• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lecanicillium lecanii (=Verticillium lecanii) (Zimm.) (Viegas) Zare & Gams merupakan salah satu cendawan entomopatogen yang bersifat kosmopolit sehingga mudah ditemukan di berbagai tempat, baik di daerah tropik maupun subtropik. L. lecanii mempunyai kisaran inang yang cukup luas sehingga cendawan tersebut memiliki keragaman intraspesies yang cukup besar di lapangan (Sugimoto et al.

2003a; Koike et al. 2007; Leal et al. 2008). Menurut Kope et al. (2006) dan Kouvelis

et al. (2008) keragaman isolat yang tinggi pada L. lecanii mengakibatkan perbedaan tingkat virulensi cendawan. Hasil penelitian Mor et al. (1996) menunjukkan bahwa dari 35 isolat V. lecanii yang diuji memiliki virulensi yang bervariasi mulai dari 0- 83%. Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Meade dan Byrne (1991) dan Gindin et al. (2000) bahwa isolat yang diperoleh dari sumber inang yang sama tetapi berbeda lokasi maupun isolat yang diperoleh dari lokasi yang sama tetapi inang yang berbeda mengakibatkan perbedaan tingkat virulensi. Oleh karena itu, eksplorasi dari berbagai macam inang maupun lokasi yang berbeda merupakan langkah awal yang dapat ditempuh untuk mendapatkan sumber inokulum yang lebih potensial (Milner et al. 1998; Hatting et al. 1999; Butt & Goettel 2000; Vega et al. 2000; Jung et al.

2006).

Indonesia merupakan daerah agraris yang memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi sehingga peluang untuk memperoleh isolat L. lecanii yang lebih potensial sangat besar. Hal ini tampak dari hasil eksplorasi di empat sentra produksi kedelai di Indonesia mengindikasikan adanya kelimpahan agens hayati tersebut di lapangan. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa L. lecanii dapat diperoleh dari berbagai sumber, baik dari dalam tanah, pengumpanan, maupun cadaver. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan untuk memperoleh isolat dari sumber lain. Hal ini disebabkan Kouvelis et al. (1999) dapat mengisolasi L. lecanii dari cadaver

kutu tempurung Coccus viridis (Homoptera: Coccidae) pada tanaman kopi dan

(1996) dan Gan et al. (2007) juga berhasil mengisolasi L. lecanii yang berasal dari telur nematoda Heterodera glycines dan Meloidogyne incognita. Bahkan Spencer dan Atkey (1981) maupun Allen (1982) memperoleh isolat V. lecanii yang sedang memarasit penyakit karat.

Hasil uji virulensi mengindikasikan bahwa virulensi L. lecanii yang diperoleh dari cadaver Riptortus linearis lebih rendah dibandingkan dengan isolat yang berasal dari cadaver Spodoptera litura. Fakta ini menginformasikan bahwa virulensi L. lecanii dipengaruhi oleh keragaman intraspesies yang cukup tinggi di lapangan dan cendawan tersebut tidak bersifat spesifik inang. Oleh karena itu, terbuka peluang yang besar untuk mendapatkan isolat L. lecanii dengan cara eksplorasi dari sumber inang yang berbeda. Hasil penelitian Trizelia (2005) menunjukkan bahwa isolat

Beauveria bassiana (Deuteromycotina: Hyphomycetes) yang diperoleh dari sumber inang yang sama dengan serangga uji juga tidak memiliki virulensi lebih tinggi jika dibandingkan dengan isolat yang diperoleh dari inang yang berbeda. Meskipun beberapa peneliti sebelumnya mengindikasikan bahwa isolat yang diperoleh dari sumber inang yang sama dengan serangga uji memiliki virulensi lebih tinggi jika dibandingkan dengan isolat yang diperoleh dari inang yang berbeda (Jackson et al.

1989; Poprawski & Jones 2000).

Menurut Fatiha et al. (2007) dan Aiuchi et al. (2008a & 2008b), isolat L. lecanii yang lebih virulen memiliki karakter fisiologi yang berbeda dengan isolat yang kurang virulen. Tingkat pertumbuhan isolat yang lebih virulen lebih cepat, produksi konidia yang dihasilkan lebih banyak, daya kecambah lebih tinggi dalam waktu yang lebih singkat, dan kemampuan membunuh inang lebih besar dibandingkan isolat yang kurang virulen (Devi et al. 2003). Altre et al. (1999) melaporkan bahwa virulensi cendawan entomopatogen berkaitan erat dengan ukuran konidia, kecepatan perkecambahan konidia, dan produksi enzim yang berfungsi sebagai pendegradasi kutikula inang. Beberapa karakter fisiologi yang disebut di atas memiliki peran yang cukup besar bagi cendawan entomopatogen sebagai agens hayati, baik pada kondisi di laboratorium untuk perbanyakan masal maupun pertumbuhan cendawan di lapangan. Perbanyakan di laboratorium, cendawan akan

tumbuh lebih cepat untuk menguasai seluruh permukaan media sehingga peluang mikrob sebagai kontaminan dapat tumbuh sangat kecil. Sedangkan di lapangan, isolat yang tumbuh lebih cepat mengakibatkan kolonisasai dan transmisi patogen berlangsung lebih optimal sehingga diduga peledakan hama mungkin sulit terjadi (Kaakeh et al. 1996; Authurs & Thomas 1999; Wagner & Lewis 2000).

Efikasi cendawan entomopatogen di lapangan juga dipengaruhi oleh kerapatan konidia cendawan yang diaplikasikan (Ashouri et al. 2004; Wang et al.

2004). Semakin tinggi kerapatan konidia L. lecanii yang diaplikasikan semakin efektif pengendalian yang diperoleh. Pengendalian telur R. linearis juga mengindikasikan hasil yang serupa, pada kerapatan konidia L. lecanii 105/ml hanya mampu menekan perkembangan telur sebesar 9%, sedangkan aplikasi dengan kerapatan konidia 108/ml mampu menekan jumlah telur yang tidak menetas hingga mencapai 91%. Oleh karena itu, kerapatan konidia memegang peranan sangat penting dalam usaha pengendalian hama menggunakan agens hayati L. lecanii.

Selain faktor kerapatan konidia, efikasi cendawan entomopatogen masih dapat ditingkatkan lagi dengan cara memperbaiki formulasi cendawan, hal ini disebabkan oleh daya persistensi cendawan yang rendah akibat faktor lingkungan (Wraight et al.

2001). Menurut Inglis et al. (1995a & 2000) dan Katatny (2003) bentuk formulasi konidia sangat mempengaruhi daya persistensi konidia di lapangan. Selain itu metode aplikasi juga mampu meningkatkan efikasi cendawan di lapangan (Krueger et al.

1992; Devi 1995). Namun, metode aplikasi cendawan entomopatogen di lapangan berkaitan dengan perilaku serangga hama yang akan dikendalikan. Pengendalian R. linearis pada stadia telur dapat diaplikasikan pada permukaan daun atau organ tanaman lainnya. Hal ini disebabkan imago R. linearis meletakkan telurnya di bagian organ tanaman terutama daun. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan telur yang diletakkan imago akan jatuh ke permukaan tanah akibat faktor angin maupun hujan. Aplikasi L. lecanii di permukaan tanah juga memungkinkan meskipun belum dapat dianjurkan. Hal ini disebabkan cendawan tersebut merupakan organisme penghuni tanah yang mampu bertahan pada bahan-bahan organik maupun serasah tanaman (Nielsen et al. 1998; Asensio et al. 2003). Oleh karena itu, kajian berbagai

metode aplikasi L. lecanii untuk menekan perkembangan telur R. linearis di lapangan masih sangat diperlukan.

Jenis serangga yang akan dikendalikan juga mempengaruhi terhadap tingkat keberhasilan pengendalian, terutama stadia perkembangan serangga. Hal ini disebabkan setiap perkembangan serangga memiliki kerentanan yang berbeda (Glare 1994; Gindin et al. 2000; Shinya et al. 2008a & 2008b). Pada umumnya stadia awal merupakan umur yang cukup rentan terhadap aplikasi cendawan. Penelitian Kulkarni

et al. (2003) dan del-Prado (2008) menunjukkan hasil yang berbeda, pada stadia dewasa lebih rentan terhadap infeksi cendawan dibandingkan stadia muda. Menurut Gindin et al. (2006) stadia larva kumbang sagu Rhynchophorus ferrugineus

(Coleoptera: Curculionidae) lebih toleran terhadap aplikasi Metarhizium anisopliae

dan B. bassiana (Deuteromycotina: Hyphomycetes) dibandingkan dengan stadia telur maupun imago. Penelitian Prayogo (2004) mengindikasikan bahwa efikasi V. lecanii terhadap R. linearis lebih tinggi jika diaplikasikan pada stadia nimfa II maupun imago dengan tingkat mortalitas mencapai 82%. Akan tetapi pada stadia tersebut mobilitas serangga sangat aktif sehingga pada waktu aplikasi di lapangan efikasi cendawan menjadi rendah. Oleh karena itu, pengendalian R. linearis pada stadia telur menggunakan cendawan L. lecanii mempunyai peluang yang sangat besar tingkat keberhasilannya dalam menekan perkembangan populasi hama di lapangan.

Stadia telur R. linearis berlangsung tujuh hari setelah diletakkan imago kemudian menetas membentuk nimfa I. Hasil uji kerentanan berbagai umur telur terhadap infeksi L. lecanii menunjukkan bahwa telur yang baru diletakkan imago (<1- 1 hari) sangat rentan dibandingkan dengan telur yang berumur empat sampai dengan enam hari. Sehubungan dengan hal tersebut, aplikasi L. lecanii sebaiknya dilakukan pada telur yang baru diletakkan imago yang umumnya di lapangan terjadi pada umur tanaman 35 hari setelah tanam (HST). Keadaan tersebut didukung oleh hasil monitoring yang dilakukan Tengkano et al. (1992), peletakan telur R. linearis

pertama kali di pertanaman kedelai varietas Wilis terjadi pada waktu menjelang berbunga, yaitu umur 35 HST.

Menurut Tengkano et al. (1992) waktu peletakan telur R. linearis dimulai pada siang hari di atas pukul 13.00 WIB sampai dengan tengah malam. Telur-telur yang baru diletakkan oleh imago tersebut apabila pada sore harinya langsung diaplikasi dengan suspensi cendawan maka peluang telur yang dapat terinfeksi cendawan sangat besar. Suhu mikrolimat di sekitar tanaman pada waktu sore hari sudah mulai rendah dan perubahan waktu ke malam hari membuat kelembaban meningkat sehingga memicu perkecambahan konidia. Periode waktu kecambah konidia berlangsung selama 12 jam (hasil uji karakterisasi fisiologi) sehingga pada pagi hari telur-telur yang diaplikasi sudah terinfeksi cendawan L. lecanii. Dengan demikian, eksistensi cendawan yang diaplikasikan dapat terhindar dari deraan sinar matahari. Oleh karena itu, aplikasi cendawan entomopatogen dianjurkan pada sore hari dan tindakan tersebut merupakan salah satu usaha untuk mempertahankan efikasi cendawan entomopatogen (Wang et al. 2004). Waktu aplikasi perlu mendapat perhatian khusus karena sebagian besar agens hayati kurang toleran terhadap suhu tinggi. Keadaan tersebut terjadi pada semua isolat L. lecanii yang diuji tidak toleran pada suhu di atas 32 oC.

Lingkungan merupakan salah satu faktor yang memberi kontribusi cukup penting bagi terjadinya infeksi pada inang oleh patogen (Hajek & St-Leger 1994; Hong et al. 1997; Ferron 1997). Suhu dan kelembaban merupakan syarat utama yang diperlukan untuk perkecambahan V. lecanii (Hsiao et al. 1992; Kope et al. 2007). Oleh karena itu, jika aplikasi dilakukan di daerah kering dianjurkan memakai bahan pelindung agar kinerja agens hayati tersebut stabil (Hedgecock et al. 1995; Inyang et al. 2000; Sabbour & El-Aziz 2002; Williams et al. 2000). Pemakaian bahan pelindung juga mampu mempertahankan persistensi cendawan dari pengaruh air hujan, angin, bahkan sinar UV (Inglish et al. 1995b; McCoy et al. 2004).

Menurut Batta (2003) bahan pelindung yang baik untuk mempertahankan keefektifan V. lecanii di lapangan adalah minyak nabati terutama yang berasal dari jenis kacang-kacangan. Hasil uji penambahan minyak nabati menunjukkan semakin tinggi konsentrasi minyak semakin lama persistensi L. lecanii. Konsentrasi tertinggi 10 ml/l mampu meningkatkan persistensi konidia pada tanaman kedelai hingga 7 hari

setelah aplikasi (HSA) sehingga frekuensi aplikasi cendawan berikutnya dapat dilakukan pada umur 42 HST jika aplikasi pertama kali dilakukan pada umur 35 HST. Penentuan frekuensi aplikasi sangat diperlukan untuk menghindari aplikasi yang berlebihan sehingga pengendalian menjadi kurang efisien, meskipun pengendalian menggunakan agens hayati relatif lebih murah dan tidak berdampak negatif terhadap lingkungan (Saik et al. 1990; Vinson 1990; Goettel & Johnson 1992).

Faktor lain yang dapat mempengaruhi kinerja agens hayati ini adalah sistem budidaya yang diterapkan termasuk penggunaan pestisida kimia, baik insektisida maupun fungisida yang digunakan untuk mengendalikan hama dan penyakit. Fungisida akan menghambat perkecambahan konidia sehingga secara langsung mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan cendawan entomopatogen (Gopalkrishnan & Mohan 2000; Filho et al. 2001; Rachappa et al. 2007; Kouassi et al. 2008). Tkaczuk et al. (2004) juga melaporkan bahwa beberapa jenis insektisida yang berbahan aktif amitraz endosulfan, fosalone, dan pendimethalin sangat toksik terhadap cendawan Hirsutella nodulosa. Kecenderungan yang sama juga disebutkan bahwa insektisida yang berbahan aktif endosulfan, monokrotophos, dan deltametrin akan menghambat perkecambahan konidia cendawan B. bassiana, M. anisopliae, Nomuraea rileyi, dan Paecilomyces farinosus (Deuteromycotina: Hyphomycetes) (Filho et al. 2001). de-Oliveira et al. (2003) menyatakan bahwa B. bassiana

kompatibel dengan beberapa jenis insektisida kimia yang diaplikasikan untuk mengendalikan hama bubuk buah kopi. Informasi jenis mikroorganisme dan senyawa pestisida kimia yang mempengaruhi kinerja L. lecanii sebagai bioinsektisida di Indonesia belum pernah dilaporkan. Oleh karena itu, waktu aplikasi pestisida perlu mendapat perhatian khusus agar residu yang ditinggalkan tidak berdampak buruk terhadap kinerja agens hayati ini.

Prospek dan Potensi Pemanfaatan L. Lecanii

Cendawan L. lecanii mempunyai keragaman intraspesies yang cukup tinggi dan bersifat kosmopolit sehingga keberadaannya dapat dijumpai hampir di seluruh sentra produksi kedelai di Indonesia. Kenyataan ini terbukti dari hasil eksplorasi yang diperoleh sebanyak 37 isolat dari bangkai serangga maupun isolasi dari dalam tanah di pertanaman kedelai di provinsi Lampung, Sumatera Selatan, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat. Keberadaan L. lecanii di berbagai lokasi pertanaman kedelai mengindikasikan bahwa cendawan tersebut dalam keadaan berlimpah. Akan tetapi eksistensi cendawan belum berkerja secara optimal di lapangan meskipun keberadaan inang (R. linearis) juga berlimpah. Hal ini diduga karena tindakan agronomis yang dilakukan oleh petani dapat menggangu unjuk kerja agens hayati ini. Salah satu tindakan agronomis yang dapat mengganggu kinerja cendawan entomopatogen adalah penggunaan pestisida kimia (Quintela & McCoy 1998; Delgado et al. 1999). Oleh karena itu, cara untuk meningkatkan kinerja agens hayati tersebut dapat dilakukan dengan menekan penggunaan insektisida kimia atau dikenal dalam pengendalian hayati sebagai konservasi.

Keberadaan isolat L. lecanii yang berlimpah di lapangan memberi peluang yang besar untuk dapat dieksplorasi guna memperoleh isolat yang memiliki karakter lebih virulen. Isolat yang sudah diperoleh mempunyai peluang yang besar untuk diperbanyak di laboratorium untuk mendapatkan inokulum dalam jumlah yang besar. Hal ini disebabkan cendawan entomopatogen umumnya mudah diperbanyak pada media sederhana yang murah dan mudah didapat sehingga dapat dilakukan oleh setiap pengguna (Miller 1995; Dorta & Arcas 1998). Oleh karena agens hayati tersebut lebih murah maka dapat diaplikasikan beberapa kali dalam jumlah yang berlimpah agar mampu menekan perkembangan populasi hama seperti aksi pestisida kimia sehingga pengendalian lebih optimal dan peledakan hama dapat ditekan.

Pengendalian R. linearis melalui penekanan pada stadia telur lebih mudah dilakukan karena keberadaan telur di lahan pertanaman kedelai dapat diketahui dengan mudah. Hasil monitoring yang dilakukan Tengkano et al. (1992)

menunjukkan bahwa pertama kali imago R. linearis datang di pertanaman kedelai pada tanaman menjelang berbunga atau kurang lebih umur 35 HST. Pada umur tersebut imago sedang meletakkan telurnya pada organ tanaman, yaitu daun atau organ lainnya. Hasil uji kerentanan menunjukkan bahwa telur yang baru diletakkan imago (<1-1 hari) merupakan umur yang sangat rentan terhadap infeksi L. lecanii.

Oleh karena itu, waktu tersebut merupakan saat yang paling tepat aplikasi L. lecanii

di lahan kedelai agar perkembangan populasi serangga lebih lanjut akan tertekan sehingga tidak terjadi peledakan populasi. Peluang tersebut kemungkinan besar dapat terjadi karena L. lecanii memiliki kemampuan menginfeksi semua stadia R. linearis,

yaitu telur, nimfa maupun imago. Dengan demikian, telur yang masih mampu berkembang menjadi nimfa dan masih bertahan di lahan akhirnya juga akan terinfeksi oleh cendawan.

L. lecanii juga berpotensi tinggi untuk diaplikasikan bersama-sama dengan agens hayati lainnya. Hal ini disebabkan karena L. lecanii kompatibel dengan sebagian predator maupun parasitoid (Koike et al. 2005; Kim et al. 2005). Pada penelitian ini tidak dilakukan pengujian dampak aplikasi L. lecanii atau uji kompatibilitas L. lecanii dengan agens hayati yang lain, khususnya predator yang umumnya juga sangat potensial dalam menekan populasi hama kedelai (Powprawski

et al. 1998; Taulu 2001; Tengkano & Bedjo 2002). Namun demikian, hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa aplikasi V. lecanii tidak mempengaruhi eksistensi kinerja predator penghuni tajuk kedelai Oxyopes javanus Thorell (Prayogo 2004). Hal ini ditandai dengan mortalitas predator hanya sekitar 2% atau setara dengan kontrol (aplikasi air) hingga pengamatan sampai dengan 30 hari setelah aplikasi. Koike et al.

(2005) juga melaporkan bahwa V. lecanii dapat diaplikasikan bersama-sama dengan predator Phytoseiulus persimilis (Acarina: Phytoseiidae) untuk mengendalikan hama tungau (Tetranichus urticae) (Acarina: Tetranychidae). Lebih lanjut dilaporkan Koike et al. (2005) bahwa dampak aplikasi V. lecanii terhadap kematian predator hanya di bawah 5%.

Wang et al. (2005) melaporkan bahwa V. lecanii dapat diaplikasikan dengan imago predator Delphastus catalinae (Coleoptera: Coccinellidae) yang biasa

memangsa kutu kebul T. vaporariorum. Namun tidak dianjurkan aplikasi bersama- sama dengan predator tersebut pada stadia larvanya karena sangat rentan terhadap infeksi V. lecanii. Hasil penelitian Kim et al. (2005) menunjukkan bahwa dampak aplikasi V. lecanii hanya menyebabkan kematian parasitoid Aphidius colemani

(Hymenoptera: Braconidae) sekitar 2%. Dilihat dari kompatibilitas L. lecanii dengan beberapa jenis agens hayati lainnya maka L. lecanii berpeluang besar untuk dapat dipadukan dengan agens hayati lainnya dalam konsep pengelolaan hama terpadu (PHT) tanaman kedelai.

Implikasi untuk PHT Kedelai

Salah satu pendekatan dalam konsep pengendalian hayati adalah augmentasi yang dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu inokulasi dan inundasi. Inokulasi yaitu pelepasan agens hayati dalam jumlah sedikit dengan harapan dapat berkembang banyak untuk menekan populasi hama dalam kurun waktu yang lama. Sedangkan inundasi adalah pelepasan agens hayati dalam jumlah yang berlimpah dengan harapan dapat menekan populasi hama hingga di bawah ambang ekonomi dalam waktu yang singkat. Tanaman kedelai merupakan tanaman semusim yang setiap tiga bulan sudah dipanen kemudian diganti dengan jenis tanaman yang lain atau tanaman serupa. Sehubungan dengan keadaan tersebut maka cara inokulasi kurang sesuai dan hasilnya tidak akan memuaskan karena proses kolonisasi agens hayati tersebut akan berjalan lambat. Sementara itu, perkembangan populasi R. linearis sangat cepat sehingga perlakuan cendawan kurang mampu menekan struktur populasi di lapangan. Oleh karena itu, pada kondisi demikian yang lebih sesuai dan adaptif adalah cara inundasi.

Kegiatan inundasi dilakukan dengan tujuan untuk menekan populasi hama dalam waktu yang singkat agar populasi hama hanya berada di bawah posisi ambang ekonomi. Inundasi dapat dilakukan berulangkali untuk menekan populasi hama dengan cepat karena struktur populasi hama yang ada di lapangan dalam keadaan tumpang tindih. Kegiatan tersebut sangat memungkinkan karena cendawan

entomopatogen lebih murah, mudah diperbanyak, dan tidak mengakibatkan efek negatif terhadap lingkungan (Cook et al. 1996; Goettel et al. 2001).

Aplikasi L. lecanii dalam jumlah besar untuk menekan R. linearis dapat dilakukan secara preventif, yaitu sebelum hama datang dan mengkolonisasi tanaman kedelai. Tindakan ini dilakukan pada saat umur tanaman kurang lebih 35 HST. Aplikasi ini bertujuan untuk melindungi tanaman apabila terdapat imago yang datang meletakkan telurnya pada waktu menjelang berbunga. Pengendalian pada waktu tersebut diduga akan berhasil sangat memuaskan, hal ini disebabkan telur-telur yang baru diletakkan akan langsung terinfeksi cendawan. Hasil penelitian pada BAB IV menunjukkan bahwa aplikasi L. lecanii mampu menekan populasi telur yang menetas hanya di bawah 20%. Sementara itu, tidak semua nimfa yang terbentuk dapat

melangsungkan hidupnya menjadi serangga dewasa. Cendawan L. lecanii

mempunyai kelebihan yaitu mampu menginfeksi semua stadia R. linearis (Prayogo et al. 2004). Dengan demikian, imago yang datang dan sedang meletakkan telur juga berpeluang besar dapat terinfeksi L. lecanii. Oleh karena itu, perkembangan populasi hama di lapangan dapat tertekan sehingga peledakan hama diharapkan tidak akan terjadi.

Menurut Shah et al. (1998) peledakan hama sulit terjadi apabila persistensi cendawan yang diaplikasikan di lapangan mampu bertahan lama (Shah et al. 1998). Untuk meningkatkan persistensi V. lecanii di lapangan diperlukan bahan tambahan atau pelindung (Bateman et al. 1993; Inglis et al. 1995a; Boyette et al. 1996; Ibrahim

et al. 1999). Hasil uji penambahan minyak nabati dengan konsentrasi 10 ml/l mampu mempertahankan persistensi L. lecanii di pertanaman kedelai hingga tujuh hari setelah aplikasi. Jika aplikasi L. lecanii dilakukan pada umur kurang lebih 35 HST, maka konidia yang diaplikasikan masih bertahan di tanaman kedelai hingga umur 42 HST. Dalam rentang waktu tujuh hari, apabila ada telur yang baru diletakkan oleh imago diharapkan dapat diinfeksi oleh konidia yang masih bertahan di lapangan. Aplikasi berulang-ulang sebelum tujuh hari masih dianjurkan apabila masih diperlukan, meskipun Wraight dan Ramos (2002) mengindikasikan bahwa aplikasi B. bassiana secara inundatif yang dilakukan dalam selang waktu tujuh hari masih

dinilai cukup efektif untuk mengendalikan hama Leptinotarsa decemlineata Say. (Coleoptera: Chrysomelidae).

Pada umur 35 HST, apabila dilakukan aplikasi dengan L. lecanii dengan dosis yang tepat maka perkembangan populasi R. linearis dapat diatasi. Hal ini terbukti dari hasil penambahan minyak nabati dari kacang tanah mampu menekan populasi hama sehingga kerusakan polong yang terjadi sangat rendah dibandingkan minyak kedelai maupun minyak kelapa. Oleh karena itu, L. lecanii merupakan agens hayati yang sangat prospektif dan perlu diprioritaskan dalam pengendalian hama R. linearis untuk mengurangi ketergantungan terhadap pestisida kimia sehingga akan tercipta sistem pertanian yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Menurut Rauf (1999), pemanfaatan agens hayati harus dikedepankan dalam upaya pengendalian hama sebagai subtitusi pestisida kimia pada tanaman kedelai.

Dokumen terkait