• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEBAGAI PELAPIS SOSIS PENDAHULUAN

METODOLOGI Kultur Bakter

7. PEMBAHASAN UMUM

Minyak atsiri telah lama diketahui dapat menghambat pertumbuhan bakteri, kapang dan kamir. Daya hambat minyak atsiri tergantung kepada sifat alami dan konsentrasi dari minyak atsiri yang digunakan, serta jenis mikroorganisme. Perbedaan daya hambat diantara jenis bakteri ini dapat diterangkan oleh perbedaan sifat hidrofobik dari dinding sel bakteri. Bakteri yang memiliki dinding sel yang bersifat hidrofobik, umumnya lebih sensitif terhadap minyak atsiri (Cox et al. 2000; Ultee et al. 2002; Carson et al. 2002; Trombetta

et al. 2005; Skocibusic et al. 2006; Oladunmoye et al. 2006).

Minyak atsiri temu kunci dalam penelitian ini juga memiliki daya hambat yang lebih besar terhadap bakteri Gram positif (L. monocytogenes dan B. cereus) yang memiliki dinding sel yang bersifat hidrofobik dibanding bakteri Gram negatif (E. coli K1.1 dan P. aeruginosa) (p<0.05). Hal ini disebabkan adanya perbedaan pada struktur dinding sel bakteri Gram positif dan negatif. Bakteri Gram positif mengandung 90% peptidoglikan yang banyak mengandung asam amino alanin, N-asetil glukosamin dan N-asetil asam muramat yang cenderung bersifat hidrofobik, sehingga memudahkan komponen minyak atsiri yang bersifat hidrofobik masuk ke dalam membran, mengubah permeabilitas membran, memudahkan komponen minyak atsiri yang bersifat hidrofilik masuk ke cairan sitoplasma dan berinteraksi dengan komponen penting sel seperti enzim, protein dan asam nukleat.

Hasil analisis GC-MS menunjukkan bahwa minyak atsiri temu kunci mengandung campuran komponen yang bersifat hidrofobik seperti kamfen, mirsen, osimen, alfa pinen, sabinen, terpinen, fernasen, dan trisiklin. Disamping itu minyak atsiri temu kunci juga memiliki komponen dengan gugus bersifat hidrofilik yaitu eukaliptol, linalool, borneol, terpineol, geraniol, metil sinamat, terpinolen, fenil metil propanoat, metil benzo propanoat, asam isobutirat, beta- hidroksi androsta, zerumbon, metil heksadekanoat, metil palmitat, asam heksadekanoat dan farnesol.

Tingginya aktivitas antibakteri minyak atsiri temu kunci merupakan kontribusi dari semua komponen yang terdapat di dalamnya. Komponen yang bersifat hidrofobik dapat berinteraksi dengan komponen dinding sel yang bersifat hidrofobik sehingga menyebabkan pembengkakan dinding sel (swelling) (Sikkema et al. 1995; Ultee et al. 2002,). Pembengkakan dinding sel menyebabkan terjadinya perubahan permeabilitas dinding sel, sehingga mempermudah masuknya komponen yang pada awalnya sulit menembus membran sel, seperti komponen yang memiliki gugus hidrofilik maupun yang polar. Komponen dengan gugus yang bersifat hidrofilik ini dapat mempengaruhi reaksi enzimatis pada membran sitoplasma, seperti transpor elektron pada sistem respirasi, transpor proton, maupun transpor nutrisi ke dalam sel yang akan menghambat regenerasi ATP dan pertumbuhan sel terhambat yang akhirnya menyebabkan kematian sel (Lambert et al. 2001; Ultee et al. 2002; Carson et al. 2002; Skocibusic et al. 2006; Gupta et al. 2008).

Perubahan permeabilitas membran sel, serta terganggunya komponen dinding sel akibat interaksi dengan komponen minyak atsiri, juga memungkinkan bocornya ion-ion K+ dan Ca+2 yang seharusnya berada di dalam membran sel. Ultee et al (1999) melaporkan bahwa terjadi efek sinergis dari komponen minyak

atsiri yang bersifat hidrofobik (simen) dan komponen minyak atsiri yang bersifat hidrofilik (karvakrol) terhadap B. cereus. Dilaporkan bahwa kedua senyawa tersebut bekerjasama dalam menghambat pertumbuhan bakteri. Simen selaku komponen hidrofobik berinteraksi dengan komponen hidrofobik membran sel, menumpuk di dalam membran dan menyebabkan terjadinya pengembangan membran sel. Seiring berubahnya permeabilitas membran, karvakrol dengan mudah dapat masuk ke dalam cairan sitoplasma dan menyebabkan bocornya ion- ion penting dari cairan sitoplasma. Dengan terganggunya ion-ion yang menstabilkan cairan sitoplasma, maka proses pembentukan ATP untuk kinerja sel akan terganggu, sehingga akan menyebabkan kematian sel.

Secara umum minyak atsiri temu kunci menyebabkan kebocoran material protein (absorbansi pada 280 nm) yang lebih besar dibanding material asam nukleat (absorbansi pada 260 nm). Hal ini menunjukkan bahwa membran luar dan membran sitoplasma sel bakteri yang banyak mengandung protein enzim dan protein penyusun dinding sel (porin) lebih banyak terganggu oleh minyak atsiri temu kunci dibanding bagian organel di dalam sel. Kebocoran ion Ca+2 juga umumnya lebih banyak terdeteksi dibanding ion K+ (p<0.05). Ion Ca+2 lebih banyak terdapat di dinding sel dan membran sitoplasma. Ion ini membantu ketegaran membran sel dengan cara berikatan kompleks dengan LPS dan peptidoglikan, sehingga komponen penyusun dinding sel bakteri tersebut lebih kompak. Ion K+ adalah ion yang terdapat pada cairan sitoplasma yang berperan dalam mempertahankan potensial membran (Nikaido 2003).

Fenomena kebocoran komponen dari sitoplasma sel, oleh minyak astiri juga dapat diasosiasikan akibat kerjasama komponen minyak atsiri temu kunci yang bersifat hidrofobik dan komponen minyak atsiri yang mempunyai gugus bersifat hidrofilik. Senyawa hidrofobik dapat mengubah permeabilitas membran sel, kemudian senyawa yang mempunyai gugus hidrofilik masuk ke sitoplasma, dan berinteraksi dengan ion, material asam nukleat, serta protein dan enzim dari sel bakteri. Dengan berubahnya permeabilitas sel, maka material isi sel yang telah terganggu tersebut dengan mudah dapat keluar dari sel, menyebabkan terjadinya kebocoran sel (Hada et al. 2004).

Perbedaan struktur, sifat dan komposisi kimia dinding dan membran sel bakteri menyebabkan perbedaan kerusakan oleh minyak astiri temu kunci terhadap bakteri uji. Perbedaan ini dapat diamati dengan melihat perubahan- perubahan bentuk sel dengan alat SEM. Pada L. monocytogenes dan B. cereus perubahan yang terlihat adalah terjadinya perubahan ukuran sel, permukaan sel secara signifikan menjadi kasar dan mengkerut dibanding sel kontrol. Pada dosis 2 MIC, sel berubah menjadi ghost cell. Data ini didukung oleh hasil penelitian Mangoni et al. (2004) yang membuktikan bahwa antibakteri peptida temporin L yang juga aktif terhadap membran menyebabkan sel menjadi kasar, mengkerut dan pada dosis tinggi menyebakan terjadinya ghost cell. Trombetta et al. (2005) yang melakukan penelitian dengan monoterpen (komponen minyak atsiri) melalui pengukuran karboksifluoresens LPS yang terlepas dari membran luar bakteri setelah diinkubasi dengan monoterpen membuktikan bahwa komponen minyak atsiri tersebut dapat masuk dan menyebabkan swelling pada membran luar bakteri. Minyak astri temu kunci dapat merusak dinding sel, merubah permeabilitas membran, dan menyebabkan kebocoran protein dan asam nukleat. Menurut Carson (2002) pada keadaan membran tidak dapat mempertahankan

permeabilitasnya akibat gangguan komponen minyak atsiri, maka akan terjadi kebocoran membran dan aliran sitoplasma keluar sel, bila cairan dan komponen sitoplasma yang keluar dalam jumlah besar, maka sel menjadi mengkerut dan akhirnya menyebabkan kematian sel.

Hasil pengamatan SEM terhadap E. coli K1.1 menunjukkan bahwa minyak atsiri temu kunci dapat merusak dinding sel, diikuti dengan terhambatnya proses pembentukan dan pemisahan septa. Septa dibutuhkan oleh sel untuk memperbanyak diri dengan cara pembelahan sel. Bila proses pembentukan dan pemisahan septa terganggu, maka proses pertumbuhan terhambat. Septa yang tidak normal akan mengganggu pembentukan sel baru. Umumnya peningkatan dosis minyak atsiri dari 1 MIC menjadi 2 MIC menyebabkan perubahan kerusakan sel yang lebih parah sehingga membentuk ghost sel. Sel ini tidak memiliki dinding sel yang sempurna, sehingga kelihatan transparan dan kosong. Hal ini disebabkan terganggunya enzim-enzim yang berperan dalam pembentukan dinding sel oleh komponen minyak atsiri temu kunci. Komponen minyak atsiri temu kunci dapat mengganggu dan berinteraksi dengan komponen yang bersifat hidrofobik dari protein enzim sehingga mengganggu aktivitas enzim tersebut (Werndakoo & Sakaguchi 1995).

Inkorporasi minyak atsiri ke dalam film edibel pati sagu dapat membuat film tersebut menjadi bersifat antibakteri. Dari ketiga pati sagu yang digunakan,

yaitu pasti sagu murni, pati sagu yang diradiasi sinar gamma dengan laju dosis 2 kGy/jam dan pati sagu yang diikat silang dengan POCl3, yang memiliki sifat

antibakteri paling baik adalah film edibel pati murni dan pati yang diradiasi (p<0.05). Hal ini disebabkan akibat reaksi dengan POCl3, 0.04%, garnula pati saling berikatan satu sama lainnya sehingga membentuk pori-pori yang lebih luas pada film. Dengan banyaknya pori-pori kecil terbentuk, minyak atsiri temu kunci yang diinkorporasikan kedalam film edibel mudah keluar, dan menempel di cetakan film. Film edibel yang dibuat dari pati sagu ikatan silang oleh POCl3, 0.04%, tidak dapat memerangkap minyak atsiri temu kunci dengan baik. Hal ini menyebabkan film tersebut memiliki aktivitas antibakteri yang kecil. Film edibel antibakteri yang dihasilkan dari pati sagu dan minyak astiri temu kunci menunjukkan aktivitas yang besar terhadap bakteri L. monocytogenes dan B.

cereues, dibanding E. coli K1.1 dan P. aeruginosa (p<0.05). Fenomena ini sama

dengan sifat yang dimiliki minyak atsiri temu kunci bebas. Kandungan molekul hidrofobik yang tinggi dalam minyak atsiri temu kunci membuatnya lebih mudah menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif yang memilki molekul penyusun membran luar sel yang bersifat hidrofobik.

Komponen minyak atsiri yang terperangkap dalam film edibel pati sagu adalah alfa-pinen, terpinen, sabinen, delta-kuparenol, trisiklin, kanpen, borneol, osimen, kampor, terpineol, eukaliptol, geraniol, metil sinamat, asam palmitat, dan fernasen. Setelah penyimpanan 2 bulan pada suhu 15oC, molekul yang masih terperangkap dalam film edibel hampir sama dengan pada saat awal pembuatan film edibel antibakteri yaitu geraniol, kampor, metil sinamat, trisiklin, asam palmitat, kampen, dan kampor. Terperangkapnya komponen penyusun minyak atsiri temu kunci dalam film pati sagu disebabkan kesamaan sifat hidrofobik yang dimiliki komponen pembentuk film dengan komponen minyak atsiri temu kunci. Film edibel berbasis pati sagu bersifat hidrofobik (non polar), hal ini disebabkan gugus OH dari pati, CMC maupun gliserol tidak efektif lagi dalam mengikat air

akibat proses gelatininasi dalam pembuatan film edibel. Terperangkapnya komponen minyak astiri dengan baik dalam film edibel pati sagu, membuat film dapat melindungi sosis dari kontaminasi bakteri uji E. coli K1.1 selama masa pengujian 7 hari. Masuknya E. coli K1.1 ke dalam sosis pada konsentrasi minyak atsiri temu kunci dibawah 1.3%(v/b), mungkin disebabkan karena tidak sebandingnya konsentrasi komponen minyak atsiri dalam film dibanding jumlah bakteri yang mengkontaminasi.

Berbeda dengan sifat toksik minyak atsiri temu kunci terhadap sel prokaroit (bakteri) pada konsentrasi yang rendah, minyak atsiri ini tidak toksik terhadap sel darah putih (eukariot). Kisaran konsentrasi minyak atsiri yang digunakan dalam film edibel antibakteri dalam penelitian ini (0.05-1.3% v/b) dapat memproliferasi sel darah putih sampai 129.39%, sedangkan minyak atsiri temu kunci bebas 40% v/v memberikan proliferasi limfosit maksimum sebesar 234.37%. Larutan film edibel yang mengandung minyak (0.05-1.3% v/b), untuk film berbasis pati sagu murni maupun pati sagu hasil radiasi dengan sinar gamma juga dapat memproliferasi sel limfosit berturut – turut sebesar 204.86% dan 205.37%. Tingginya nilai proliferasi film edibel ini, diduga juga merupakan kontribusi dari komponen penyusun film edibel lainnya yang terlarut seperti pati, CMC dan gliserol.

Hasil uji organoleptik terhadap film edibel pati sagu yang diinkorporasi minyak atsiri temu kunci 1.3% (v/b), rata-rata responden memberikan nilai netral yang lebih kecil dibanding film pati sagu yang tidak diinkorporasi minyak atsiri temu kunci (3.86 menjadi 3.10). Walaupun film edibel pati sagu yang mengandung minyak atsiri temu kunci 1.3% (v/b) kurang diminati responden, akan tetapi sosis yang dilapisi dengan film edibel tersebut cukup diminati, dan tidak berbeda nyata dengan sosis yang dilapisi film edibel pati sagu yang tidak diinkorporasi dengan minyak atsiri temu kunci. Hal ini menunjukkan bahwa komponen minyak atsiri temu kunci terperangkap dengan baik dalam film edibel pati sagu, sehingga tidak mudah lepas keluar ke permukaan sosis, sehingga tidak mengganggu cita rasa sosis.

Prospek lain penggunaan minyak atsiri temu kunci dalam bidang pangan dapat diaplikasikan dalam pengawetan mie basah (Norman. 2007). Dengan penambahan minyak atsiri temu kunci 0.75 % (mL/gram), penggunaan pengawet garam (NaCl) dapat dikurangi, dan dari segi organolpetik dapat diterima oleh responden. Pengawetan minuman jus segar menggunakan minyak atsiri temu kunci dengan teknik slow release, juga berpotensi untuk dikembangkan. Dengan mengembangkan teknik slow release, maka prospek penggunaan minyak atsiri temu kunci sebagai pengawet alami dalam sistem pangan padat maupun cair akan semakin luas.

Dokumen terkait