• Tidak ada hasil yang ditemukan

5.1 Potensi Sumberdaya Ikan Hias Laut di Pulau Weh

Survei kelimpahan ikan karang dilakukan di 20 lokasi pengamatan di perairan sekitar Pulau Weh. Lokasi-lokasi pengamatan tersebar di beberapa wilayah pengelolaan yang berbeda, yaitu Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Iboih, Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Pesisir Timur Pulau Weh, dan daerah pemanfaatan. Dari 20 lokasi pengamatan, hanya 8 lokasi yang berada di daerah pemanfaatan, sedangkan 12 lokasi pengamatan lainnya berada di kawasan konservasi laut. Salah satu peraturan yang berlaku wilayah kawasan TWAL dan KKLD adalah larangan penggunaan alat tangkap jaring, oleh karena itu kawasan ini merupakan daerah larang tangkap bagi kegiatan perikanan ikan hias laut. Berdasarkan kondisi tersebut maka analisis potensi sumberdaya ikan hias laut dalam penelitian ini didasarkan atas data dari 8 lokasi pengamatan yang berada di daerah pemanfaatan (Gambar 3). Hal ini dilakukan agar kajian potensi sumberdaya ikan hias laut didasarkan atas kondisi yang ada di daerah pemanfaatan di perairan Pulau Weh.

Dari data hasil survei kelimpahan ikan karang teridentifikasi sebanyak 319 spesies ikan karang, dimana sebanyak 77 spesies diantaranya merupakan spesies yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai ikan hias laut. Rata-rata kelimpahan ikan hias laut dari 8 lokasi pengamatan berkisar antara 17 sampai 1.229 ind.ha-1. Identifikasi jenis-jenis ikan yang merupakan kelompok ikan hias untuk akuarium dilakukan berdasarkan data permintaan ikan hias dari PT Cahaya Baru dan PT Golden Marindo di Jakarta (data tidak dipublikasikan) serta mengacu kepada BRPL (2005).

Kelimpahan ikan karang tertinggi adalah kepe meyeri (Chaetodon meyeri) yaitu sebesar 2.671 ind.ha-1. Jenis lain yang juga memiliki kelimpahan tertinggi adalah ikan kepe belanda (Hemitaurichthys zoster), dengan rata-rata kelimpahan sebesar 2.143 ind.ha-1. Kedua jenis ikan tersebut merupakan jenis-jenis yang umum ditangkap oleh nelayan ikan hias di Pulau Weh.

Dari 19 jenis ikan hias laut yang teridentifikasi dari data hasil tangkapan, saat ini baru sebanyak 6 jenis yang dimanfaatkan dalam jumlah relatif besar oleh nelayan ikan hias di Pulau Weh, yaitu botana biru (Acanthurus leucosternon), botana lettersix (Paracanthurus hepatus), botana naso (Naso lituratus), kepe belanda (Hemitaurichthys zoster), giro pasir ekor kuning (Amphiprion clarkii), dan kepe meyeri (Chaetodon meyeri). Kondisi ini menunjukan bahwa perikanan ikan hias laut di Pulau Weh memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan, terutama pada jenis-jenis yang belum banyak dimanfaatkan.

5.2 Pendugaan Kuota Tangkapan Lestari Sumberdaya Ikan Hias Laut di Pulau Weh

Pendugaan kuota tangkapan lestari ikan hias laut di Pulau Weh dilakukan menggunakan pendekatan model yang diperkenalkan oleh Garcia et al. (1989). Garcia membangun model surplus produksi untuk menduga maximum sustainable yield (MSY) pada perikanan dengan data yang terbatas, atau dimana data time series tidak tersedia. Model tersebut didasarkan atas persamaan Cadima yang mempunyai bentuk MSY=0,5*(Y+M)* untuk sumberdaya yang telah dieksploitasi, dimana Y adalah mortalitas akibat penangkapan, M mortalitas alami, dan biomassa rata-rata. Secara prinsip model Garcia memiliki dasar yang sama dengan estimasi dari Cadima, tetapi tetap konsisten terhadap prinsip-prinsip pokok dari model Schaefer dan Fox (Sparre dan Venema 1999).

Berbeda dengan perikanan pada umumnya dimana produksi dinyatakan dalam satuan kg atau metrik ton, hasil produksi perikanan ikan hias laut dinyatakan dalam satuan ekor atau jumlah individu. Berdasarkan hal tersebut serta mengacu kepada Edwards dan Shepherd (1992) serta Dufour (1997), maka pada kasus perikanan ikan hias pendugaan nilai MSY tidak menggunakan nilai dugaan biomassa ( ) melainkan menggunakan nilai dugaan kelimpahan rata-rata ( ) yang dinyatakan dalam satuan individu per satuan luas (ind.ha-1). Dengan pendekatan ini maka nilai dugaan MSY dinyatakan dalam satuan jumlah individu ikan.

Pendugaan MSY menggunakan model ini didasarkan atas 3 parameter yaitu mortalitas alami (M), jumlah ikan yang ditangkap selama 1 tahun (Y), dan stok sumberdaya atau kelimpahan ikan (D).

Kelimpahan ikan (D) dinyatakan dalam satuan jumlah individu ikan per hektar. Untuk menduga jumlah total stok ikan yang potensial untuk dimanfaatkan, maka nilai D dikalikan dengan luasan terumbu karang di Pulau Weh. Proses ini adalah generalisasi yang dilakukan untuk menduga stok sumberdaya potensial di Pulau Weh, dengan didasari dua asumsi yaitu:

1) Bahwa pola penyebaran dan komposisi spesies ikan adalah homogen di daerah terumbu karang di seluruh perairan Pulau Weh.

2) Kegiatan penangkapan ikan hias umumnya dilakukan pada kedalaman 2 hingga 7 meter. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh WCS menggunakan pendekatan sistem penginderaan jauh (remote sensing) dan sistem informasi geografis (SIG), luasan area terumbu karang di daerah pemanfaatan (diluar kawasan konservasi) pada kedalaman 2 hingga 7 meter adalah 243,52 ha (data tidak dipublikasikan).

Nilai mortalitas alami diduga dengan menggunakan persamaan yang dibangun oleh Froese et al. (2000) yang merupakan penyempurnaan dari persamaan yang dibangun oleh Pauly (1980). Karena secara teoritis bahwa nilai mortalitas total (Z) adalah mortalitas alami (M) ditambah mortalitas akibat penangkapan (F), maka Pauly (1980) menyatakan bahwa pada populasi stok yang sudah dieksploitasi maka nilai M dapat diduga dari nilai Z dikurangi F. Akan tetapi pendekatan ini memiliki keterbatasan karena informasi mengenai nilai Z sering kali tidak tersedia. Melalui analisis komparatif dari sebanyak 1500 data panjang ikan dan suhu rata-rata tahunan dimana sampel ikan ditangkap, Pauly membangun persamaan empiris untuk menduga nilai M menggunakan informasi panjang asimtotik (Linf) dan rata-rata tahunan suhu permukaan laut (T) di suatu daerah. Dalam penelitian ini nilai T didapatkan dari data yang dipublikasikan oleh NOAA NESDIS COASTWATCH (http://coastwatch.pfeg.noaa.gov/erddap/ index.html).

Dalam penelitian ini, pendugaan MSY dengan menggunakan persamaan Garcia et al. (1989) dilakukan untuk kedua model Schaefer dan Fox. Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan bahwa nilai dugaan MSY yang didasarkan atas model Schaefer memiliki nilai MSY yang lebih tinggi dari model Fox. Seperti disajikan pada Gambar 14, hasil perhitungan model Schaefer menghasilkan rata-

rata MSY sebesar 0,886 (88,6%) dari stok, sedangkan model Fox sebesar 0,652 (65,2%). Hal ini menunjukan bahwa hasil pendugaan menggunakan model Fox menghasilkan nilai yang lebih konservatif. Hasil pendugaan nilai MSY dinyatakan dalam jumlah total individu ikan yang dapat dimanfaatkan dalam satu tahun.

Dari hasil penelitian mengenai tingkat pemanfaatan lestari sumberdaya ikan karang di P. Weh yang dilakukan oleh Yulianto (2010), menyatakan bahwa kurva hubungan linier antara MSY dan biomassa ikan karang menghasilkan nilai 0,6, yang artinya bahwa jumlah tangkapan lestari ikan karang adalah 60% dari nilai biomassanya. Nilai yang dihasilkan dari hasil penelitian Yulianto (2010) tidak terlalu berbeda dengan hasil penelitian ini. Meskipun begitu, adanya perbedaan nilai tangkapan lestari terhadap stok dimungkinkan karena perbedaan parameter penduga stok ikan yang digunakan. Yulianto (2010) menggunakan biomassa (kg.ha-1), sedangkan penelitian ini menggunakan kelimpahan (ind.ha-1) sebagai parameter penduga stok ikan.

Data hasil tangkapan dan upaya penangkapan dalam penelitian ini hanya tersedia selama 12 bulan (Januari hingga Desember 2010). Berdasarkan kondisi ini maka proses validasi tidak dapat dilakukan untuk menguji model mana yang paling mendekati pola sebenarnya.

Garcia et al. (1989) melakukan simulasi menggunakan data artifisial untuk menguji performa dari kedua model dalam menduga MSY. Berdasarkan hasil simulasi didapatkan bahwa kedua model memiliki keterbatasan jika tingkat pemanfaatan sangat tinggi atau kelimpahan (D) telah mendekati 0 (stok mendekati kepunahan). Model Schaefer menjadi tidak stabil dalam melakukan pendugaan pada tingkat pemanfaatan yang tinggi, sehingga tidak direkomendasikan untuk digunakan jika tingkat pemanfaatan sudah tinggi atau ada indikasi terjadinya

overfishing. Sementara pada model Fox, stok mendekati nilai 0 hanya jika tingkat upaya penangkapan terjadi pada tingkat yang sangat tinggi atau cenderung tidak realistis. Oleh karena itu, model fox memiliki keunggulan dibandingkan model Schaefer dimana memiliki performa yang lebih baik dan aman dalam menduga nilai MSY meskipun pada kondisi tingkat pemanfaatan yang tinggi. Berdasarkan

alasan tersebut maka hasil pendugaan menggunakan model Fox dijadikan dasar dalam analisis selanjutnya.

Selain itu, dalam perspektif pengelolaan perikanan yang didasarkan atas pendekatan kehati-hatian (precautionary approach) (Dufour 1997), maka model Fox lebih baik dipilih sebagai penduga nilai MSY bagi perikanan ikan hias laut di P. Weh karena menghasilkan nilai dugaan MSY yang lebih konservatif.

Selanjutnya dengan tetap mengedepankan pendekatan kehati-hatian, sebagai keluaran bagi pengelolaan perikanan ikan hias di Pulau Weh maka kuota tangkapan per tahun ditetapkan sebesar 80% dari nilai MSY. Hal ini mengacu pada kebijakan dari Kementrian Kelautan dan Perikanan yang tertuang dalam Kepmen KP No Kep.18/Men/2002 tentang rencana strategis pembangunan kelautan dan perikanan 2001-2004 (Wiadnya et al. 2006).

Pendugaan MSY untuk sumberdaya ikan hias laut dengan menggunakan model surplus produksi memiliki keterbatasan, diantaranya yaitu:

1) nilai-nilai konstanta panjang asimtotik (Linf) dan koefisien pertumbuhan (K) yang digunakan dalam menghitung mortalitas alami (M) mengacu kepada informasi yang tersedia di metadata Fishbase.org (Froese dan Pauly 2010). Data yang tersedia di metadata Fishbase merupakan data standar yang umum, sehingga hal ini memberikan keterbatasan dalam akurasi hasil perhitungan. Menurut Sparre dan Venema (1999) serta Ochavillo dan Hodgson (2006), untuk mendapatkan nilai-nilai konstanta yang lebih akurat perlu dilakukan kajian khusus dengan mengambil sampel panjang ikan secara in-situ;

2) model surplus produksi hanya didasarkan atas konsep rekrutmen dari populasi ikan. Ikan karang memiliki fungsi ekologis bagi terumbu karang yang seharusnya juga dijadikan dasar pertimbangan dalam penentuan tingkat pemanfaatan lestarinya;

3) ukuran ikan yang ditangkap tidak dijadikan dasar dalam penentuan potensi tangkap lestari ikan hias. Ukuran ikan minimum yang ditangkap sangat penting dalam pengelolaan perikanan. Yang umum digunakan sebagai acuan adalah ukuran panjang ikan pada pertama kali matang gonad (length at first maturity), dimana pada ukuran tersebut ikan diasumsikan setidaknya telah melakukan satu kali pemijahan (Hutchings dan Baum 2005).

5.3 Tingkat dan Pola Pemanfaatan Ikan Hias Laut di Pulau Weh

Berdasarkan data hasil tangkapan dari Januari hingga Desember 2010 tercatat sebanyak 19 spesies ikan hias ditangkap. Dari 19 spesies, hanya tiga spesies yang ditangkap dalam jumlah yang relatif signifikan, yaitu ikan botana biru (Acanthurus leucosternon) sebesar 83%, botana lettersix (Paracanthurus hepatus) sebesar 10%, dan botana naso (Naso lituratus) sebesar 8,9% dari total tangkapan selama 12 bulan. Komposisi hasil tangkapan tersebut menunjukkan kecenderungan pola pemanfaatan ikan hias di P. Weh yang bergantung pada satu spesies (single species), yaitu botana biru. Pola pemanfaatan seperti ini lebih dipengaruhi oleh faktor permintaan dari pembeli/eksportir serta ketersediaan pasar. Faktor lain adalah karena tidak adanya kesesuaian harga yang ditawarkan pembeli/eksportir sehingga nelayan tidak tertarik untuk menangkap jenis-jenis ikan lainnya.

Pola pemanfaatan yang cenderung hanya memanfaatkan satu jenis ikan akan memberikan tekanan ekologis, dalam hal ini populasi botana biru, dimana total ikan yang ditangkap pada selama tahun 2010 telah melebihi kuota tangkapan tahunan pada kelas ukuran 10-15 cm yaitu sebesar 103,5%. Meskipun kuota tangkapan tahunan ditetapkan hanya sebesar 80% dari MSY, akan tetapi tingkat pemanfaatan ini telah memberikan indikator awal kemungkinan terjadinya jumlah tangkap berlebih (overfishing). Berdasarkan hal ini, perlu ada perubahan pola pemanfaatan ikan hias di P. Weh yaitu dengan merubah komposisi ikan target. Tingkat pemanfaatan pada jenis botana biru perlu dikurangi setidaknya hingga batas kuota tangkap tahunannya. Selain itu perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan pemanfaatan pada jenis-jenis lain untuk mengurangi tekanan terhadap populasi botana biru.

Berdasarkan komposisi jenjang rantai makanan (trophic level), ditemukan bahwa 86% ikan yang dimanfaatkan merupakan jenis herbivora. Ikan herbivora memainkan peran penting dalam ketahanan terumbu karang dengan membatasi pembentukan dan pertumbuhan alga yang menghambat pertumbuhan karang baru

(coral recruit) (Green dan Belwood 2009). McClanahan et al. (1996)

menambahkan bahwa tidak adanya aktivitas herbivora akan mengakibatkan pertumbuhan alga yang cepat yang akhirnya akan mendominasi substrat perairan

sehingga menghambat pertumbuhan karang baru maupun karang dewasa. Menurut Hoey dan Belwood (2009) tingginya tekanan terhadap ikan herbivora akibat kegiatan penangkapan ikan hias dapat menurunkan aktivitas herbivora yang akan mengakibatkan pergeseran fase dari komunitas karang menjadi komunitas alga (coral-algalphase shift).

Menurut Obura dan Grimsditch (2009) ikan karang memiliki kontrol terhadap komunitas bentik. Dalam konteks pemulihan ekologi (ecological recovery) dan kelentingan (resilience) ikan herbivora terbukti memiliki peran penting tertentu. Green dan Belwood (2009) mengidentifikasi dan mengelompokan ikan herbivora ke dalam 6 kelompok yang lebih detail berdasarkan fungsi ekologisnya yang dikenal dengan istilah kelompok fungsional (functional group), dimana masing-masing memiliki peran ekologis tertentu di ekosistem terumbu karang.

Bellwood et al. (2006) melakukan kajian pada 45 spesies ikan herbivora untuk mengidentifikasi sifat kelompok fungsional dari masing-masing spesies dan mengukur kemampuan mereka dalam membatasi pertumbuhan makro alga. Mereka menemukan bahwa kelompok ikan kakak tua (Scaridae) dan surgeonfish

(Acanthuridae) hanya memiliki peran dalam menjaga kestabilan kelimpahan makro alga, dan tidak berperan dalam memperbaiki kondisi daerah terumbu karang yang telah mengalami pergeseran menjadi dominansi makro alga. Dari sebanyak 45 spesies yang dikaji hanya Platax pinnatus yang memiliki kemampuan untuk membantu mengembalikan kondisi terumbu karang yang telah didominasi oleh makro alga, dan sisanya hanya berperan dalam menjaga pertumbuhan alga tetap rendah di ekosistem terumbu karang yang masih baik. Hal ini menunjukan bahwa spesies yang utama dimanfaatkan oleh nelayan P. Weh yaitu A. leucosternon perlu diatur tingkat pemanfaatannya untuk mencegah terjadinya perubahan fase ekosistem terumbu karang menjadi ekosistem yang didominasi makro alga akibat menurunnya fungsi ekologis dari kelompok ikan herbivora.

Lebih jauh Hoey dan Bellwood (2009) dalam pengelempokan functional

group mengemukakan bahwa spesies Naso sp. merupakan jenis perambah

pinnatus. Menurut Green dan Belwood (2009) ikan jenis perambah secara konsisten memakan jenis makro alga, dimana mereka memiliki peran yang penting dalam mengurangi pertumbuhan alga serta memiliki peran kritis dalam mengembalikan kondisi terumbu karang yang telah didominasi oleh alga. Meskipun tingkat pemanfaatan spesies Naso lituratus masih tergolong rendah (8,9% dari kuota), akan tetapi spesies ini memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan alga di terumbu karang serta memiliki kemampuan dalam membantu mengembalikan kondisi terumbu karang yang telah didominasi alga, sehingga perlu perhatian khusus untuk mengendalikan tingkat pemanfaatannya.

Perubahan iklim merupakan sumber ancaman baru terhadap terumbu karang yang berpotensi mengakibatkan kematian karang dalam jumlah besar akibat peningkatan suhu air laut dan peningkatan rata-rata muka laut (sea level rise) (Green dan Belwood 2009). Dengan adanya kondisi ini maka perhatian terhadap fungsi ekologis ikan dalam pengelolaan perikanan terumbu karang menjadi sangat penting untuk memastikan tetap terjaganya kelentingan ekosistem terumbu karang (coral reef resilience).

Komposisi jenjang rantai makanan dan kelompok fungsional dari 77 spesies ikan hias laut yang potensial disajikan pada Gambar 22 dan 23. Secara keseluruhan bahwa sumberdaya ikan hias laut di P. Weh terdistribusi secara hampir merata ke berbagai kelompok jenjang rantai makanan dan kelompok fungsional.

Gambar 22 Komposisi jenjang rantai makanan (trophic level) 77 spesies ikan hias laut di P. Weh.

Bentik  invertivora 17% Karnivora 7% Koralivora 13% Detrivora 4% Herbivora 19% Omnivora 23% Planktivora 17%

Bentik  invertivora 14% Browser 1% Karnivora 7% Detritivora 4% Grazer 17% Obligate and  facultative  coral feeder 13% Omnivora 23% Planktivora 17% Scrapper 1% Sessile  invertebrate  feeder 3%

Gambar 23 Komposisi kelompok fungsional (functional group) 77 spesies ikan hias laut di P. Weh.

Dari perspektif ketersediaan sumberdaya berdasarkan model surplus produksi, secara umum tingkat pemanfaatan ikan hias laut masih berada di bawah potensi lestarinya, kecuali untuk jenis Acanthurus leucosternon.

Salah satu permasalahan dalam kegiatan perikanan ikan hias laut adalah ukuran tangkap yang cenderung lebih kecil dari ukuran layak tangkap. Menurut (Hutchings dan Baum 2005) ukuran layak tangkap biasanya mengacu pada ukuran ikan pada pertama kali matang gonad (length at first maturity). Meskipun data panjang ikan hasil tangkapan tidak dicatat selama penelitian, tetapi berdasarkan pengamatan langsung di lapangan, ukuran ikan yang ditangkap umumnya berkisar antara 6 - 12 cm, dimana lebih kecil dari ukuran length at first maturity). Menurut Wood (2001b), hal tersebut diakibatkan karena banyak ikan muda maupun juvenil memiliki pola warna yang lebih menarik dibandingkan ikan dewasa. Lebih lanjut Chan dan Sadovy (1998) mengestimasi bahwa sekitar 56% dari biota hias yang dijual adalah juvenil, dimana menurut Wood (2001b) hal ini akan mempercepat laju penurunan populasi dan ketidakseimbangan ekosistem. Sebaran ukuran length at first maturity dari 19 spesies ikan hias laut yang dimanfaatkan disajikan pada Tabel 20.

Adanya kekhawatiran terhadap keberlanjutan sumberdaya ikan hias laut yang diakibatkan oleh penangkapan ikan-ikan yang berusia muda (berukuran kecil) mungkin dapat dijembatani oleh pendekatan yang dilakukan dalam menduga MSY dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini, pendugaan MSY

dibedakan berdasarkan kelompok ukuran, dimana hanya dilakukan pada kelompok ukuran ikan yang ditangkap dan bukan pada keseluruhan populasi. Oleh karena itu nilai dugaan MSY yang dihasilkan diharapkan akan lebih baik karena spesifik pada kelompok ukuran ikan yang umum dimanfaatkan oleh nelayan. Hal ini sesuai dengan Garcia et al. (1989) yang menyatakan bahwa kajian MSY harus dilakukan pada kelompok ukuran atau umur yang sama dan tidak mengikutsertakan kelompok ukuran yang tidak dimanfaatkan oleh suatu kegiatan perikanan.

Pendekatan lain yang dapat dilakukan sebagai dasar pertimbangan dalam mengkaji strategi pemanfaatan berkelanjutan perikanan ikan hias adalah melalui kajian sejarah hidup (life history). Menurut Jennings et al. (2001), life history

adalah hal-hal yang berkenaan dengan pertumbuhan, fekunditas, strategi reproduksi, dan usia saat suatu organisme mencapai matang gonad (age at maturity). Menurut Winemiller (2005) teori sejarah hidup menjelaskan evolusi dari suatu organisme sebagai respon adaptasi terhadap variasi lingkungan dan perbedaan mortalitas atau alokasi sumberdaya dalam perkembangannya. Teori sejarah hidup juga memprediksi respon terhadap gangguan dalam skala spasial maupun temporal (Winemiller 2005), dan aplikasinya dalam perikanan adalah terutama untuk memprediksi bagaimana suatu populasi ikan merespon dan pulih dari suatu upaya eksploitasi (Goodwin et al. 2006).

Winemiller dan Rose (1992) serta King dan Mcfarlane (2003) membagi strategi sejarah hidup (life history strategy) ikan tropis ke dalam tiga kelompok, yaitu:

1) Oportunistik

memiliki sifat cepat dewasa, beberapa kali bereproduksi selama masa pemijahan, pertumbuhan larva yang cepat, dan tingkat pemulihan populasi yang cepat. Kelompok ini terdiri dari ikan berukuran kecil yang lebih cepat dewasa, ukuran telur kecil, dan pemijahan yang kuntinu sebagai strategi untuk memulihkan populasinya setelah adanya gangguan atau tingkat mortalitas yang tinggi pada ikan dewasa.

2) Periodik

memiliki sifat pertumbuhan yang lambat, masa hidup yang panjang, lebih lambat mencapai usia dewasa, ukuran tubuh lebih besar, dan fekunditas tinggi. King dan Mcfarlane (2003) menambahkan bahwa kelompok periodik melakukan pemijahan beberapa kali secara periodik selama masa hidupnya. 3) Ekuilibrium

memiliki sifat tingkat pertumbuhan yang lambat, fekunditas rendah, lambat mencapai dewasa, dan melakukan upaya tertentu untuk menjaga dan memastikan keberhasilan hidup larvanya (parental care). Kelompok ini memiliki kemampuan pemulihan populasi yang lambat, sehingga sangat rentan terhadap eksploitasi. Musick et al. (2000) menambahkan bahwa pengelolaan pada perikanan multispesies perlu memperhatikan pemanfaatan kelompok ikan ekuilibrium dengan menerapkan pembatasan jumlah tangkapan (kuota).

Sifat-sifat sejarah hidup ikan dapat dilihat dari berbagai aspek, diantaranya (i) ukuran saat dewasa, (ii) ukuran maksimum, (iii) laju pertumbuhan, (iv) fekunditas, (v) usia maksimum, (vi) ukuran telur, dan (vii) upaya dalam menjaga kelangsungan hidup larvanya (parental investment) (Winemiller dan Rose 1992; King dan Mcfarlane 2003). Secara spesifik Jennings et al. (2001) menyatakan bahwa laju pertumbuhan yang dinyatakan dalam koefisien K von-Bertalanffy dapat menjelaskan sifat sejarah hidup dari suatu spesies ikan. Secara umum, ikan dengan nilai K yang lebih besar memiliki sifat lebih cepat dewasa, output reproduksi yang tinggi, masa hidup yang lebih pendek, dimana memiliki kemiripan sifat dengan tipe oportunistik. Ikan dengan nilai K yang lebih kecil memiliki sifat sebaliknya yaitu memiliki ukuran lebih besar dan lebih tua saat mencapai dewasa, output reproduksi lebih rendah, dan masa hidup yang panjang, dimana memiliki kemiripan sifat dengan tipe periodik atau ekuilibrium.

Jenis-jenis ikan hias laut yang dimanfaatkan di P. Weh memiliki sifat sejarah hidup yang berbeda-beda, salah satunya dapat dilihat dari koefisien laju pertumbuhan (K), masa hidup (life span), usia saat pertama kali matang gonad (age at first maturity),dan panjang saat pertama kali matang gonad (length at first

pengelompokan strategi sejarah hidup yang lebih tepat untuk masing-masing spesies, terutama pada aspek kemampuan reproduksinya. Berdasarkan nilai K yang disajikan pada Tabel 20 mungkin kita dapat menduga pengelompokan strategi sejarah hidup dari 19 spesies ikan hias laut yang dimanfaatkan di P. Weh. Hasil pengelompokan hanya merupakan dugaan berdasarkan nilai K secara sederhana. Untuk memahami strategi sejarah hidup yang lebih tepat dari masing- masing spesies perlu dilakukan melalui kajian yang mendalam.

Tabel 20 Parameter-parameter sejarah hidup (life history) pada 19 spesies ikan hias laut yang dimanfaatkan di P. Weh (sumber: Froese dan Pauly 2010)

Spe sie s Linf (cm) K M

Masa hidup (tahun) Usia matang gonad (tahun) Ukuran panjang gonad (cm) Strate gi Se jarah hidup

Acanthurus leucosternon 56,1 0,25 0,80 11,4 3,4 31,1 P atau E

Acanthurus lineatus 39,7 0,18 1,03 15,9 4,0 22,8 P atau E

Acanthurus nigrofuscus 18,0 1,00 1,82 2,8 0,8 11,2 O

Acanthurus tennenti 32,5 0,43 1,19 6,6 1,7 19,0 P atau E

Amphiprion clark ii 15,9 0,43 1,99 6,5 1,9 10,0 P atau E

Anampses meleagrides 23,2 0,35 1,52 8,1 2,2 14,1 P atau E

Apolemichthys trimaculatus 27,3 0,36 1,35 7,9 2,1 16,3 P atau E

Centropyge eibli 15,9 0,6 1,99 4,7 1,3 10,0 P

Chaetodon andamanensis 15,9 1,35 1,99 2,1 0,6 10,0 O

Chaetodon auriga 17,4 1,50 1,87 1,9 0,5 10,9 O

Chaetodon meyeri 21,2 1,04 1,62 2,7 0,7 12,9 O

Forcipiger flavissimus 23,2 0,95 1,51 3 0,8 14,1 O

Gomphosus varius 31,5 0,22 1,22 12,9 3,3 18,5 P atau E

Hemitaurichthys zoster 19,0 1,14 1,75 2,5 0,7 11,8 O

Naso lituratus 42,3 0,35 0,98 8,1 2,0 24,1 P atau E

Paracanthurus hepatus 32,5 0,43 1,19 6,6 1,7 19,0 P atau E

Pomacanthus imperator 46,9 0,20 0,90 14,2 3,5 23,8 P atau E

Zanclus cornutus 24,2 - 1,47 - - 14,6 -

Keterangan: Linf=panjang asimtotik, K=koefisien laju pertumbuhan von-Bertalanffy, M=mortalitas alami, O=oportunistik, P=periodik, E=ekuilibrium, (-) = data tidak tersedia.

Secara teoritis, pada kasus perikanan ikan hias laut yang selalu menangkap ikan muda atau juvenil, kelompok periodik dan ekuilibrium diduga lebih mampu bertahan untuk menjaga populasinya akibat kegiatan penangkapan. Ikan dewasa pada kelompok periodik dan ekuilibrium akan terus melakukan pemijahan dan menghasilkan generasi ikan yang baru, selama ikan-ikan dewasa tidak ditangkap, dan penangkapan ikan muda dijaga pada jumlah yang aman. Hal ini diperkuat

Dokumen terkait