• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ulat sutera liar A. atlas merupakan serangga yang bersifat polypagus dan

polyvoltin sehingga memiliki potensi untuk dibudidayakan. Budidaya A. atlas di dalam ruangan membutuhkan manajemen baik untuk proses perkawinan maupun pemberian pakan. Proses budidaya A. atlas saat ini dalam perjalanannya masih menghadapi kendala diantaranya adalah keluarnya imago jantan tidak bersamaan dengan imago betina. Umur imago jantan lebih pendek dari umur betina dan jumlah jantan lebih sedikit dari betina. Oleh karena itu seringkali telur tidak dibuahi sehingga telur menjadi steril. Di alam ngengat A. attacus akan melakukan perkawinan selama 24 jam bahkan lebih apabila tidak diusik. Lamanya waktu perkawinan tersebut menyebabkan hanya sedikit betina yang dapat kawin. Telur yang dihasilkan oleh betina yang tidak kawin tidak dapat menetas. Oleh karena itu perlu penerapan manajemen perkawinan agar dapat mengefisiensikan imago jantan.

Hasil penelitian tahap pertama (manajemen perkawinan) menunjukkan bahwa lama perkawinan yang berbeda (3, 6 , 12 dan 24 jam) berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap jumlah telur dan daya tetas telur, namun lama perkawinan tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap waktu peletakan telur, waktu tetas telur dan bobot telur. Lama perkawinan mempengaruhi rata-rata jumlah telur per induk. Semakin lama ngengat kawin maka jumlah telurnya juga meningkat. Tabel 1. rata- rata telur hasil perkawinan 3, 6, 12 dan 24 jam meningkat seiring lama waktu perkawinan. Jumlah telur terbanyak dihasilkan ngengat yang dikawinkan selama 24 jam yaitu sebanyak 288.40 +77.63 butir dan jumlah telur paling sedikit dihasilkan saat ngengat dikawinkan selama 3 jam yaitu sebanyak 155.60 + 48.75 butir. Jumlah telur dari hasil perkawinan 6, 12 dan 24 jam tidak berbeda nyata. Banyaknya jumlah telur yang dihasilkan ngengat dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik, seperti hormonal, lingkungan (pakan), fisik, maternal effect dan tingkah laku (Sing et al 2003).

Daya tetas telur juga dipengaruhi oleh lama perkawinan. Daya tetas tertinggi yaitu sebesar 96.41 + 2.08% terjadi saat ngengat dikawinkan selama 24 jam. Persentase daya tetas telur dengan waktu perkawinan 6, 12 dan 24 jam tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan waktu perkawinan 3 jam. Hal ini dikarenakan lama waktu perkawinan menentukan banyaknya proses ejakulasi atau transfer sperma yang terjadi saat perkawinan. Banyaknya sperma yang diejakulasi akan meningkatkan peluang telur dibuahi dan akhirnya menetas, sehingga lama perkawinan berpengaruh terhadap persentase daya tetas telur. Ejakulasi terjadi 30 menit setelah perkawinan, ejakulasi kedua terjadi setelah 1-1,5 jam kemudian. Ejakulasi yang optimal terjadi pada empat jam pertama perkawinan yaitu ejakulasi I,II dan III. Proses penetasan juga dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tempat penyimpanan telur, hormon eksdison dan juvenil (Triplehorn dan Johnson 2005).

Waktu peletakan telur (oviposisi) tidak dipengaruhi oleh lama perkawinan tetapi lebih dipengaruhi oleh hormon yang bekerja saat pelepasan telur dan kondisi lingkungan pemeliharaan. Waktu peletakan telur untuk semua lama waktu perkawinan lebih seragam. Waktu penetasan telur juga tidak dipengaruhi oleh lama perkawinan ngengat. Waktu penetasan telur lebih dipengaruhi oleh suhu

lingkungan saat inkubasi berlangsung, hormon eksdison dan juvenil. Bobot telur juga tidak dipengaruhi oleh lama perkawinan yang berbeda. Bobot telur yang dihasilkan ngengat lebih dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas pakan.

Selain manajemen perkawinan, dalam budidaya A. atlas juga diperlukan manajemen pakan. Perkembangan setiap instar sangat dipengaruhi oleh kualitas pakan. Kualitas pakan yang baik yaitu pakan dalam kondisi segar. Daun jambu biji dan daun kenari merupakan dua pakan alternatif yang ternyata disukai larva A. atlas. Instar I dan II merupakan awal instar dimana larva yang baru menetas akan langsung mencari makanan dan biasanya larva kecil akan memakan kerabangnya. Oleh karena itu ada baiknya larva langsung diberi pakan sesaat setelah menetas.

Larva instar I dan II lebih banyak mengkonsumsi dan menyukai daun kenari daripada daun jambu biji. Larva instar I dan II yang diberi daun kenari dengan pemberian empat kali sehari menghasilkan konsumsi pakan segar tertinggi. Larva instar III dan IV yang diberi daun jambu biji memiliki konsumsi pakan yang lebih besar jika dibandingkan dengan larva yang diberi daun kenari. Konsumsi pakan pada larva dengan frekuensi pemberian pakan empat kali sehari lebih besar jika dibandingkan dengan frekuensi pemberian pakan tiga kali sehari. Hasil uji proksimat kadar air dari daun kenari muda yang diberikan lebih tinggi (81.26%) dibandingkan kadar air daun jambu biji muda (74.29%). Selain kandungan nutrien lain, air merupakan kandungan yang penting karena larva tidak minum sehingga kebutuhan akan cairan hanya dapat dipenuhi dari pakan segar. Serat kasar yang terkandung dalam daun kenari lebih rendah (2.67%) dari daun jambu biji (4.10%), sehingga saat instar awal larva yang makan daun kenari lebih cepat berkembang.

Larva yang mengkonsumsi daun jambu biji di awal instar kurang terpenuhi kebutuhan airnya sehingga pada grafik mortalitas (Gambar 8) terlihat banyak instar I yang mati. Sebaliknya saat instar III dan instar IV daun jambu biji lebih banyak dikonsumsi hal ini dikarenakan pada tahap ini instar lebih membutuhkan banyak nutrien lain selain air, yaitu protein dan serat kasar. Oleh karena itu konsumsi pakan saat instar III dan IV larva lebih banyak makan daun jambu biji daripada daun kenari. Sesuai hasil uji proksimat instar III dan IV diberi pakan daun jambu biji dan daun kenari sedang, dimana kandungan protein jambu lebih banyak (4.34%) daripada daun kenari (3.51%). Selain itu serat kasar jambu juga lebih tinggi (6.14%) dibandingkan daun kenari (5.19%).

Selain konsumsi pakan, kandungan yang terdapat pada daun jambu biji dan daun kenari juga mempengaruhi kecernaan pakan dan pakan yang tercerna. Daun yang memiliki kualitas baik dan sesuai dengan kebutuhan tahapan instar tentunya akan menentukan kecernaan dan pakan tercerna. Hasil penelitian juga menemukan hal yang sama terjadi pada pertambahan bobot dan diameter badan. Banyaknya konsumsi pakan, tingginya kecernaan dan besarnya jumlah pakan yang tercerna secara nyata akan terlihat dari pertambahan bobot dan diameter badan larva. Kebutuhan nutrien yang terpenuhi oleh pakan akan mempercepat pergantian kulit. Sebaliknya kualitas pakan yang buruk dan kondisi lingkungan yang tidak sesuai akan memperlama molting dan lama stadia larva. Larva instar I yang mengkonsumsi daun kenari memiliki kisaran waktu yang lebih singkat dibandingkan larva yang memakan daun jambu biji.

Selama pemeliharan larva terjadi perubahan suhu dan kelembaban yang fluktuatif baik pada waktu pagi, siang maupun sore. Suhu rata-rata ruangan

32

pemeliharaan cukup tinggi yaitu 27,44 ± 0.38 oC di pagi hari, siang hari 28,21 ± 0.45 oC dan sore hari 27.52 ± 52 oC. Kelembaban pagi, siang dan sore hari yaitu 83.93 ± 3.37%, 75.33 ± 6.57% dan 82.42± 5.14%. Kondisi lingkungan yang tidak menentu sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan tingkah laku makan larva. Pada dasarnya setiap instar membutuhkan kondisi lingkungan yang berbeda – beda. Larva awal yaitu instar I dan II membutuhkan kelembaban sekitar 80- 95%, sedangkan untuk instar III, IV dan V, 70%. Apabila kelembaban dan temperatur berubah secara ekstrim maka hal ini dapat menyebabkan kesehatan larva memburuk. Kelembaban yang tinggi sebenarnya dapat menjaga kesegaran pakan namun jika terlalu tinggi maka akan meningkatkan pertumbuhan mikroba patogen penyebab penyakit. Hal yang sama juga terjadi apabila temperatur terlalu tinggi maka larva akan mengurangi aktivitas makan dan kualitas daun menurun karena layu (Veda et al 1997; Awan 2007). Kualitas pakan yang menurun akan mengurangi aktivitas makan larva sehingga daya tahan tubuh menurun. Daya tahan tubuh yang menurun memungkinkan larva terkena penyakit dan menyebabkan kematian.

Dokumen terkait