• Tidak ada hasil yang ditemukan

Muncak termasuk ke dalam famili Cervidae yang tersebar di sebagian besar wilayah Indonesia dengan status dilindungi. Populasi muncak yang terus menurun di habitat asli perlu dicegah dengan melakukan upaya pengembangbiakan muncak di penangkaran. Muncak jantan memiliki ranggah sebagai karakteristik seksual sekunder seperti yang ditemukan pada sebagian besar spesies Cervidae lainnya. Pertumbuhan ranggah terbagi atas periode ranggah keras (RK), casting (C), dan ranggah velvet (RV). Pola pertumbuhan ranggah selama satu siklus ranggah bervariasi di antara spesies Cervidae termasuk muncak. Variasi tersebut diperlihatkan dengan perbedaan aktivitas reproduksi selama satu siklus ranggah. Sejauh mana perbedaan aktivitas reproduksi antara muncak jantan dan spesies Cervidae lainnya, belum pernah dilaporkan. Oleh karena itu, tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik reproduksi muncak jantan yang dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam manajemen pemeliharaan dan program pengembangbiakan muncak di penangkaran. Keberhasilan pengembangbiakan muncak yang dilakukan secara alami maupun dengan penerapan teknologi reproduksi, diharapkan dapat meningkatkan populasi muncak dan dapat mengubah status perlindungannya menjadi satwa yang tidak dilindungi, serta memberi peluang untuk dibudidayakan.

Informasi awal yang penting diketahui terkait karakteristik reproduksi muncak jantan adalah anatomi organ reproduksi. Secara anatomi, organ reproduksi pada spesies ruminansia kecil termasuk muncak memiliki ciri khas yang berhubungan erat dengan fungsi reproduksinya. Puncak aktivitas reproduksi pada Cervidae jantan yang melibatkan fungsi organ reproduksi berlangsung pada periode RK, dan mengalami penurunan pada periode C dan RV. Oleh karena itu, pemilihan periode RK untuk menampilkan karakteristik anatomi organ reproduksi pada muncak sangat sesuai, karena pada periode tersebut diduga aktivitas reproduksi muncak berlangsung secara optimal. Namun demikian, kajian anatomi organ reproduksi muncak pada periode ranggah velvet masih perlu dilakukan, sehingga dapat diketahui dengan jelas sejauh mana perbedaan morfofungsi organ reproduksi pada kedua periode ranggah tersebut.

Karakteristik organ reproduksi muncak ditandai dengan ukuran testis yang relatif kecil berbentuk bulat lonjong dengan panjang 5.01 cm, lebar 2.45 cm,

dan lingkar skrotum 15.98 cm. Ukuran tersebut lebih kecil dari pada rusa timor dan domba. Bobot testis muncak (18.82 g) jauh lebih ringan dibandingkan bobot

testis domba (250-300 g), dan testis rusa timor pada periode RK (102.16-114.06 g). Perbedaan morfometri testis pada muncak, domba, dan rusa

timor berkorelasi erat dengan aktivitas spermatogenesis untuk menghasilkan spermatozoa. Domba garut dan rusa timor dengan ukuran testis yang lebih besar menghasilkan spermatozoa dengan konsentrasi lebih tinggi, berturut-turut adalah 3.954.05 ± 743.21 juta/ml (Rizal et al. 2003) dan 1055.95 ± 141.13 juta/ml (Handarini 2006), sedangkan konsentrasi spermatozoa muncak tertinggi yang ditemukan pada periode RK adalah 506.25 ± 61.87 juta/ml. Penis muncak tergolong fibroelastik, dengan panjang 30.50 cm, memiliki glans penis berukuran kecil dan prosesus uretralis yang pendek. Bentuk penis yang demikian adalah sebagai penyesuaian dengan bentuk saluran reproduksi pada muncak betina.

Karakteristik kelenjar asesoris sebagai kelenjar penghasil plasma semen pada muncak adalah tidak ditemukannya kelenjar prostat secara makroskopis. Kelenjar tersebut berbentuk pars diseminata yang hanya dapat diamati secara mikroskopis di sekeliling uretra pars pelvina. Selain itu, muncak memiliki kelenjar bulbouretralis relatif besar yang mirip dengan revees muntjak (Chapman dan Harris 1991). Aktivitas kelenjar asesoris kelamin dalam menghasilkan plasma semen diduga meningkat selama periode RK, dan hal tersebut telah dilaporkan pada rusa timor dengan kualitas semen terbaik ditemukan pada periode RK dibandingkan periode C dan RV. Perbedaan aktivitas kelenjar selama periode pertumbuhan ranggah pada rusa berpola reproduksi seasonal dipengaruhi oleh perbedaan konsentrasi testosteron selama satu siklus ranggah. Namun hal tersebut belum dapat dibuktikan pada muncak, karena kelenjar asesoris yang digunakan untuk mengetahui aktivitas kelenjar di tingkat jaringan hanya terbatas pada periode RK.

Peran testosteron sangat penting dalam keberlangsungan aktivitas reproduksi pada hewan jantan termasuk muncak. Sintesis testosteron oleh sel Leydig testis terjadi dibawah kontrol hormon gonadotropin yang dihasilkan oleh kelenjar hipotalamus (GnRH) dan hipofise (LH). Adanya keterkaitan antara komponen poros hipotalamus-hipofise (pituitary)-gonad (poros HPG) pada muncak dan spesies Cervidae jantan lainnya, dapat diamati dari pola pertumbuhan ranggah, spermatogenesis, produksi spermatozoa dan kualitas semen, serta pemunculan perilaku spesifik. Aktivitas poros HPG dalam mengatur

fungsi reproduksi pada Cervidae berbeda selama periode RK, C, dan RV. Beberapa faktor lingkungan seperti letak geografis, iklim, periode pencahayaan, temperatur, dan ketersediaan pakan di alam secara langsung mempengaruhi aktivitas poros HPG tersebut. Fenomena ini telah dilaporkan pada sebagian besar spesies Cervidae jantan yang memiliki pola reproduksi musiman (seasonal), dan beberapa spesies dengan pola reproduksi tidak bergantung bermusim (aseasonal).

Keterkaitan antara poros HPG, profil metabolit testosteron, dan umur muncak selama periode pertumbuhan ranggah ditemukan pada penelitian ini. Profil testosteron pada kedua individu muncak jantan (♂#2 dan ♂#3) berbeda yang secara jelas diperlihatkan dengan ketidak-sinkronan siklus ranggah, baik saat terjadinya casting, awal memasuki periode RV, dan RK, maupun durasi ketiga periode ranggah tersebut. Muncak dewasa (♂#2) memiliki durasi satu siklus ranggah lebih lama (459 hari) dibandingkan muncak dewasa muda (♂#3), yaitu 319 hari ketika ♂#3 tersebut berumur 3 tahun. Peningkatan umur ♂#3 pada siklus ranggah berikutnya (siklus ranggah II) berdampak terhadap semakin panjangnya durasi siklus ranggahnya, yaitu 485 hari. Jelas terlihat bahwa pada kondisi dimana umur muncak semakin dewasa (>3 tahun), durasi satu siklus ranggahnya berlangsung melebihi 12 bulan (setahun). Kondisi tersebut berbeda dengan spesies rusa dengan pola reproduksi yang bergantung musim (seasonal), dimana satu siklus ranggah berlangsung selama setahun yang dikenal dengan annual antler cycle. Pada spesies tersebut konsentrasi testosteron selama satu siklus ranggah sangat dipengaruhi oleh faktor photoperiod. Konsentrasi testosteron tertinggi ditemukan pada saat intensitas pencahayaan rendah, dan sebaliknya konsentrasi testosteron menurun saat intensitas pencahayaan tinggi. Akibatnya siklus ranggah berlangsung dalam setahun dan pertumbuhan ranggah pada rusa jantan terjadi secara serentak (sinkron).

Pola pertumbuhan ranggah terkait konsentrasi testosteron pada muncak yang ditemukan pada penelitian ini mirip dengan pola pertumbuhan ranggah axis deer (Loudon dan Curlewis 1988), dan red brocket deer (Versiani et al. 2009). Faktor lingkungan seperti musim diduga tidak berpengaruh terhadap sinkronisasi siklus ranggah tahunan pada beberapa spesies rusa tropis, termasuk muncak. Pencahayaan yang diterima Cervidae di wilayah tropis sepanjang tahun tidak berpengaruh terhadap aktivitas kelenjar pineal untuk menghasilkan melatonin

yang konsentrasinya berfluktuasi di wilayah temperate. Melatonin secara langsung mempengaruhi aktivitas poros HPG pada spesies Cervidae di wilayah tersebut. Di wilayah tropis, adanya musim kemarau dan penghujan yang berlangsung dalam setahun dan terkait dengan ketersediaan pakan di alam (Mishra dan Wemmer 1987), ternyata berpengaruh terhadap pertumbuhan ranggah dan aktivitas reproduksi serta fertilitas pada beberapa spesies rusa tropik seperti rusa timor (Handarini 2006), dan chital deer (Umapathy et al. 2007). Namun faktor tersebut tidak berpengaruh terhadap aktivitas reproduksi muncak penelitian yang tetap fertil selama periode ranggah. Faktor lain yang diduga sebagai penyebab ketidak-sinkronan siklus ranggah pada muncak adalah perbedaan status dominasi antara kedua muncak yang dipelihara di kandang penelitian. Adanya hubungan antara status dominasi, profil metabolit testosteron dan pola pertumbuhan ranggah pada muncak jantan masih memerlukan kajian mendalam, yaitu dengan melakukan pengamatan terhadap muncak dengan jumlah individu yang lebih besar yang berada di areal pemeliharaan yang lebih luas.

Berbeda dengan muncak, sinkronisasi siklus ranggah dilaporkan pada formosan muntjak (Pei et al. 2009). Sejumlah formosan muntjak jantan mengalami casting RK dalam waktu yang relatif berdekatan dan menjalani periode RV selama 80.2 ± 17.3 hari. Shedding dan awal periode RK juga tejadi dalam waktu yang hampir bersamaan. Penyebab perbedaan pola pertumbuhan ranggah antara muncak penelitian dan formosan muntjak, belum dapat diketahui. Namun Pei et al. (2009) menyatakan bahwa ketidak-sinkronan siklus ranggah pada beberapa spesies Cervidae jantan diakibatkan oleh faktor stres yang berasal dari lingkungan seperti curah hujan, sumber pakan, dan temperatur. Namun tidak ada penjelasan seberapa besar pengaruh perbedaan status sosial (dominan-subordinan) terhadap pola pertumbuhan dan ketidak-sinkronan siklus ranggah.

Perbedaan profil testosteron berdasarkan konsentrasi testosteron imunoreaktif (iT) pada kedua muncak pada ketiga periode ranggah yang berpengaruh terhadap pola pertumbuhan ranggah, secara statistik dapat dibuktikan. Muncak ♂#2 memperlihatkan fluktuasi konsentrasi iT selama satu siklus ranggah. Pada periode RK, konsentrasi iT berada pada level tertinggi dibandingkan periode C (p = 0.003) dan RV (p = 0.02). Rendahnya konsentrasi iT selama periode C dan RV berkorelasi negatif dengan laju pertumbuhan

ranggah velvet, dimana secara statistik korelasi tersebut juga berbeda sangat nyata (p = 0.013). Profil metabolit testosteron dan korelasi antara laju pertumbuhan ranggah dan konsentrasi iT yang berbeda diperlihatkan oleh ♂#3 selama muncak tersebut berada pada siklus ranggah I. Perbedaan tersebut diperlihatkan dengan rendahnya konsentrasi iT pada periode RK1 yang secara signifikan lebih rendah dibandingkan pada periode RK2 (p = 0.0003), dan periode RK3 (p = 0.003), tetapi tidak berbeda dengan periode RV1 (p = 0.3). Perbedaan tersebut diperkuat dengan korelasi positif antara laju pertumbuhan ranggah velvet dan konsentrasi iT. Korelasi positif berdampak terhadap mineralisasi ranggah yang berlangsung lebih cepat dan durasi periode RV1 yang lebih singkat dibandingkan periode RV2 pada siklus ranggah II. Perubahan profil metabolit testosteron pada ♂#3 terjadi pada saat muncak tersebut menjalani siklus ranggah II. Perubahan tersebut terjadi bersamaan dengan peningkatan umur, postur tubuh, dan ukuran ranggah, serta diduga perubahan status dominasi. Namun dugaan perubahan status dominasi pada ♂#3 setelah kematian ♂#2 perlu dikaji lebih lanjut dengan kehadiran individu muncak jantan lainnya.

Pemunculan perilaku spesifik seperti perilaku percumbuan dan perilaku agresif juga terjadi dibawah pengaruh testosteron. Kedua tipe perilaku tersebut mayoritas ditemukan pada periode RK, dimana pada periode RK konsentrasi testosteron berada pada level tertinggi dibandingkan periode C dan RV. Muncak ♂#2 lebih sering menunjukkan perilaku agresif dibandingkan ♂#3. Kondisi tersebut diduga berkaitan dengan dominasi ♂#2 terhadap ♂#3 yang didukung dengan lebih tingginya konsentrasi iT selama periode RK pada muncak tersebut.

Peran testosteron terhadap aktivitas spermatogenesis selama periode pertumbuhan ranggah ditemukan pada penelitian ini. Peran tersebut diperlihatkan selama berlangsungnya spermiogenesis yang ditandai dengan ditemukannya perkembangan sistem akrosom spermatid pada periode C dan RV, walaupun aktivitasnya sedikit menurun. Diferensiasi spermatid menjadi spermatozoa selama periode C dan RV tersebut dapat terjadi karena testosteron yang dihasilkan oleh sel Leydig testis masih cukup tinggi untuk mendukung spermiogenesis. Menurut Pineda (2003), aktivitas spermiogenesis dapat berlangsung apabila konsentrasi testosteron di intra testikular lebih tinggi dibandingkan di sirkulasi perifer. Pernyataan tersebut terbukti dengan masih ditemukannya konsentrasi iT dalam jumlah yang cukup tinggi selama periode C

dan RV pada kedua muncak. Kondisi berbeda dilaporkan pada rusa timor dan spesies rusa lainnya, dimana konsentrasi testosteron selama periode C dan RV mencapai level basal bahkan tidak terdeteksi. Kondisi tersebut berefek terhadap penurunan aktivitas spermatogenesis dan jumlah spermatozoa yang dihasilkan. Aktivitas spermatogenesis yang masih berlangsung dibawah kontrol testosteron dalam satu siklus ranggah pada muncak dibuktikan dengan ditemukannya spermatozoa motil pada semen muncak yang dikoleksi pada periode C (288.75 ± 37.12 juta/ml), dan RV (362.60 ± 17.68 juta/ml). Konsentrasi spermatozoa pada kedua periode tersebut sedikit lebih rendah dibandingkan konsentrasi pada periode RK (506.25 ± 61.87 juta/ml). Sejauh mana peningkatan konsentrasi spermatozoa dan parameter spermatozoa lainnya`(persentase hidup dan abnormalitas) pada ♂#3 setelah kematian ♂#2, tidak diketahui. Hal ini disebabkan keterbatasan koleksi semen yang dilakukan hanya sekali per periode ranggah dari siklus ranggah I pada kedua muncak.

Karakteristik reproduksi muncak yang tetap menghasilkan semen dan spermatozoa motil selama periode C dan RV, memperkuat pernyataan Hurtado- Gonzales dan Bodmer (2006), bahwa Cervidae dengan pola reproduksi aseasonal seperti amazonian brocket deer tetap menghasilkan ejakulat berikut spermatozoa, baik pada periode RK maupun RV. Kondisi serupa juga dilaporkan pada formosan muntjak, dimana spermatozoa motil masih ditemukan ketika muncak tersebut berada pada periode RV (Liu et al. 2004), di saat konsentrasi metabolit testosteron mencapai level terendah (Pei et al. 2009). Namun Pei et al. (2009) belum dapat memastikan keberadaan faktor lain (kemungkinan prolaktin dan hormon lainnya) yang mendukung spermatogenesis ketika konsentrasi testosteron rendah pada periode RV. Kondisi berbeda dilaporkan pada rusa timor jantan (Handarini et al. 2004; Handarini dan Nalley 2008), bahwa konsentrasi basal testosteron plasma pada periode RV berpengaruh terhadap penurunan aktivitas spermatogenesis di tubuli seminiferi testis, rendahnya konsentrasi spermatozoa dan tingginya abnormalitas spermatozoa.

Dari pembahasan tersebut di atas dapat disampaikan bahwa aktivitas reproduksi muncak jantan berdasarkan data profil metabolit testosteron, spermatogenesis dan kualitas semen selama periode pertumbuhan ranggah adalah tidak bergantung musim (aseasonal). Aktivitas reproduksi muncak jantan tetap berlangsung walaupun muncak berada pada periode C dan RV. Pernyataan tersebut diperlihatkan dengan adanya keterkaitan dan paralelnya

data yang dihasilkan dari penelitian II, III, dan IV. Aktivitas reproduksi muncak jantan tersebut menyerupai aktivitas reproduksi axis deer di wilayah tropis (Loudon dan Curlewis 1988), pampas deer (Pereira et al. 2005), red brocket deer

(Versiani et al. 2009) dan formosan muntjak di wilayah sub tropis (Pei et al. 2009). Namun aktivitas tersebut berbeda dengan rusa timor yang

berasal dari wilayah tropis dengan periode aktif reproduksi berlangsung pada periode ranggah keras (Handarini 2006). Ditemukannya karakteristik reproduksi muncak dengan pola reproduksi aseasonal, memberikan harapan terlaksananya program pengembangbiakan muncak di Indonesia. Keberhasilan program tersebut diharapkan dapat mengubah status perlindungan muncak yang selama ini masih ditetapkan sebagai satwa liar yang dilindungi undang-undang.

Dokumen terkait