• Tidak ada hasil yang ditemukan

Paradigma sebagai hama yang sering menggundulkan tanaman pertanian bagi ulat sutera liarC. trifenestrata,dalam beberapa tahun terakhir telah bergeser sebagai serangga menguntungkan. Di kalangan masyarakat Jogyakarta dan Bali, kokonC. trifenestrata diolah secara langsung menjadi aksesoris pelengkap pakaian wanita, wall paper dan hiasan rumah tangga lainnya. Benang sutera yang dihasilkan memiliki sifat khas; berwarna asli kuning keemasan, lebih lembut, dan lebih menyerap keringat, sehingga nilai jualnya juga lebih tinggi dibandingkan benang sutera lainnya. Kerajinan tangan maupun benang diperoleh dari kokon yang dihasilkan oleh C. trifenestrata secara alami. Oleh karena itu, ketersediaan kokon sangat fluktuatif, tergantung kondisi alam. Jika penggunaan kokon tersebut tidak dibarengi usaha pelestarian, maka keberadaan C. trifenestrata akan sangat terancam.

Berdasarkan fenomena tersebut, maka diperlukan usaha atau kegiatan yang dapat menjamin kelestarian C. trifenestrata sehingga pemanfaatannya dapat berkelanjutan. Usaha tersebut akan maksimal jika didukung dengan pengetahuan mengenai aspek biologi, ekologi, maupun genetik C. trifenestrata. Sementara ini breeding in captive (penangkaran kandang) disamping seleksi melalui persilangan merupakan usaha yang layak dilakukan. Beberapa alasan yang dapat di kemukakan adalah: dengan breeding in captive, yaitu memelihara C. trifenestrata hanya pada fase perkembangan tertentu saja misalnya pada fase telur hingga instar II, maka dana yang dibutuhkan jauh lebih kecil dibandingkan memelihara C. trifenestrata pada semua fase perkembangan dalam skala massal di laboratorium. Selain itu kemampuan adaptasi C. trifenestrata terhadap lingkungan tetap terjaga. Kelemahannya adalah faktor lingkungan tidak dapat dikendalikan.

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah menyediakan beberapa hektar kawasan yang memiliki tanaman inang utama maupun tanaman inang alternatif bagi C. trifenestrata. Usaha ini sebaiknya dilakukan pada kawasan yang sebelumnya telah ditemukan populasi C. 94

trifenestrata. Kawasan tersebut sebaiknya terpisah dari pemukiman, sehingga memberi ruang (mikroklimat) bagi C. trifenestrata untuk berkembang secara maksimal. Selain itu, kawasan dibagi menjadi kawasan pelestarian plasma nutfah, yaitu kawasan dimana C. trifenestrata native dibiarkan hidup secara alami. Pada kawasan di luarnya dapat dijadikan sebagai kawasan untuk penangkaran dan persilangan.

Hasil penelitian morfometri dan siklus hidup ulat sutera liar C. trifenestrata pada tiga sub populasi di sekitar kampus IPB Darmaga menunjukkan keragaman morfometri dan lama waktu perkembangan larva. Ke depan informasi keragaman tersebut akan dipergunakan sebagai dasar untuk melakukan seleksi melalui persilangan. Informasi mengenai perbedaan daya hidup (viabilitas) dapat dijadikan dasar untuk keperluan penangkaran, yaitu untuk meminimalkan kematian pada larva instar I, maka dapat dilakukan usaha penetasan di tempat khusus misalnya di laboratorium atau rumah kaca. Setelah instar II atau III, larva dinokulasikan pada tanmaman inang di kawasan yang telah disediakan. Demikian juga dengan viabilitas yang tinggi pada fase pupa dapat dimaksimalkan melalui penyediaan tempat untuk berlangsungnya fase pembentukan kokon. Sehingga produksi kokon dapat dimaksimalkan dan dikendalikan.

Pengamatan serat kokon dengan SEM menunjukkan bahwa serat kokon C. trifenestrata berukuran lebih besar dibandingkan dengan serat sutera B. mori. Selain itu, degumming dengan konsentrasi NaOH berbeda tidak menyebabkan perubahan warna yang menyolok. Fakta ini dapat mempertegas bahwa C. trifenestrata memiliki nilai lebih dibanding dengan serat suteraB. mori, khususnya sebagai bahan dasar untuk aksesoris pakaian dan perlengkapan rumah tangga.

Data molekuler gen fibroin tidak menunjukkan variasi pada spesies C. trifenestrata. Meskipun demikian adalah fakta yang tak terbantahkan bahwa suatu genotip bisa saja sama tetapi dapat mengeskpresikan fenotip yang berbeda berdasarkan variasi lingkungan yang dialami (Whitman & Agrawal 2009; Noor 2008).

Pentingnya plastisitas pada serangga (C. trifenestrata) berhubungan dengan evolusi. Tekanan seleksi yang kuat, menyebabkan ekspresi sifat- sifat yang mungkin tidak terjadi pada ruang dan waktu yang berbeda. Hal ini teramati pada variasi morfometri antar sub populasi C. trifenestrata. Variasi morfometri dan atau corak/morfologi berdasarkan ruang dan waktu telah diteliti pada polifenisme kupu-kupu (Brakefiel et al. 2007), apid (Braendle et al. 2006) dan belalang (Whitman & Agrawal 2009). Hal ini berkenaan dengan fakta bahwa setiap organisme hidup selalu berusaha untuk bertahan pada lingkungannya dengan penyesuaian atau perubahan fisiologi, biokimia, morfologi, perilaku maupun sejarah hidup (Whitman & Agrawal 2009). Kondisi lingkungan dapat merupakan tekanan seleksi yang menyebabkan interaksi antar genotip dan lingkungan terekspresi cukup nyata. Berkenaan dengan hal tersebut, maka pada habitat berbeda, organisme dapat mengembangkan ciri berbeda, dan menunjukkan adaptasi lokal (Kawecki & Albert 2004), yang mungkin saja berbeda jika berada pada habitat lain.

Faktor pendukung plastisitas pada C. trifenestrata adalah kemampuannya beradaptasi atau menampilkan performa pada suhu dan kelembaban dengan kisaran yang berbeda. Kisaran perbedaan suhu antar tiga sub populasi adalah 0.010C sampai dengan 4.180C (± 0.001 sampai 1.82) perbedaan kelembaban adalah 1.14% sampai dengan 3.53% (± 0.32 sampai 2.65), tetapi pada kisaran tersebut rerata ukuran morfometri untuk sub populasi GWW lebih besar dibandingkan dengan dua sub populasi lainnya. Informasi ini penting sebagai dasar seleksi dari serangga tersebut.

Hasil eksplorasi gen COI, menunjukkan konsistensinya sebagai gen penanda spesies; belum dapat dipergunakan untuk kajian filogeografi, sehingga diperlukan usaha mengekplorasi keragaman genetik menggunakan gen mitokondria lainnya, misalnyagen cytohcromeb, atau d-loop, atau gen lainnya. Meskipun demikian ke depan informasi ini dapat dipergunakan untuk merancang program breeding dengan model isofemale line. Pada program tersebut, diseleksi induk betina dari sub populasi yang memiliki nilai adaptasi maupun sifat-sifat yang berhubungan dengan produksi kokon

lebih baik. Induk betina ini dijadikan sebagai generasi parental, sedangkan induk jantannya dapat berasal dari sub populasi manapun. Hibrid (F1) betinanya dijadikan lagi sebagai parental persilangan selanjutnya. Persilangan dilakukan sampai beberapa generasi. Dengan prinsip bahwa gen COI diwariskan secara maternal, akan diuji apakah model persilangan isofemale linetersebut dapat mengungkapkan sifat-sifat yang terkait dengan produksi atau sifat lainnya misalnya fekunditas.

Penelitian ini baru menyajikan data awal populasi C. trifenestrata, masih banyak hal yang belum terungkap antara lain bagaimana memaksimalkan pohon inang sehingga dapat dipergunakan sebagai relung C. trifenestrata, secara merata, sehingga dapat memaksimalkan produksi kokon. Keberadaan C. trifenestrata yang tidak terus menerus pada suatu tempat masih menjadi tanda tanya besar yang harus dieksplorasi, munculnya populasi baru sebagai hasil kolonisasi atau adanya fase dirman. Hasil penelitian Andriani (2009), menunjukkan bahwa eklosi dapat dipercepat dengan perlakuan intensitas cahaya. Oleh karena itu, patut diduga bahwa fase dorman mungkin saja terjadi pada fase ini.

Kerjasama yang baik antara pemerintah, peneliti, dan masyarakat pengguna sangat dibutuhkan. Pemerintah harus membuat aturan-aturan atau kebijakan yang mendukung usaha penangkaran. Demikian juga peneliti (akademisi) harus senantiasa melakukan penelitian, penyuluhan, dan kegiatan lainnya, sehingga masalah-masalah yang berhubungan dengan informasi dasar C. trifenestrata terpecahkan. Dibutuhkan tenaga ahli yang dapat melakukan kegiatan breeding, yang dapat menentukan kapan dan populasi mana yang akan disilangkan, serta hal-hal yang bersifat tekhnis. Masyarakat sekitar kawasan dapat dilibatkan sebagai pemelihara C. trifenestrata.Oleh karena itu, masyarakat perlu dibekali pengetahuan bukan saja mengenai aspek ekonomi dari serangga penghasil sutera, tetapi aspek bioekologi sehingga serangga tersebut dapat dilestarikan.

Dokumen terkait