• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian mengenai introgresi lokus Pup1 dan pengaruhnya ke dalam varietas unggul Indonesia (Situ Bagendit) belum banyak dilaporkan. Berdasarkan marka Kas19-C2 dan marka Kas30n-1 diketahui bahwa galur-galur BC2F2 hasil persilangan Situ Bagendit x Kasalath (turunan SK) dan Situ Bagendit x NIL-C433 (turunan SN) menunjukkan lokus Pup1 telah berada dalam kondisi homozigot ke tetua donor Pup1 (Prasetiyono et al. 2012), Sedangkan hasil analisis molekuler lanjut terhadap galur-galur BC2F6 turunan SK dan turunan SN dengan menggunakan tujuh marka spesifik untuk Pup1 menunjukkan bahwa ada 8 galur dari 46 galur yang lokus Pup1 tidak terintegrasi dengan sempurna. Galur-galur tersebut, yaitu SK5, SK6, SK7, SK8, SK9, SK10, SK19 dan SK20. Adanya beberapa galur turunan SK yang lokus Pup1 tidak terintegrasi dengan sempurna diduga galur hasil persilangan tersebut membawa lokus Pup1 tidak secara utuh, atau bagian ujung-ujungnya terpotong.

Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa penggunaan marka molekuler untuk kegiatan MAB (Marker Assisted Backcrossing) ini hanya dilakukan sampai generasi BC2F2, setelah itu dilakukan seleksi di lapang dan tidak dilakukan analisis molekuler. Setelah empat generasi berikutnya (BC2F6) dilakukan analisis molekuler lanjutan. Hasilnya menunjukkan masih ada variasi alel lokus Pup1, baik berasal dari alel tetua donor (Kasalath atau NIL-C443) ataupun dari tetua pemulih (Situ Bagendit). Peristiwa pindah silang dengan pola yang tidak beraturan barangkali telah menggantikan alel homozigot tetua donor pada generasi BC2F3 menjadi Situ Bagendit, atau kemungkinan juga bisa terjadi tercampurnya serbuk sari generasi BC2F3 dengan Situ Bagendit di lapangan, yang selanjutnya terjadi segregasi selama empat generasi. Namun demikian, kemungkinan tersebut peluangnya sangat kecil karena background genetik di luar lokus Pup1 dari individu yang mememiliki lokus Pup1 terpotong-potong sebagian besar telah kembali ke tetua situ Bagendit, dimana hal ini tidak mungkin terjadi pada kondisi persilangan sendiri dari generasi BC2F3 sampai BC2F6 .

Pada analisis background tanaman BC2F6, digunakan marka-marka SSR sebanyak mungkin untuk melihat komposisi genotipe yang dimiliki galur turunan SK ataupun galur turunan SN. Semakin banyak marka SSR polimorfik yang digunakan dalam seleksi background akan semakin besar peluang melihat background genetik yang dimiliki galur turunan SK dan turunan SN. Marka SSR yang digunakan untuk analisis background genetik BC2F6 dalam penelitian ini sebanyak 276 marka. Namun demikian, hasilnya menunjukkan bahwa hanya 130 (47%) marka polimorfik pada turunan SK dan 158 (57%) marka polimorfik pada turunan SN.

Pada generasi BC2F6 galur turunan SK rata-rata telah memiliki 90,6% genom Situ Bagendit, dengan 14 galur telah memiliki genom Situ Bagendit di atas 90%. Galur SK2 memiliki proporsi genom Situ Bagendit yang tertinggi (95,7%). Galur-galur turunan SN rata-rata telah memiliki 89,41% genom Situ Bagendit, dengan 10 galur telah memiliki genom Situ Bagendit diatas 90%. Galur SN2 memiliki proporsi genom Situ Bagendit yang tertinggi (93,6%).

Galur-galur turunan SK dan turunan SN masih mengandung segmen DNA dari tetua donor (Kasalath atau NIL-C433), walaupun telah diseleksi

54

menggunakan marka molekuler (marka foreground dan marka background). Hal ini menunjukkan seleksi menggunakan marka molekuler tidak bisa menghilangkan kontaminasi segmen DNA dari tetua donor pada daerah yang tidak diinginkan. Pengaruh linkage drag masih akan terjadi pada seluruh individu dari hasil persilangan. Oleh karena itu, kegiatan dalam analisis molekuler ini perlu dikombinaskan dengan uji lapang untuk menyeleksi tanaman dengan penampilan yang diinginkan dan menunjukkan ekspresi dari lokus Pup1. Namun demikian, proporsi pengembalian genom pemulih dalam penelitian ini menunjukkan tingkat pengembalian yang lebih tinggi, yang mencapai 95,7% (galur SK2) dan 93,6% (galur SN2). Collard et al. (2005) melaporkan bahwa proporsi pengembalian genom pemulih untuk persilangan pada generasi BC2 mencapai 82% bila menggunakan metode konvensional dan mencapai 87,5% bila menggunakan metode marka molekuler.

Kasalath dan NIL-C433 merupakan tetua sumber lokus Pup1 yang memiliki karakteristik yang berbeda. Kasalath sebagai asli sumber Pup1 yang merupakan padi lokal (landrace) yang berasal dari India. Kasalath dikelompokkan ke dalam padi Indica (sebagian ada yang memasukkan ke dalam sub spesies Aus). Padi ini termasuk padi lahan kering yang memiliki sifat toleran terhadap defisiensi P, tetapi peka terhadap cekaman Al. Kasalath mempunyai dua mekanisme dalam menghadapi kondisi defisiensi P, yaitu mekanisme eksternal dan mekanisme internal. NIL-C433 merupakan padi hasil persilangan silang balik antara Nipponbare (kelompok Japonica) dengan Kasalath, yang sebagian besar genomnya adalah padi Japonica. Situ Bagendit merupakan varietas ungul Indonesia yang dikenal sebagai padi gogo yang ditanam di lahan kering. Padi ini dikelompokkan ke dalam padi Indica. Padi ini digunakan sebagai varietas penerima (recipient) lokus Pup1. Persilangan Situ Bagendit x Kasalath, NIL- C433 dilakukan dengan metode silang balik (BC2) (Prasetiyono 2010).

Sifat Pup1 hanya membantu dalam perbanyakan permukaan akar dalam menangkap P dengan memperbanyak tumbuhnya akar-akar yang secara otomatis akan memiliki permukaan serapan yang lebih banyak dalam menangkap P. Akar yang lebih banyak akan memperluas permukaan penyerapan P. Pup1 sama sekali tidak mengeluarkan eksudat seperti asam organik yang dapat menangkap Al3+ atau Fe2+ dalam upaya mengurangi keracunan Al atau besi, walaupun Kasalath sendiri sebagai sumber Pup1 mengeluarkan asam organik dalam jumlah yang sangat kecil (Ma et al. 2002). Pada cekaman Al (45 ppm Al), genotipe Kasalath lebih sensitif dari genotipe NIL-C433 bahkan dari genotipe ITA131, baik pada kondisi kurang P maupun kondisi cukup P. Hasil ini sejalan dengan penelitian Ma et al. (2002), Prasetiyono (2010, 2012) yang menunjukkan bahwa Kasalath sebagai genotipe yang sensitif terhadap toksisitas Al. Cekaman Al yang tinggi dapat merusak sistem perakaran tanaman (Kochian et al., 2004) dan pertumbuhan akar semakin terhambat (Wang and Kao, 2004). Tingginya cekaman Al juga menyebabkan defisiensi unsur P.

Untuk mengatasi defisiensi P, tidak cukup hanya lokus Pup1 saja tetapi harus dibantu dengan gen-gen lain yang bisa melepaskan ikatan P dengan unsur lain, misalnya Al. Ikatan Al-P harus dilepas oleh gen toleransi keracunan Al (Alt), sehingga P yang telah terlepas bisa dengan mudah diserap oleh Pup1. Dengan tambahan gen yang toleran terhadap keracunan Al diharapkan lokus Pup1 dapat

55 bekerja dengan efektif sehingga penampilan tanaman turunan SK dan SN lebih baik dibanding tetua pemulih (Situ Bagendit) bahkan kontrol toleran Al.

Berdasarkan proporsi genom Situ Bagendit dan nilai ITC panjang akar (PA) terhadap defisiensi P di pengujian larutan hara Yoshida, diperoleh 6 galur turunan SK (SK3, SK4, SK13, SK17, SK18 dan SK21) pada kondisi tanpa cekaman Al, dan 8 galur turunan SN (SN1, SN2, SN7, SN9, SN13, SN14 dan SN15) pada kondisi cekaman Al yang lebih toleran terhadap defisiensi P dari tetua pemulih (Situ Bagendit).Enam galur terpilih dari galur turunan SK menunjukkan karakter agronomi seperti tetua donor (Kasalath), yaitu toleran terhadap defisiensi P dan peka terhadap cekaman Al. Begitu juga delapan galur terpilih dari galur turunan SN menunjukkan karakter agronomi seperti NIL-C433, yaitu menunjukkan kondisi yang lebih toleran terhadap defisiensi P pada kondisi cekaman Al. Dari kondisi ini, galur terpilih dari turunan SK lebih toleran terhadap defisiensi P pada kondisi tanpa adanya cekaman Al, sedangkan galur turunan SN lebih toleran terhadap defisiensi P pada kondisi adanya cekaman Al.

Penelitian padi gogo ditanah Ultisol di Indonesia tidak bisa terlepas dengan cekaman Al (kemasaman), defisiensi P dan kekeringan. ketiga kondisi ini merupakan cekaman yang cukup berat bagi tanaman. Varietas-varietas padi gogo yang populer di masyarakat pada saat ini pun cenderung toleran dengan satu atau dua jenis cekaman tertentu. Pada kenyataan dilapangan proses terjadinya cekaman tersebut terjadi secara bersamaan dan simultan. Pengembangan padi gogo ditanah Ultisol dihadapkan pada kendala tingkat kemasaman yang tinggi, keracunan aluminium, defisiensi unsur hara P dan kekeringan. Pengujian PEG 8000 dan DTA berguna untuk mendapatkan galur yang toleran terhadap kekeringan.

Galur-galur turunan SK dan turunan SN yang toleran terhadap larutan PEG 8000 (w/v) konsentrasi 20% menggambarkan bahwa galur-galur tersebut toleran terhadap kondisi kekurangan air (cekaman kekeringan). Berdasarkan nilai ITC panjang akar (PA) dan bobot kering kecambah (BKK) serta proporsi pengembalian genom Situ Bagendit diperoleh empat galur yang toleran terhadap larutan PEG 8000 (w/v) konsentrasi 20%. Galur-galur tersebut, yaitu SK1, SK2, SK21 dan SN7.

Galur-galur yang menunjukkan toleran terhadap kekeringan pada pengujian PEG 8000, belum sepenuhnya menggambarkan toleran terhadap kekeringan di lapang. Untuk itu, perlu dilakukan pengujian kekeringan yang menggambarkan seperti di lapang. Pengujian DTA disimulasi untuk menggambarkan tanaman mendapatkan cekaman kemasaman (keracunan Al), defisiensi P dan kekeringan secara simultan. Tanaman yang toleran pada pengujian DTA dalam tanah Ultisol menunjukan bahwa tanaman tersebut akan mempunyai kemampuan toleransi terhadap ketiga cekaman tersebut secara simultan. Tanah Ultisol dari Desa Kentrong menunjukkan bahwa tanah tersebut mengalami keracunan Al yang tinggi dan hara P yang rendah. Kondisi ini membuat unsur P terikat oleh Al.

Efek masuknya lokus Pup1 pada Situ Bagendit merangsang pembentukan akar yang tinggi. Heuer et al. (2009) melaporkan Pup1 berperan dalam pembentukan volume akar. Pembentukan akar yang responsif akan meningkatkan penyerapan air, P dan unsur-unsur lainnya. Peningkatan penyerapan air dan hara akan meningkatkan laju fotosisntesis (Dwijosaputro 1992). Oleh karena itu, pemilihan galur yang mempunyai kemampuan toleran terhadap kekeringan, cekaman Al (kemasaman) dan defisiensi P dalam penelitian ini dilakukan dengan

56

memilih panjang akar yang konsisten tinggi dalam beberapa pengujian. Berdasarkan proporsi pengembalian genom pemulih (Situ Bagendit), konsistensi nilai ITC panjang akar total (PATo) dan bobot kering tanaman (BKT) diperoleh beberapa galur yang mempunyai kemampuan tumbuh baik di tanah Ultisol, yaitu SK2, SN7 dan SN9, sedangkan di tanah latosol diperoleh galur SK1, SK13, SK17 dan SN7.

Pengujian larutan hara Yoshida pada 45 ppm Al dan tanah Ultisol menggambarkan adanya cekaman Al dan defisiensi P. Berdasarkan hasil uji larutan hara Yoshida, uji PEG 8000 dan DTA (Gambar 11) diperoleh galur-galur dengan nilai ITC panjang akar yang konsisten tinggi pada kondisi cekaman Al, defisiensi P dan kekeringan, yaitu galur SK3 dan SN7. Kedua galur ini berpotensi menjadi galur yang toleran untuk ditanam ditanah Ultisol.

Gambar 12. Pemilihan galur yang mempunyai kemampuan toleran terhadap kemasaman (cekaman Al), defisiensi P dan kekeringan. Galur dengan pengembalian proporsi genom Situ Bagendit sudah diatas 90% sebanyak 16 galur, uji larutan hara Yoshida sebanyak 14 galur, Uji PEG 8000 sebanyak 5 galur, dan Uji DTA sebanyak 7 galur.

Uji larutan hara Yoshida (Uji kemasaman dan defisiensi P)

Uji PEG 8000 (Uji kekeringan)

Uji DTA

(Uji kemasaman, kekeringan dan defisiensi P) SK13, SK17 SN9 SK1 SK2 SK3 SN7 SK21

57

Dokumen terkait