• Tidak ada hasil yang ditemukan

5.1 Analisis Univariat

Data yang diperoleh dianalisis secara univariat untuk mengetahui seberapa besar distribusi data atau gambaran secara keseluruhan terhadap responden yang ada pada setiap variabel yang berhubungan dengan GPAB.

Secara keseluruhan pekerja yang bekerja di pabrik minyak goreng dibagi menjadi beberapa unit tempat kerja yaitu bagian proses yang terdiri dari unit Production dan bagian non-proses yang bekerja di unit Power plant, Logistic, Engineering, General admin dan Quality control. Dalam penelitian ini pekerja yang dijadikan responden diambil dari unit kerja yang mempunyai intensitas kebisingan >85 dB yaitu unit kerja Power plant 27 orang (27,0%), Production 19 orang (19,0%), dan dari unit kerja yang memiliki intensitas kebisingan ≤85 dB yaitu unit kerja Logistic 16 orang

(16,0%), Engineering 21 orang (21,0%), General admin 14 orang (14,0%)

dan Quality control 3 orang (3,0%).

Pekerja yang terpilih sebagai responden sebanyak 100 orang yang berjenis kelamin laki-laki dan wanita. Karakteristik usia, jenis kelamin, tempat kerja dan masa kerja terlihat pada tabel 4.1. Pekerja yang berusia >35 tahun sebanyak 45 pekerja (45,0%) dan 55 pekerja (55,0%) berusia ≤35 tahun dengan rata-rata usia 34 tahun. Pekerja dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 91 orang (91,0%) dan wanita 9 orang (9,0%).

Penelitian ini dijumpai pekerja yang bekerja mayoritas berjenis kelamin laki-laki dibandingkan wanita.

Hasil analisis responden berdasarkan masa kerja adalah 24 pekerja (24,0%) mempunyai masa kerja >10 tahun. Pengelompokan masa kerja diperlukan untuk mengetahui tingkat paparan atau pengaruh lama

paparan kebisingan yang diterima tenaga kerja. Noise Induce Permanent

perubahan ini bukan disebabkan oleh penuaan namun disebabkan oleh pengaruh paparan terhadap kebisingan, sebagaimana dilaporkan oleh Tasbeh (1999) dalam penelitiannya yang dilakukan terhadap 6 perusahaan di Jakarta (Arini; 2005).

Hasil analisis terhadap intensitas kebisingan lingkungan kerja diperoleh hasil 72 dB di Logistic, Engineering 68 dB, General admin 72 dB, Quality control 46 dB, Production 98 dB dan Power plant 98 dB. Intensitas kebisingan diperoleh dengan mengambil hasil rata-rata dari pengukuran intensitas kebisingan di minimal tiga titik di setiap unit kerja, sehingga dimungkinkan adanya perbedaan intensitas kebisingan yang diterima oleh setiap karyawan yang sangat dipengaruhi oleh jenis dan jumlah mesin, jarak antara karyawan dengan mesin, posisi kerja, kondisi ruangan terbuka atau tertutup dan pengaruh kebisingan dari lingkungan sekitarnya (Maltby; 2005). Kebisingan adalah suara yang tidak dikehendaki, besarnya variasi gangguan akibat kebisingan sangat dipengaruhi oleh jenis dan kekerasan/intensitas suatu kebisingan (Arini; 2005).

Dari hasil analisis terhadap intensitas bising yang diterima pekerja diperoleh hasil 46 orang (46,0%) terpapar kebisingan >85 dB dan 54 orang (54,0%) terpapar kebisingan ≤85 dB (tabel 4.2). Hal tersebut dimungkinkan karena intensitas kebisingan lingkungan kerja diambil secara rata-rata, sehingga dimungkinkan adanya pekerja yang terpapar intensitas kebisingan kurang dari sama dengan 85 dB karena posisi dan jarak tenaga kerja yang berbeda dari sumber bising, atau mesin disekitarnya tidak menghasilkan intensitas kebisingan yang tinggi. Besarnya variasi gangguan akibat kebisingan sangat dipengaruhi oleh jenis dan kekerasan/intensitas suatu kebisingan (Arini; 2005).

Dari hasil analisis terhadap GPAB (tabel 4.3) diperoleh hasil 46 orang (46,0%) mengalami GPAB jenis tuli sensorineural dan 54 orang (54,0%) tidak mengalami GPAB (normal).

Penelitian yang dilakukan Arini (2005) pada perusahaan pengolahan kayu di Semarang didapati 23 orang (38,3%) gangguan pendengaran tipe sensorineural dan 37 orang (61,7%) tidak ada gangguan pendengaran tipe sensorineural (Arini; 2005). Penelitian yang dilakukan Tana et al (2002) pada pekerja perusahaan baja yang terpapar bising dengan

intensitas bising 88,3 – 112,8 dBA dijumpai GPAB sebanyak 43,6% (Tana,

et al; 2002). Penetapan diagnosis GPAB dilihat dari hasil pemeriksaan audiometri (Nandi & Dhatrak; 2008).

Kelemahan penelitian ini ialah peneliti tidak menemukan data dari pihak perusahaan tentang kesehatan pendengaran pekerja sebelum bekerja di pabrik minyak goreng.

Mekanisme terjadinya GPAB melibatkan kerusakan sel-sel rambut koklea oleh karena paparan terhadap bising terutama pada frekuensi tinggi (Daniel, et al; 2007). Suara yang berasal dari luar dialirkan ke liang telinga dan mengenai membran timpani kemudian divibrasikan dan ditransmisikan ke telinga tengah dimana sel-sel rambut sensoris di koklea bertanggung jawab memulai impuls saraf yang membawa informasi ke otak berkaitan dengan suara tersebut. Koklea manusia memiliki satu baris sel-sel rambut dalam dan tiga baris sel-sel rambut luar. Sel-sel rambut luar berada disepanjang koklea. Sel-sel rambut yang berhubungan dengan suara berfrekuensi tinggi berlokasi dekat dengan ujung dasar koklea dan daerah yang paling sensitif untuk suara dengan frekuensi rendah mendekati bagian apikal koklea. Beratnya kerusakan sel-sel rambut bergantung kepada besarnya intensitas suara yang diterima. Semakin tinggi intensitas suara yang diterima maka kerusakan akan semakin berat dan menjadi permanen. Sekali rusak, sel-sel sensoris tersebut tidak dapat memperbaiki dirinya sendiri dan tidak ada prosedur medis yang dapat mengembalikannya ke fungsi normal (Nandi & Dhatrak; 2008).

GPAB biasanya dimulai dari frekuensi 4000 Hz kemudian berlanjut ke frekuensi lebih tinggi diikuti frekuensi yang lebih rendah (Ketabi & Barkhordari; 2010). GPAB biasanya bilateral tetapi tidak jarang terjadi

unilateral (Bashiruddin; 2010). Pada pemeriksaan audiometrik, GPAB memberikan gambaran yang khas yaitu notch (takik) berbentuk „V‟ atau „U‟ sering diawali pada frekuensi 4000 Hz, tapi kadang-kadang 6000 Hz, yang kemudian secara bertahap semakin dalam dan selanjutnya akan menyebar ke frekuensi didekatnya, dimana khasnya didapati perbaikan pada 8000 Hz (Health & Safety Authority; 2007). GPAB hampir tidak pernah menghasilkan profound hearing loss (Arts; 2010).

Hasil analisis terhadap keluhan telinga berdenging (tinitus) (tabel 4.4) diperoleh hasil pada pekerja yang normal sebanyak 54 orang (54,0%) tidak dijumpai keluhan tinitus dan pada pekerja GPAB sebesar 15 orang (15,0%) dijumpai keluhan tinitus dan 31 orang (31,0%) tidak dijumpai keluhan tinitus.

Penelitian yang dilakukan Kurmis (2007), dimana pada penderita NIHL dijumpai >20% juga mengeluhkan tinitus (Kurmis & Apps; 2007). Tinitus adalah persepsi suara yang diterima tanpa adanya rangsangan dari luar. Keluhan tinitus dapat terjadi unilateral dan juga bilateral. Berdasarkan beratnya gangguan dapat dibagi atas kompensata (gangguan ringan) dan dekompensata (gangguan berat). Masalah yang muncul akibat tinitus dapat berupa gangguan tidur, depresi, ketakutan, gangguan cemas, gangguan konsentrasi dan pada kasus yang ekstrim bunuh diri dapat juga terjadi. Dengan kata lain, tinitus dekompensata merupakan masalah serius yang dapat menurunkan kualitas hidup. Hampir 30 dari 100 orang dewasa mengeluhkan tinitus, dimana 1-5 dari 100 orang menderita karena tinitus dan membutuhkan pertolongan medis. Serangan tinitus bergantung pada dasar penyebabnya seperti neurologis, traumatik, infeksi ataupun berkaitan dengan pemakaian obat-obat, namun penyebab terbanyak dari tinitus adalah gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran biasanya disebabkan karena proses penuaan (presbikusis) ataupun terpapar bising yang berlebihan (GPAB). Dari keseluruhan penderita tinitus, 57-76% disebabkan oleh karena GPAB. Mazurek mengajukan hipotesis bahwa beratnya derajat GPAB membawa dampak negatif terhadap beratnya

keluhan tinitus. Dalam penelitiannya terhadap 531 pasien didapatkan 83% yang mengeluhkan tinitus mempunyai gangguan pendengaran pada frekuensi tinggi (GPAB) dimana terdapat hubungan yang bermakna antara keduanya (p<0,0001) (Mazurek, et al; 2010).

Hasil analisis terhadap APD (tabel 4.5) diperoleh hasil pada pekerja yang terpapar bising >85 dB sebanyak 20 orang (20,0%) pakai APD dan tidak pakai APD 26 orang (26,0%), sedangkan yang terpapar bising ≤85 dB tidak pakai APD sebanyak 54 orang (54,0%) dan tidak dijumpai pekerja pakai APD pada paparan bising ≤85 dB.

Hal ini kemungkinan diakibatkan pekerja dalam memakai APD tidak memakai secara baik dan benar, terkadang pekerja melepaskan APD saat terpapar bising >85 dB serta kepatuhan pekerja dalam memakai APD saat terpapar bising yang tinggi. Kelemahan penelitian ini peneliti mendapatkan data subjektif tentang pemakaian APD dari pekerja pabrik minyak goreng.

Penelitian yang dilakukan Arini (2005) distribusi tenaga kerja pada pemakaian APD yaitu 51 orang (85,0%) tidak memakai APD dan 9 orang (15,0%) memakai APD (Arini, 2005). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hsu et al (2004) mengenai evaluasi kenyamanan APD, mendapatkan 53,4% pekerja mencopot APD karena alasan kesulitan dalam berkomunikasi. Kenyamanan APD berpengaruh pada lamanya alat tersebut dipakai dan ketepatan pemasangannya (Daniel, et al; 2007). Sedangkan penelitian yang dilakukan Bauer et al (1991) menemukan hubungan yang positif antara penggunaan APD dan gangguan pendengaran pada populasi pekerja yang terpapar bising saat bekerja (Leensen, et al; 2011). APD juga mempunyai pengaruh terhadap besarnya paparan intensitas kebisingan yang diterima tenaga kerja, karena dengan memakai APD pendengaran akan mengurangi besarnya paparan intensitas kebisingan yang diterima tenaga kerja. APD adalah merupakan alternatif terakhir dalam upaya mengendalikan kebisingan di tempat kerja (Arini; 2005). NIOSH memperkirakan bahwa kelalaian pekerja tidak memakai APD walaupun hanya 30 menit sehari terhadap

paparan bising akan menyebabkan terjadinya GPAB sebesar 50% (McCullagh, et al; 2011).

5.2 Analisis Bivariat

Dalam penelitian ini data yang diperoleh dianalisis secara bivariat yaitu untuk melihat besaran risiko antara usia dengan GPAB, masa kerja (tahun) dengan GPAB, dan intensitas kebisingan dengan GPAB. Untuk melihat hubungan antar variabel tersebut diatas digunakan RP (Ratio Prevalence).

5.2.1 Besaran risiko usia terhadap terjadinya GPAB

Dari penelitian terhadap 100 responden diperoleh hasil yaitu (tabel 4.6):

1. Pada pekerja yang berusia >35 tahun terdapat 25 orang (55,6%) yang mengalami GPAB.

2. Pada pekerja yang berusia <35 tahun terdapat 21 orang (38,2%) yang mengalami GPAB.

Dari hasil analisis diketahui bahwa yang berusia >35 tahun risiko akan mengalami GPAB sebesar 1,5 kali dibandingkan dengan pekerja yang berusia <35 tahun (RP=1,5).

Menurut Juwarna (2013) menunjukkan bahwa usia >35 tahun merupakan faktor risiko terjadinya gangguan pendengaran akibat bising RP = 3, karyawan yang berusia >35 tahun mempunyai risiko sebesar 3 kali dibandingkan karyawan yang berusia <35 tahun (Juwarna; 2013).

Penelitian yang dilakukan Mallapiang (2008) menunjukkan bahwa responden kelompok umur >35 tahun terganggu pendengarannya sebanyak 11 responden (34,4%), sedangkan kelompok umur ≤35 tahun dengan pendengaran tidak terganggu sebanyak 5 responden (40,7%). Mengingat faktor usia tidak bisa dikendalikan karena usia akan terus bertambah, maka sangat penting diberikan batasan usia pensiun bagi tenaga kerja, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.3

Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang menetapkan usia pensiun 59 tahun. Dengan adanya batasan usia pensiun, maka tenaga kerja yang sudah mencapai usia pensiun yang secara fisik sudah mengalami banyak penurunan, tidak lagi harus terpapar oleh kondisi lingkungan kerja yang membahayakan bagi kesehatan baik fisik maupun mental dan dapat menikmati hari tua dengan jaminan sosial yang sudah diberikan oleh perusahaan (Arini; 2005).

5.2.2 Besaran risiko masa kerja terhadap terjadinya GPAB

Dari penelitian terhadap 100 responden diperoleh hasil yaitu (tabel 4.7):

1. Pada pekerja yang bekerja >10 tahun terdapat 15 orang (62,5%) yang mengalami GPAB.

2. Pada pekerja yang bekerja <10 tahun terdapat 31 orang (40,8%) yang mengalami GPAB.

Dari hasil analisis diketahui bahwa yang berusia >10 tahun risiko akan mengalami gangguan pendengaran tipe sensorineural sebesar 1,5 kali dibandingkan dengan pekerja yang bekerja <10 tahun (RP=1,5).

Penelitian Juwarna (2013) menunjukkan bahwa masa kerja >10 tahun merupakan faktor risiko terjadinya gangguan pendengaran akibat bising RP = 9,5, karyawan yang bekerja >10 tahun mempunyai risiko sebesar 9,5 kali dibandingkan karyawan yang bekerja <10 tahun (Juwarna; 2013).

Menurut penelitian Arini (2005) di perusahaan pengolahan kayu Semarang menunjukkan bahwa masa kerja merupakan faktor risiko terjadinya gangguan pendengaran tipe sensorineural RP= 7,12, tenaga kerja yang mempunyai masa kerja 11-20 tahun berisiko mengalami gangguan pendengaran 7,12 kali dibandingkan dengan tenaga kerja yang mempunyai masa kerja 0-10 tahun (Arini; 2005).

Menurut Alberti (1991) pajanan 90 dB dalam 8 jam kerja dan 5 hari/minggu, maka 15% dari populasi terpajan berisiko menderita ketulian secara bermakna setelah terpajan selama 10 tahun. Penelitian Sundari

(1994) menunjukkan masa kerja >10 tahun dan Kertadikara (1997) mendapatkan tahun kesembilan pajanan bising merupakan batas terjadinya gangguan pendengaran secara bermakna (Tana, et al; 2002)

Penelitian yang dilakukan Harmadji & Kabullah (2004) menunjukkan perbedaan signifikan antara masa kerja dengan GPAB pada pekerja dengan masa kerja ≤10 tahun sebanyak 40% sedangkan masa kerja >10 tahun sebanyak 60%. Suheryanto (1994) melaporkan 44,44% mengalami GPAB dengan masa kerja ≤10 tahun, 55,56% mengalami GPAB dengan masa kerja >10 tahun (Harmadji & Kabullah; 2004). Demikian juga penelitian yang dilakukan Sukar et al (2003) menunjukkan karyawan yang bekerja di lokasi terpapar bising dengan lama paparan >10 tahun mengalami ketulian sebanyak 47,6% sedangkan karyawan yang bekerja terpapar bising ≤10 tahun mengalami ketulian sebanyak 9,5% (Sukar, et al; 2003).

5.2.3 Besaran risiko intensitas kebisingan terhadap terjadinya GPAB Dari penelitian terhadap 100 responden diperoleh hasil yaitu (tabel 4.8):

1. Pada pekerja yang bekerja dengan intensitas kebisingan >85 dB terdapat 42 orang (91,3%) yang mengalami GPAB.

2. Pada pekerja yang bekerja dengan intensitas kebisingan <85 dB terdapat 4 orang (7,4%) yang mengalami GPAB.

Dari hasil analisis diketahui bahwa pekerja yang bekerja dengan intensitas kebisingan >85 dB berisiko mengalami gangguan pendengaran tipe sensorineural sebesar 12,3 kali dibandingkan dengan pekerja yang bekerja dengan intensitas kebisingan < 85 dB (RP=12,3).

Juwarna (2013) menunjukkan bahwa intensitas kebisingan >85 dB merupakan faktor risiko terjadinya GPAB (RP= 6,67), karyawan yang terpapar intensitas kebisingan >85 dB mempunyai resiko sebesar 6,67 kali dibandingkan karyawan yang intensitas kebisingan <85 dB (Juwarna; 2013).

Penelitian yang dilakukan Arini (2005) pada perusahaan pengolahan kayu di Semarang menunjukkan bahwa intensitas kebisingan merupakan faktor risiko terjadinya gangguan pendengaran tipe sensorineural RP= 11,84; tenaga kerja yang terpapar intensitas kebisingan >85 dB mempunyai risiko 11,84 kali dibandingkan tenaga kerja yang terpapar kebisingan ≤85 dB (Arini; 2005).

NIOSH dan Departemen Tenaga Kerja RI menetapkan nilai ambang batas (NAB) bising di tempat kerja sebesar 85 dBA. Bila NAB ini dilampaui terus menerus dalam waktu lama maka akan menimbulkan NIHL (Tana, et al; 2002).

Dokumen terkait