• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian tentang kelimpahan atau prevalensi penyakit karang sabuk hitam (Black Band Disease, BBD) selama kurang lebih 1 tahun dapat mengetahui bahwa penyakit karang tersebut ada di perairan Kepulauan Seribu sepanjang tahun baik di lokasi penelitian zona 1 (jarak terdekat), zona 2 (jarak pertengahan) dan zona 3 (jarak terjauh) berdasarkan jarak dari daratan utama (Pulau Jawa). Ada dua jenis penyakit karang yang sering ditemukan yaitu penyakit sabuk hitam dan WS (White Syndrome). Terdapat perbedaan tingkat kelimpahan atau prevalensi dari penyakit sabuk hitam antara pada musim kemarau (awal penelitian) dengan pengamatan pada keseluruhan musim (selama 1 tahun). Pengamatan pada musim kemarau terlihat bahwa penyakit karang sabuk hitam banyak ditemukan pada zona 1, sementara pada pengamatan selama 1 tahun banyak ditemukan pada zona 2 pada musim peralihan 1 (pergantian antara musim kemarau ke musim hujan) yaitu pada bulan Oktober- November 2011. Sedangkan penyakit WS selalu banyak ditemukan di zona 2 baik pada awal penelitian maupun pengamatan selama 1 tahun. Puncak prevalensi penyakit karang sabuk hitam berlangsung sekitar 2 minggu pada pulau Pari (zona 1), namun berbeda dengan lokasi P. Pramuka bagian Utara (zona 2) dan P. Peteloran (zona 3), masih bertahan hingga 1 bulan.

Penelitian di musim kemarau (awal penelitian) dapat menjawab hipotesa awal atau asumsi bahwa penyakit karang akan banyak ditemukan di lokasi yang dekat dengan daratan utama karena dekat dengan sumber polusi antropogenik. Pergerakan massa air atau arus pada musim kemarau tersebut dari arah Barat menuju Timur sehingga sampah dan partikel terlarut terbawa ke tengah hingga sampai ke beberapa pulau terdekat. Partikel terlarut yang tinggi menyebabkan perairan menjadi keruh. Sampah dan pertikel terlarut tersebut berasal dari 13 muara sungai yang bermuara ke teluk Jakarta. Perairan yang keruh akan menganggu kehidupan beragam biota termasuk hewan karang.

Secara temporal, prevalensi penyakit karang sabuk hitam di Kepulauan Seribu terjadi sepanjang tahun, mengalami peningkatan pada musim kemarau dan mencapai

puncaknya (outbreak) pada musim peralihan 1 yaitu Oktober-November 2011 hingga

pada awal musim hujan di zona 2. Parameter lingkungan mendukung terjadinya peningkatan prevalensi ini adalah suhu dan intensitas cahaya, dimana parameter tersebut meningkat sampai tingkat tertinggi pada bulan Oktober 2011 pada P. Pari (zona 1), dan P. Penjaliran (zona 3), tapi puncaknya pada bulan November 2011 di lokasi P. Pramuka (zona 2), maka prevalensi penyakit karang sabuk hitam mengalami peningkatan dan mencapai pada puncaknya pada pengamatan bulan November 2011, setelah 1 bulan faktor penyebabnya terjadi yaitu peningkatan suhu dan intensitas cahaya matahari meningkat. Disamping itu juga kecepatan arus, turbiditas, TOM (Total Organic Matter) mengalami penurunan disaat musim peralihan (Oktober- November 2011) sehingga suhu dan intensitas cahaya secara optimal sampai ke dasar dimana karang berada karang tanpa hambatan dari partikel terlarut (TOM, turbiditas)

dan tanpa gangguan arus atau ombak. Penemuan ini didukung oleh hasil penelitian di Florida Key (Kuta and Richardson 2002).

Alasan lain kenapa prevalensi tertinggi ditemukan pada zona 2, yaitu lokasi tersebut berdekatan dengan pulau Pramuka merupakan pusat pemerintahan kabupaten dan P. Panggang, kedua pulau ini sangat padat penduduknya. Antara pulau Pramuka dan P. Panggang terdapat keramba jaring apung yang dapat berkontribusi terhadap peningkatan nutrient di perairan dari sisa pakan ikan di sekitar lokasi penelitian. Hal

ini didukung oleh Bruckner et al. (1997) dimana lokasi yang dekat dengan sumber

limbah atau terkena dampak sedimentasi yang tinggi akan memiliki prevalensi penyakit sabuk hitam yang tinggi.

Secara spasial membuktikan bahwa lokasi terjauhpun (zona 3) juga masih ada penyakit karang sabuk hitam, dimana seharusnya polusi antropogenik diasumsikan tidak akan sampai ke lokasi tersebut. Faktor suhu dan intensitas cahaya lebih berperan sebagai penyebab terinfeksinya karang oleh penyakit di lokasi terjauh tersebut (zona 3). Kondisi yang sama juga ditemukan di daerah lain dimana penyakit ini umum ditemukan pada perairan yang jauh dari daratan (remote area) seperti di P. Mona sekitar 70 km dari daratan utama Puerto Rico yang jauh dari pemukiman penduduk, industri, kegiatan pertanian bahkan dari dampak pengaruh air sungai yang membawa sampah, sedimentasi dan salinitas yang berbeda (Bruckner, 1999).

Berdasarkan klasifikasi Antonious (1995), kelimpahan penyakitsabuk hitam di

lokasi pengamatan di Kepulauan Seribu sudah dikelompokkan termasuk catastrophic/bencana (lebih dari 100 kasus) karena mencapai 336koloni terinfeksi di lokasi P. Pramuka bagian Utara, namun pada kategori ini Antonious (1995), tidak dijelaskan apabila penyakit tersebut menyerang hanya pada satu jenis spesifik seperti di Kepulauan Seribu yaitu pada jenis Montipora spp dan hanya pada perairan dangkal saja (tubir) dan mengelompok pada daerah dimana ada banyak karang jenis

Montipora spp saja. Beeden et al., (2012) menyatakan bahwa ada tiga pembagian wilayah penelitian kelimpahan penyakit karang kaitannya dengan tindakan

manajemen, yaitu lokal, regional dan global (widespread). Hasil penelitian yang

diperoleh dari wilayah secara lokal kalau kelimpahan penyakit sudah di atas standar, direkomendasikan untuk melakukan penelitian dan monitoring lebih lanjut. Berdasarkan data di Kepulauan Seribu, kelimpahan penyakit sabuk hitam sudah lebih

tinggi dibandingkan standar yang ditetapkan oleh Beeden et al., (2012). Tindakan

yang disarankan untuk kasus di Kepulauan Seribu yaitu perlu penelitian secara regional, global dan melanjutkan penelitian, monitoring di lokasi yang sama. Tindakan manajemen dianggap perlu dilakukan apabila data berasal dari data regional dan global (widespread).

Timbulnya insidensi penyakit sabuk hitam sebagian besar muncul pada koloni baru. Koloni yang sedang terinfeksi penyakit dapat juga muncul spot penyakit baru apabila ukuran koloninya besar terutama dapat terjadi pada puncaknya prevalensi yaitu pada bulan November 2011 atau musim peralihan. Kasus insidensi ini berkembang hingga sebagian besar bagian koloninya mati atau hingga karangnya mati dalam kurun waktu 2-3 bulan. Namun kasus insidensi pada puncak prevalensi sebagian besar tidak sampai mematikan koloni karang, dalam waktu 2 minggu kasus

insidensi meninggalkan spot kecil yang sudah mati, karangnya dapat bertahan dari penyakit tersebut.

Tingkat virulensi penyakit sabuk hitam ditandai dengan berkembangnya sabuk (mat) dan jaringan yang mati dibelakang arah pergerakan penyakit ini, pada Kepulauan Seribu ditemukan tertinggi pada musim kemarau di zona 2 (Pulau Pramuka). Tingkat virulensi meningkat disaat terjadi peningkatan suhu dan intensitas cahaya yaitu pada musim kemarau. Infeksi karang disaat musim kemarau lebih virulen dibandingkan dengan musim lain bahkan dengan musim peralihan dimana tingkat prevalensi tertinggi. Suatu penelitian yang dilakukan di Great Barrier Reef, Australia menyatakan bahwa intensitas cahaya lebih besar pengaruhnya dibandingkan

dengan suhu terhadap pemicu tingkat virulensi (progress) penyakit karang sabuk

hitam pada musim panas (Sato et al., 2011).

Penyakit sabuk hitam ditemukan pada perairan dangkal atau tubir, dimana di

lokasi tersebut didominasi oleh karang genus Montipora spp, dan Acropora sp.

Infeksi penyakit pada karang Montipora spp. umumnya terjadi pada bentuk

pertumbuhan foliose (daun) dan encrusting (mengerak). Karang Montipora sp dengan bentuk pertumbuhan tersebut dapat dengan mudah menampung endapan sedimen sehingga susah terbebas kalau tidak ada arus yang membantu, pada hal disaat puncak

prevalensi diketahui kecepatan arus sangat rendah. Bentuk pertumbuhan yang foliose

juga membuat karang tersebut dapat menerima intensitas cahaya lebih tinggi dibanding jenis karang lain karena luas permukaan koloninya yang menyerupai daun.

Beberapa alasan tersebut membuat karang Montipora sp memiliki daya tahan yang

rendah terhadap peningkatan suhu dan intensitas cahaya, hal inilah yang

mempengaruhi munculnya penyakit karang sabuk hitam pada karang Montipora spp,

dan penyakit WS terjadi pada karang Montipora spp dan Acropora sp. Karang jenis

Montipora sp dari bentuk pertumbuhan bercabang tidak ditemukan terinfeksi oleh penyakit sabuk hitam karena bentuk pertumbuhannya tidak memungkinkan menampung endapan sedimen, luas permukaan koloni tidak luas seperti bentuk

foliose, sehingga tidak terlalu tereskpos oleh cahaya matahari.

Pemasukkan nutrien, sedimentasi, dan masuknya air dari daratan merupakan faktor yang potensial mendukung timbulnya kasus penyakit baru (insidensi). Lokasi penelitian zona 2 memiliki tingkat prevalensi penyakit sabuk hitam dan WS yang tinggi dapat dikaitkan dengan kepadatan penduduk yang berdekatan dengan zona tersebut yaitu Pulau Pramuka sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Kepulauan Seribu dan Pulau Panggang. Terdapat juga keramba jaring apung antara kedua pulau

tersebut yang dapat menjadi sumber polusi dari sisa pakan ikan. Bruckner et al.,

(1997) melaporkan bahwa terjadi peningkatan kelimpahan penyakit sabuk hitam pada terumbu karang yang dekat dengan saluran atau daerah pembuangan limbah dan daerah yang tinggi pemasukkan sedimennya.

Lokasi penelitian di Kepulauan Seribu dapat terlihat bahwa kematian karang akibat penyakit karang akan memberikan dampak pada penurunan populasi karang

terutama jenis Montipora spp di kawasan tutupan karang tinggi, karena sebagian

besar karang yang terinfeksi mengalami kematian atau sebagian besar bagian koloni

yang terinfeksi mengalami kematian (75-100%). Karang Montipora sp diketahui

Kepulauan Seribu terutama di lokasi penelitian, sehingga dengan adanya kematian akibat penyakit ini dapat dianggap sebagai faktor keseimbangan antar jenis karang.

Keberadaan penyakit sabuk hitam (BBD) yang ditemukan banyak pada perairan dangkal (tubir) di Kepulauan Seribu, hal ini sesuai dengan penelitian lain bahwa pada kedalaman yang lebih dalam dari 6.6 m tidak ditemukan lagi BBD di Kepulauan Seribu. Berbeda dengan penelitian lain dimana penyakit sabuk hitam pernah ditemukan pada kedalaman hingga 30 meter pada terumbu karang yang jauh dari daratan, lepas pantai (offshore) dengan tingkat kecerahan air yang tinggi tapi terjadi

bukan pada karang jenis Montipora spp (Bruckner, 1999). Penyakit sabuk hitam

distribusinya tidak random, tapi mengelompok di Kepulauan Seribu. Hal yang sama pernah dikemukan oleh peneliti lain di berbagai lokasi penelitian seperti di Caribbean (Rutzler & Santavy, 1983; Antonius, 1985; Edmunds, 1991; Bruckner & Bruckner, 1997).

Pola distribusi penyakit sabuk hitam pada perairan dangkal ini dikarenakan

penyakit tersebut didominasi oleh cyanobacterium yang tergantung dengan cahaya

matahari (photosynthetic cyanobacterium) (Antonius 1981; Richardson et al., 1997). Peran suhu dan intensitas cahaya matahari sangat menentukan keberadaan penyakit sabuk hitam tersebut. Hubungan antara kelimpahan penyakit sabuk hitam dan panasnya suhu perairan sudah banyak ditemukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Intensitas cahaya juga telah diketahui sebagai faktor lingkungan yang berperan dalam penentuan pola distribusi, kelimpahan dan perkembangan penyakit pada koloni karang penyakit penyakit sabuk hitam (Sato et al., 2009; Kuta and Richardson 2002; Page and Willis 2006; Croquer and Weil 2009).

Penyakit sabuk hitam ini tidak pernah pindah ke jenis karang lain meskipun karang tersebut sudah berdekatan dengan koloni karang lain yang sedang terinfeksi. Bagian koloni yang memiliki tonjolan ke atas (cabang kecil) terbebas dari serangan penyakit. Sebagian besar insidensi muncul berupa spot kecil baru pada koloni karang

lain dari jenis yang sama yaitu Montipora spp. Penyakit sabuk hitam tidak pernah

menginfeksi jenis karang lain di lokasi pengamatan, namun pernah ditemukan di luar transek pengamatan yaitu pada jenis karang Pachyseris sp.

Cara penyebaran penyakit dimulai dengan adanya 1-3 spot kecil yang terpisah pada koloni baru kemudian berkembang keseluruh koloni. Apabila beberapa spot kecil tadi berkembang dan bergabung menjadi satu spot besar akan memiliki tingkat virulensi yang lebih tinggi terhadap perkembangan penyakit pada koloni karang yang lagi diserang penyakit tersebut dibandingkan dengan 1 spot kecil saja.

Ada 3 jenis bakteri Desulfovibrio spp. yang ditemukan pada sampel karang

terinfeksi di Kepulauan Seribu yaitu Desulfovibrio magneticus, Desulfovibrio gigas

dan Desulfovibrio desulfuricans. Kelompok bakteri genus Desulfovibrio ternyata bersifat patogen karena dapat memproduksi dan mengakumulasi sulfid hingga mencapai konsentrasi tinggi pada bagian terinfeksi oleh penyakit sabuk hitam dan dapat mematikan jaringan karang ketika berkombinasi dengan bakteri yang menyebabkan kondisi lingkungan kekurangan oksigen atau anoxic (Richardson et al., 1997).

Jenis bakteri lain sebagai penyebab penyakit sabuk hitam di Kepulauan Seribu adalah dari genus Bacillus sp, yaitu Bacillus benzoevorans dan Bacillus farraginis.

Meskipun jenis ini belum ada yang melaporkan dapat bersifat patogen pada karang, namun berdasarkan hasil isolasi bakteri di jaringan karang terinfeksi ditemukan bakteri Bacillus sp. Sebaliknya bakteri jenis Bacillus hwajinpoensis pernah diteliti dapat berfungsi sebagai anti bakteri (Sabdono & Radjasa, 2006). Bakteri Bacillus algicola pernah ditemukan hasil isolasi pada karang terinfeksi penyakit sabuk hitam (Sabdono & Radjasa, 2008).

Dokumen terkait