• Tidak ada hasil yang ditemukan

Solving Konvergen

5 PEMBAHASAN UMUM

Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan salah satu komoditi sayuran dataran tinggi yang disukai oleh masyarakat. Kentang menjadi salah satu tanaman prioritas karena berpontensi untuk dipasarkan secara domestik dan eskpor, dapat meningkatkan pendapatan petani serta bernilai gizi tinggi. Sistem pengadaan benih saat ini belum mampu memenuhi permintaan kentang secara nasional, sehingga Indonesia masih melakukan impor bibit setiap tahunnya. Petani Indonesia umumnya menyisihkan hasil panen untuk digunakan sebagai benih pada musim tanam kentang berikutnya. Penggunaan benih untuk musim tanam berikutnya biasanya berasal dari tanaman yang telah bergenerasi sehingga menyebabkan produksi menjadi rendah. Penurunan produksi yang terjadi pada setiap generasi benih kentang yang diperbanyak/ditanam secara terus menerus disebabkan oleh infestasi penyakit yang terakumulasi pada setiap generasi dan terus terbawa pada regenerasi benih. Semakin panjang generasi benih maka semakin besar tingkat infestasi virus pada generasi benih tersebut. Pusat produksi benih di dataran tinggi terletak di lingkungan yang sudah tercemar dengan berbagai penyakit kentang. Penyakit-penyakit kentang yang berbahaya akan ditularkan ke daerah lain melalui benih kentang tersebut. Benih kentang yang dipergunakan untuk bibit kentang produksi adalah benih G4. Benih G4 hampir seluruhnya sudah terkontaminasi virus kentang dan bakteri layu, bahkan pada benih G1 dan G2 pun tidak bebas kontaminasi (Wattimena 2000).

Usaha tani kentang umumnya dilakukan di dataran tinggi dengan tingkat elevasi lebih dari 1400 m dpl, namun tempat dengan ketinggian tersebut terbatas. Lahan di dataran tinggi merupakan lahan berlereng dan memiliki curah hujan tinggi. Semakin curam kemiringan lereng akan mendorong terjadinya terjadinya erosi. Lereng berperan penting dalam proses pembentukan dan perkembangan tanah melalui proses erosi, transportasi dan deposisi. Kerusakan yang dialami pada tanah erosi adalah penurunan sifat-sifat fisik dan kimia tanah (Fajar 2003). Pengaruh erosi terbesar adalah penurunan produksi tanaman. Produksi kentang menurun dengan semakin meningkatnya kemiringan lereng.

Ketersediaan benih kentang berkualitas saat ini belum mampu memenuhi kebutuhan petani, baik penangkar benih maupun produsen kentang. Produksi benih kentang di dataran rendah dengan aplikasi anti giberelin dan modifikasi suhu rhizosfer (pemberian mulsa) telah dilakukan, namun belum optimal terhadap hasil umbi (Suharjo et al. 2008). Modifikasi lingkungan mikro pada tanaman kentang di dataran rendah dengan pemberian naungan dan mulsa belum dapat mengatasi tingginya suhu di dataran rendah (Sutater 1986). Aplikasi tuber promoter dan penyiraman campuran air siraman pada tanaman kentang di dataran rendah belum memberikan pengaruh terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah umbi, bobot umbi per tanaman, rata-rata bobot umbi, bobot umbi terbesar per tanaman, bobot umbi terkecil per tanaman, diameter umbi, diameter umbi terbesar dan diameter umbi terkecil (Lestari 2011).

Pengujian sifat tumbuh dan hasil terhadap bibi botanis beberapa nomor pemuliaan kentang di dataran rendah dan tinggi telah dilakukan. Hasilnya di dataran rendah beberapa tanaman kentang tersebut belum menghasilkan umbi (Dermawan 1985). Hasil penelitian modifikasi iklim mikro melalui sistem

pencahayaan untuk penanaman kentang di dataran rendah dengan sistem aeroponik dan penambahan pendingin ruangan (AC) belum mampu menghasilkan umbi, hal tersebut dikarenakan tanaman sebagian besar hanya dapat bertahan sampai 23 HST (Simangunsong 2011; Ma‟rufatin 2011). Oleh karena itu penelitian produksi benih kentang di dataran rendah tropika dengan zone cooling ini dilakukan dalam rangka membantu peningkatan produksi benih kentang, mengurangi tingkat erosi di lahan dataran tinggi dan mendukung pertanian berkelanjutan.

Penelitian pendahuluan penanaman sistem aeroponik produksi benih kentang di dataran rendah (250 m dpl) dengan aplikasi root zone cooling (suhu cooling 20-25 oC) menunjukkan kentang dapat tumbuh dan menghasilkan umbi, namun belum optimal karena suhu dia atas tanaman (tajuk tanaman) masih tinggi (34 oC). Oleh karena itu diperlukan pemberian suhu yang lebih rendah. Studi pendahuluan root zone cooling sistem aeroponik di dataran rendah (250 m dpl) umur 30 hst disajikan pada Gambar 5.1.

Gambar 5.1 Root zone cooling system untuk aeroponik di dataran rendah (250 dpl) umur 30 hst

Aplikasi pendinginan pada zona perakaran (zone cooling) untuk produksi benih kentang di dataran rendah menggunakan sistem aeroponik dapat mengurangi stress tanaman kentang. Teknik aeroponik dengan zone cooling mampu mempertahankan tanaman kentang sampai umur 70 HST pada suhu 10 °C. Teknik tersebut juga memberikan rata-rata tinggi dan jumlah daun yang lebih tinggi dibandingkan tanpa zone cooling. Zone cooling suhu 10 °C mampu menghasilkan jumlah umbi 579 per 1.5 m2, dengan rata-rata jumlah umbi 14.85 umbi/tanaman, bobot umbi rata-rata 409.15 mg/umbi. Hal tersebut merupakan kemajuan dari penelitian sebelumnya yaitu Simangunsong (2011) dan Ma‟rufatin (2011) pada sistem aeroponik di dataran rendah dan Dermawan (1985) pada sistem budidaya dengan tanah yang belum menghasilkan umbi.

Sistem aeroponik dengan zone cooling yang dibangun mampu memberikan lingkungan yang lebih dingin di daerah perakaran dibandingkan suhu udara di luar aeroponic chamber, sehingga mendukung pertumbuhan dan perkembangan akar kentang. Keseragaman suhu udara di dalam aeroponic umbi yang terbentuk

chamber ditunjukkan dari hasil kajian pada Bab 3. Hasil prediksi suhu udara di

dalam aeroponic chamber menggunakan CFD menunjukkan keseragaman yang baik. Suhu udara rata-rata harian di dalam aeroponic chamber yang dikendalikan sesuai dengan suhu zone cooling yang diberikan. Dari hasil validasi simulasi CFD dan pengukuran distribusi suhu udara di dalam aeroponic chamber dengan aplikasi zone cooling dapat disampaikan bahwa CFD dapat digunakan untuk menggambarkan distribusi suhu udara di dalam chamber dengan baik. Distribusi suhu udara di dalam aeroponic chamber hasil pengukuran dan simulasi CFD diperoleh error maksimum hasil simulasi CFD sebesar 5.89%. Hal tersebut berarti simulasi CFD yang dilakukan sudah baik dan dapat menggambarkan kondisi sistem aeroponik dengan zone cooling pada saat pengukuran. Prediksi dengan CFD memungkinkan dilakukan deteksi terhadap kesalahan desain instalasi aeroponik yang dibuat, sehingga meminimalkan biaya.

Pengendalian suhu udara secara aktif membutuhkan biaya yang besar. Pengendalian tersebut membutuhkan peralatan pengendalian listrik. Pemilihan tingkat kecanggihan sisten pengendalian lingkungan tergantung kepada parameter yang dikendalikan, umur ekonomis dan biaya yang dikeluarkan. Pengendalian lingkungan untuk rumah tanaman di kawasan beriklim tropika basah belum banyak dikembangkan (Suhardiyanto 2009). Konsumsi energi listrik tertinggi dihasilkan oleh suhu zone cooling 10 °C berkompensasi dengan diperolehnya umbi kentang tertinggi dibandingkan suhu zone cooling lainnya. Penelitian lanjut perlu dilakukan, bagaimana mendapatkan peralatan pendinginan yang hemat listrik sehingga dapat menunjang teknologi ini lebih aplikatif untuk dikembangkan.

Aeroponik adalah metode budidaya tanaman dimana akar tanaman menggantung di udara. Tanaman yang budidayakan secara aeroponik memperoleh unsur hara dan air dari larutan nutrisi yang disemprotkan ke akar. Larutan nutrisi disemprotkan dalam bentuk kabut ke akar tanaman yang berada dalam chamber dengan lama waktu tertentu. Chamber merupakan lingkungan tertutup tempat tumbuhnya akar. Sistem aeroponik terdiri dari nozzle untuk menyemprotkan larutan nutrisi, pornpa yang dilengkapi dengan timer, chamber, styrofoam dan pipa. Aeroponik tidak rnernerlukan media tanam. Tanaman perlu ditopang agar dapat turnbuh dengan tegak. Styrofoam yang telah dilubangi digunakan untuk rnenernpatkan pangkal batang tanarnan. Styrofoam ini diletakkan di bagian atas

chamber, rnemisahkan kanopi dengan akar tanarnan. Pada skala komersial,

beberapa chamber untuk aeroponik dirangkai rnernbentuk suatu jaringan sistem aeroponik (Prastowo et al. 2007). Tanaman kentang dapat tumbuh apabila mendapatkan nutrisi yang cukup. Tanaman kentang aeroponik tidak dapat bertahan apabila mengalami mati listrik dalam waktu yang lama, sehingga ketersediaan genset atau sumber energi listrik lainnya diperlukan untuk membantu pada saat kondisi tersebut.

Perlu dilakukan perbaikan input dan pendefinisian masukan CFD agar hasil lebih baik, yaitu dengan menganalisis fase cair dan gas pada semprotan nutrisi bertekanan tinggi dan memasukan secara detail material properties baik fisis dan kimia larutan nutrisi yang digunakan. Penggunaan CFD pada prediksi distribusi suhu udara di dalam aeroponic chamber dapat digunakan untuk mengetahui secara detail dan awal kesalahan desain chamber. CFD memungkinkan diketahuinya bagian-bagian di dalam chamber yang memiliki

distribusi sebaran suhu yang tidak merata sehingga berkontribusi pada tingginya suhu udara maupun tidak meratanya semprotan nutrisi di dalam aeroponic

chamber.

Penelitian produksi benih kentang dengan aplikasi zone cooling di dataran rendah merupakan potensi menjadi teknologi produksi benih di dataran rendah melihat hasil yang telah dicapai sampai menghasilkan umbi. Produksi benih kentang dengan zone cooling di dataran rendah masih lebih rendah dibandingkan dengan di dataran tinggi. Produksi benih kentang di dataran tinggi tropis mencapai 40 umbi/tanaman dengan bobot mencapai 4 g/umbi (Fajar 2012; Sumarni 2012). Produksi benih kentang secara aeroponik di daerah subtropis mampu mencapai 100 umbi/tanaman dengan bobot umbi 1-8 g/umbi (Otazu 2010). Teknik aeroponik dengan zone cooling perlu terus dikaji sebagai teknologi produksi benih kentang, dimana luas lahan di dataran rendah masih luas, sehingga dapat membantu usaha swasembada benih kentang. Perlu dilakukan juga penelitian lanjut bagaimana meningkatkan jumlah dan ukuran umbi di dataran rendah pada sistem aeroponik. Perlu dilakukan penelitian penggunaan berbagai varietas kentang, sehingga diperoleh varietas yang optimum di produksi dengan sistem aeroponik. Nutrisi tanaman merupakan faktor penting keberhasilan produksi tanaman, perlu dilakukan optimasi kandungan nutrisi dalam rangka meningkatkan hasil benih.

Dokumen terkait