• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

B. Pembahasan

dengan hasil cukup baik (83%), sedangkan kelas II/III (Katinting) tidak pernah melakukan supervisi. Jadwal supervisi di ruangan telah ada namun pelaksanaannya belum rutin dilaksanakan.

pembagian tenaga perawat tiap ruangan disetiap shiftnya menggunakan metode dari aturan Depkes (Departemen Kesehatan) yaitu 1 : 4 (Perawat-Tempat Tidur). Sehingga kemungkinannya suatu waktu ada tim yang menangani perawatan total care lebih dibanding dengan tim yang lainnya.

Hasil wawancara dengan kepala ruangan dan data yang didapatkan di tiga ruangan yang diteliti diperoleh kesimpulan tentang ketenagaan yang sudah cukup.

Terkait dengan penghitungan BOR di ruang VIP (81,48%) dan Kelas I (77,50%) dianggap baik, sedangkan BOR di ruang Kelas II/III (68,13%) kurang baik. Kesimpulan penilaian BOR tersebut merujuk dari isi ketetapan Depkes RI (2002) yang menyatakan bahwa untuk standar internasional BOR dianggap baik (80-90%) sedangkan standar nasional dianggap baik (70-80%) dibawah 70% sudah dianggap kurang baik. Tidak ada ruangan yang mencapai nilai BOR 100% mengingat terdapat beberapa rentang waktu di mana tempat tidur tidak terisi (kosong).

Hasil penelitian yang dilakukan tidak sejalan dengan hasil penelitian lain dari Solihati (2012) di IRNA B RSUP Fatmawati Jakarta, yang menemukan data mengenai ketenagaan/staffing yang masih kurang. Hal tersebut terkait dengan salah satu fungsi manajemen keperawatan (organizing) tentang staffing/ketenagaan (penghitungan dan penetapan tenaga perawat berdasarkan pada derajat ketergantungan klien). Maka dari itu sebaiknya terlebih dahulu dibuat perencanaan penghitungan ketenagaan, penetapan jumlah tenaga perawat harus disesuaikan dengan

kategori yang akan diperlukan di setiap ruangan dalam melakukan asuhan keperawatan dengan tujuan untuk mengantisipasi terjadinya kekurangan tenaga perawat di ruangan.

Di lain sisi, hasil penelitian yang dilakukan sejalan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Swansburg (2000) yang mengemukakan bahwa penetapan jumlah tenaga perawat di unit perawatan berdasarkan klasifikasi derajat ketergantungan pasien terdiri dari : perawatan mandiri/self care (aktivitas sehari-hari dilakukan sendiri, penampilan secara umum baik, tindakan pengobatan biasanya ringan dan sederhana), perawatan sedang/partial/intermediate care (sebagian kebutuhan pasien dibantu, dan beberapa tindakan perawatan tertentu), perawatan total/intensive care (semua kebutuhan klien dibantu oleh perawat, dan memerlukan observasi secara ketata/terus menerus).

Penentuan kuantitas perawat sesuai kebutuhan klien merupakan hal yang penting, karena jika jumlah perawat tidak sesuai dengan jumlah staf/tenaga yang diperlukan, akan berdampak terhadap mobilitas dan stabilitas kinerja di ruangan. Waktu yang dimiliki perawat hanya cukup melaksanakan tindakan kolaborasi atau kerja sama, sedangkan tindakan asuhan keperawatan, menganalisa hasil observasi, dan pemberian Health Education (pendidikan/promosi kesehatan) akan terabaikan atau kurang maksimal dilaksanakan (Nursalam, 2013). Peneliti membuat kesimpulan bahwa MPKP yang tengah diterapkan di RS Unhas jika dilihat dari segi jumlah ketenagaan sudah baik, namun dari poin pelaksanaan pemberian

Health Education khusus disampaikan oleh perawat masih jarang dilakukan mereka masih terlihat fokus pada pendokumentasian asuhan keperawatan yang telah diberikan.

2. Jenis Ketenagaan

Penetapan dan pembagian jenis tenaga di ketiga ruangan yang diteliti (VIP, Kelas I, dan Kelas II/III) sebagian besar sudah baik. Pernyataan tersebut diindikasikan karena perawat di ketiga ruangan tersebut yang berpendidikan S1 keperawatan/Ners sudah lebih banyak dibandingkan dengan perawat berpendidikan D3 keperawatan. Di setiap ruang perawatan yang diobservasi memiliki tenaga KaRu berpendidikan S1-Ners, PP (KaTim) berpendidikan S1-Ners dengan/tanpa pengalaman, PA sebagian berpendidikan S1-Ners dan minimal berpendidikan D3 keperawatan dengan/tanpa pengalaman, sedangkan tenaga CCM minimal berpendidikan S2 keperawatan atau Ners spesialis. Sejalan dengan teori menurut Sitorus (2012), dikatakan bahwa dalam satu unit/ruang perawatan MPKP terdapat beberapa jenis tenaga perawat yaitu CCM, KaRu, PP/PN, dan PA, serta kualifikasi CCM harus Ners spesialis/Master keperawatan, KaRu dan perawat primer harus berpendidikan S1 keperawatan/Ners.

Setiap ruangan terdapat satu orang perawat administrasi yang bertugas untuk mengurus seluruh masalah administrasi ruangan, hal ini kurang sesuai karena pada prinsipnya perawat dengan kualifikasi D-III keperawatan memiliki tuntutan dan tugas serta tanggung jawab dalam merawat klien secara langsung. Di sisi lain hal yang perlu diperhatikan

juga adalah tersedianya pendamping orang sakit, hasil penelitian menemukan belum tersedianya pendamping orang sakit di semua ruang perawatan sehingga kadang-kadang masih ada perawat yang mengurus atau mengambilkan obat klien di apotik, merawat dan mencuci alat-alat medis yang telah digunakan klien/pasien. Di mana hal tersebut bukan lagi tugas perawat melainkan pendamping orang sakit ataukah sering juga disebut sebagai asisten perawat yang mempunyai latar belakang pendidikan SPK/SMK Keperawatan.

Adapun tugas dari seorang PP/PN adalah membuat perencanaan dan penentuan masalah/diagnosa keperawatan sesuai dengan masalah kesehatan yang sedang dialami oleh klien, sedagkan PA memiliki tugas melaksanakan asuhan keperawatan yang telah dibuat oleh PP/PN, dan KaRu di setiap ruangan memiliki jadwal dinas pagi setiap harinya, dengan lima hari kerja setiap minggunya, untuk memonitor hasil asuhan keperawatan dan program kegiatan lainnya yang dilakukan selama sehari sebelumnya. CCM memiliki tugas yaitu memvalidasi masalah/diagnosa keperawatan dan melakukan evaluasi ulang rencana asuhan yang telah disusun oleh PP.

Menurut Sitorus (2006) menyatakan bahwa pada dasarnya CCM sebaiknya selalu bertugas pada shift/dinas pagi setiap harinya sehingga apabila PP mengalami masalah atau kendala dalam merencanakan pemberian asuhan keperawatan pada pasien ada CCM yang dapat diajak untuk berdiskusi atau meminta saran (solusi) dalam hal membuat

perencanaan tersebut. Hal tersebut tidak sebanding dengan hasil observasi yang dilakukan, para CCM tersebut memiliki tugas pokok utama yaitu sebagai tenaga pengajar di perguruan tinggi (UNHAS) sebagai organisasi induk yang masih kerja sama dengan RS Unhas, sehingga jadwal dinas/shift mereka sulit untuk dibuat. Akan tetapi sesuai dengan SK yang telah dibuat oleh manajemen RS Unhas setiap CCM memiliki jadwal 3x kunjungan dalam seminggu, dan dua jam setiap 1x kunjungan.

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Solihati (2012) yang menyimpulkan bahwa selisih penetapan jenis ketenagaan hampir seimbang, ada 51% respondennya menyatakan pembagian jenis ketenagaannya tidak efektif, dikarenakan masih banyak tenaga perawat di RSUP Fatmawati yang belum berpendidikan S1 keperawatan dan masih ada PN/PP dipegang oleh perawat yang masih berpendidikan DIII keperawatan.

Sebuah artikel yang dibuat oleh Marquis and Huston (2000) dimana di dalam artikel tersebut terdapat sebuah hasil penelitian yang menyatakan bahwa perawat primer di Amerika pada umumnya yang menduduki jabatan tersebut adalah seoran perawat Clinical Specialist yang mempunyai kualifikasi Master keperawatan. Hal ini belum bisa diterapkan di Indonesia, saat ini di RS Unhas semua PP/PN masih dipegang oleh perawat yang berpendidikan S1 keperawatan/Ners. Peneliti menemukan jika ada perawat yang berpendidikan Master keperawatan, setelah selesai menyelesaikan studinya maka akan ditempatkan di bagian structural

ataukah di jajaran instansi pendidikan, padahal keberadaan mereka sangat penting di suatu unit perawatan dengan tujuan untuk meningkatkan asuhan keperawatan yang lebih berkualitas.

Peneliti menyimpulkan bahwa jenis tenaga perawat di ruangan sudah baik, telah sesuai dengan teori yang ada dan sebaiknya tetap dipertahankan agar pemberian asuhan keperawatan dapat lebih berkualitas.

3. Standar asuhan keperawatan (SAK)

Hasil observasi dan wawancara yang dilakukan didapatkan data bahwa SAK yang ada sudah dibuat dalam sebuah format SAK dan digunakan di semua ruang rawat inap. Format standar renpra (SAK) tersebut belum dibedakan penggunaannya dari segi usia (bayi, anak, dewasa, dan lansia) dan belum disahkan oleh pihak manajemen keperawatan RS Unhas. Selain itu SOP (standar operasional prosedur) tindakan keperawatan juga masih sebagian yang telah disahkan.

Pengesahan SAK dan SOP keperawatan dapat disahkan oleh Komite keperawatan kerja sama dengan bidang pelayanan medik dan keperawatan.

Namun komite keperawatan belum terbentuk sampai saat ini sehingga pihak Rumah sakit khususnya manajemen keperawatan membentuk sebuah kelompok kerja (pokja) keperawatan yang fungsi kerjanya mirip dengan badan komite keperawatan yang memiliki tugas mengklarifikasi dan menilai semua proses keperawatan termasuk mutu asuhan keperawatan terkait dengan pengesahan SAK dan SOP. Hal ini belum sejalan dengan teori menurut Nursalam (2013) bahwa SAK yang baik

adalah SAK yang telah dibakukan dan disahkan dalam pelaksanaan asuhan keperawatan.

Standar asuhan keperawatan (standar renpra) dikembangkan untuk kasus yang paling sering di suatu ruang perawatan berdasarkan 10 kasus terbanyak dalam satu periode waktu yang telah ditentukan, kemudian format SAK dan SOP yang ada digunakan dalam pembuatan perencanaan dan pelaksanaan pemberian asuhan keperawatan. Pengembangan standar tersebut dimaksudkan agar tidak menyita waktu perawat dalam melakukan tindakan sesuai kebutuhan klien, bukan untuk kegiatan menulis saja.

Sejalan dengan teori menurut Ratna Sitorus (2012) bahwa ada standar renpra yang baku menunjukkan suatu asuhan keperawatan yang diberikan berdasarkan pada konsep teori keperawatan menjadi jelas, dan merupakan salah satu karakteristik layanan profesional (Sitorus, 2012).

Ada 20 domain yang ada dalam format SAK dan bersifat umum penggunaannya dengan merujuk kepada diagnosa keperawatan NANDA dan tujuan intervensinya berdasarkan klasifikasi NOC serta implementasi keperawatannya merujuk pada klasifikasi NIC. Ditambah dengan satu format SAK kosong yang dapat digunakan oleh perawat pada saat akan menulis masalah/diagnosa lain yang belum terdapat dalam 20 domain yang telah ada. Hal ini sejalan dengan teori menurut Nursalam (2013) dan Sitorus (2006) bahwa pembuatan SAK berdasarkan diagnosa keperawatan (NANDA), tujuan intervensi (NOC), dan implementasi (NIC).

Sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Solihati (2012) menemukan bahwa ada 52% respondennya mengatakan dengan pengadaan SAK membuat asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien lebih efektif. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Presidentyas Bimo (2007), bahwa penerapan standar asuhan keperawatan di ruangan yang telah menerapkan MPKP hasilnya efektif.

Peneliti membuat kesimpulan bahwa pelaksanaan pemberian asuhan keperawatan di ruangan telah mengacu pada standar rencana keperawatan atau SAK dan SOP yang telah ada dengan tujuan dapat memberikan asuhan keperawatan yang optimal dan berkualitas.

4. Metode Pemberian Asuhan Keperawatan

Hasil penelitian yang dilakukan di ketiga ruangan tersebut (VIP/Lepa-Lepa’, Kelas I/Sandeq, Kelas II dan III /Katinting) ketiganya menerapkan metode modifikasi keperawatan tim-primer. Sejalan dengan teori menurut Sitorus (2012) bahwa ruang rawat dengan model MPKP menggunakan metode keperawatan gabungan (modifikasi) tim-primer. Hasil penelitian sejalan pula dengan penelitian lain yang dilakukan oleh Zimmerman (2007) mengatakan bahwa Model asuhan keperawatan adalah cara pengorganisasian di tingkat unit untuk memfasilitasi asuhan keperawatan pada pasien. Ada empat model umum asuhan keperawatan, yaitu : model keperawatan fungsional, tim, primer, dan manajemen kasus keperawatan.

Sedangkan dalam penerapan MPKP terdapat dua model yang digunakan

dan dimodifikasi menjadi satu yaitu tim-primer, yang merupakan bagian dari empat model umum asuhan keperawatan yang sering digunakan baik di Rumah sakit bertaraf nasional maupun internasional.

Selanjutnya pada metode ini akan dinilai (supervisi) oleh ketua tim/PP, ditandai dengan adanya pembentukan tim terdiri atas anggota yang berbeda-beda dalam memberikan asuhan keperawatan terhadap sekelompok klien/pasien. Biasanya dibentuk dalam 2-3 tim/grup yang terdiri atas tenaga professional, dan teknikal. Penerapan metode modifikasi keperawatan primer-tim yang digunakan di setiap ruang perawatan RS Unhas cukup efektif jika dilihat dari kualifikasi pendidikan tiap PP/PN di setiap ruang perawatan adalah S1-Ners, terdapat CCM dengan kualifikasi Ners spesialis/Magister keperawatan, dan beberapa PA (perawat asosiet) telah berpendidikan S1-Ners dan D-III keperawatan, dan tidak ada yang lulusan SPK/SMK keperawatan. Sejalan dengan teori yang mengatakan metode modifikasi keperawatan primer, setiap PP/PNnya bertanggung jawab terhadap 9-10 klien selama 24 jam perawatan.

Setiap ruang MPKP terdapat satu orang atau lebih perawat profesional yang biasa disebut perawat primer (PP) yang mempunyai tanggung jawab dan tanggung gugat atas asuhan keperawatan yang telah diberikan dan bertanggung jawab terhadap 9-10 klien. Di samping itu, terdapat Clinical Care Manager (CCM) yang mengkoordinir dan mengarahkan PP dalam memberikan asuhan keperawatan yang efektif. CCM di ketiga ruang rawat

inap RS Universitas Hasanuddin dan juga ruang perawatan lainnya semuanya adalah ners spesialis sesuai dengan harapan dari MPKP.

Hasil penelitian yang telah dilakukan sejalan dengan teori menurut Sitorus (2006) bahwa Keperawatan primer, lebih menekankan pada tindakan yang komprehensif dari filosofi keperawatan, penugasan pada satu orang perawat profesional/registered nurse bertanggung jawab penuh selama 24 jam terhadap asuhan keperawatan klien mulai klien masuk rumah sakit sampai keluar rumah sakit seperti yang telah diterapkan pada RS Unhas. Metode primer ini diidentifikasi dengan adanya keterkaitan kuat dan berkelanjutan antara pasien dan perawat yang ditugaskan untuk merencanakan, melakukan dan koordinasi asuhan keperawatan selama dirawat. Sedangkan metode tim lebih menekankan paa kelompok filosofi keperawatan, 6-7 perawat professional dan perawat pelaksana bekerja sebagai satu tim.

Berbanding terbalik dengan hasil penelitian sebelumnya oleh Solihati tahun 2012 dan Arum & Abu Muhlisin tahun 2005 yang mengatakan pelaksanaan metode modifikasi keperawatan primer dalam pemberian asuhan keperawatan kurang efektif. Menurut mereka ada beberapa faktor yang menyebabkan kurang efektifnya penerapan metode modifikasi di RSUP Fatmawati, RSU Islam Kustati Surakarta, RSU PKU Muhammadiyah Surakarta, dan RSU dr. Moewardi Surakarta. Kedua peneliti tersebut mengasumsikan pelaksanaan MPKP dengan metode modifikasi dalam memberikan asuhan keperawatan menjadi terhambat.

Selain itu juga tidak ditunjang oleh kecukupan tenaga, dan pendidikan perawat.

Di sisi lain fasilitas penunjang dalam penerapan MPKP masih kurang mendukung. Saat penelitian dilakukan ditemukan beberapa alat kesehatan yang telah rusak, belum lengkapnya beberapa alat kesehatan seperti EKG ruangan, Infus pump, Syringe pump yang kurang, alat tenun/linen yang kurang, dan linen yang sudah kusam dan bernoda nampak masih terpakai, serta tensi meter di setiap samping tempat tidur/bed klien belum tersedia, dan papan struktur organisasi MPKP belum nampak terpasang di ruang klien terkait dengan perawat yang bertanggung jawab atas setiap klien yang sedang menjalani perawatan di ruangan.

Peneliti membuat kesimpulan bahwa setiap ruang/unit perawatan di RS Unhas dalam menerapkan model MPKP murni dengan penggunaan metode keperawatan tim-primer sudah baik, karena di dalam MPKP dibutuhkan kecukupan tenaga, kualifikasi pendidikan perawat (S1/Ners, Ners spesialis, dan Master keperawatan), dan beberapa fasilitas penunjang lainnya dalam pelaksanaan asuhan keperawatan.

5. Pendokumentasian

Sebanyak 30 dokumentasi keperawatan yang diobservasi masing-masing 10 dokumentasi dari setiap ruangan. Didapatkan data dari ketiga ruangan masih ada lima dokumen pasien (nilai median 8,5/< 11,5) yang teknik pendokumentasiannya masih kurang dengan distribusi masing-masing ruangan : dua dokumen dari ruang VIP (3,4) dan kelas II/III (3,4),

serta satu dokumen dari kelas I (1,7). Hal ini mengindikasikan masih ada beberapa poin dalam pendokumentasian yang masih kurang atau belum dilengkapi dari beberapa tahap pendokumentasian seperti pengkajian, perumusan diagnosa keperawatan, perencanaan dan pengimplementasian , evaluasi dan resume keperawatan.

Secara garis besar teknik pendokumentasian di ketiga ruangan yang diteliti sudah cukup baik tidak ada yang mempunyai nilai median (≤11,5), ruang VIP dari 10 dokumen ada delapan dokumen klien yang baik (16,3), Kelas I ada Sembilan dokumen yang baik (18,6) dan Kelas II/III ada delapan dokumen yang baik (15,1). Hal ini diduga merupakan pengaruh atau efek dari penggunaan format catatan perkembangan pasien dimana segala tindakan kepada pasien apakah itu dari tenaga dokter maupun perawat sudah berada pada satu lembar/format (Lembar Terintegrasi) sehingga perencanaan dan tindakan yang akan dilakukan dapat berkesinambungan dan terstruktur dengan baik.

Tujuan dari penggunaan lembar integrasi adalah untuk membedakan catatan dari rekan sejawat lainnya (dokter) mencatat dengan menggunakan bolpoin bertinta hitam, dan perawat bertinta biru. Hal ini dimaksudkan agar segala tindakan asuhan kesehatan/keperawatan yang diberikan kepada pasien masing-masing mempunyai aspek legalitas dan dapat dipertanggung jawabkan. Hal tersebut diakibatkan oleh karena seluruh perawat yang ada di ruang rawat inap RS Unhas telah pernah diberikan pelatihan tentang penerapan MPKP di ruang perawatan.

Sejalan dengan teori menurut Nursalam (2013) bahwa Pendokumentasian merupakan catatan otentik dalam penerapan manajemen asuhan keperawatan professional. Perawat professional diharapkan mampu menghadapi tuntutan tanggung jawab dan tanggung gugat terhadap segala tindakan yang telah dilakukan. Ada tiga komponen penting dalam pendokumentasian antara lain : komunikasi, proses kepeawatan dan standar asuhan keperawatan.

Pendokumentasian yang baik dan jelas dapat memberikan manfaat seperti : sebagai alat komunikasi antar perawat dan dengan tenaga kesehatan lain. Sebagai dokumentasi legal dan mempunyai nilai hukum, dapat meningkatkan mutu pelayanan keperawatan, referensi pembelajaran dalam peningkatan ilmu keperawatan, serta mempunyai nilai riset penelitian. Evaluasi hasil tindakan yang telah dilakukan kepada klien didokumentasikan setiap harinya yang merupakan tanggung jawab dari ketua tim/PP.

Dokumentasi keperawatan adalah salah satu unsur terpenting dalam sistem pelayanan keperawatan, melalui pencatatan/pendokumentasian yang baik dan lengkap, sehingga informasi tentang kondisi klien dapat diketahui secara berkesinambungan. Sejalan dengan beberapa teori mengatakan bahwa pendokumentasian yang baik itu juga dipengaruhi oleh pelaksanaan pemberian asuhan keperawatan (SAK) oleh perawat di ruangan/unit yang telah mengacu pada standar rencana perawatan yang

telah ada dan penggunaan catatan perkembangan terintegrasi dalam melakukan pendokumentasian (Sitorus, 2006).

Penerapan SAK pada tahap pertama yaitu pengkajian, didapatkan (4,2%) dokumen belum lengkap yang meliputi pengkajian pada status psiko-sosial dan spiritual klien pada ruang VIP (0,4%), Kelas I (0,2%), dan Kelas II/III (0,6%), pengkajian tentang pola hidup klien pada ruang VIP (0,4%), Kelas I (0,2%), dan Kelas II/III (0,6%), pengkajian lengkap dilakukan dalam 24 jam setelah klien masuk pada ruang VIP (0,4%), Kelas I (0,2%) dan Kelas II/III (0,6%), pengkajian lengkap dilakukan oleh perawat yang bertanggung jawab terhadap klien tersebut pada ruang VIP (0,4%) dan Kelas II/III (0,2%). Senada dengan hasil penelitian sebelumnya oleh Presidentyas Bimo tahun 2009 dimana pada tahap pengkajian terdapat (22,02%) dokumen belum lengkap, dimana dari lima poin yang ada pada tahap pengkajian poin pengkajian lengkap dilakukan oleh perawat yang bertanggung jawab terhadap klien terdapat (14,7%) belum lengkap. Hal tersebut mengindikasikan pendokumentasian pada tahap pengkajian masih kurang sesuai dengan teori yang ada pada MPKP, dikarenakan pada MPKP pengkajian diisi secara lengkap selama 24 jam pertama merupakan tanggung jawab perawat primer (PP) sebagai pemimpin tim dalam pemberian asuhan keperawatan kepada klien yang diaplikasikan sebagai acuan untuk perumusan masalah atau diagnosa keperawatan klien.

Dapat dikatakan masih ada beberapa kelemahan perawat dalam pencatatan dan kemampuan menganalisa jika mempunyai dasar

pengetahuan yang baik tentang masalah yang sedang dihadapi. Dan kesanggupan perawat untuk berpikir kritis dan waktu yang tersedia dalam melakukan pengkajian kepada klien. Oleh karena itu untuk dapat menerapkannya diperlukan beberapa pelatihan dan diusahakan selalu berada pada situasi yang mendukung, sebab kemampuan seperti itu tidak muncul dengan sendirinya, dibutuhkan beb

Salah satu fasilitas yang dapat dimanfaatkan adalah dengan mengadakan studi/diskusi kasus disetiap ruang perawatan yang terjadwal dengan mengambil beberapa kasus yang dianggap perlu dikembangkan dan penyegaran materi-materi dalam melaksanakan asuhan keperawatannya. Penerapan SAK pada tahap diagnosa keperawatan (4,25%), (2,25%) belum mencakup tentang masalah psiko-sosial pada ruang VIP (0,75%), Kelas I (0,5%), dan Kelas II/III (1%), (2%) belum mencakup tentang masalah kurangnya pengetahuan klien pada ruang VIP (0,75%), Kelas I (0,5%), dan Kelas II/III (0,75%). Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Presidentyas Bimo (2009) menemukan data bahwa (7%) belum mencakup masalah psiko-sosial dan (52%) belum mencakup masalah kurangnya pengetahuan klien.

Sebagai modal utama seorang perawat sebelum membuat perencanaan tindakan asuhan keperawatan adalah kemampuan menganalisa dengan baik setiap keluhan yang dirasakan oleh klien. Selain itu permasalahan yang perlu ditangani pada masalah klien adalah secara holistic (menyeluruh) baik bio-psiko-sosio dan spiritual klien mengingat masalah

yang dirasakan oleh klien itu sangat kompleks dan saling berhubungan satu dengan lainnya. Pembuatan perencanaan asuhan keperawatan (5,15%) belum lengkap dan kurang efisien.

Hasil penelitian didapatkan (1,15%) belum mencakup rencana asuhan keperawatan dikembangkan oleh perawat yang bertanggung jawab pada klien tersebut pada ruang VIP (0,43%), Kelas I (0,29%), dan Kelas II/III (0,43%), (1,15%) belum mencakup tindakan pendidikan kesehatan pada ruang VIP (0,43%), Kelas I (0,29%), dan Kelas II/III (0,43%), (1,01%) belum mencakup tindakan kolaborasi pada ruang VIP (0,29%), Kelas I (0,29%), dan Kelas II/III (0,43%), (1,85%) belum mencakup tindakan yang menggambarkan keterlibatan keluarga pada ruang VIP (0,57%), Kelas I (0,57%), dan Kelas II/III (0,71%). Senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Solihati tahun 2012 bahwa ada (52,6%) perencanaan untuk mengatasi masalah klien baik itu bersifat aktual, potensial, maupun resiko ditetapkan oleh perawat pelaksana (PA). Sedangkan pada teori MPKP yang bertanggung jawab menetapkan renpra adalah perawat primer (PP/ketua tim). Dalam menetapkan rencana pemberian asuhan keperawatan sebaiknya ditetapkan oleh PP/ketua tim karena sudah menjadi tanggung jawab mereka, selain itu juga diperlukan adanya suatu pemahaman yang jelas tentang penulisan tujuan, kriteria evaluasi dan intervensi keperawatan.

Perawat primer (PP) atau ketua tim dan perawat asosiet (PA/pelaksana) dalam melaksanakan asuhan keperawatan apakah itu tindakan observasi,

terapi keperawatan, tindakan kolaborasi, dan respon klien terhadap tindakan telah didokumentasikan, namun tindakan pemberian pendidikan kesehatan ada (4,2%) belum didokumentasikan pada ruang VIP (1,2%), Kelas I (1,4%), dan Kelas II/III (1,6%).

Setiap evaluasi diagnosa keperawatan yang belum teratasi akan dilakukan rencana lanjutan untuk mengatasi masalah klien tersebut oleh perawat primer dan perawat pelaksana. Akan tetapi penerapan SAK pada tahap evaluasi ada (5,5%) diagnosa/masalah yang telah teratasi belum didokumentasikan pada ruang VIP (1,5%), Kelas I (1,5%), dan Kelas II/III (2,5%). Terkait dengan penelitian yang dilakukan oleh Presidentyas Bimo tahun 2009 Evaluasi (92,1%) perawat primer telah mengevaluasi dengan baik.

Peneliti membuat kesimpulan bahwa evaluasi harus dilakukan secara periodik, sistematis dan berencana untuk menilai perkembangan klien setelah tindakan keperawatan. Bila ada masalah yang tidak/belum teratasi, harus dilakukan pengkajian dan perencanaan tindakan ulang dan perlu didokumentasikan dengan segera agar tidak terjadi tindakan yang berulang dan saling tumpang tindih.

6. Operan (Operand)

Hasil penelitian yang diperoleh, menunjukkan bahwa pada ruang VIP saat pelaksanaan operan pagi, sore, dan malam baik I, II, dan III tim perawat yang bertugas tidak menyiapkan buku catatan, dan pengkajian secara penuh belum maksimal dilakukan, pada operan pagi III perawat

juga tidak melakukan diskusi dengan masing-masing tim dan PA. Selain itu pada operan sore dan malam yang I, II, III perawat tidak langsung mendokumentasikan hasil dari operan yang dilakukan dan operan tidak ditutup oleh kepala ruangan/PP/PJ shift dan pada operan malam III PJ shift tidak menanyakan kebutuhan setiap klien pada perawat shift berikutnya.

Hasil penelitian yang diperoleh, menunjukkan bahwa pada ruang Kelas I saat pelaksanaan operan pagi dan sore yang I tim perawat yang bertugas tidak menyiapkan buku catatan, operan II perawat tidak melakukan pengkajian secara penuh, dan operan III operan tidak ditutup oleh KaRu/PP. Saat pelaksanaan operan sore I, II, III malam I, dan II perawat tidak langsung menuliskan hasil dari operan yang telah dilaksanakan, operan juga tidak ditutup oleh KaRu/PP, pada operan malam II dan III pengkajian secara penuh oleh perawat belum maksimal dilakukan.

Hasil penelitian yang diperoleh, menunjukkan bahwa pada ruang Kelas II/III saat pelaksanaan operan pagi, sore, dan malam yang I, II, dan III tim perawat yang bertugas tidak menyiapkan buku catatan dan KaRu/PP/Pj shift tidak menanyakan kebutuhan setiap klien pada perawat shift berikutnya selain itu beberapa poin lain yang tidak dilaksanakan seperti pendokumentasian operan tidak langsung didokumentasikan, pengkajian secara penuh belum maksimal, operan tidak ditutup oleh KaRu/PP/Pj shift, KaRu/PP/Pj shift tidak membuka acara operan, dan operan di ruang klien tidak semua dilakukan khususnya pada saat operan malam.

Menurut kepala ruangan kelas II/III yang diwawancarai mengatakan bahwa operan malam jarang dilakukan dengan alasan akan menggangu waktu istirahat klien. Selain itu perbandingan jumlah klien (397 klien) yang terlalu banyak dengan jumlah perawat yang bertugas di ruangan kelas II/III (Katinting) dalam 22 hari tidak seimbang belum lagi jika di klasifikasikan berdasarkan tingkat ketergantungan setiap klien (parsial = 198 orang, dan total = 199 orang). Sehingga pelaksanaan operan di ruang kelas II/III belum optimal.

Frekuensi pelaksanaan operan (overan) di ketiga ruangan dan ruang perawatan lainnya sebanyak tiga kali dilakukan dalam sehari, yaitu pada pergantian shift malam ke pagi (07.30), pagi ke sore (13.30), dan sore ke malam (19.45). Adapun pelaksanaan operan di ketiga ruangan yang diteliti dimana operan dimulai di lakukan di ruang perawat (Nurse Station) dibuka dan ditutup oleh kepala ruangan untuk operan shift pagi dan sore.

Kemudian masing-masing dari tim setiap PA yang berdinas sebelumnya menyampaikan semua hasil laporan/pendokumentasian kegiatan yang dilakukan selama delapan jam bertugas.

Kemudian PP dari tim masing-masing menanyakan/ mengklarifikasi tiap kebutuhan klien, setiap kali melakukan operan selalu ada klarifikasi atau Tanya jawab dan validasi ulang terhadap semua hal yang dioperankan. Setelah laporan selesai dari semua tim kemudian operan dilanjutkan ke ruangan klien dengan rekan setim masing-masing.

Hasil penelitian sejalan dengan teori menurut Keliat (2000) dari beberapa poin yang dilakukan seperti menyampaikan dan menerima (laporan), serah terima antara shift pagi, sore, dan malam. Operan dinas pagi ke dinas sore dipimpin oleh KaRu/PP, sedangkan operan dinas sore ke malam dipimpin oleh Pj tim sore ke Pj tim malam. Akan tetapi, pada ruang VIP (Lepa-Lepa) dan Kelas II/III (katinting) masih jarang melakukan diskusi setelah operan dilaksanakan mereka masing-masing langsung mengerjakan apa yang menjadi tugas mereka selanjutnya. Senada dengan hasil penelitian sebelumnya oleh Arum Pratiwi dan Abi Muchlisin tahun 2005 di tiga Rumah sakit yang berbeda ketiganya melakukan operan di ruang perawat (Nurse Station) kemudian dilanjutkan ke ruang perawatan (kamar klien).

Adapun caranya operan dengan membaca buku laporan oleh satu orang perawat pelaksana (PA) yang dihadiri oleh semua perawat yang akan berdinas selanjutnya, paling sering operan dilakukan oleh PP/ketua tim ataukah ketua/penanggung jawab shift. Operan klien harus dilakukan seefektif mungkin dengan menjelaskan secara singkat, jelas dan lengkap segala tindakan mandiri perawat, tindakan kolaboratif yang sudah dan belum dilakukan serta perkembangan klien saat itu. Sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Nursalam (2013) bahwa operan dilakukan dengan membaca status/dokumen klien oleh satu orang PA dan dibuka oleh PP/Pj shift, dilakukan seefektif mungkin dan menjelaskan secara ringkas dan detail.

Semua perawat telah mengetahui hal-hal yang perlu diperhatikan tentang teknikal dalam penyampaian operan ketika di depan klien, meliputi : volume suara yang cukup agar tidak mengganggu klien di sampingnya (kelas I (Sandeq), dan kelas II/III (Katinting), sesuatu yang sifatnya sangat pribadi disampaikan dengan bahasa medis. Selalu ada interaksi dengan klien seperti memperkenalkan kembali perawat yang akan bertugas selanjutnya, menanyakan apa yang dirasakan oleh klien saat ini, tidurnya semalam bagaimana. Lama operan di ruang klien bervariasi tergantung situasi dan kondisi klien saat itu, semakin banyak yang mesti dilaporkan maka semakin banyak pula waktu yang dibutuhkan, dari hasil observasi biasanya operan dilaksanakan ± 5 menit untuk tiap klien.

Pendokumentasian operan juga perlu dilakukan dan dicatat kedalam sebuah buku catatan khusus buat pelaporan operan yang akan ditandatangani oleh perawat yang melaporkan, perawat yang menerima laporan/bertugas selanjutnya dalam hal ini sebaiknya PP/ketua tim (shift pagi dan sore) serta kepala ruangan. Setelah operan dilaksanakan, kepala ruangan mengadakan diskusi singkat untuk mengetahui dan sekaligus mengevaluasi kesiapan shift selanjutnya. Saat ini di semua ruang perawatan telah menggunakan sebuah format catatan perkembangan terintegrasi dimana semua catatan baik dari medis maupun paramedis sudah disatukan kedalam lembar terintegrasi tersebut termasuk kegiatan operan dan kegaiatan-kegiatan keperawatan lainnya.

Peneliti mengasumsikan bahwa ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan pelaksanaan operan di ruangan kurang baik (kelas II/III/Katinting). Ada beberapa penyebab operan di ruang kelas II/III (katinting) kurang baik, antara lain : perawat yang kurang disiplin waktu dalam melakukan operan, data hanya ditulis di kertas selembar sehingga kadang hilang saat akan dilaporkan/didokumentasikan, perawat jarang membawa buku catatan pada saat operan, lebih sering berfokus pada diagnosis medis, jadwal visit/kunjungan dari rekan sejawat (dokter/residensi) yang tidak menentu dan pada saat operan berlangsung mereka sering meminta bantuan perawat dalam melakukan tindakan kepada klien sehingga mengganggu pelaksanaan operan. Sebagian besar perawatnya masih jarang melakukan operan di ruang klien terutama pada saat pergantian shift dari sore ke malam.

7. Konferensi (Conference)

Hasil penelitian yang didapatkan, pelaksanaan konferensi saat pre conference pagi dan sore pada ruang VIP, untuk pre conference I dan II tidak dilakukan di meja masing-masing tim, Katim (PP) / Pj shift tidak memberikan reinforcement/reward dan tidak menutup acara. Pada pre conference III juga Katim (PP) / Pj shift tidak memberikan reinforcement/reward. Sedangkan post conference ruang VIP I, II, dan III tidak dilakukan di meja/kursi masing-masing tim dan Katim/PP tidak menutup acara, pada post conference II dan III, Katim (PP) tidak menutup acara, selain itu post conference I pagi tidak dilakukan di meja

masing-masing tim, KaRu/Katim (PP) tidak membuka acara, Katim (PP) tidak menanyakan kendala dalam asuhan yang telah diberikann. post conference II dan III pagi dan sore Katim (PP) tidak menanyakan tindak lanjut asuhan klien yang harus dioperkan kepada perawat shift berikutnya, Katim (PP) tidak menutup acara.

Hasil penelitian yang didapatkan, pelaksanaan konferensi saat pre conference pagi dan sore pada ruang Kelas I, untuk pre conference I, II, III tidak menutup acara, pre conference pagi dan sore I dan II Katim (PP) tidak memberikan reinforcement/reward kepada PA, pre conference III sore Katim (PP) tidak menanyakan hasil asuhan masing-masing klien.

Sedangkan post conference pagi I, II dan III pada ruang Kelas I Katim (PP) tidak menutup acara post conference, post conference I sore dan III pagi, post conference II sore Katim (PP) tidak menanyakan tindak lanjut asuhan klien yang harus dioperkan kepada perawat shift berikutnya. Post conference II dan III sore Katim (PP) tidak menanyakan hasil asuhan masing-masing klien, dan KaRu/PP tidak membuka acara.

Hasil penelitian yang didapatkan, pelaksanaan konferensi saat pre conference pagi dan sore pada ruang Kelas II/III, untuk pre conference I, II, III tidak dilakukan di meja masing-masing tim, Katim (PP) / Pj shift tidak memberikan reinforcement/reward dan tidak menutup acara dan pre conference II sore Katim (PP) tidak menanyakan hasil asuhan masing-masing klien. Sedangkan post conference I, II, dan III pagi dan sore tidak dilakukan di meja/kursi masing-masing tim, Katim (PP) tidak membuka

Dokumen terkait