• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBAHASAN

4.1 Jenis makna

Sesungguhnya jenis atau tipe makna itu memang dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang. Berdasarkan jenis semantiknya dapat dibedakan antara makna leksikal dan makna gramatikal, berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata/leksem dapat dibedakan adanya makna denotatif dan makna konotatif, berdasarkan ketepatan maknanya dikenal adanya makna kata dan makna istilah atau makna umum dan makna khusus ( Chaer, 2009:59). Adapun pembahasan makna-makna yang dimaksud adalah seperti berikut:

4.1.1 Makna leksikal dan makna gramatikal

Leksikal adalah bentuk ajektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon (vokabuler, kosa kata, perbendaharaan kata). Satuan dari leksikon adalah leksem, yaitu satuan bentuk bahasa yang bermakna. Kalau leksikon kita samakan dengan kosa kata atau perbendaharaan kata, maka leksem dapat kita persamakan dengan kata. Dengan demikian makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atau bersifat kata. Lalu, karena itu dapat pula dikatakan makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indra, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita.

Dalam bahasa Melayu dialek Tanjung Balaidijumpai makna leksikal dan makna gramatikal. Makna leksikal ini dapat juga diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon. Contohnya seperti berikut:

1. Anak parano ku udah kuliah kinin.

‘Anak laki-lakisaya sudah kuliah sekarang’. 2. Ganteng botul anak parano nyo bah!.

‘Ganteng sekali anak laki-lakinya!’.

Kata paranopada contoh (1) dan (2) bermakna anak remaja laki-laki, merujuk kepada seorang manusia, bukan yang lain.

3. Lombek botul kutengok kueh ni. ‘Lembut sekali saya lihat kue ini’. 4. Lombek kali itu!.

‘Lembut sekali itu!’. 5. Lombek bonar itu udin!.

‘Lembutsekali itu udin!’.

Kata lombek pada contoh (3),(4), dan (5) bermakna sebagai kata ‘lembut’.Contoh (1),(2),(3),(4), dan (5) menunjukkan makna leksikal.

Berikutnya dalam bahasa Melayu dialek Tanjung Balai dijumpai makna gramatikal, yaitu makna yang tidak merujuk kepada makna yang sebenarnya. Seperti contoh berikut ini:

6. Jangan pala kau tunjukkan bonar kaparanoan kau ayah!. ‘Janganlah kau berperilaku seperti preman anakku!. 7. Mamparanoi bonar kau kutengok jang!.

8. Kalok anak dio tu memang lombek!. ‘Anak nya memang tidak cekatan!’. 9. Nang lombek la kau ayah!.

‘Kamu benar-benar tidak cekatan anakku!’. 10. Botul la kau lombek!.

‘Kamu tidak cekatan!’.

Kata parano pada contoh (6) dan (7) ialah sebuah nasehat dari seseorang yang menyampaikan agar jangan berperilaku seperti orang pasaran yang sama sekali tidak mengetahui akan sikap sopan santun, bukan kepada seorang remaja laki-laki. Sedangkan kata lombek pada contoh (8),(9), dan (10) ialah sebuah sifat dari seseorang yang tidak cekatan atau cenderung pemalas. Contoh (6),(7),(8),(9), dan (10) menunjukkan makna gramatikal.

4.1.2 Makna referensial dan Nonreferensial

Perbedaan makna referensial dan makna nonreferensial berdasarkan ada tidaknya referen dari kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu diluar bahasa yang diacu oleh kata itu maka kata tersebut disebut kata bermakna referensial. Kalau kata- kata itu tidak mempunyai referen maka kata itu disebut kata bermakna nonreferensial. Kalau kata-kata itu tidak mempunyai referen maka kata itu disebut kata bermakna nonreferensial. Kata meja dan kursi termasuk kata yang bermakna referensial karena keduanya mempunyai referen, yaitu sejenis perabot rumah tangga yang disebut “meja” dan “kursi”. Sebaliknya kata karena dan tetapi tidak mempunyai referen. Jadi, kata karena dan kata tetapi termasuk kata yang bermakna nonreferensial.

Dalam bahasa Melayu dialek Tanjung Balai dijumpai makna referensial dan makna nonreferensial. Contohnya seperti berikut:

11. Pocah cawan ku bah!. ‘Pecah gelas saya!’.

Kata cawan pada kalimat ini artinya sebuah ‘gelas’, yang tentunya sebuah gelas memiliki referen atau asal.

12. Kalapo siapo ini omak?. ‘Kelapa siapa ini bu?’.

Kata kalapo pada kalimat ini artinya buah ‘kelapa’, yang mana kelapa adalah termasuk salah satu buah-buahan yang jelas bentuk maupun rasanya, dan tentunya juga memiliki referen.

13. Mano pinggan ku tadi?. ‘Dimana piring saya tadi?’.

Kata pinggan pada kalimat ini artinya sebuah ‘piring’, yang mana piring termasuk salah satu barang pecah belah yang ada wujud ataupun referennya.

14. Ambekkan dulu sudu tu untuk ku!. ‘Ambilkan sendok itu untuk saya!’.

Kata sudu pada kalimat ini artinya sebuah ‘sendok’, yang mana sendok termasuk salah satu perlengkapan makan yang ada wujud ataupun referennya.

15. Udah magorib, tutup tingkap tu!. ‘Sudah maghrib, tutup jendela itu!’.

Kata tingkap pada kalimat ini artinya sebuah ‘jendela’, yang mana jendela termasuk salah satu bagian dari sebuah rumah yang ada wujud ataupun referennya.

Contoh (11), (12), (13), (14), dan (15) termasuk kepada makna referensial. Lantas bagaimana pula contoh makna nonreferensialnya ? berikut contohnya:

16. Orang tu tongah batarombo siapo nang ondak jadi katuo maulid nanti.

‘Mereka sedang mendiskusikan siapa yang akan menjadi ketua perayaan maulid nanti’.

Kata batarombo artinya adalah sebuah musyawarah, yang mana kata musyawarah tidak ada benda ataupun referennya, melainkan sesuatu yang bisa dilihat dan dirasakan, tetapi tidak dapat disentuh objeknya, maka kata batarombo termasuk kepada makna nonreferensial.

17. Cubo ko tengok budak tu, lagak yo kan?.

‘Coba kamu perhatikan anak itu, rupawan ya kan?’.

Kata lagak artinya sebuah ungkapan bagi wajah seseorang yang tampan atau cantik. Kata lagak hanya bisa dilihat tetapi tidak dapat disentuh dan tidak ada wujud bendanya, maka kata lagak termasuk kepada makna nonreferensial.

18. Palokik dio tu yo kan mak?. ‘Pelit dia ya bu?’.

Kata palokik artinya sifat seseorang yang pelit. Kata palokik hanya bisa dirasakan tetapi tidak bisa disentuh dan tidak ada wujud bendanya, maka kata palokik termasuk kepada makna nonreferensial.

19. Apo nyo ulah kau ni?

‘Apa yang telah kau perbuat?’.

Kata ulah artinya perilaku. Kataulah hanya bisa dilihat dan dirasakan, tetapi tidak bisa disentuh dan tidak ada wujud bendanya, maka kata ulah termasuk kepada makna nonreferensial.

20. Udin, curahkan minyak tu ka badan nyo!. “Udin, tuangkan minyak itu ke badan nya!’.

Kata curah artinya ‘tuang’. Kata curah hanya bisa dilihat, tetapi tidak bisa disentuh objeknya dan tidak ada wujud bendanya, maka kata curah termasuk kepada makna nonreferensial.

4.1.3 Makna denotatif dan makna konotatif

Pembedaan makna denotatif dan konotatif didasarkan pada ada atau tidak adanya “nilai rasa” (istilah dari Slametmulyana, 1964) pada sebuah kata. Setiap kata, terutama yang disebut kata penuh, mempunyai makna denotatif, tetapi tidak setiap kata itu mempunyai makna konotatif.

Sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai “nilai rasa”, baik positif maupun negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi. Tetapi dapat juga disebut berkonotasi netral.

Makna denotatif (sering juga disebut makna denotasional, makna konseptual, atau makna kognitif karena dilihat dari sudut yang lain) pada dasarnya sama dengan makna referensial sebab makna denotatif ini lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya. Jadi, makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi faktual objektif. Lalu karena itu makna denotasi sering disebut sebagai “makna sebenarnya”.

Dalam bahasa Melayu dialek Tanjung Balai dijumpai makna denotatif dan makna konotatif. Contohnya seperti berikut:

21. Anak bujang nyo tatangkap polisi. ‘Anak laki-lakinya tertangkap polisi’.

22. Bah, nang bujang lapuk nyo ruponyo dio!. ‘Ternyata dia seorang perjaka tua!’.

Contoh(21) dan (22) menerangkan bahwa kata bujang adalah seorang laki-laki dewasa yang belum berumah tangga, kata bujang menunjukkan makna denotasi atau makna sebenarnya.

23. Nang lagak la pulak anak daro nyo tu butet. ‘Cantik sekali anak perempuan nya butet’.

24. Kato orang tu anak daro nyo udah jadi orang kinin. ‘Kata mereka anak perempuan telah sukses sekarang’. 25. Udah kawin anak daro kau?.

‘Sudah menikah anak perempuan mu?’.

Contoh (23), (24), dan (25) menerangkan bahwa kata anak daro adalah seorang remaja perempuan dewasa yang belum berumah tangga, kata anak daro menunjukkan makna denotasi atau makna sebenarnya. Kata anak daro termasuk ke dalam makna denotasi. Lantas bagaimana dengan contoh makna konotasi? Berikut contoh dan penjelasannya:

26. Bujang omak kau la bah!. ‘kemaluan ibu mu!.

Pada contoh (26), kata bujang bukanlah lagi berada pada posisi manusia dewasa pria, melainkan sudah kata makian yang kasar pada masyarakat Tanjung Balai. Kata bujang

pada konteks ini bermakna sebagai alat kelamin wanita. Kata bujang berperan sebagai makna konotatif.

27. Hinggokan basitogang isang nyo orang tu!. ‘Sampai benar-benar emosi mereka!’.

28. Togang isang ku mandongar nyo!. ‘Emosi saya mendengarnya!’.

Pada contoh (27) dan (28), kata togang isang (tegang insang) bukanlah lagi insang yang digunakan ikan untuk bernafas, melainkan perumpamaan bagi seseorang yang benar- benar emosi. Kata togang isang berperan sebagai makna konotatif.

29. Kusontap kau karang da!. ‘Saya hajar kau nanti!’. 30. Disontap ayah nyo dio!.

‘Ia dihajar ayah nya’

Pada contoh (29) dan (30), kata sontap (santap) merujuk kepada sebuah perkelahian, baik oleh satu pihak maupun oleh banyak pihak. Kata sontap berperan sebagai makna konotatif.

4.1.4 Makna kata dan makna istilah

Pembedaan adanya makna kata dan makna istilah berdasarkan ketepatan makna kata itu dalam penggunaan maknanya secara umum dan secara khusus. Dalam penggunaan bahasa secara umum acapkali kata-kata itu digunakan secara tidak cermat sehingga maknanya bersifat umum. Tetapi dalam penggunaan secara khusus, dalam bidang kegiatan tertentu, kata-kata itu digunakan secara cermat sehingga maknanya pun menjadi tepat.

Makna sebuah kata, walaupun secara sinkronis tidak berubah, tetapi karena berbagai faktor dalam kehidupan, dapat menjadi bersifat umum. Makna kata itu baru menjadi jelas kalau sudah digunakan dalam suatu kalimat. Kalau lepas dari konteks kalimat, maka kata itu menjadi umum dan kabur.

Dalam bahasa Melayu dialek Tanjung Balai dijumpai makna kata dan makna istilah. Contohnya seperti berikut:

31. Kau carikkan dulu pucuk oru, bak kito hias dulu palaminan kakak kau tu!. ‘Carilah pucuk pohon oru, agar kita hias pelaminan kakakmu!’.

32. Udah layu botul ku tengok pucuk oru tu!. ‘Sudah sangat layu pucuk pohon oru itu!’.

Kata pucuk oru pada contoh(31) dan (32) adalah sejenis tanaman, yang mana biasanya digunakan masyarakat Tanjung Balai untuk acara pernikahan seseorang. Kata

pucuk oru disini berperan sebagai makna kata. 33. Mamoras santan tadi dio kutengok!.

‘Memeras santan tadi dia saya lihat!’. 34. Poras dulu kaen tu, basah tadi kono ujan!.

‘Peras kain itu, tadi basah kena hujan!’. 35. Poras dulu tire tu, kono aer pasang tadi!’

‘Peras tirai itu, tadi terkena air pasang!’.

Kata poras pada kalimat (33), (34), dan (35) adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan dua tangan yang mana tujuannya adalah untuk mengeringkan. Kataporas disini berperan sebagai makna kata. Contoh dari makna istilah seperti dibawah ini:

36. Pas la kau macam pucuk oru!. ‘Kau benar-benar tidak konsisten!’.

Pucuk oru pada contoh (36) tidak lagi bermakna sebuah tanaman, melainkan berperan sebagai makna istilah dari seseorang yang tidak berpendirian tetap atau tidak konsisten.

37. Abis-abisan aku diporasnyo!.

‘Habis-habisan saya digerogotinya!’. 38. Diporasnyo botul ayah nyo tu!.

‘Digerogotinya ayah nya habis-habisan!’. 39. Aidah, yang pamoras la kau jang!.

‘Aduh, kamu benar-benar penggerogot!’. 40. Bayadah, diporasnyo budak tu!.

‘Kasihan nya, anak itu digerogotinya!’.

Pada contoh (37), (38), (39), dan (40), kata poras (peras) bukanlah lagi bermakna sebagai sebuah kegiatan yang dilakukan dengan dua tangan yang bertujuan untuk mengeringkan, tetapi merupakan istilah dari penggerogot, entah itu yang berbau kebendaan atau hal-hal lain yang bersifat merugikan. Kata poras disini berperan sebagai makna istilah.

4.1.5 Makna konseptual dan makna asosiatif

Pembedaan makna konseptual dan makna asosiatif didasarkan pada ada atau tidaknya hubungan (asosiasi,refleksi) makna sebuah kata dengan makna kata lain. Secara garis besar Leech (dalam Chaer, 2009:73) membedakan makna atas makna konseptual dan makna asosiatif, dalam makna asosiatif termasuk makna konotatif, stilistik, afektif, refleksi, dan kolokatif.

Makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan konsepnya, makna yang sesuai dengan referennya, dan makna yang bebas dari asosiasi atau hubungan apapun. Jadi, sebenarnya makna konseptual ini sama dengan makna referensial, makna leksikal, dan

makna denotatif. Sedangkan makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan keadaan diluar bahasa.

Dalam bahasa Melayu dialek Tanjung Balai dijumpai makna konseptual dan makna asosiatif. Contohnya seperti berikut:

41. Samo siapo anak daro kau kawin?.

‘Dengan siapakah anak perempuanmu menikah?’. 42. Lulus anak daro ku ke USU bah!.

‘Anak perempuan saya lulus ke USU!’.

Kata anak daropada contoh (41) dan (42) bermakna sebagai anak perempuan yang belum menikah, kata anak daro termasuk kedalam makna konseptual.

43. Mano karabu ku tadi? ‘Mana anting saya?’.

44. Omak tu pogi tadi, ondak mamboli karabu katonyo tadi. ‘Ibu tadi pergi, dia ingin membeli anting katanya’.

45. Kato pak Lubis, siapo nang manjumpoi karabu anaknyo dikasinyo saratus ribu!. ‘Kata pak Lubis, siapa yang menemukan anting anaknya akan diberi seratus ribu!’. Kata karabu pada contoh (43), (44), dan (45) bermakna sebagai kata anting. Katakarabu termasuk kedalam makna konseptual. Contoh dari makna asosiatif seperti dibawah:

46. Masih ijo nyo pulak budak tu!. ‘Masih terlalu polos anak itu!’.

Makna kata ijo(hijau) pada contoh (46) bukanlah merujuk kepada sebuah warna,melainkan merujuk kepada‘masih baru’, ‘masih pemula’, atau ‘masih polos’. Kata

47. Mangombur sajola la karojo kau!. ‘Membual saja kerja mu!’.

48. Nang pangombur la pulak kau jang! ‘Ternyata kau seorang pembual!’.

Makna kata kombur (cerita) pada contoh (47) dan (48) bukanlah merujuk kepada seorang pencerita, melainkan kepada seorang pembual. Kata kombur termasuk kedalam makna asosiatif.

49. Baserak muncung nyo dibuat si Ipeh!. ‘Luka mulutnya di buat si Ipeh!’. 50. Diserak-serak nyo muko kawan ku!.

‘Dilukai nya wajah teman saya!’.

Kataserak (berhamburan) pada contoh (49) dan (50) bukan lagi menunjukkan berhamburan nya beberapa benda, tetapi serak disini telah berubah makna nya menjadi suatu kegiatan yang bertujuan untuk melukai bagian tubuh dari seseorang. Kataserak

termasuk ke dalam makna asosiatif.

4.2 Relasi makna

Chaer (2009:83) dalam setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia, seringkali kita temui adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata atau satuan bahasa lainnya lagi. Hubungan atau relasi kemaknaan ini mungkin menyangkut hal kesamaan makna (sinonimi), kebalikan makna (antonimi), kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas), ketercakupan makna (homonimi), kelebihan makna (redundansi), dan sebagainya.Berikut ini akan dibahas masalah tersebut satu persatu.

4.2.1 Sinonimi

Secara etimologi kata sinonimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma yang berarti “nama” dan syn yang berarti “dengan”. Maka secara harfiah kata sinonimi berarti “nama lain untuk benda atau hal yang sama. Secara semantik Verhaar (dalam Chaer, 2009:83) mendefenisikan sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain.

Dalam bahasa Melayu dialek Tanjung Balai dijumpai sinonimi. Contohnya seperti berikut:

51. Tak paguno(tidak berguna) = hampuras (tidak berguna)

Tak paguno botul anak orang ni!. ‘Anak ini memang tidak berguna!’.

Memang anak hampuras nyo anak kau tu!. ‘Kau memang anak tak berguna’.

52. Poluk(peluk) = pengkut (peluk)

Poluklah anak kau tu, udah kadinginan dio tu!. ‘Peluklah anak mu itu, dia kedinginan!’.

Hinggokan di pengkut nyo anak orang tu kuat-kuat. ‘Dipeluknya erat sekali anak itu’.

53. Manjaloteh(pecicilan) = mangirtop (pecicilan)

Manjaloteh bonar kau kutengok!.

‘Pecicilan sekali kamu saya perhatikan!’. Nang mangirtop la kau ku tengok jang!.

‘Kamu benar-benar pecicilan saya perhatikan!’.

54. Tajunte(terjuntai) = manjalebeh (terjuntai)

Tajunte kaen kau tu, bolo dulu! ‘Kain mu terjuntai, perbaiki!’.

Manjalebeh la baya bibir nyo gara-gara makanan tu. ‘Bibirnya sampai terjuntai karena melihat makanan itu’.

55. Manggaronyam(tidak mau diam) = manggurasak (tidak mau diam)

Manggaronyam bonar anak kau ni timah! ‘Anak mu ini tidak mau diam timah!’. Apo nyo nang manggurasak di gudang tu?. ‘Apa yang tidak mau diam di gudang itu?’.

Dari contoh (51), (52), (53), (54), dan (55) masing-masing dipaparkan setiap kata ruas kiri bersinonimi terhadap setiap kata ruas kanan. Contoh-contoh tersebut termasuk ke dalam sinonimi.

4.2.2 Antonimi

Kata antonimi berasal dari kata Yunani kuno, yaitu onoma yang berarti “nama”, dan

anti yang artinya “melawan”. Maka secara harfiah antonim berarti “nama lain untuk benda lain pula”. Secara semantik, Verhaar (dalam Chaer, 2009:89) mendefenisikan sebagai: Ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat pula dalam bentukfraseatau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain.

Dalam bahasa Melayu dialek Tanjung Balai dijumpai antonimi. Contohnya seperti berikut:

56. bacul (penakut) ≠ begak (pemberani)

bacul nyo kau!. ‘Penakut kau!’.

Nang begak la anak si Udin ni. ‘Pemberani sekali anak si Udin ini’.

57. Kono sanjung (dipuji) ≠diporut-poruti (diejek/dihina) Abis la dio kono sanjung bapak tu!.

‘Dia dipuji bapak itu!’.

Diporut-poruti orang tu akau bah!. ‘Mereka mengejek-ejek saya!’.

58. Cordik (pintar) ≠obo (bodoh)

Cordik budak tu bah!. ‘Pintar anak itu!’. Nang obo la kau jang!. ‘Bodoh sekali kamu!’.

59. Togap (besar sekali) ≠sakutil mukmin (kecil sekali)

Nang togap la badan kau Udin!. ‘Besar sekali badan mu Udin!’.

Nang sakutil mukmin la pulak joruk kau ni. ‘Kecil sekali jerukmu ini’.

60. Ragat (ramah) ≠lantam (sombong)

Ragat dio tu yo kan?. ‘Ramah dia ya kan?’.

Lantam bonar muncung kau tu kutengok!. ‘Sombong sekali mulutmu’.

Dari contoh (56), (57), (58), (59), dan (60) masing-masing dipaparkan setiap kata ruas kiri berantonimi terhadap setiapkata ruas kanan. Contoh-contoh tersebut termasuk ke dalam sinonimi.

4.2.3 Homonimi, Homofoni, Homografi

Kata Homonimi berasal dari bahasa Yunani kuno onoma yang artinya “nama” dan

hono yang artinya “sama”. Secara harfiah homonimi dapat diartikan sebagai “nama sama untuk benda atau hal lain”. Secara semantik, Verhaar (dalam Chaer, 2009:94) memberi defenisi homonimi sebagi ungkapan (berupa kata , frase, atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain (juga berupa kata, frase, atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama.

Disamping homonimi ada pula istilah homofoni dan homografi. Ketiga istilah ini biasanya dibicarakan bersama karena ada kesamaan objek pembicaraan. Yang membedakan homofoni dilihat dari segi “bunyi” (homo=sama, fon=bunyi). Sedangkan

homografi dilihat dari segi “tulisan, ejaan” (homo=sama, grafi= tulisan).

Dalam bahasa Melayu dialek Tanjung Balai dijumpai homonimi, seperti dibawah ini: 61. Mangukur , terlihat pada kalimat seperti berikut:

Mangukur jalan ayah tu. ‘Ayah mengukur jalan’.

Mangukur kalapo tadi kutengok dio. ‘Tadi saya melihat dia mengkukur kelapa’.

62. Pucuk oru, terlihat pada kalimat seperti berikut:

Pucuk oru ku mano?. ‘Pucuk oru saya mana?’.

‘Kau benar-benar tidak berpendirian!’.

63. Pangkoruk, terlihat pada kalimat seperti berikut:

Pangkorukku mano?. ‘Pengkeruk saya mana?’.

Pangkoruknyo dio tu!’ ‘Dia tukang tipu!’.

64. Dijilat, terlihat pada kalimat seperti berikut:

Dijilat nyo es tu!. ‘Dijilat nya es itu!’.

Dijilat nyo kawan tu!.

‘Berpura-pura baik dia kepada si anu!’.

65. Sorong, terlihat pada kalimat seperti berikut:

Ayah ku nang manyorong tompat sampah tu!. ‘Ayah saya yang menyorong tempat sampah itu!’. Dio lah nang manyorong ku mako ikut aku lumbo ni.

Berdasarkan contoh (61), (62), (63),(64), dan (65) dapat dilihat kata-kata yang dicetak miring pada setiap kalimat pertama merupakan homonimi dari kata-kata yang dicetak miring pada setiap kalimat kedua. Contoh-contoh berikut merupakan contoh dari homonimi yang dijumpai dalam bahasa Melayu dialek Tanjung Balai, sementara untuk homofoni dan homografi, sepengetahuan penulis tidak ada dalam bahasa Melayu dialek Tanjung Balai.

4.2.4 Hiponimi dan Hipernimi

Kata hiponimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma berarti “nama” dan

hypo berarti berarti “di bawah”. Jadi secara harfiah berarti “nama yang termasuk dibawah nama lain”. Secara semantik Verhaar (dalam Chaer, 2009:98) menyatakan hiponim ialah ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi kiranya dapat juga frase atau kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna suatu ungkapan lain. Sementara hipernimi adalah kebalikan dari hiponimi.

Dalam bahasa Melayu dialek Tanjung Balai dijumpai hiponimi dan hipernimi, seperti dibawah ini:

66. Kata bungo

Bungo

Dari bagan diatas dapat dijelaskan bahwa bungo jarum-jarum, bungo kantil, dan bungo kamboja berhiponim terhadap bungo, sedangkan bungo berhipernim terhadap bungo jarum-jarum, begitu juga dengan bungo kantil dan bungo kamboja.

67. Kata burung

Burung

Burung ruak-ruak Burung gareja Burung walet

Dari bagan diatas dapat dijelaskan bahwa burung ruak-ruak, burung gareja, dan burung walet berhiponim terhadap burung, sedangkan burung berhipernim terhadap burung ruak-ruak, begitu juga dengan burung gareja dan burung walet.

68. Kata sayur

Sayur

Dari bagan diatas dapat dijelaskan bahwa daun ubi, sayur jantung, dan sayur nangko berhiponim terhadap sayur, sedangkan sayur berhipernim terhadap daun ubi, begitu juga dengan sayur jantung dan sayur nangko.

69. Kata buah

Buah

Salak Nangko Joruk

Dari bagan diatas dapat dijelaskan bahwa salak, nangko, dan joruk berhiponim terhadap buah, sedangkan buah berhipernim terhadap salak, begitu juga dengan nangko dan joruk.

70. Kata ikan

Ikan

Dari bagan diatas dapat dijelaskan bahwa tarubuk, bijik nangko, dan sopat berhiponim terhadap ikan, sedangkan ikan berhipernim terhadap tarubuk, begitu juga

Dalam dokumen Semantik Bahasa Melayu Dialek Tanjung Balai (Halaman 48-109)

Dokumen terkait