• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kekayaan hayati Indonesia berupa sapi seharusnya dapat memberikan sumbangan yang nyata terhadap proses berkehidupan masyarakatnya. Sejarah menunjukkan bahwa Indonesia memiliki salah satu nenek moyang (common ancestor) dari bangsa sapi-sapi yang ada di dunia, yaitu Banteng (Bos banteng). Sapi Bali dan Madura diduga merupakan bangsa sapi hasil domestikasi Banteng tersebut. Fakta menunjukkan pula bahwa sapi Bali maupun Madura memiliki keunggulan sebagai sapi lokal Indonesia, seperti proporsi karkas tinggi, kualitas daging lebih baik serta tahan terhadap kondisi lingkungan yang buruk maupun serangan penyakit (Martojo 1995). Meskipun secara ukuran linier tubuh tidak sebesar bangsa sapi modern lainnya, seperti sapi Bos taurus (sapi Eropa) maupun sapi Bos indicus (sapi Asia) tetapi secara ekonomis sebenarnya cukup tinggi apabila dikaitkan dengan kondisi masyarakat di Indonesia. Misal, di kalangan masyarakat Madura dengan tradisi Karapan Sapi mampu mengangkat nilai jual sapi lokal secara signifikan. Demikian pula untuk kepentingan ibadah Qurban dalam Islam, maka ternak sapi lokal memiliki nilai ekonomis lebih tinggi dibandingkan sapi breed impor, karena diyakini lebih tinggi nilai religiusnya.

Harus diakui pula bahwa saat sekarang ini terdapat kecenderungan penurunan produktivitas sapi khas Indonesia tersebut (Bali dan Madura) jika dibandingkan dengan kondisi masa lalu. Pada sapi Bali misalnya, rata-rata pertumbuhan dan ukuran linier telah menurun (Sonjaya & Idris 1996), mortalitas pedet meningkat pada fase menyusui (Wirdahayati & Bamualin 1990) dan penurunan kualitas daging (Arka 1996). Kondisi ini secara nasional harus menjadi perhatian serius dan diperlukan alat analisis yang lebih sesuai dan akurat dalam upaya menduga kemungkinan penyebab penurunan mutu genetik tersebut. Permasalahan yang perlu diperhatikan adalah menentukan penurunan genetik yang diakibatkan oleh adanya genetic drift (hilangnya karakter genetik tertentu) atau karena effek in breeding (silang dalam) maupun cross breeding (kawin silang) dengan bangsa sapi-sapi lainnya.

Adanya perkembangan ilmu genetika molekuler yang cepat saat ini dapat dimanfaatkan sebagai alat dalam mengevaluasi mutu genetik sapi-sapi lokal Indonesia, sebab hingga saat ini teknologi ini yang masih diakui dunia sebagai teknologi yang sesuai untuk evaluasi genetik maupun klasifikasi individu. Khusus kondisi di Indonesia penggunaan teknologi molekuler dalam riset-riset genetik untuk sapi lokal masih sangat jarang. Adanya penelitian ini dapat menjadi dasar acuan untuk mengevaluasi mutu genetik ternak di Indonesia dan strategi pemuliaan maupun konservasinya.

Penelitian ini menggunakan penciri DNA mikrosatelit spesifik kromosom Y dan gen cyt b untuk mempelajari variasi genetik dan hubungan kekerabatan sapi- sapi lokal Indonesia dengan harapan bahwa potensi genetik yang sesungguhnya dari sapi-sapi tersebut dapat diidentifikasi dan kemudian dapat ditetapkan strategi pengembangannya. Pada penelitian ini ditetapkan bahwa sampel sapi hanya untuk jenis kelamin jantan.

Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa lokus INRA 062 memiliki nilai PIC (37%) lebih tinggi dibandingkan lokus-lokus lain yang diuji, maka lokus ini dapat diulang kembali untuk analisis variasi genetik sapi lokal Indonesia untuk dapat menentukan spesifikasi bangsa sapi lokal tertentu menggunakan penciri lokus ini, dalam penelitian ini kasus terdapat pada sapi Pesisir, sehingga sapi Pesisir mungkin dapat dicirikan dari adanya alel pada lokus ini. Meskipun secara keseluruhan jumlah rata-rata alel masih rendah (1.8), namun penelitian sejenis dapat dilakukan lebih lanjut dengan menggunakan penciri mikrosatelit kromosom Y yang lebih banyak, demikian juga dengan jumlah sampel yang diuji juga lebih banyak dengan melibatkan letak geografis yang lebih luas, sehingga evaluasi genetik secara lebih mendalam pada sapi-sapi lokal Indonesia dapat tetap dilakukan. Harapann yang diinginkan adalah dapat diketahui spesifikasi sapi lokal Indonesia secara lebih terukur dan tepat berdasarkan penciri molekuler pada kromosom Y.

Demikian pula berdasarkan variasi gen cyt b telah ditemukan pula beberapa titik-titik mutasi pada basa tertentu dari sapi-sapi lokal contoh dibandingkan Banteng (Bos javanicus) maupun Bos taurus dan Bos indicus. Mutasi pada

urutan basa cyt b nomor 14898 (T Æ C), ditemukan hampir pada seluruh sapi dan pada posisi ini basa tersebut dimiliki oleh bangsa Bos taurus. Hasil ini sejalan penelitian sebelumnya bahwa sapi-sapi lokal Indonesia telah mengalami hibridisasi genetik dari bangsa Bos taurus maupun Bos indicus (Namikawa et al.

1981; Kikkawa et al. 1995; Kikkawa et al. 2003; Nijmann et al. 2003; Verkaar et al. 2003).

Adanya mutasi tersebut, dapat dipertimbangkan dan digunakan sebagai dasar untuk menentukan karakter spesifik bangsa sapi lokal Indonesia lainnya, seperti sapi Aceh dan Pesisir. Meskipun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kedua bangsa sapi ini memiliki proporsi genetik lebih besar ke Bos indicus dan Bos taurus dibandingkan dengan Banteng. Studi awal ini dapat dijadikan acuan untuk evaluasi genetik berikutnya dengan jumlah dan luasan daerah yang berbeda untuk ketercukupan data yang diperlukan, sehingga sapi Aceh dan Pesisir dapat ditentukan spesifikasinya secara molekuler.

Gambaran umum tentang hubungan kekerabatan genetik menggunakan penciri molekuler DNA mikrosatelit kromosom Y dan gen cyt b mengindikasikan bahwa secara genetik sapi-sapi lokal Indonesia menyebar dan tidak mengelompok secara spesifik dalam satu klaster, baik terhadap Banteng, Bos taurus maupun Bos indicus. Hal ini menunjukkan bahwa variasi genetik sapi-sapi Indonesia saat ini cukup tinggi.

Berdasarkan sisi konservatif dari gen cyt b, maka spesifikasi sapi Indonesia dapat ditetapkan homologinya berdasarkan sekuens referensi Banteng. Perbaikan mutu genetik sapi lokal Indonesia sesuai pembahasan sebelumnya, dapat menggunakan teknologi ini untuk proses seleksi maupun pemuliabiakan sapi-sapi lokal yang ada, sehingga tidak memunculkan kekawatiran punahnya identitas plasma nutfah sapi asli Indonesia yang merupakan keturunan dari salah satu tetua bangsa sapi di dunia yaitu Banteng. Pada sisi yang lain konservasi Banteng dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi molekuler ini.

Dokumen terkait