• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISASI SERAT SUTERA DAN GEN PENYANDI FIBROIN PADA ULAT SUTERA LIAR

PEMBAHASAN Serat Kokon

Serat sutera pada kokon mentah C. trifenestrata tersusun tumpang tindih, meskipun demikian terdapat pola yang khas, masing-masing dengan dua sampai tiga filamen serat. Pola tersebut memberi bangunan khas pada kokon berupa jala-jala. Jadi jala-jala pada kokon C. trifenestrata disusun bukan dengan cara melingkar membentuk lubang, akan tetapi terjadi perpotongan/persilangan antara satu serat dengan serat lainnya. Persilangan tersebut disusun oleh dua sampai tiga serat. Pola susunan serat demikian sesuai dengan pengamatan perilaku pembentukan kokon C. trifenestrata, yaitu setiap serat disatukan dengan serat lainnya dengan bantuan proleg, mirip gerakan merajut. Perilaku tersebut berbeda dengan perilaku pembuatan kokon B. mori maupun A. atlas yang terjadi dengan gerakan kepala larva menyerupai angka ’8’.

Setiap serat merupakan filamen ganda. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Bajpai & Tewari (2011), Gulrajani et al. (2011). Filamen ganda dapat terpisah atau terkikis sesuai dengan perlakuan ketika dilakukan

C. trifenestrata(J1) C. trifenestrata(J2) C. trifenestrata(P1) C. trifenestrata(B1) C. trifenestrata(P2) C. trifenestrata (B2) A. mylitta A. yamamai A. pernyi B. mori 96 99 100 0.05 B

Gambar 37 Filogeni berdasarkan runutan intron gen fibroin dengan metode Neighbor- Joining dan bootstrap 1000x; berdasarkan Kimura 2- Parameter,Nodus Bombycidae (A), nodus Saturniidae (B).

degumming. Oleh karenanya ketebalan permukaan serat berbeda-beda. Pada penelitian ini, filamen tidak terpisah hingga degumming dengan konsentrasi NaOH 4g/L. Hal yang sama teramati pada benang sutera B. mori. Kehalusan permukaan bertambah sesuai dengan peningkatan konsentrasi NaOH, sebaliknya ukuran filamen berkurang dengan peningkatan konsetrasi NaOH. Hal ini sejalan dengan penelitian pada yang menunjukkan bahwa dengan degumming maka lapisan luar serat yang terdiri dari sericin akan berkurang atau hilang sama sekali (Sasithorn & Luepong 2009), bahkan dapat menimbulkan celah antar satu filament fibroin dengan fibroin di dekatnya (Akkir & Cakir 2010). Perubahan warna akibat degumming tidak menyolok. Hal ini berarti bahwa warna asli kokon hanya sedikit yang terbawa oleh sericin.

Kelenjar Sutera

Kelenjar sutera pada C. trifenestrata memiliki bagian-bagian yang sama dengan kelenjar sutera pada B. mori. Kelenjar ini terdiri atas bagian anterior yang berhubungan dengan lubang pelepasan serat sutera, bagian tengah (median) yang merupakan tempat sintesis perekat serat sutera dan bagian belakang (posterior), yaitu tempat sintesis serat sutera (Mondal et al. 2007). Meskipun demikian pada B. mori, bagian-bagian tersebut sangat jelas batas-batasnya (Gambar 38).

Gambar 38 Perbandingan kelenjar sutera padaC. trifenestrata(kiri) dan kelenjar suteraB. mori(Mondalet al.2007) di sebelah kanan. Spinneret (A),bagian anterior (B), median (C), Posterior (D).

D B

Ekson 1

Runutan asam amino maupun runutan nukleotida ekson I gen fibroin pada spesiesC. trifenestrata bersifat monomorfik, tidak ada variasi pada semua individu baik di dalam maupun antar populasi. Hal ini berarti bahwa nukleotida (asam amino) tersebut bersifat conserve pada level spesies. Sezutsuet al.(2008) menjelaskan bahwa gen yang bersifat conserve menunjukkan signifikansi fungsional dari protein yang dikodenya, artinya keberadaan produk gen tersebut sangat fital bagi organism yang memilikinya. Zhou et al.(2000) telah menemukan hal yang serupa dengan kasus ini. Pada B. mori, coding sequence fibroin terdiri atas 16.788 nukleotida atau mengkode 5.263 asam amino. Pada sekuen tersebut, ujung 5’, yaitu basa ke-1 (+1) sampai basa ke-1.449, adalah identik pada 99% spesies yang dibandingkan, 1% variasi yang ada disebabkan oleh karena polymorfisme antar strain yang dipergunakan (Zhou et al. 2000). Jika ditinjau dari fungsinya, asam amino (protein) fibroin adalah jenis protein struktural, yaitu protein yang merupakan struktur dasar atau pembentuk serat fibroin (sutera) (Zurovec et al. 1998; Mondal et al. 2007), sehingga tidak membutuhkan variasi intra spesies yang memilikinya atau dengan kata lain sifat tersebut specific spesies; teradaptasi bagi spesies. Hwang et al. (2001) telah menganalisis dan mensejajarkan 155 nukleotida yang meliputi ekson I dan ujung 5’ ekson II pada A. yamamai dan juga membandingkannya dengan A. pernyi menemukan adanya 95% similaritas (kesamaan) pada sekuen tersebut. Selain dari pada itu, gen fibroin A. yamamai telah terekspresi dengan tepat pada bagian posterior kelenjar suteraB. mori (Tamura et al. 1987; Fangzhou et al. 2002; Kobayashi et al. 2009), yang membuktikan bahwa bagian pengendali ekpresi gen fibroin pada kedua spesies bersifat conserve. Bahkan ada homologi gen fibroin pada kedua spesies, yaitu basa -300 sampai dengan -20, termasuk kotak TATA (Tamuraet al.1987; Sezutsuet al.2008).

Hasil pensejajaran berganda pada nukleotida maupun asam amino antaraC. trifenestratadengan tiga spesies AntheraeadanB. mori(Tabel 11 & 13), menunjukkan adanya perbedaan. Pada level nukleotida telah terjadi

substitusi basa. Substitusi yang terjadi bersifat sinonim, non sinonim, bermakna dan tidak bermakna. Baik substitusi sinonin ( C ↔ T) maupun substitusi non sinonim (G →A) menyebabkan perubahan pada asam amino yang dikode oleh kodon triplet dimana basa tersebut berada, akibatnya asam amino yang diekpresikan menjadi berubah. Hal ini berarti bahwa telah terjadi mutasi bermakna, yaitu perubahan satu basa menyebabkan perubahan ekspresi asam amino. Meskipun demikian substitusi lainnya ( T→ C) tidak menyebabkan perubahan asam amino, sehingga meskipun telah terjadi mutasi, mutasi ini bersifat silent; tidak bermakna (Nei & Kumar 2000). Kejadian ini disebabkan oleh karena kodon triplet TTG maupun CTG sama- sama mengkode asam amino leusin (Table Kode Genetik Standar). Pada dasarkan jika ditinjau dari sudut pandang evolusi, fenomena pergantian basa nukleotida pada suatu sekuen DNA merupakan mekanisme dasar timbulnya keragaman genetik (nukleotida), meskipun keragaman tersebut tidak harus selalu diikuti oleh keragaman asam amino. Implikasi dari hal tersebut adalah adaptasi yang tinggi bagi organisme yang memilikinya. Fenomena ini menunjukkan bahwa ekson I sangat berperan penting dalam pembentukan serat sutera, khususnya pada residu sistein. Seperti dikemukakan oleh Tamura et al. (1987) fibroin A. yamamai membentuk homodimer melalui ikatan disulfide, dan diduga bahwa sekuen asam amino yang terkonservasi berperan sebagai peptide sinyal yang esensil untuk sekresi serat sutera (Sezutsuet al.2008 ).

Empat belas residu asam amino protein fibroin hasil ekpresi ekson I gen fibroin menunjukkan adanya spesivitas pada tingkat famili dan ordo. Beberapa asam amino bersifat conserve pada ke-5 spesies yang dibandingkan, menandakan bahwa terdapat ciri ordo (Lepidoptera), yaitu masing-masing dua residu asam amino valin (V), sistein (C) dan Leusin (L) dan masing-masing satu residu metionin (M), arginin (R), fenilalanin (F), isoleusi (I) dan glutamine (Q). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sezutsu et al. (2008) yang menunjukkan adanya konservasi asam amino pada tingkat famili ataupun takson yang lebih tinggi (Tabel 19).

Tabel 19 Perbandingan nukleotida dan asam amino ekson I padaC. trifenestrata, AntheraeadanB. mori

Spesies Panjang nukleotida (bp) Jumlah asam amino (bp) Referensi Saturniidae

C. trifenestarata 42 14 Penelitian ini

A. mylitta 42 14 Dattaet al.2001

A. yamamai 42 14 Sezutsuet al.2010

A. pernyi 42 14 Sezutsu & Yukohiro 2000 Bombycidae

B. mori 42 14 Zhou 2000

Asam amino treonin (T), yang merupakan asam amino ke-4 menjadi penciri family Saturniidae, sedangkan asam amino lisin (K) pada asam amino ke 4 dan T (asam amino ke-5) menjadi penciri pada famili Bombycidae. Asam amino diagnostic (penciri) untuk spesiesC. trifenestrata adalah asam amino valin (V), yaitu asam amino ke-12 pada ekson I.

Jika dibandingkan antara C. trifenestrata dan Antheraea serta B. mori, telah terjadi reduksi jumlah asam amino alanin (A) pada C. trifenestrata, yang diikuti oleh penambahan jumlah asam amino valin (V). Hal ini sejalan dengan alur jarak genetik antar mereka, yang ditunjukkan pada filogeni (Gambar 33 dan 34), dimanaAntheraeamengelompok sendiri sebagai dua klade dan B. mori pada nodus yang paling luar. Filogeni tersebut juga menunjukkan bahwaB. mori lebih tua dibandingAntheraea maupun C. trifenestrata, dan alur perubahan berasal dari B. mori ke Antheraea kemudian baru C. trifenestrata (asam amino isoleusin mungkin sebelumnya menjadi asam amino penciri bagi genusAntheraea), tetapi telah tersubstitusi oleh treonin pada A. yamamai, sama halnya dengan C. trifenestrata.

Ekson II

Seperti halnya dengan ekson I, maka nukleotida ekson II dan asam amino fibroin dalam populasiC. trifenestrata juga seragam, hal ini berarti bahwa terdapat usaha konservasi inter populasi dalam hubungannya dengan usaha mempertahankan ciri spesies. Hal yang berbeda ditemukan jika nukleotida ekson II maupun asam amino fibroin C. trifenestrata

dibandingkan dengan nukleotida ekson II dan asam amino dari spesies yang berlainan.

Hasil pensejajaran runutan nukleotida maupun asam amino ekson II gen fibroin menunjukkan bahwa daerah variabel pada sekuen tersebut dua sampai tiga kali lipat dibandingkan daerah konservatifnya. Hal ini sejalan dengan hasil analisis gen fibroin padaB. mori(Tamuraet al. 1987; Mitaet al. 1994; Zhou et al.2000), gen fibroin padaAntherae(Hwang et al. 2001; Sezutsu et al. 2008; Tamura et al.1987 ) yang menunjukkan bahwa bagian core dari gen tersebut terdapat pada ekson II. Terdapat homologi yang tinggi pada daerah pengapit di ujung 5’ serta ekson I, tetapi sangat berbeda pada ekson II (Tamura et al. 1987; Sezutsu et al. 2008). Komposisi nukleotida guanin (G), dan adenine (A) pada ekson II lebih tinggi dibandingkan dengan nukleotida yang lain. Hal ini disebabkan oleh penggunaan kedua nukleotida tersebut sebagai bagian dari kodon triplet untuk asam amino alanin memiliki frekuensi yang tinggi, yaitu GCA, GCT, GCG, dan GCC dengan frekuensi berturut-turut 49x, 17x, 16x, 1x. Penggunaan tersebut berhubungan dengan adanya motif polyalanin pada asam amino ekson II, yang diikuti dengan pengulangan residu serin. Komposisi asam amino ekson IIC. trifenestrata didominasi oleh tiga asam amino, berturut- turut dari yang paling banyak adalah alanin (A), glisin (G) dan serin (S). Hal yang sama ditemukan pada kelompok Saturniid, dan berbeda dengan B. mori (Hwanget al.2001; Sezusuet al.2008). Perbedaan pada komposisi asam amino yang dikode oleh ekson II baik pada C. trifenestrata, Antheraea maupun B. mori mengakibatkan adanya pengelompokan yang konsisten pada filogeni yaitu C. trifenestrata pada kelompok sendiri, demikian juga dengan Antherae, dan B. mori konsiten sebagaiout group.

Intron

Dibandingkan dengan Antheraea, intron gen fibroin C. trifenestrata lebih pendek, dan hanya 11.65% jika dibandingkan dengan intron B. mori yang panjangnya 970 nt. Intron inipun tidak menujukkan keragaman antar

populasiC. trifenestrata, tetapi berbeda dengan intron spesies lain. Seperti halnya yang ditemukan oleh Tamuraet al.(1987) dan Sezutsu dan Yukuhiro (2000), intron C. trifenestrata sangat berbeda dengan intronB. mori (Tabel 20).

Tabel 20 Variasi panjang intron gen fibroin pada Saturniidae dan Bombycidae

Spesies Panjang nukleotida (bp) Referensi

Saturniidae

C. trifenestarata 113 Penelitian ini

A. mylitta 133 Dattaet al.2001

A. yamamai 150 Sezutsuet al.2010

A. pernyi 120 Sezutsu & Yukohiro 2000 Bombycidae

B. mori 790 Zhouet al.2000

Perbedaan intron antar spesies disebabkan oleh perbedaan panjang dan komposisi nukleotida penyusunnya. Seperti halnya Saturniid lainnya, intron C. trifenestrata juga didominasi oleh kandungan adenine dan timin yang lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan sitosin dan guanine, tetapi pada B. mori, kandungan adenin relatif lebih tinggi dibandingkan guanine, sitosin dan timin. Belum diperoleh pustaka yang berkenaan dengan hal tersebut, tetapi seperti diketahui, bahwa ekpresi suatu gen dipengaruhi oleh komposisi nukleotidanya. Akan halnya intron, karena bukan sekuen pengkode, maka tidak diekspresikan sehingga diduga memikili fungsi khas yang berkenaan dengan komposisi nukleotidanya. Hal yang menonjol bagi intron adalah fungsinya dalam splicing RNA, hanya basa dan runutan nukleotida yang khas, yang dapat berfungsi sebagai splicing junction.

Berdasarkan temuan-temuan pada gen fibroin C. trifenestrata, terungkap bahwa struktur gen fibroin bersifat universal bagi ulat sutera. Terdapat dua fenomena yang bertolak belakang tetapi saling mendukung, yaitu conserve pada ekson I dan beragam pada ekson II. Keragaman pada ekson II sangat terkait dengan sifat dasar masing-masing serat sutera yang dihasilkan. Bukti laboratorium menunjukkan bahwa gen fibroinA. yamamai dapat terekpresi pada kelenjar sutera bagian posterior B. mori. Hal ini memberi harapan bahwa terdapat peluang besar untuk menyeleksi produk serat sutera sesuai keinginan.

SIMPULAN

Serat kokon C. trifenestrata menunjukkan pola khas. Setiap serat terdiri dari 2 filamen. Ukuran serat berkurang sesuai konsentrasi NaOH yang dipergunakan untukdegumming. Warna serat tidak berubah nyata pada degumming dengan konsentrasi NaOH berbeda. Bagian-bagian kelenjar sutera C. trifenestrata kurang jelas dibandingkan dengan bagian-bagian kelenjar suteraB. mori.

Ekson I Gen fibroin C. trifenestrata berukuran 42 nukleotida. Nukleotida ke-25 dan ke-35 merupakan nukleotida penciri C. trifenestrata. Nukleotida ekson I menyandi 14 asam yang bersifat konserve pada level spesies. Asam amino valin merupakan asam amino penciri bagi spesies C. trifenestrata.

Penelitian ini baru mampu mengkarakterisasi ekson II gen fibroin C. trifenestrata sebesar 831 nukleotida (277 asam amino). Nukleotida ekson II memiliki keragaman 2x lebih banyak dibandingkan dengan nukleotida yang konserve. Komposisi nukleotida ekson II adalah guanin (32.7%), alanin 26.5%, timin (21%) dan sitosin (19.7%). Ekson II mengkode 277 asam amino yang didominasi oleh asam amino alanin (27.08%) dan glisin (21.66%). Alanin membentuk polyalanin dengan motif berupa: (A)2S(A)2,

(A)3SS(A)3, (A)2GSAS(A)3, (A)7SAAGSSGRGLGGYDGSVDGGYGS-

GSGS(A)10, (A)10GSSGRGIGGYDGFVDGGYGSGSGS(A)12, (A)12GS-

SGRGLGGYDGWVDDGYGSGSGS(A)12. Antara ekson I dan ekson II

terdapat intron yang berukuran 113 nukleotida. Seperi halnya ekson I maupun ekson II, intronpun bersifat konserve pada level spesies. Nukleotida intron C. trifenestrata didominasi oleh nukleotida A dan T dengan prosentase di atas 70%.

Berdasarkan filogeni menggunakan runutan nukleotida, maupun runutan asam amino menunjukkan bahwa C. trifenestrata, Antheraea mengelompok sendiri sebagai Saturniid, pada nodus masing-masing dan B. mori sebagai out group di nodus paling luar, sehingga diduga bahwa alur divergensi ulat sutera dimulai pada Bombycidae menuju Saturniidae.

SARAN

1. Perlu penelitian mengenai daya regang, panjang total benang yang dihasilkan per kokon, serta frekuensi putus yang terjadi pada serat C. trifenestrata berdasarkan konsentrasi NaOH yang dipergunakan dalam degumming.

2. Perlu penelitian untuk mengkarakterisasi sekuen utuh dari ekson II gen fibroin, sehingga informasi mengenai daerah tersebut lebih lengkap. 3. Perlu penelitian karakterisasi gen fibroin pada daerah flank, sehingga

KERAGAMAN GENCYTOCHROME C OXIDASESUB UNIT I

Dokumen terkait