• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil Kondisi perairan Pesisir Tangerang

Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) menunjukan adanya perbedaan nilai kualitas air dari setiap stasiun dan tidak adanya perbedaan antara waktu pengamatan (p=0,0002) (Lampiran 3), sehingga analisis selanjutnya dilakukan secara spasial. Pesisir Tangerang merupakan salah satu perairan yang relatif terbuka. Perairan ini berbatasan langsung dengan Teluk Banten di sebelah barat, Teluk Jakarta di sebelah timur. Karakteristik fisika-kimia perairan Pesisir

9 Tangerang selama penelitian cukup beragam (Tabel 2). Hal ini dipengaruhi oleh pergerakan pasang surut air laut, sesuai dengan karakteristik perairan pesisir. Tabel 2. Karakteristik fisika kimia perairan Pesisir Tangerang setiap stasiun

selama tiga kali pengambilan contoh

Parameter Stasiun

Kronjo Mauk Rawa Saban Tanjung pasir Dadap

Fisika Suhu (°C) 30,35 ± 0,21 30,27 ± 0,26 29,96 ± 0,65 30,69 ± 0,90 32,09 ± 0,46 Kedalaman (m) 7,80 ± 3,41 4,44 ± 1,37 6,71 ± 4,81 7 ± 3,41 5,57 ± 3,34 Kecerahan (cm) 82,73 ± 16,30 78,93 ± 10,31 77,05 ± 36,23 140,09 ± 55,83 120,38 ± 63,81 Kekeruhan (NTU) 17,65 ± 0,31 38,53 ± 37,7 24,29 ± 15,23 18,70 ± 3,16 18,99 ± 2,89 Kimia pH 8,47 ± 0,06 8,45 ± 0,04 8,54 ± 0,06 8,50 ± 0,22 8,65 ± 0,16 Salinitas (‰) 29,34 ± 0,27 28,16 ± 3,89 29,66 ± 0,49 28,94 ± 2,57 28,22 ± 2,45 DO (mg/L) 7,07 ± 0,48 6,67 ± 0,34 6,64 ± 0,52 7,10 ± 0,95 6,84 ± 1,68 BOD (mg/L) 4,46 ± 1,38 6,12 ± 3,21 9,36 ± 4,77 10,73 ± 6,44 8,99 ± 2,24 Amonia (mg/L) 0,46 ± 0,05 0,63 ± 0,15 0,59 ± 0,19 2,19 ± 0,27 1,75 ± 0,63 Nitrat (mg/L) 0,14 ± 0,05 0,53 ± 0,03 0,37 ± 0,13 0,13 ± 0,08 0,25 ± 0,17 Nitrit (mg/L) 0,06 ± 0,04 0,03 ± 0,01 0,06 ± 0,03 0,09 ± 0,13 0,11 ± 0,10 Ortofosfat (mg/L) 0,05 ± 0,01 0,04 ± 0,01 0,19 ± 0,24 0,20 ± 0,41 0,08 ± 0,07

Nilai parameter kualitas air setiap stasiun berurutan dari barat ke timur berdasarkan hasil penelitian menunjukan adanya keberagaman dengan pola bahwa semakin ke arah timur maka kualitas perairan semakin menurun, dilihat dari nilai BOD dan nutrien yang semakin tinggi. Hal ini dapat terjadi karena perairan Pesisir Tangerang sebelah timur berbatasan dengan perairan teluk Jakarta yang berdasarkan data BPLHD Provinsi DKI Jakarta tahun 2012 memiliki kondisi perairan yang buruk dengan rata-rata 80% tercemar dan berdasarkan Prayitno (2011) perairan Teluk Jakarta termasuk ke dalam kategori perairan yang kaya akan zat hara (eutrofik) dengan tingginya konsentrasi fosfat dan nitrat. Sehingga secara tidak langsung berdampak pada kualitas perairan Pesisir Tangerang khususnya bagian timur.

Beberapa faktor juga mendukung keadaan ini, seperti data pola arus di Pesisir Tangerang yang sebagian besar berasal dari arah selatan pada bulan Juni dengan kecepatan rata-rata 0,0450 m/s dan dari arah timur pada bulan Agustus dengan kecepatan rata-rata 0,1025 m/s (Balitbang KP 2013). Pasang surut merupakan salah satu sifat perairan yang dominan berpengaruh pada komunitas pantai (Parsons et al. 1984). Berdasarkan data Bakosurtanal (2013), perairan di sekitar Teluk Jakarta termasuk Pesisir Tangerang memiliki tipe pasang surut campuran condong harian tunggal (Mixed Tide predominantly Diurnal Tide) yang artinya dalam satu hari terjadi satu kali pasang dan satu kali surut, tetapi kadang-kadang terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dengan tinggi dan periode yang sangat berbeda. Tipe pasang surut seperti ini memang biasa terdapat di pantai selatan Kalimantan dan pantai Utara Jawa Barat (Prayitno 2011).

Fitoplankton di perairan Pesisir Tangerang

Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) menunjukkan adanya perbedaan nilai kelimpahan dari setiap stasiun dan tidak adanya perbedaan yang nyata antara waktu pengamatan (p=3,8x10-13) (Lampiran 4), sehingga analisis selanjutnya

10

menggunakan analisis secara spasial. Kelimpahan fitoplankton di perairan Pesisir Tangerang berkisar 66 - 85 913 686 sel/m³ yang terdiri dari 37 genus dari tiga kelompok besar (Cyanophyceae, Bacillariophyceae, dan Dinophyceae). Gambar 3 memperlihatkan komposisi jumlah jenis (%) dan komposisi kelimpahan fitoplankton berdasarkan kelompok.

Berdasarkan Gambar 3 diketahui bahwa kelas Bacillariophyceae merupakan kelompok yang mendominasi di setiap stasiun, baik dari komposisi jumlah jenis (>80%) maupun kelimpahan (>90%). Fitoplankton yang umum terdapat di laut biasanya berukuran besar dan terdiri dari dua kelompok yang mendominasi, yaitu diatom (kelas Bacillariophyceae) dan dinoflagelata (Kennish 1990; Chandy et al.

1991; Mochizuki et al. 2002; Skaloud &Rezacova 2004; Liu et al. 2004).

Gambar 3. Persentase komposisi jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di perairan Pesisir Tangerang pada periode April-November 2013 Gambar 4 menunjukan total kelimpahan fitoplankton di setiap stasiun selama penelitian. Total kelimpahan fitoplankton selama penelitian berkisar antara 2 344 914 - 119 015 624 sel/m³. Kelimpahan fitoplankton secara keseluruhan sangat melimpah di stasiun Dadap (119 015 624 sel/m³) dan paling rendah di stasiun Kronjo (2 344 914 sel/m³). Hal ini diduga karena faktor lingkungan dari perairan di stasiun Dadap tersebut yang mendukung kehidupan fitoplankton. Kandungan nutrien yang tinggi merupakan salah satu penyebab dari lebih tingginya kelimpahan fitoplankton di stasiun Dadap dibandingkan dengan stasiun lainnya. Seperti yang dikemukakan oleh Haumahu (2004), distribusi dan sebaran fitoplankton tidak merata di setiap perairan karena dipengaruhi oleh faktor-faktor

12,90 12,12 12,50 11,76 11,11 3,23 6,06 3,13 5,88 5,56 83,87 81,82 84,38 82,35 83,33 0% 20% 40% 60% 80% 100%

Mauk Kronjo Rawa Saban Tanjung Pasir Dadap

K o m p o si si ju m lah j e n is ( % ) 2,391,68 2,611,59 1,041,25 1,062,57 1,830,75 95,93 95,80 97,71 96,37 97,43 0% 20% 40% 60% 80% 100%

Mauk Kronjo Rawa Saban Tanjung Pasir Dadap

K o m p o si si k e li m p ah an (% ) Stasiun

11 fisika dan kimia perairan, seperti angin, arus, dan kandungan nutrien. Selain itu, hal yang meyebabkan tingginya kelimpahan fitoplankton pada stasiun-stasiun di sebelah timur (Rawa Saban, Tanjung pasir, dan Dadap) ialah beban masukan yang diterima sungai akibat pesatnya perkembangan industri dan kepadatan jumlah penduduk yang besar dengan berbagai kegiatannya di daratan yang berakibat pada meningkatnya kandungan nutrien. Nutrien-nutrien yang masuk ke perairan ini selanjutnya dimanfaatkan untuk pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton. Berdasarkan fakta tersebut, maka dapat dikatakan bahwa sungai-sungai yang mengalirkan airnya ke dalam Teluk Jakarta memberikan dampak yang sangat besar terhadap kelimpahan dan struktur komunitas fitoplankton pada perairan Pesisir Tangerang khususnya sebelah timur.

Gambar 4. Kelimpahan total fitoplankton di perairan Pesisir Tangerang pada periode April-November 2013

Struktur komunitas fitoplankton di perairan Pesisir Tangerang

Struktur komunitas fitoplankton ditentukan oleh keragaman jenis fitoplankton yang sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti intensitas cahaya dan nutrien (Boney 1975). Nilai indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi dapat juga digunakan untuk menilai kestabilan komunitas suatu perairan. Struktur komunitas fitoplankton dipengaruhi oleh variabel-variabel fisik, kimia, dan biologi (Duarte 2000; Guo et al. 2012).

Tabel 3. Nilai indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E), dan indeks dominansi (C) fitoplankton di perairan Pesisir Tangerang pada periode April-November 2013

Indeks Stasiun

Mauk Kronjo Rawa Saban Tanjung pasir Dadap

Indeks Keanekaragaman (H') 1,09-1,73 1,65-1,92 1,79-1,98 1,40-2,13 0,99-1,38

Indeks Keseragaman (E) 0,33-0,56 0,50-0,60 0,26-0,61 0,43-0,67 0,30-0,45

Indeks Dominansi (C) 0,28-0,57 0,25-0,33 0,23-0,69 0,16-0,44 0,44-0,60 Stasiun K el im pa ha n fit opl an kt on ( se l/m 3 ) 0 80x106 90x106 100x106 110x106 120x106 130x106 140x106

Mauk Kronjo Rawa saban Tanjung Pasir

Dadap

12

Berdasarkan Tabel 3, indeks keragaman (H') berkisar antara 0,99 – 2,13; dan indeks keseragaman (E) berkisar antara 0,30 – 0,67. Indeks dominansi (C) di stasiun Dadap dan stasiun Kronjo memiliki nilai C yang lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya disebabkan adanya dominansi dari beberapa jenis fitoplankton seperti Chaetoceros sp. yang memiliki kelimpahan yang sangat tinggi di setiap stasiunnya (Lampiran 5). Visualisasi jenis-jenis fitoplankton yang ditemukan selama penelitian terdapat pada Lampiran 6.

Korofil-a

Kandungan klorofil-a di perairan dapat digunakan untuk mengukur biomassa alga atau fitoplankton. Kebanyakan metode penilaian mengenai eutrofikasi menerangkan bahwa respon biologis langsung yang meningkatkan produksi primer menggambarkan peningkatan klorofil-a (Bricker et al. 2003; Ferreira et al. 2011). Kandungan rata-rata klorofil-a selama penelitian berkisar 1,75-75,37µg/L. Berdasarkan Souchu et al. (2010) perairan yang memiliki kandungan klorofil-a dalam kisaran 10-100 µg/L maka perairan tersebut termasuk kedalam perairan eutrofik, sehingga perairan Pesisir Tangerang dapat dikategorikan perairan eutrofik. Nilai kandungan klorofil tertinggi ditemukan pada stasiun Dadap (Substasiun D1) dengan kandungan klorofil 75,57 µg/L.

Gambar 5. Nilai kandungan klorofil-a di perairan Pesisir Tangerang selama periode April-November 2013

Pengelompokan stasiun berdasarkan kelimpahan fitoplankton

Ilustrasi pengelompokkan stasiun berdasarkan kelimpahan fitoplankton di perairan Pesisir Tangerang dapat dilihat pada Gambar 6. Pengelompokkan fitoplankton tersebut terbentuk karena adanya kesamaan nilai kelimpahan tiap genera di sub stasiun penelitian Dalam mengelompokan lokasi pengamatan berdasarkan kelimpahan fitoplankton digunakan indeks similaritas Bray-Curtis. Analisis similaritas menggunakan software Minitab 16.

Berdasarkan taraf kesamaan 90% pengelompokan stasiun terbagi menjadi lima kelompok (Gambar 6). Kelompok I yang terdiri dari Substasiun M01. Kelompok II yaitu M02, M03, M04, M05, M06, K01-, K02, K03, K04, K05, K06, K07, K08, K09, RS01, RS02, RS03, RS04, RS05, RS06, RS07, RS08, RS09, RS10, RS11, RS12, RS13, RS14, dan RS15. Kelompok III yaitu T01, T02, T03, T04, T05, T06, T07, dan T08, Kelompok IV yaitu T09, T10, T11, T13, T14, dan T15, serta Kelompok V terdiri dari D01, D02, D03, D05, D06, D07, dan D0.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 M1 M2 K1 K2 K3 RS1 RS2 RS3 RS4 RS5 T1 T2 T3 T4 T5 D1 D2 D3

Mauk Kronjo Rawa Saban Tanjung Pasir Dadap

K lo r o fi l g/ L ) Stasiun

13 Berdasarkan hasil ini terlihat bahwa setiap substasiun mengelompok menjadi masing-masing stasiun.

Gambar 6. Dendrogram pengelompokkan stasiun berdasarkan kelimpahan fitoplankton di perairan Pesisir Tangerang selama periode April-November 2013

Tingkat kesuburan perairan Pesisir Tangerang

Perhitungan indeks kesuburan menggunakan parameter kualitas air fisika, kimia, dan biologi. Tingkat kesuburan dihitung menggunakan metode TRIX yang menggunakan empat parameter, yaitu oksigen saturasi, DIN (Dissolved Inorganic Nitrogen), ortofosfat, dan klorofil-a (Vollenweider et al. 1998). Berdasarkan hasil perhitungan tingkat kesuburan setiap stasiun,diketahui bahwa stasiun Mauk dan Kronjo termasuk kedalam perairan eutrofik serta stasiun Rawa Saban, Tanjung pasir, dan Dadap termasuk kedalam perairan hipertrofik (Gambar 7).

Gambar 7. Nilai indeks kesuburan perairan dengan metode TRIX di perairan Pesisir Tangerang pada periode April-November 2013

Analisis Komponen Utama (AKU)

Hasil analisis komponen utama (AKU) yang menggunakan parameter kualitas air yang digunakan dalam analisis kesuburan yaitu oksigen saturasi, klorofil, DIN (Dissolved inorganic Nitrogen), ortofosfat serta arus dan juga jenis fitoplankton yang ditemukan (dalam Kelas). Biplot hasil analisis komponen utama

D08 D05 D0 7 D06 D03 D02 D01 T15 T13 T14 T12 T11 T10 T09 T07 T06 T04 T08 T05 T02 T03 T01 RS1 5 RS13 RS10 RS0 7 RS09 RS14 RS08 RS06 RS05 RS03 RS02 RS04 RS01 K0 9 K08 K07 K0 6 K04 K03 K05 K0 2 K01 M04 RS1 2 RS11 M05 M06 M03 M02 M01 52,61 68,41 84,20 100,00 Stasiun In d ek s K es am a an ( % ) 90%

14

divisualisasikan pada Gambar 8. Hasil biplot tersebut menunjukkan bahwa komposisi jenis dan kelimpahan fitoplankton cenderung merata pada keempat stasiun (Kronjo, Mauk, Dadap, Tanjung pasir) namun sangat dominan di stasiun Dadap. Hal ini didukung dengan kelimpahan fitoplankton pada Stasiun Dadap yang paling tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya. Stasiun Tanjung pasir lebih dicirikan oleh parameter-parameter kualitas air yang mendukung kesuburan, seperti DIN, klorofil-a, ortofosfat serta arus.

Gambar 8. Biplot rata-rata nilai parameter kualitas air dan TRIX Uji korelasi Pearson

Pertumbuhan fitoplankton sangat dipengaruhi oleh beberapa parameter fisika-kimia perairan, seperti DIN (nitrat, nitrit, amonia), ortofosfat, kecepatan arus, dan klorofil-a. Uji korelasi Pearson digunakan untuk menelusuri korelasi antara kelimpahan fitoplankton dengan parameter fisika-kimia tersebut. Berdasarkan uji korelasi Pearson didapatkan bahwa pada taraf kepercayaan p < 0,05 DIN (nitrat, nitrit, amonia), ortofosfat, kecepatan arus, dan klorofil-a berkorelasi positif dengan fitoplankton. Hasil uji korelasi Pearson tersebut lengkap disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil uji korelasi Pearson antara kelimpahan fitoplankton dengan parameter fisika-kimia perairan di Pesisir Tangerang selama periode April–November 2013

No. Parameter Nilai korelasi Pearson

1 DIN (Dissolved Inorganic Nitrogen) 0,5138

2 ortofosfat 0,5527

3 kecepatan arus 0,2693

4 klorofil-a 0,5826

Keterangan: pada taraf kepercayaan p<0,05

4 3 2 1 0 -1 -2 -3 2 1 0 -1 -2 Komponen pertama K om po n en k ed u a Dinophyceae Centrales Pennales Cyanophyceae Arus TRIX klorofilDIN Ortofosfat Oksigen terlarut Mauk Kronjo Rawa Saban Tanjung Pasir Dadap Oksigen saturasi

15

Pembahasan

Perairan pesisir mempunyai peran strategis karena merupakan wilayah peralihan (interface) antara ekosistem darat dan laut, serta mempunyai potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya (Clark 1996). Salah satu perairan pesisir yang ada di Indonesia yang mempunyai potensi sumberdaya alam ialah perairan Pesisir Tangerang. Pesisir Tangerang berbatasan langsung dengan Kabupaten Tangerang yang merupakan salah satu wilayah industri yang padat, baik industri rumah tangga maupun industri besar, diantaranya indutri logam, percetakan, batu baterai, tekstil, perkapalan hingga aktivitas kendaraaan dan aktivitas rumah tangga. Masukan-masukan tersebut dibuang ke sungai yang mengalir di sekitar wilayah Tangerang, dan akan bermuara ke Pesisir Tangerang. Masukan ini akan mempengaruhi kualitas perairan di pesisir khususnya biota akuatik (plankton) yang merupakan perespon pertama jika ada perubahan kualitas perairan. Perubahan kondisi fisika kimia perairan inilah yang menyebabkan terdapatnya perbedaan dari struktur komunitas plankton khususnya fitoplankton yang mencakup komposisi jumlah jenis dan kelimpahan.

Perairan Pesisir Tangerang sebelah barat yang diwakili oleh stasiun Mauk dan Kronjo memiliki karakteristik yang berbeda dengan perairan Pesisir Tangerang sebelah timur, yaitu Stasiun Rawa Saban, Tanjung pasir, dan Dadap. Berdasarkan pengamatan, terdapat perbedaan kandungan nutrien antara perairan Pesisir Tangerang sebelah barat dan timur. Perbedaan itu terjadi karena pengaruh dari lingkungan di sekitar. Pada stasiun-stasiun bagian timur nilai kandungan nutrien lebih tinggi karena mendapat masukan dari muara sungai di sekitarnya dan dari aktivitas-aktivitas di daratan yang lebih tinggi. Bagian timur Pesisir Tangerang juga berbatasan langsung dengan perairan Teluk Jakarta yang berdasarkan data BPLHD Provinsi DKI Jakarta tahun 2012 memiliki kondisi perairan yang buruk dengan rata-rata 80% tercemar dan berdasarkan Prayitno (2011) perairan Teluk Jakarta termasuk ke dalam kategori perairan yang kaya akan zat hara (eutrofik) dengan tingginya konsentrasi fosfat dan nitrat. Sehingga secara tidak langsung berdampak pada kualitas perairan Pesisir Tangerang khususnya bagian timur.

Faktor lain yang dapat menyebabkan hal tersebut ialah perbedaan kondisi geografis, seperti arus dan angin. Menurut Balitbang KP (2013), bahwa pada bulan Juni pola arus perairan Pesisir Tangerang sebagian besar berasal dari arah selatan dengan kecepatan rata-rata 0,0450 m/s dan pada bulan Agustus berasal dari arah timur dengan kecepatan rata-rata 0,1025 m/s (Lampiran 7). Menurut Wyrtki (1961), bulan Juni sampai September merupakan angin musim timur, pada musim tersebut arus datang dari sebelah timur menuju arah barat Laut Jawa. Bulan Juni merupakan awal musim timur, sehingga arus yang bergerak tidak tepat dari arah timur, tetapi juga berasal dari arah selatan Pesisir Tangerang. Nontji (2006) menyatakan bahwa arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang disebabkan oleh tiupan angin, karena perbedaan densitas air laut, serta dapat pula disebabkan oleh gerakan gelombang panjang termasuk pasang surut.

Tipe pasang surut berdasarkan Bakosurtanal (2013) di perairan Pesisir Tangerang ialah campuran condong harian tunggal yang artinya dalam satu hari terjadi satu kali pasang dan satu kali surut, tetapi kadang-kadang terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dengan tinggi dan periode yang sangat berbeda

16

(Lampiran 8). Kelimpahan fitoplankton menjadi berfluktuasi karena adanya pengaruh pasang surut. Bersama dengan angin dan gelombang, pengaruh pasang surut menciptakan turbulen perairan dekat permukaan yang dapat mengangkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan permukaan.

Perairan Pesisir Tangerang memiliki komposisi dan kelimpahan fitoplankton yang didominasi oleh jenis Bacillariophyceae atau diatom. Komposisi fitoplankton yang ditemukan selama penelitian terdiri atas 3 kelas yaitu Bacillariophyceae, Cyanophyceae, dan Dinophyceae. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Mochizuki et al. (2002) bahwa komposisi seperti ini umumnya terdapat di perairan laut yang secara berurutan lebih didominasi oleh Bacillariophyceae, Cyanophyceae, dan Dinophyceae. Jenis dari fitoplankton di perairan Pesisir Tangerang yang memiliki kelimpahan yang cukup besar dari kelas Bacillariophyceae ialah Chaetoceros sp. Jenis Dinoflagellata yang ditemukan dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan jenis dari Dinoflagellata lainnya ialah Ceratium sp., sedangkan untuk jenis fitoplankton dari kelas Cyanophyceae yang ditemukan di setiap stasiun yaitu dari genera Trichodesmium

sp. namun dengan kelimpahan yang rendah. Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa fitoplankton yang umum ditemukan di perairan laut ialah dari kelas Bacillariophyceae.

Pada perairan Pesisir Tangerang, fitoplankton dari kelas Bacillariophyceae yang mendominasi ialah Chaetoceros sp. Jenis ini merupakan salah satu jenis HABs (Harmful Algae Blooms) atau jenis alga yang jika terjadi ledakan populasi akan berbahaya. Chaetoceros sp. tidak toksik terhadap manusia tetapi secara fisik dapat mengganggu sistem pernafasan ikan dan avertebrata terutama apabila kepadatan individunya relatif tinggi. Diatom jenis ini mempunyai morfologi khas yaitu duri. Duri-duri tersebut dapat merangsang pembentukan lendir pada insang biota laut, sehingga biota tersebut sukar bernafas. Chaetoceros sp. juga merupakan jenis fitoplankton yang diketahui mampu bertahan di perairan tercemar (Anderson et al. 2008).

Nilai indeks keanekaragaman yang diperoleh menunjukkan bahwa perairan ini memiliki keanekaragaman jenis yang relatif rendah. Nilai indeks keseragaman yang diperoleh menunjukkan bahwa perairan Pesisir Tangerang secara keseluruhan memiliki penyebaran organisme yang kurang merata, terutama ditunjukkan pada perairan stasiun Dadap. Penyebaran organisme yang tidak merata diduga karena adanya jenis yang mendominasi di perairan tersebut. Dominansi dari jenis fitoplankton tertentu berkaitan dengan struktur tubuh dan pola hidupnya (Madhav & Kondalarao 2004). Berdasarkan Gambar 3. fitoplankton di perairan Pesisir Tangerang di dominasi oleh diatom atau kelas Bacillariophyceae dengan presentase lebih dari 80%. Penelitian serupa dilakukan oleh Alianto (2011) di perairan teluk Banten dengan komposisi kelimpahan kelas Bacillariophyceae sebesar 97,68% dan penelitian Yuliana (2012) di perairan Teluk Jakarta dengan komposisi kelimpahan kelas Bacillariophyceae lebih dari 58%. Dominannya Bacillariophyceae dibandingkan dengan beberapa kelompok fitoplankton lainnya merupakan hal yang umum terjadi pada bagian perairan yang mengalami mixing dan perubahan perairan karena pasang surut secara terus menerus (Badylak & Phlips 2004).

Kelimpahan fitoplankton setiap stasiun menunjukkan perbedaan yang cukup mencolok karena kelimpahan tertinggi ada pada Stasiun Dadap dengan

17 kelimpahan 119 015 624 sel/m³ dan paling rendah di Stasiun Kronjo dengan kelimpahan 2 344 914 sel/m³. Perbedaan kelimpahan fitoplankton mengindikasikan bahwa distribusi fitoplankton tidak merata di semua perairan. Lalli and Parson (1997) in Haumahu (2004) menyatakan bahwa distribusi plankton tidak merata di perairan disebabkan oleh plankton merupakan organisme yang memiliki pola distribusi “patchy” (mengumpul) dan juga memiliki kemampuan bergerak yang lemah sehingga distribusinya akan bergantung pada pergerakan massa air. Distribusi fitoplankton secara horizontal lebih banyak dipengaruhi oleh faktor fisik, seperti pergerakan massa air. Oleh karena itu pengelompokan (patchiness) plankton banyak terjadi pada daerah neritik terutama yang dipengaruhi estuari dibanding daerah oseanik. Kecenderungan pengelompokkan fitoplankton secara horizontal berhubungan dengan variasi parameter fisika, kimia, dan biologi (salinitas, turbulensi, dan pemangsaan).

Stasiun yang mewakili bagian timur (Tanjung pasir dan Dadap) juga memiliki kandungan klorofil-a yang tinggi selama penelitian. Fitoplankton, sebagai produser primer membutuhkan klorofil dalam proses fotosintesis. Klorofil-a merupakan pigmen paling utama dan menjadi media berlangsungnya proses fotosintesis. Klorofil-a merupakan pigmen yang dimiliki oleh semua tumbuhan fotosintesis dan jumlahnya lebih banyak dari pigmen lainnya (Sumich 1992). Reynold (1984) menyatakan bahwa fitoplankton memiliki jenis dan distribusi pigmen khususnya klorofil. Setiap pigmen memiliki kemampuan yang berbeda dalam menyerap energi matahari. Perbedaan ini merupakan salah satu karakteristik untuk mengelompokkan fitoplankton. Tingginya kandungan klorofil-a dklorofil-apklorofil-at disebklorofil-abkklorofil-an oleh tingginyklorofil-a konsentrklorofil-asi nutrien yklorofil-ang dihklorofil-asilkklorofil-an melklorofil-alui proses terangkatnya nutrien dari lapisan dalam ke lapisan permukaan, serta adanya proses sirkulasi massa air yang memungkinkan terangkutnya sejumlah nutrien dari tempat lain (Hatta 2002). Pada Substasiun D1 diketahui nilai kandungan nutrien dan kelimpahan fitoplankton (Substasiun D01, D02, dan D03) cukup tinggi sehingga hal ini yang diduga menyebabkan tingginya juga nilai klorofil-a. Distribusi klorofil-a secara umum sesuai dengan kelimpahan fitoplankton, penambahan atau penurunan klorofil-a sejalan dengan penambahan atau penurunan kelimpahan fitoplankton (Gambar 4 dan Gambar 5). Hal ini membuktikan bahwa klorofil-a merupakan pigmen yang paling dominan terdapat pada fitoplankton (Parsons et al. 1984).

Perbedaan kelimpahan fitoplankton di setiap substasiun juga terlihat dari bentuk dendrogram yang memperlihatkan pengelompokan stasiun-stasiun berdasarkan kelimpahan fitoplankton. Pengelompokan yang terbentuk berdasarkan taraf kesamaan 90% menunjukkan kesamaan kelimpahan sehingga terbentuk lima kelompok yang ternyata mewakili dari setiap stasiun. Hal yang menyebabkan terbentuknya stasiun-stasiun tersebut diantaranya dipengaruhi oleh parameter fisika-kimia perairan.

Analisis komponen utama digunakan untuk melihat parameter yang paling berpengaruh dan mencirikan stasiun tertentu. Analisis komponen utama disini menggunakan parameter kualitas air yaitu oksigen saturasi, klorofil-a, DIN (Dissolved Inorganic Nitrogen), dan ortofosfat serta arus. Setiap pengelompokkan stasiun menunjukkan bahwa akar ciri komponen utama pertama dan komponen utama kedua mampu menjelaskan masing-masing 59,7% dan 25,3% dari ragam data total (Lampiran 9). Biplot hasil analisis komponen utama divisualisasikan

18

pada Gambar 8. Biplot menunjukkan bahwa komposisi jenis dan kelimpahan fitoplankton cenderung merata pada keempat stasiun (Kronjo, Mauk, Dadap, Tanjung pasir) namun sangat dominan di stasiun Dadap. Hal ini didukung dengan kelimpahan fitoplankton pada stasiun Dadap yang paling tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya. Stasiun Tanjung pasir lebih dicirikan oleh parameter-parameter kualitas air yang mendukung kesuburan, seperti DIN, klorofil-a, ortofosfat serta arus.

Pengkajian mengenai kondisi perairan khususnya status kesuburan perairan sudah banyak dikembangkan dengan berbagai metode, salah satunya perhitungan status kesuburan dengan metode TRIX atau Trophic Index yang dikembangkan pertama kali oleh Vollenweider (1998). Metode TRIX tidak hanya membutuhkan data fisika-kimia perairan, namun juga mempertimbangkan parameter biologi dalam perhitungannya, yaitu klorofil-a. Interaksi yang sangat kompleks antara parameter fisika dan kimia di perairan pesisir menyebabkan perlu ditambahkannya parameter biologi dalam perhitungan status kesuburan (Coelho et al. 2007). Hasil perhitungan TRIX di perairan Pesisir Tangerang selama penelitian yang diperoleh dari 5 stasiun ialah Stasiun Kronjo dan Mauk memiliki status kesuburan eutrofik, sementara Stasiun Rawa Saban, Tanjung pasir, dan Dadap memiliki status kesuburan hipertrofik.

Uji korelasi Pearson digunakan untuk melihat korelasi antara nilai kesuburan perairan dengan kelimpahan fitoplankton. Dari uji korelasi Pearson tersebut, didapatkan bahwa kelimpahan fitoplankton dan nilai kesuburan perairan (TRIX) memiliki korelasi yang erat dengan nilai sebesar 0,6980 (p<0,05). Selain itu, uji korelasi Pearson juga digunakan untuk mengetahui hubungan antara kelimpahan fitoplankton dengan parameter kualitas air. Berdasarkan hasil, didapatkan bahwa parameter kualitas air yang memiliki hubungan yang paling erat dengan kelimpahan fitoplankton ialah klorofil-a (r=0,5826) dan ortofosfat (r=0,5527) dan Dissolved Inorganic Nitrogen (r=0,5138) (p<0,05).

Struktur komunitas fitoplankton dan tingkat kesuburan perairan bagi pengelolaan sumber daya perairan Pesisir Tangerang

Perairan Pesisir Tangerang memiliki potensi sumberdaya perairan dan fungsi pendukung kehidupan yang sangat penting khususnya bagi masyarakat di sekitar perairan Pesisir Tangerang. Perairan ini dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, seperti untuk kepentingan perikanan, perhubungan, pariwisata, dan sebagainya. Pemanfaatan perairan Pesisir Tangerang untuk berbagai keperluan tersebut memberikan dampak baik secara langsung maupun tidak langsung berupa berbagai permasalahan yang timbul di perairan ini. Berdasarkan penelitian ini, perairan Pesisir Tangerang dikategorikan sebagai perairan yang eutrofik hingga hipertrofik. Hal ini disebabkan oleh banyaknya beban masukan yang masuk ke dalam perairan Pesisir Tangerang yang dibawa oleh 9 sungai yang bermuara ke dalamnya. Hal ini juga didukung dengan beberapa indikator, seperti nilai

Dokumen terkait