• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

PEMBAHASAN UMUM

Pada penelitian ini diperoleh 74 isolat rizobakteri dari perakaran tanaman padi (rhizosfer) sehat diantara tanaman padi terserang penyakit HDB. Dari 74 isolat yang didapat tiga isolat yang memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan koloni Xoo. Setelah dilakukan identifikasi, masing-masing isolat tersebut adalah Pseudomonas diminuta A6, Pseudomonas mallei A33, dan P. aeruginosa A54. Isolat dari kelompok Bacillus spp. yang digunakan berasal dari Balai Besar Penelitian Padi di Sukamandi yaitu Bacillus subtilis 5/B dan B. subtilis 11/C . Berdasarkan hasil uji daya hambat secara in vitro terhadap pertumbuhan koloni Xoo, kelima isolat memiliki kemampuan dalam menghambat pertumbuhan Xoo dengan kemampuan yang berbeda-beda. Perbedaan kemampuan dalam menghambat tersebut berhubungan dengan perbedaan jumlah dan jenis senyawa antimikroba yang dihasilkan oleh masing-masing isolat. Pada percobaan selanjutnya digunakan empat isolat yang memiliki kemampuan penghambatan Xoo yang terbaik.

Hasil analsisis menunjukkan bahwa hanya P. diminuta A6 yang mampu memproduksi senyawa HCN. Semua isolat rizobakteri yang diuji menghasilkan senyawa siderofor. Isolat B. subtilis 5/B menghasilkan aktivitas siderofor ter- tinggi, diikuti isolat P. aeruginosa A54, P. diminuta A6, dan B.subtilis 11/C (Gambar 6). Semua isolat rizobakteri yang diuji mampu memproduksi IAA dengan kandungan masing-masing isolat B.subtilis 5/B (22.10 µg/ml), B.subtilis 11/C (19.05 µg/ml), P. diminuta A6 (8.68 µg/ml), dan isolat P. aeruginosa A54 (2.95 µg/ml) (Tabel 5). Menurut Thakuria et al. (2004) perbedaan produksi IAA pada berbagai rizobakteri bergantung pada kemampuan masing-masing isolat dalam mengkolonisasi perakaran tanaman.

Kandungan enzim peroksidase pada tanaman yang diperlakukan isolat agens hayati masing-masing adalah B. subtilis 5/B (1.30 x 10-3 unit/mg protein), P. aeruginosa A6 (1.20 x 10-3 unit/mg protein), B. subtilis 11/C (1.15 x 10-3 unit/mg protein), dan P. aeruginosa A54 (1.05 x 10-3 unit/mg protein) (Tabel 6). Walaupun enzim yang dihasilkan tidak besar, keempat agens hayati yang digunakan pada percobaan ini dapat menginduksi tanaman untuk menghasilkan

Enzim peroksidase merupakan salah satu enzim yang dihasilkan oleh tanaman untuk yang berhubungan dengan ketahanan sistemik. Peningkatan enzim peroksidase pada tanaman padi setelah diperlakuan P. fluorescens dilaporkan oleh Vidhyasekaran et al. (2001) dan P. aeruginosa (Saika et al. 2006), sedangkan Syamsuddin (2010) melaporkan pada tanaman cabai terjadi peningkatan enzim peroksidase setelah benihnya diperlakukan dengan Pseudomonas spp.

Kandungan enzim fosfatase masing-masing isolat adalah B. subtilis 5/B (2.78 unit/ml), B. subtilis 11/C (1.39 unit/ml), P. diminuta A6( 2.25 unit/ml), dan P. aeruginosa A54 (5.71 unit/ml) (Tabel 4). Kemampuan agens hayati melarutkan fosfat merupakan salah satu peran agens hayati dalam meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Rodriguez & Fraga 1999; Vassilev 2006). Hara fosfat adalah hara yang ada dalam tanah namun ketersediaanya bagi tanaman sedikit karena terikat dengan unsur-unsur lainnya. Berdasarkan hasil penelitian ini, keempat agens hayati yang digunakan mampu melarutkan fosfat. Hal ini dapat dilihat dari zona bening pada pengujian P dan dihasilkannya enzim fosfatase yang beperan dalam pelarutan fosfat (Tabel 4). Menurut Van Loon (2007), ke- mampuan agens hayati mengendalikan patogen tanaman dapat melalui mekanisme parasitisme, kompetisi, dan antibiosis atau induksi ketahanan sistemik. Berdasarkan hasil penelitian ini, senyawa yang berkontribusi langsung dalam pengendalian penyakit adalah HCN dan siderofor, sedangkan enzim peroksidase yang dihasilkan diduga kuat berkontribusi dalam menginduksi ketahanan sistemik tanaman. Selain itu, menurut Vassilev et al. (2006), asam indol asetat (IAA) yang dihasilkan rizobakteri juga dapat berperan dalam pengendalian bakteri patogen melalui mekanisme keterlibatan IAA dan S-transferase dalam reaksi ketahanan tanaman. Berdasarkan data penelitian yang telah dikemukan, maka agens hayati yang digunakan pada percobaan ini memiliki keempat karakter atau kemampuan dalam meningkatkan pertumbuhan dan pengendalian penyakit walaupun karakter-karakter tersebut tidak dimiliki oleh satu agens hayati secara menyeluruh.

Pada penelitian perlakuan benih untuk meningkatkan mutu fisiologis benih, isolat P. diminuta A6 dan B. subtilis A54 dapat meningkatkan viabilitas dan vigor benih (Tabel 7 & 8). Semua agens hayati yang digunakan dalam penelitian yang dikombinasikan dengan matriconditioning mampu meningkatkan

pertumbuhan bibit padi di rumah kaca, selain itu keempat agens hayati dengan dan tanpa matricondtioning juga dapat menekan pertumbuhan Xoo pada benih padi varietas Ciherang yang diuji (Tabel 9). Perbaikan mutu fisiologis, patologis, dan pertumbuhan bibit padi ini diduga disebabkan pengaruh langsung dari senyawa- senyawa yang dihasilkan agens hayati tersebut seperti IAA, HCN, dan siderofor, serta kemampuan melarutkan fosfat. Perbaikan viabilitas dan vigor benih ini diduga seperti hasil penelitian Gholami et al. (2009), disebabkan oleh terjadinya peningkatan sintesis hormon seperti giberelin sebagi pemicu aktivitas enzim amilase yang berperan dalam perkecambahan .

Pada penelitian ini, pertumbuhan tanaman dan hasil panen padi meningkat serta dapat menurunkan penggunaan pupuk P oleh tanaman. Peningkatan tersebut diduga disebabkan pengaruh langsung dan tidak langsung dari agens hayati yang digunakan. Pengaruh langsung tersebut berasal dari Pseudomonas spp. dan B. subtilis yang mampu menghasilkan hormon pengatur pertumbuhan dan mampu membantu melarutkan fosfat. Pengaruh tidak langsung disebabkan oleh penu- runan serangan penyakit hawar daun bakteri. Penurunanan serangan penyakit ini disebabkan senyawa antimikroba yang dihasilkan (siderofor dan HCN) atau disebabkan peningkatan ketahanan sistemik tanaman. Peroksidase (Vidhyasekaran et al. 2001) dan IAA (Vassilev et al. 2006) merupakan produk metabolit tanaman yang dapat menginduksi ketahanan sistemik, sedangkan Jha et al. (2009) melaporkan IAA yang dihasilkan Pseudomonas spp. juga dapat menunjukkan aktivitas melawan penyakit pada tanaman.

Matriconditioning juga memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan, hasil, dan serangan penyakit. Matriconditioning adalah peningkatan fisiologis dan biokimia benih selama penundaan perkecambahan oleh media imbibisi dengan kekuatan potensial matrik yang rendah dan potensial osmotik yang dapat diabaikan (Khan et al. 1992). Melalui matriconditioning senyawa yang dihasilkan oleh rizobakteri (IAA, HCN, siderofor) masuk secara perlahan bersamaan dengan proses imbibisi yang berlangsung. Perbaikan pertumbuhan yang terjadi disebabkan dua hal, yaitu masuknya unsur penting yang dihasilkan oleh agens hayati dan pengaruh positif dari matriconditioning itu sendiri dalam mengaktifkan proses fisiologi dan biokimia benih. Selain itu, diduga pengaruh

positif juga disebabkan oleh unsur siliki (phytoliths) yang terkandung di dalam arang sekam yang digunakan dalam matriconditioning. Menurut Neethirajan et al. (2009), silika pada tanaman memiliki berbagai kegunaan, diantaranya untuk pembentukan dinding sel, resistensi tanaman, dan membentuk kekakuan daun. Dai et al. (2005) menyatakan sejumlah penelitian menunjukkan pengendapan silika pada jaringan tanaman dapat meningkatkan hasil serta meningkatkan resistensi tanaman terhadap stres biotik dan abiotik tanaman. Silika pada tanaman padi telah lama dikenal sebagai unsur yang menguntungkan walaupun belum terbukti sebagai unsur yang penting. Kandungan silika yang berasal dari arang sekam padi adalah 95-98 % (Khalil 2008; Suparman 2010).

Dalam penelitian ini (pada percobaan keempat di rumah kaca), perlakuan benih dapat menurunkan penggunaan pupuk P dan memberikan pengaruh nyata dan konsisten pada peubah hasil panen. Perlakuan perendaman benih dalam B. subtilis 5/B dan perendaman benih dalam P. diminuta A6 + B. subtilis 5/B menghasilkan jumlah gabah bernas, jumlah gabah total, persentase gabah bernas baik per malai maupun per rumpun, dan berat 1000 butir gabah tertinggi pada dosis pupuk P 50 kg ha-1 (Tabel 40, 42, 43, 45, dan 48).

Kemampuan melarutkan fosfat terkait erat dengan enzim fosfatase dan asam-asam organik yang dihasilkan agens hayati karena kedua unsur tersebut bersifat sinergistik (Goenadi 2006). Menurut Soetanto (2008), kemampuan agens hayati memacu pertumbuhan dipengaruhi beberapa hal diantaranya kemampuan rizobakteri menyesuaikan diri dengan lingkungan perakaran, ketersediaan nutrisi bagi rizobakteri, dan populasi atau kepadatan rizobakteri saat mengkolonisasi inang. Sebelumnya, Syarief (2005) menyimpulkan bahwa pada tanaman padi, kemampuan menyerap P ditentukan juga oleh ketenggangan genotipe tanaman.

Perlakuan benih dan pupuk P belum memberikan pengaruh yang nyata terhadap mutu fisiologis benih hasil panen, baik pada percobaan rumah kaca maupun lapang kecuali pada perlakuan matriconditioning + P.diminuta A6 + B. subtilis 5/B (Percobaan 4). Pengaruh nyata terlihat pada benih yang langsung diperlakukan dengan agens hayati (Tabel 7,8 dan 9). Menurut Simon (2001), aplikasi mikroorganisme secara langsung kepada benih dapat memperbaiki vigor tanaman. Nandakumar et al. (2001) menyimpulkan bahwa pada tanaman padi aplikasi

Pseudomonas spp. langsung pada benih, akar, atau tanah dan kombinasi ketiganya akan memperbaiki pertumbuhan dan hasil tanaman. Sementara itu, perlakuan pupuk P secara umum dapat meningkatkan viabilitas benih, tetapi tidak berbeda nyata secara statistik (Tabel 33). Hal ini disebabkan benih yang dipanen pada penelitian berada kondisi masak fisiologis, mutu fisiologis benih dalam kondisi maksimum terjadi pada semua perlakuan. Namun menurut Caradus (1990) dalam Syarif (2005), kadar P yang rendah pada organ yang dipanen dapat diangggap meningkatkan efisiensi (agronomis) penggunaan P karena mengurangi kebutuhan P untuk menghasilkan satuan produksi ataupun mengurangi jumlah P yang dibawa keluar sistem produksi.

Jika dibandingkan antara percobaan laboratorium, rumah kaca, dan percobaan lapang, hasil penelitian ini belum menunjukkan konsistensi yang diharapkan. Namun dari semua agens hayati yang digunakan menunjukkan kemampuan meningkatkan pertumbuhan, hasil tanaman pada beberapa peubah, dan menurunkan penggunaan pupuk P lebih baik dibandingkan dalam menekan serangan penyakit. Hasil ini sejalan dengan penelitian sebelumnya bahwa penggunaan agens hayati melalui perlakuan benih dapat memperbaiki pertumbuhan tanaman padi (Ashrafuzzaman et al.2009; Budiman 2009) dan bobot gabah bernas (Yukti et al. 2008).

Hasil penelitian di lapang yang dilakukan di KP Pusakanagara, Sukamandi, dan Kebun Percobaan Muara di Bogor, mendapatkan hasil yang berbeda. Perbedaan tersebut diduga disebabkan juga perbedaan agroklimat lokasi penelitian (Tabel lampiran 3 & 4). Pada percobaan rumah kaca dan lapang, hasil penelitian yang tidak konsisten pada perlakuan benih dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor tersebut antara lain kondisi tanaman, mikroorganisme sebagai agens hayati, suhu, kelembaban udara, dan curah hujan selama penelitian. Pada saat penelitian, suhu harian di rumah kaca adalah 26-35 0C dengan kelembaban relatif 76%, suhu harian di KP Pusakanagara 23-32 0C dengan kelembaban relatif 63.1- 95.0%. Suhu harian di KP Muara 25-27 0C dengan kelembaban relatif 74.29-79.66%. Menurut Agrios (2005), interaksi antara lingkungan, tanaman, dan patogen sangat beperan dalam perkembangan penyakit. Menurut Liu et al. (2006), suhu lingkungan yang optimum untuk perkembangan Xoo adalah 25-30 0C.

PEMBAHASAN UMUM

Pada penelitian ini diperoleh 74 isolat rizobakteri dari perakaran tanaman padi (rhizosfer) sehat diantara tanaman padi terserang penyakit HDB. Dari 74 isolat yang didapat tiga isolat yang memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan koloni Xoo. Setelah dilakukan identifikasi, masing-masing isolat tersebut adalah Pseudomonas diminuta A6, Pseudomonas mallei A33, dan P. aeruginosa A54. Isolat dari kelompok Bacillus spp. yang digunakan berasal dari Balai Besar Penelitian Padi di Sukamandi yaitu Bacillus subtilis 5/B dan B. subtilis 11/C . Berdasarkan hasil uji daya hambat secara in vitro terhadap pertumbuhan koloni Xoo, kelima isolat memiliki kemampuan dalam menghambat pertumbuhan Xoo dengan kemampuan yang berbeda-beda. Perbedaan kemampuan dalam menghambat tersebut berhubungan dengan perbedaan jumlah dan jenis senyawa antimikroba yang dihasilkan oleh masing-masing isolat. Pada percobaan selanjutnya digunakan empat isolat yang memiliki kemampuan penghambatan Xoo yang terbaik.

Hasil analsisis menunjukkan bahwa hanya P. diminuta A6 yang mampu memproduksi senyawa HCN. Semua isolat rizobakteri yang diuji menghasilkan senyawa siderofor. Isolat B. subtilis 5/B menghasilkan aktivitas siderofor ter- tinggi, diikuti isolat P. aeruginosa A54, P. diminuta A6, dan B.subtilis 11/C (Gambar 6). Semua isolat rizobakteri yang diuji mampu memproduksi IAA dengan kandungan masing-masing isolat B.subtilis 5/B (22.10 µg/ml), B.subtilis 11/C (19.05 µg/ml), P. diminuta A6 (8.68 µg/ml), dan isolat P. aeruginosa A54 (2.95 µg/ml) (Tabel 5). Menurut Thakuria et al. (2004) perbedaan produksi IAA pada berbagai rizobakteri bergantung pada kemampuan masing-masing isolat dalam mengkolonisasi perakaran tanaman.

Kandungan enzim peroksidase pada tanaman yang diperlakukan isolat agens hayati masing-masing adalah B. subtilis 5/B (1.30 x 10-3 unit/mg protein), P. aeruginosa A6 (1.20 x 10-3 unit/mg protein), B. subtilis 11/C (1.15 x 10-3 unit/mg protein), dan P. aeruginosa A54 (1.05 x 10-3 unit/mg protein) (Tabel 6). Walaupun enzim yang dihasilkan tidak besar, keempat agens hayati yang digunakan pada percobaan ini dapat menginduksi tanaman untuk menghasilkan

Enzim peroksidase merupakan salah satu enzim yang dihasilkan oleh tanaman untuk yang berhubungan dengan ketahanan sistemik. Peningkatan enzim peroksidase pada tanaman padi setelah diperlakuan P. fluorescens dilaporkan oleh Vidhyasekaran et al. (2001) dan P. aeruginosa (Saika et al. 2006), sedangkan Syamsuddin (2010) melaporkan pada tanaman cabai terjadi peningkatan enzim peroksidase setelah benihnya diperlakukan dengan Pseudomonas spp.

Kandungan enzim fosfatase masing-masing isolat adalah B. subtilis 5/B (2.78 unit/ml), B. subtilis 11/C (1.39 unit/ml), P. diminuta A6( 2.25 unit/ml), dan P. aeruginosa A54 (5.71 unit/ml) (Tabel 4). Kemampuan agens hayati melarutkan fosfat merupakan salah satu peran agens hayati dalam meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Rodriguez & Fraga 1999; Vassilev 2006). Hara fosfat adalah hara yang ada dalam tanah namun ketersediaanya bagi tanaman sedikit karena terikat dengan unsur-unsur lainnya. Berdasarkan hasil penelitian ini, keempat agens hayati yang digunakan mampu melarutkan fosfat. Hal ini dapat dilihat dari zona bening pada pengujian P dan dihasilkannya enzim fosfatase yang beperan dalam pelarutan fosfat (Tabel 4). Menurut Van Loon (2007), ke- mampuan agens hayati mengendalikan patogen tanaman dapat melalui mekanisme parasitisme, kompetisi, dan antibiosis atau induksi ketahanan sistemik. Berdasarkan hasil penelitian ini, senyawa yang berkontribusi langsung dalam pengendalian penyakit adalah HCN dan siderofor, sedangkan enzim peroksidase yang dihasilkan diduga kuat berkontribusi dalam menginduksi ketahanan sistemik tanaman. Selain itu, menurut Vassilev et al. (2006), asam indol asetat (IAA) yang dihasilkan rizobakteri juga dapat berperan dalam pengendalian bakteri patogen melalui mekanisme keterlibatan IAA dan S-transferase dalam reaksi ketahanan tanaman. Berdasarkan data penelitian yang telah dikemukan, maka agens hayati yang digunakan pada percobaan ini memiliki keempat karakter atau kemampuan dalam meningkatkan pertumbuhan dan pengendalian penyakit walaupun karakter-karakter tersebut tidak dimiliki oleh satu agens hayati secara menyeluruh.

Pada penelitian perlakuan benih untuk meningkatkan mutu fisiologis benih, isolat P. diminuta A6 dan B. subtilis A54 dapat meningkatkan viabilitas dan vigor benih (Tabel 7 & 8). Semua agens hayati yang digunakan dalam penelitian yang dikombinasikan dengan matriconditioning mampu meningkatkan

pertumbuhan bibit padi di rumah kaca, selain itu keempat agens hayati dengan dan tanpa matricondtioning juga dapat menekan pertumbuhan Xoo pada benih padi varietas Ciherang yang diuji (Tabel 9). Perbaikan mutu fisiologis, patologis, dan pertumbuhan bibit padi ini diduga disebabkan pengaruh langsung dari senyawa- senyawa yang dihasilkan agens hayati tersebut seperti IAA, HCN, dan siderofor, serta kemampuan melarutkan fosfat. Perbaikan viabilitas dan vigor benih ini diduga seperti hasil penelitian Gholami et al. (2009), disebabkan oleh terjadinya peningkatan sintesis hormon seperti giberelin sebagi pemicu aktivitas enzim amilase yang berperan dalam perkecambahan .

Pada penelitian ini, pertumbuhan tanaman dan hasil panen padi meningkat serta dapat menurunkan penggunaan pupuk P oleh tanaman. Peningkatan tersebut diduga disebabkan pengaruh langsung dan tidak langsung dari agens hayati yang digunakan. Pengaruh langsung tersebut berasal dari Pseudomonas spp. dan B. subtilis yang mampu menghasilkan hormon pengatur pertumbuhan dan mampu membantu melarutkan fosfat. Pengaruh tidak langsung disebabkan oleh penu- runan serangan penyakit hawar daun bakteri. Penurunanan serangan penyakit ini disebabkan senyawa antimikroba yang dihasilkan (siderofor dan HCN) atau disebabkan peningkatan ketahanan sistemik tanaman. Peroksidase (Vidhyasekaran et al. 2001) dan IAA (Vassilev et al. 2006) merupakan produk metabolit tanaman yang dapat menginduksi ketahanan sistemik, sedangkan Jha et al. (2009) melaporkan IAA yang dihasilkan Pseudomonas spp. juga dapat menunjukkan aktivitas melawan penyakit pada tanaman.

Matriconditioning juga memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan, hasil, dan serangan penyakit. Matriconditioning adalah peningkatan fisiologis dan biokimia benih selama penundaan perkecambahan oleh media imbibisi dengan kekuatan potensial matrik yang rendah dan potensial osmotik yang dapat diabaikan (Khan et al. 1992). Melalui matriconditioning senyawa yang dihasilkan oleh rizobakteri (IAA, HCN, siderofor) masuk secara perlahan bersamaan dengan proses imbibisi yang berlangsung. Perbaikan pertumbuhan yang terjadi disebabkan dua hal, yaitu masuknya unsur penting yang dihasilkan oleh agens hayati dan pengaruh positif dari matriconditioning itu sendiri dalam mengaktifkan proses fisiologi dan biokimia benih. Selain itu, diduga pengaruh

positif juga disebabkan oleh unsur siliki (phytoliths) yang terkandung di dalam arang sekam yang digunakan dalam matriconditioning. Menurut Neethirajan et al. (2009), silika pada tanaman memiliki berbagai kegunaan, diantaranya untuk pembentukan dinding sel, resistensi tanaman, dan membentuk kekakuan daun. Dai et al. (2005) menyatakan sejumlah penelitian menunjukkan pengendapan silika pada jaringan tanaman dapat meningkatkan hasil serta meningkatkan resistensi tanaman terhadap stres biotik dan abiotik tanaman. Silika pada tanaman padi telah lama dikenal sebagai unsur yang menguntungkan walaupun belum terbukti sebagai unsur yang penting. Kandungan silika yang berasal dari arang sekam padi adalah 95-98 % (Khalil 2008; Suparman 2010).

Dalam penelitian ini (pada percobaan keempat di rumah kaca), perlakuan benih dapat menurunkan penggunaan pupuk P dan memberikan pengaruh nyata dan konsisten pada peubah hasil panen. Perlakuan perendaman benih dalam B. subtilis 5/B dan perendaman benih dalam P. diminuta A6 + B. subtilis 5/B menghasilkan jumlah gabah bernas, jumlah gabah total, persentase gabah bernas baik per malai maupun per rumpun, dan berat 1000 butir gabah tertinggi pada dosis pupuk P 50 kg ha-1 (Tabel 40, 42, 43, 45, dan 48).

Kemampuan melarutkan fosfat terkait erat dengan enzim fosfatase dan asam-asam organik yang dihasilkan agens hayati karena kedua unsur tersebut bersifat sinergistik (Goenadi 2006). Menurut Soetanto (2008), kemampuan agens hayati memacu pertumbuhan dipengaruhi beberapa hal diantaranya kemampuan rizobakteri menyesuaikan diri dengan lingkungan perakaran, ketersediaan nutrisi bagi rizobakteri, dan populasi atau kepadatan rizobakteri saat mengkolonisasi inang. Sebelumnya, Syarief (2005) menyimpulkan bahwa pada tanaman padi, kemampuan menyerap P ditentukan juga oleh ketenggangan genotipe tanaman.

Perlakuan benih dan pupuk P belum memberikan pengaruh yang nyata terhadap mutu fisiologis benih hasil panen, baik pada percobaan rumah kaca maupun lapang kecuali pada perlakuan matriconditioning + P.diminuta A6 + B. subtilis 5/B (Percobaan 4). Pengaruh nyata terlihat pada benih yang langsung diperlakukan dengan agens hayati (Tabel 7,8 dan 9). Menurut Simon (2001), aplikasi mikroorganisme secara langsung kepada benih dapat memperbaiki vigor tanaman. Nandakumar et al. (2001) menyimpulkan bahwa pada tanaman padi aplikasi

Pseudomonas spp. langsung pada benih, akar, atau tanah dan kombinasi ketiganya akan memperbaiki pertumbuhan dan hasil tanaman. Sementara itu, perlakuan pupuk P secara umum dapat meningkatkan viabilitas benih, tetapi tidak berbeda nyata secara statistik (Tabel 33). Hal ini disebabkan benih yang dipanen pada penelitian berada kondisi masak fisiologis, mutu fisiologis benih dalam kondisi maksimum terjadi pada semua perlakuan. Namun menurut Caradus (1990) dalam Syarif (2005), kadar P yang rendah pada organ yang dipanen dapat diangggap meningkatkan efisiensi (agronomis) penggunaan P karena mengurangi kebutuhan P untuk menghasilkan satuan produksi ataupun mengurangi jumlah P yang dibawa keluar sistem produksi.

Jika dibandingkan antara percobaan laboratorium, rumah kaca, dan percobaan lapang, hasil penelitian ini belum menunjukkan konsistensi yang diharapkan. Namun dari semua agens hayati yang digunakan menunjukkan kemampuan meningkatkan pertumbuhan, hasil tanaman pada beberapa peubah, dan menurunkan penggunaan pupuk P lebih baik dibandingkan dalam menekan serangan penyakit. Hasil ini sejalan dengan penelitian sebelumnya bahwa penggunaan agens hayati melalui perlakuan benih dapat memperbaiki pertumbuhan tanaman padi (Ashrafuzzaman et al.2009; Budiman 2009) dan bobot gabah bernas (Yukti et al. 2008).

Hasil penelitian di lapang yang dilakukan di KP Pusakanagara, Sukamandi, dan Kebun Percobaan Muara di Bogor, mendapatkan hasil yang berbeda. Perbedaan tersebut diduga disebabkan juga perbedaan agroklimat lokasi penelitian (Tabel lampiran 3 & 4). Pada percobaan rumah kaca dan lapang, hasil penelitian yang tidak konsisten pada perlakuan benih dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor tersebut antara lain kondisi tanaman, mikroorganisme sebagai agens hayati, suhu, kelembaban udara, dan curah hujan selama penelitian. Pada saat penelitian, suhu harian di rumah kaca adalah 26-35 0C dengan kelembaban relatif 76%, suhu harian di KP Pusakanagara 23-32 0C dengan kelembaban relatif 63.1- 95.0%. Suhu harian di KP Muara 25-27 0C dengan kelembaban relatif 74.29-79.66%. Menurut Agrios (2005), interaksi antara lingkungan, tanaman, dan patogen sangat beperan dalam perkembangan penyakit. Menurut Liu et al. (2006), suhu lingkungan yang optimum untuk perkembangan Xoo adalah 25-30 0C.

Dokumen terkait