu dengan mengalokasikan alat tangkapnya (Hilborn and Waters 1992). Perubahan aktivitas armada perikanan dalam musim penangkapan ikan dapat terjadi sebagai respon terhadap banyak faktor seperti perubahan kelimpahan dan distribusi ikan, harga ikan atau tindakan pengelolaan perikanan (Charles 2001).

5.4 Strategi Adaptasi Nelayan

Survei sosial ekonomi masyarakat dilakukan di empat desa (Desa Karimunjawa, Kemujan, Parang, dan Nyamuk) dengan 150 responden nelayan yang telah bekerja lebih dari lima tahun. Pada penelitian ini menggunakan dua skenario yaitu penurunan hasil tangkapan 20% dan 50%. Respon nelayan terhadap skenario penurunan hasil tangkapan dengan cara tetap mencari ikan, beradaptasi dan ganti pekerjaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi penurunan hasil tangkapan maka semakin banyak jumlah nelayan yang akan melakukan adaptasi dan mengganti pekerjaan. Strategi adaptasi yang dilakukan oleh nelayan responden secara berurutan adalah mengurangi frekuensi melaut atau upaya penangkapan, mengganti alat tangkap, dan pindah lokasi penangkapan. Semakin menurunnya biomassa ikan karang antar tahun (Gambar 6) telah direspon nelayan dengan cara mengurangi upaya penangkapan, hal ini diduga karena tidak seimbangnya antara biaya operasional dengan hasil tangkapan. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Cinner et al. (2008) yang menyatakan bahwa proporsi nelayan yang akan berhenti menangkap ikan semakin meningkat terhadap perbedaan skenario penurunan hasil tangkapan dan proporsi nelayan yang melakukan adaptasi relatif konstan terhadap perbedaan skenario penurunan hasil tangkapan.

Pilihan jenis pekerjaan terkait skenario penurunan hasil tangkapan adalah bekerja pada sektor budidaya (budidaya rumput laut dan ikan kerapu), bangunan (tukang dan kuli bangunan), sektor pariwisata (pemandu wisata) dan sektor

peternakan (ternak ayam). Pilihan pada jenis pekerjaan ini, diduga disebabkan oleh meningkatnya kunjungan wisatawan ke Taman Nasional Karimunjawa pada lima tahun terakhir (Gambar 30). Meningkatnya permintaan tenaga kerja dari sektor pariwisata menimbulkan peluang pekerjaan yang dapat dilakukan oleh masyarakat terutama nelayan di Taman Nasional Karimunjawa, kususnya pada kegiatan ekonomi seperti pemandu wisata, penjualan makanan dan minum, akomodasi (homestay), penjualan cinderamata, dan jasa perjalanan wisata. Hal tersebut menyebabkan perubahan pola mata pencaharian masyarakat nelayan dalam merespon perubahan hasil tangkapan.

Gambar 30 Jumlah pengunjung Taman Nasional Karimunjawa (orang) pada tahun 2007 – 2010 (BTNKJ 2010).

Jika dilihat dari tingkat pendapatan nelayan responden per bulan (Gambar 31), maka dapat diklasifikasikan menjadi lima kelompok pendapatan yaitu miskin (Rp 150.000 - Rp 885.000), menengah kebawah (Rp 851.000 - Rp 1.620.000), menengah (Rp 1.621.000 - Rp 2.355.000), menengah ke atas (Rp 2.356.000 - Rp 3.090.000) dan kaya (>Rp 3.100.000).

Nelayan responden dengan pendapatan menengah ke bawah hingga kaya lebih bisa beradaptasi terhadap penurunan hasil tangkapan dibandingkan dengan nelayan yang berpendapatan rendah (miskin). Hal ini diduga karena nelayan miskin terikat secara sosial dengan juragan seperti hutang piutang, sehingga tidak

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 2007 2008 2009 2010 Ju m la h Pe ng un jun g (o ra n g ) Tahun

lebih leluasa dibandingkan dengan nelayan lain dalam menentukan keputusan untuk beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang ada.

Gambar 31 Adaptasi nelayan terhadap skenario penurunan hasil tangkap berdasarkan kategori pendapatan.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 20% 50%

Skenario penurunan hasil tangkapan

Jumlah resp on den

Dokumen terkait