• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengendalian penyakit ice-ice terhadap pengelolaan budidaya rumput laut

Kappaphycus alvarezii merupakan salah satu komponen penting dalam peningkatan produksi. Keberadaan penyakit ice-ice terhadap penurunan produksi merupakan permasalahan utama yang dihadapi pengelola budidaya rumput laut dan membutuhkan penanganan serius. Degradasi parameter kualitas lingkungan perairan dan meningkatnya patogenisitas bakteri patogen dianggap sebagai pemicu penyebaran penyakit ice-ice di lokasi budidaya rumput laut. Beberapa kajian menunjukkan bahwa faktor lingkungan dan infeksi bakteri patogen memegang peranan penting dalam munculnya penyakit ice-ice. Penerapan teknologi dalam mendukung pengendalian penyakit ice-ice dapat dilakukan melalui pengembangan deteksi penyakit ice-ice pada thallus rumput laut. Pendekatan karakteristik fenotip merupakan salah satu alternatif dalam menentukan keberadaan mikroorganisme sebagai agen penyebab penyakit ice-ice. Diagnosis penyakit ice-ice berdasarkan karakteristik fenotip seperti gejala klinis yang ditandai perubahan morfologi thallus, respon parameter lingkungan perairan terhadap kemunculan penyakit ice-ice, serta isolasi dan identifikasi mikroorganisme bakteri penyebab penyakit ice-ice

berdasarkan identifikasi karakteristik fisiologis dan biokimia. Diagnosis Vibriosis

budidaya udang pada awal perkembangannya juga menggunakan teknik deteksi berdasarkan karakteristik fenotip (Abraham et al. 1997; Musa et al. 2008). Metode ini memiliki kelemahan karena ekspresinya sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan sebagai upaya pengendalian penyakit ice-ice terhadap budidaya rumput laut melalui pemahaman tingkat patogenisitas bakteri penyebab penyakit ice-ice dan laju transmisi penyakit

ice-ice. Pengembangan metode deteksi cepat penyakit ice-ice dengan teknik PCR merupakan suatu langkah strategis. Metode deteksi tersebut diharapkan dapat diaplikasikan dalam mendeteksi keberadaan bakteri patogen secara dini sehingga dapat ditetapkan suatu tindakan pencegahan (preventif). Metode deteksi ini diharapkan dapat memperbaiki kelemahan metode sebelumnya.

Meskipun penerapan teknologi deteksi kesehatan budidaya rumput yang bebas penyakit masih jauh ketinggalan dibandingkan dengan teknologi budidaya ikan dan udang, teknik deteksi secara molekuler terhadap bakteri patogen penyakit ice-ice pada rumput laut yang dibudidayakan diharapkan memberi kontribusi dalam perkembangan teknologi kesehatan budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii. Perhatian terhadap kondisi kesehatan budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii

dimulai sejak terjadinya kegagalan budidaya rumput laut yang mengakibatkan penurunan produksi rumput laut di Philipina hingga 100% (Largo et al. 1985)

Pengamatan terhadap penyebab penyakit ice-ice mulai dilakukan sejak adanya kegagalan budidaya dibeberapa wilayah produksi rumput laut Kappaphycus alvarezii. Fokus kajian diarahkan untuk mencari solusi dari penyebab penyakit ice-ice di lokasi budidaya rumput laut. Manfaat dari kajian ini nantinya dapat menjadi acuan dalam pengembangan budidaya rumput laut guna peningkatan produksi optimal.

Teknologi kesehatan budidaya rumput laut telah dikembangkan sebagai komponen penting dalam peningkatan kualitas dan kuantitas produksi rumput laut. Beberapa unsur pendukung dalam teknologi kesehatan budidaya rumput laut yang berbasis deteksi penyebab (agen) penyakit ice-ice telah dilakukan yang terdiri dari : 1) Deteksi berdasarkan kondisi kualitas lingkungan perairan (Julieta et al. 2004), 2) Deteksi berdasarkan karakterisasi bakteri secara fisiologi dan biokimia (Yulianto 2002) sementara deteksi berdasarkan karakteristik genotip belum dilakukan untuk menentukan status kesehatan rumput laut.

Tahap pertama dalam penelitian ini mengkaji gejala munculnya penyakit ice- ice pada budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii terkait dengan adanya aktivitas bakteri patogen yang melakukan invasi ke thallus (inang). Identifikasi bakteri patogen ditentukan dari tingkat virulensi dari masing-masing bakteri berdasarkan hasil uji patogenisitas. Bakteri Vibrio alginolyticus PNGK 1 memiliki aktivitas patogenisitasi tertinggi yang ditandai dengan munculnya gejala penyakit ice-ice pada hari pertama pengamatan. Beberapa hasil penelitian memperlihatkan bahwa bakteri Vibrio

memiliki tingkat patogenisitas tertinggi dengan kemunculan gejala penyakit ice-ice

kolaborasi dari berbagai komponen pendukung dengan melepaskan produk ekstraseluler berupa seluloase, karaginase, dan protease. Bakteri patogen yang menginfeksi rumput laut dengan mendegradasi komponen kimia berupa karaginan melalui hasil polimerisasi oleh enzim karaginase (Vairappan et al. 2006). Aktivitas bakteri patogen pada inang (thallus terserang penyakit ice-ice) ditunjukkan dari perubahan morfologi thallus rumput laut seperti perubahan warna thallus sampai terjadinya pemutihan. Keberhasilan proses infeksi penyakit ice-ice ditentukan oleh keberhasilan bakteri melakukan pelekatan pada tubuh inang (thallus). Proses pelekatan bakteri pada inang merupakan prasyarat yang akan menentukan keberhasilan bakteri patogen dalam melakukan kolonisasi dan mensekresikan faktor- faktor virulensinya (Bloemberg et al. 1993).

Menentukan identitas bakteri patogen dengan karakterisasi fisiologis dan biokimia serta pewarnaan gram sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan bakteri. Sementara karakterisasi molekuler melaui metode PCR (Polymorphysme Chain Reaction) merupakan salah satu metode yang sedang dikembangkan dalam diagnosis penyakit diorganisme akuakultur. Teknik PCR merupakan salah satu metode molekuler yang dominan digunakan dalam mendeteksi keberadaan bakteri patogen dengan memanfaatkan gen 16S-rRNA sebagai target. Bakteri Vibrio alginolyticus

PNGK 1 berhasil diidentifikasi berdasarkan analisis sekuen DNA. Salah satu faktor penting yang mempengaruhi kualitas deteksi molekuler berbasis PCR ialah pemilihan primer yang tepat (Rychlic 1995). Primer merupakan suatu molekul yang digunakan untuk mengawali proses polimerisasi untaian DNA dan polimerisasi hanya dapat dimulai jika tersedia molekul primer. Primer aSEFM-F dan aSEFM-R berhasil didesain untuk mendeteksi bakteri Vibrio alginolyticus PNGK 1 penyebab penyakit

ice-ice pada thallus rumput laut yang dibudidayakan. Primer tersebut bereaksi secara optimum pada suhu 60oC dengan menghasilkan amplikon berukuran 201 pasang basa. Kedua primer tersebut juga mampu mendeteksi dengan spesifitas pada tingkat strain dan sensitivitas yang tinggi (0,21 ng/µl dan 2,3 x 103 sel/ml dalam waktu singkat/cepat (6 jam). Pemanfaatan gen 16S-rRNA sangat potensial sebagai penanda molekuler untuk mendeteksi keberadaan bakteri patogen secara spesifik di perairan,

seperti Vibrio harveyi sebagai penyebab Vibriosis pada budidaya udang windu

Penaeus monodon fabr. (Fukui and Sawabe 2007).

Perkembangan metode deteksi penyakit dalam sistem akuakultur mengarah kepada pengembangan metode deteksi molekuler secara langsung tanpa diawali dengan isolasi (Owens and Busico-Salcedo 2006). Metode deteksi tersebut selain dapat digunakan secara langsung terhadap organisme dalam budidaya juga dapat digunakan sebagai pengujian rutin terhadap lingkungan budidaya (Thompson et al.

2004). Selain spesifisitas dan sensitifisitas protokol deteksi penyakit dalam akuakultur sangat dibutuhkan, kecepatan deteksi penyakit sangat dituntut guna menentukan langkah preventif dan pencarian solusi cepat dalam menanggulangi keberadaan penyakit dalam usaha akuakultur.

Dokumen terkait