• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembangunan Berkelanjutan Wilayah Pesisir dan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pembangunan Berkelanjutan Wilayah Pesisir dan

Jumlah penduduk miskin di Indonesia masih cukup banyak, sebagian besar terdapat di perdesaan termasuk wilayah pesisir dan pantai. Berdasarkan data statistik bahwa 60% penduduk Indonesia tinggal di daerah pesisir dan pantai Dari 60% tersebut, 80%nya merupakan masyarakat miskin dan sebagian besar memanfaatkan sumberdaya perikanan dan kelautan. Pengertian tentang kemiskinan secara umum dapat dikatakan pada sebuah kondisi yang serba kekurangan yang bisa diukur secara objektif, dirasakan secara subjektif atau dirasakan pada perbandingan dengan orang lain (Subri, 2005). Secara kuantitatif, kemiskinan ditandai dengan masih adanya kerentanan, ketidakberdayaan, keterisolasian, dan ketidak mampuan untuk mencapai aspirasi bagi sebagian masyarakat. Kondisi ini apabila tidak ditangani dengan baik, pada gilirannya akan mengakibatkan antara lain:rendahnya kualitas dan produktivitas sumberdaya manusia, rendahnya partisipasi aktif masyarakat, kemungkinan merosotnya mutu generasi yang akan datang (Yudoyono, 2004).

Salah satu cara untuk mengurangi kemiskinan adalah adanya pembangunan. Pembangunan dapat dilakukan pada bidang ekonomi, manusia atau pembangunan wilayah. Untuk mencapai hasil yang optimal dalam pembangunan suatu wilayah, diperlukan pendekatan berbeda-beda mengingat wilayahnya yang luas dengan kondisi fisik, sosial dan ekonomi masyarakat yang beragam. Salah satu pendekatan pembangunan yang sering dipakai oleh ekonom adalah pendekatan pusat-pusat pertumbuhan dan pendekatan sektoral. Pendekatan yang disebut pusat-pusat pertumbuhan memprioritaskan pembangunan pada kota atau tempat-tempat strategis yang diharapkan akan menarik daerah pinggiran di sekitarnya, sedangkan pembangunan sektoral adalah pembangunan melalui pemberian prioritas pada sektor-sektor tertentu, dengan kata lain pembangunan wilayah ditekankan pada penanganan langsung pada stakeholder. Dengan cara demikian, pendekatan wilayah berorientasi pada pemerataan dan keadilan yang bertujuan untuk memperkecil bahkan menghilangkan kesenjangan ekonomi,

sosial, baik antar kelompok dalam masyarakat maupun antar daerah (Mubyarto, 2000).

Pergeseran paradigma pembangunan dari pertumbuhan ekonomi ke arah pembangunan yang berwawasan lingkungan memberikan indikasi ke pemerataan dan keadilan. Pemerataan pembangunan adalah dalam upaya pengentasan kemiskinan melalui pembangunan perdesaan yang jauh tertinggal khususnya ketersediaan prasarana dibandingkan dengan perkotaan (Mubiyarto, 2000). Lebih lanjut dijelaskan bahwa pembangunan dengan cara memberdayakan masyarakat akan menjamin pembangunan berkelanjutan karena masyarakat pada gilirannya akan meningkatkan kemandirian yaitu rasa percaya diri yang besar tanpa perlu menggantungkan diri pada pihak-pihak luar, baik dengan pasokan sarana produksi maupun dalam pemasaran hasil-hasil produksinya. Keadilan yang dimaksud adalah keadilan untuk generasi sekarang dan tidak mengurangi keadilan untuk generasi yang akan datang. Namun dalam pembangunan perdesaan tersebut dipengaruhi juga oleh sikap-sikap hidup masyarakat. Sebenarnya sikap-sikap hidup dalam masyarakat bukan suatu yang statis, tetapi selalu ada kemungkinan untuk mengalami perubahan yang disebabkan oleh pengaruh lingkungan dari dalam masyarakat itu baik yang berupa keinginan individu maupun kelompok masyarakat. Keinginan berubah yang berasal dari dalam masyarakat yang muncul karena pengaruh dari luar nilai-nilai tradisional seperti program pembangunan, masuknya nilai-nilai budaya baru yang datang dari luar daerah atau dibawa oleh masyarakat pendatang, juga dapat merubah sikap hidup masyarakat setempat. Informasi yang masuk melalui media informasi seperti, media masa, elektronik (televisi, radio). Kemungkinan perubahan ini tidak semuanya menimbulkan dampak negatif tetapi juga ada yang berdampak posisitf atau membangun walaupun perubahan ini memerlukan waktu yang cukup lama karena nilai-nilai yang sudah ada memberikan tatanan yang cukup kokoh pada masyarakat tersebut.

Dengan adanya agenda 21 global merupakan salah satu upaya terbesar dan terpenting yang disepakati bersama pada saat Earth Summit di Rio de Janeiro tahun 1992 untuk memperbaiki konsep pembangunan yang dulunya cenderung hanya memperhatikan peningkatan pada sisi ekonomi saja dan mengorbankan

sisi lingkungan. Konsep inilah kemudian dikenal dengan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yaitu pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara substansi pembangunan berkelanjutan mempertimbangkan penuh pada implikasinya terhadap lingkungan, antara lain:dampaknya pada masa depan, keseimbangan isu pembangunan lingkungan, ekonomi dan sosial. Pembangunan berkelanjutan pada Agenda 21, mewujudkan tiga pilar utama yaitu pilar ekonomi, lingkungan dan sosial yang di dalamnya berisikan antara lain:pengentasan kemiskinan dalam konteks pembangunan berkelanjutan, degradasi lingkungan, pengambilan keputusan dalam pembangunan berkelanjutan, pembangunan wilayah perdesaan dan pertanian yang berkelanjutan, perlindungan laut dan kelautan, alih teknologi yang ramah lingkungan, penguatan terhadap peran kelompok-kelompok utama yang berkaitan dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Pada bidang kelautan dan perikanan dalam agenda 21 dan deklarasi Summit Johannersburg tahun 2002 yang dapat di adopsi adalah melaksanakan pembangunan kelautan dan perikanan di wilayah pesisir dan lautan Indonesia.

Menurut Dahuri (2000), pembangunan wilayah pesisir dan lautan diarahkan pada 4 (empat) aspek utama, yaitu:

(1) . Aspek teknis dan ekologis

Aspek teknis dan ekologis dari setiap kegiatan pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah pesisir dan lautan harus memperhatikan keharmonisan spasial (ruang), kapasitas assimilasi (daya dukung perairan), dan pemanfaatan sumberdaya secara berkesinambungan. (2). Aspek sosial, ekonomi dan budaya

Aspek ini mensyaratkan bahwa masyarakat pesisir sebagai pelaku dan sekaligus tujuan pembangunan wilayah pesisir dan lautan harus mendapatkan manfaat terbesar dari kegiatan pembangunan tersebut.

(3). Aspek sosial politik

Kegiatan pembangunan berkesinambungan khususnya di wilayah pesisir dan lautan hanya dapat dicapai apabila didukung oleh suasana politik yang demokratis dan transparan.

(4). Aspek hukum dan kelembagaan

Pengaturan hukum dan kelembagaan dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan pada dasarnya merupakan sarana penunjang bagi kebijakan nasional.

Pemanfaatan sumberdaya ikan di dunia saat ini sudah menjadi sebuah sektor industri pangan yang telah berkembang secara dinamis yang digerakan oleh pasar dan negara pantai yang sudah berusaha keras mengambil manfaat dari peluang baru yang diperoleh yaitu dengan cara menanamkan modal dalam armada penangkapan dan pabrik pengolahan moderen sebagai tanggapan terhadap permintaan internasional. Begitu juga di perairan Indonesia, dengan semakin besarnya permintaan pasar lokal dan internasional dalam rangka pemenuhan kebutuhan akan protein hewani dari ikan serta dipicu dengan peningkatan pendapatan devisa negara dari sumberdaya ikan maka upaya pemanfataan atas sumberdaya ini selalu meningkat sehingga dapat mengancam kelestarian sumberdaya perikanan dan kelautan.

Berdasarkan kajian Komisi Pengkajian Stok Ikan Nasional (KOMNASJISKAN) DKP, (2001) bahwa potensi lestari sumberdaya ikan sebesar 6,4 juta ton per tahun yang meliputi 9 (sembilan) wilayah pengelolaan perikanan di Indonesia dengan menggolongkan ikan pelagis kecil, pelagis besar, ikan demersal, ikan karang, udang, crustacea, cumi-cumi, saat itu beberapa di wilayah pengelolaan perikanan tersebut dengan kelompok ikan tertentu sudah ada yang berstatus fully ekploited dan over fishing. Dilanjutkan dengan hasil kajian KOMNASJISKAN, DKP ( 2005) bahwa keadaan sumberdaya ikan semakin menghawatirkan yang ditandai dengan indikator biologis dan lingkungan sehingga peningkatan dan penambahan status stok beberapa jenis ikan pada berbagai wilayah pengelolaan perikanan dari status moderat menjadi fully eksploited dan fully exploited menjadi over exploited. Oleh karena itu penerapanCode of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF)pada pengelolaan sumberdaya perikanan dengan prinsip hati-hati harus ditingkatkan agar sumberdaya ikan berkelanjutan.

Dokumen terkait